RESOLUSI KONFLIK PERBATASAN ERITREA-ETHIOPIA (1998-2000)

WIJAYANTI

 

1.      Perang Kemerdekaan Eritrea menghadapi Ethiopia

Eritrea dan Ethiopia merupakan wilayah yang berada di Afrika. Pada tahun 800 SM Dinasti D'Mit menyatuka wilayah Eritrea dan Ethiopia. Ketika Perang Dunia II berlangsung, Inggris menguasai wilayah Ethiopia dan Eritrea. Ethiopia melakukan perlawanan yang berhasil lepas dari kolono Inggris, namun Inggris masih menguasai wilayah Eritrea.

Namun, paska Perang Dunia II, PBB mengembalikan kedaulatan setelah perang dan menyatukan Eritrea sebagai wilayah federal Ethiopia. Ketidakpuasan terjadi sejak Kaisar Haile Selassie secara sepihak menganeksasi Eritrea pada tahun 1962, paska diserahkannya Eritrea kepada Ethiopia, pemerintah pusat Ethiopia menerapka kebujakan-kebijakan yang ketat atas wilayah Eritrea. Partai

politik Eritrea tidak boleh didirikan, kebebasan pers dikekang, dan bahasa Eritrea tidak boleh diajarkan disekolah-sekolah setempat. Pemerintah Ethiopia pun melakukan tindakan penindasan dan perbudakan terhadap rakyat Eritrea.

Karena tindakan Pemerintah Ethiopia tersebut, muncullah perlawanan dan perang gerilya yang menuntut agar Eritrea merdeka. Eritrea melakukan perang kemerdekaan sejak September 1961 hingga Mei 1991. Eritrean Peoples Liberation Front (EPLF) didukung oleh Negara-Negara Arab dan gerilyawan Palestina, sedangkan Ethiopia dibantu secara financial dan peralatan militer dari Uni Soviet dan Kuba. Setelah runtuhnya Uni Soviet oleh pemberontakn pro demokrasi akhirnya PBB melakukan intervensi dan pengadaan referendum pada tahun 1991. Hasil dari referendum tersebut adalah adanya kedaulatan dan pengakuan penuh atas Eritrea pada tanggal 24 Mei 1993 dengan Ibukota Asmara.

2.      Konflik perbatasan Ethiopia-Erotrea

Ketika Eritrea mendapatkan kemerdekaannya, perbatasan antar kedua Negara yaitu antara Eritrea dan Ethiopia tidak ditetapkan secara jelas dan beberapa bagian wilayah diperebutkan oleh kedua Negara tersebut. Pembentukan sebuah komisi pada tahun 1991 untuk menentukan batas-batas wilayah kedua Negara pun gagal menjalankan fungsinya.

Pemerintah Eritrea menyiarkan pernyataan di Radio Eritrea bahwa Ethiopia akan melaksanakan perang total untuk menyelesaikan permasalahan perbatasan yang disengketakan Eritrea dan Ethiopia. Sebelumnya upaya dialog sebagai proses perdamaian kedua Negara tersebut telah dilakukan yang difasilitasi oleh Pemerintah Amerika Serikat dan Rwanda, Ketua IGAD (Inter  Goverment Authority on Development), Organisasi Negara Sahel Sahara dan Sekretaris Jendral Organisasi Uni Afrika.

Upaya dialog tersebut gagal dilakukan dan bahkan Pemerintah Ethiopia mengintruksikan pasukan militernya untuk melakukan segala tindakan yang diperlukan untuk menggagalkan invasi Eritrea. Ketegangan diantara kedua Negara semakin meningkat seiring dengan insiden yang terjadi didataran Badme.

Ketegangan-ketengan antara Eritrea dengan Ethiopia terjadi disekitar dataran Badme. Orang-orang Eritrea yang berada disekitar dataran Badme dipindahkan kewilayah Tigrayan. Eskalasi ketegangan antara kedua Negara semakin meningkat ditunjukkan dengan surat resmi yang ditulis oleh Administrator wilayah Tahtai Adyabo, Ato Abraha Berhane yang ditulis pada 10 Maret 1998.konflik antara Eritrea dan Ethiopia kembali terjadi ketika Addis Ababa mengklaim bahwa tentara Eritrea telah menduduki Badme, wilayah perbatasan kedua Negara yang dianggap sebagai teritorialnya pada 12 Mei 1998. Pada 6 Mei 1998 tentara Ethiopia ditembak oleh tentara Eritrea disekitar dataran Badme. Hal ini menyebabkan dekralasi perang yang dinyatakan oleh parlement Ethiopia pada 13 Mei 1998.

Satu bulan kemudian pecah perang diantara kedua Negara tersebut. Dan pada tanggal 3 Juni kedua Negara saling menembakkan artileri. Sepasang fghter bomber MiG-23BN Ethiopian Air Force (ETAF) menyerang Airport Internasioanl Asrama pada tanggal 5 Juni. Siang harinya Eritrea Air Force (ERAF) membalas seranga Ethiopia tersebut dengan mengirim sepasang Aeromacchi MB339 untuk menyerang kota Mkelle, Ethiopia.

Organisasi Uni Afrika dan Amerika Serikat mengupayakan perundingan damai untuk menyelesaikan konflik diantara kedua Negara tersebut, namun perundingan tersebut gagal. Bahkan, paska gagalnya perundingan tersebut, Ethiopia melakukan serangan besar-besaran kekota Badme yang sedang dikuasai oleh Erotrea dibawah kode sandi "Operasi Matahari Terbenam" yang dilaksanakan sejak 22 Februari 1999. Dengan operasi tersebut Ethiopia berhasil merebut dan menduduki kota Badme dan menggeser garis depan sejauh 6 KM lebih dalam kewilayah Eritrea.

Baik Eritrea dan Ethiopia menggunakan kekuatan pesawat dan heli tempur untuk membombardir posisi lawan. Pada tanggal 25 Februari terjadi pertempuran antara Fulcrum dan Flanker. Dalam pertempuran ini terjadi peperangan yang tidak imbang antara Eritrea dan Ethiopia, dimana Ethiopia memiliki persenjataan yang lebih banyak dan lebih bagus dibanding milik Eritrea. Dalam peperangan ini, Eritrea mengalami banyak kekalahan. Beberapa pesawat tempur Eritrea hancur, dan banyak wilayah Eritrea yang dibom oleh Ethiopia. Dalam pertempuran yang berlangsung sejakMei 1998 hingga Juni 2000 menyebabkan lebih dari 100.000 orang meninggal dan jutaan dolar dipergunakan untuk pengembangan kegiatan militer dan pembelian senjata perang.

Pertempuran kembali terjadi pada tanggal 11 Mei 2000, ketika pasukan Ethiopia berhasil merebut sebuah kota perbatasan penting yang dianggap sebagai wilayah Eritrea. Pada bulan Mei tersebut Washington mengusulkan diberlakukannya embargo senjata penuh pada kedua Negara dengan harapan mereka akan kekurang senjata. Selain itu, Amerika juga melarang pejabat pemerintah Ethiopia berpergian ke Amerika sebagai salah satu sanksi. Sedangkan Rusia mendesak dilakukannya diplomasi lanjutan.

Alasan utama dari konflik yang terjadi antara Eritrea dan Ethiopia adalah karena Ethiopia tidak lagi memiliki perbatasan Laut Merah dan karena itu berganting terhadap jasa kapal dan perdagangan barang sepanjang Laut Merah, terutama bergantung dengan Ethiopia. Karena itulah kedua Negara memperebut daerah perbatasan, khususnya dataran Badme, yang srategis dan bermuara ke Laut Merah sebagai akses tranportasi dan perdagangan bagi kedua Negara.

3.      Resolusi Konflik

Pada pertengahan tahun 1999, bagi Eritrea maupun Ethiopia telah menerima rencana perdamaian yang ditengahi oleh Organisasi Persatuan Afrika (Organization African Union-OAU). Namun, baik Eritrea maupun Ethiopia tidak setuju dengan implementasi-implementasi tindakan yang dicanangkan, dan menyalahkan satu sama lain atas isu-isu yang ada, kedua Negara tersebut juga tidak berkomitmen sacara serius untuk melaksanakan perdamaian, sehungga upaya perdamaian yang dibuat tersebut sulit dicapai.

Sejak itu situasi antara kedua Negara  semakin menegang. Baik Ethiopia maupun Eritrea dituduh melakukan pelanggaran berat. Amnesti internasional menunjukkan bahwa sejumlah besar warga Eritrea ditahan oleh Ethiopia hanya karena masalah pasir, dan Eritrea pun menggunakan anak-anak sebagai tentara digaris depan pertahanan.

Pada akhir Mei 2000, Ethiopia telah mendeklarasikan berakhirnya perang dengan Eritrea. Ethiopia mengklaim kemenangang, sementara Eritrea mengklaim penarika taktis. Kemudia kedua belah pihak akan bertemu lagi untuk melihat lagi apakah pertemuan akan bisa ditengahi kembali. Solusi konflik yang dihasilkan atas konflik yang terjadi antara Eritrea dan Ethiopia adalah adanya kesepakatan yang dirumuskan pada 18 Juni 2000 atas dorongan dan tekanan dari dnia internasional. Kesepakatan yang muncul hanyalah dihentikannya gencatan senjata namun belum adanya sebuah positive peace diantara kedua Negara tersebut. Oleh karenanya, PBB menempatka 4.200 pasukan tentaranya untuk berjaga diperbatasan yang disengkatakan untuk mempertahankan perdamaian yang labil tersebut.

Gagalnya jalur perundingan yang diupayakan oleh Organisasi Persatuan Afrika (Organization African Union-OAU) kemudian ditindaklanjuti oleh PBB. PBB dan Amerika Serikat ikut serta dalam mengupayakan perundingan diantara Eritra dan Ethiopia. Dalam perundingan tersebut membuahkan hasil Algiers Agreement, yaitu sebuah perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada 12 Desember 2000.

Pernyataan resmi berakhirnya konflik Eritrea dan Ethiopia pun dideklarasikan oleh Sekretasis Jendral PBB, Kofi Annan. Ia menyatakan bahwa sebuah perjanjian damai akan ditandatangani oleh Eritrea dan Ethiopia di Algeria. Perjanjian ini akan memutuskan sengketa perbatasan, pertukaran tawanan dan melepaskan warga sipil yang ditahan. Perdana Menteri Ethiopia, Meles Zenawi, juga menyatakan bahwa Ethiopia akan menerika draf rencana perdamaian yabg disusun oleh Organisasi Persatuan Afrika (Organization African Union-OAU)

Berdasarkan Algries Agreement yang ditandatangani Eritrea dan Ethiopia, kawasan sepanjang 25 KM di Eritrea menjadi daerah yang dikontrol oleh United Mission on Ethiopian and Eritrea (UNMEE), sementara menunggu hasil sidang sengketa perbatasab di Den Haag dan Komisi Perbatasan. Akhirnya, diputuskan bahwa wilayah Badme yang menjadi sumber konflik diserahkan kepada Eritrea. Keputusan tersebut menyebabkan Ethiopia kehilangan garis pantainya di Laut Merah sehingga Ethiopia tidak lagi memiliki akses secara langsung menuju Laut Merah.

Dengan menelaah latar belakang dan sumber pemicu konflik antara Eritrea dan Ethiopia maka kita dapat menyimpulkan bahwa konflik diantara kedua Negara tersebut merupaka interstate war yang dipicu oleh faktor geopolitik dan kapital politik. Dari segi geopolitik, kedua negara memperebutkan daerah perbatasan yang bernilai strategis bagi kedua Negara, terutama wilayah didataran Badme. Dari segi kapital politik, perebutan daerah perbatasan tersebut karena daerah perbatasan yang disengketakan bernilai strategis dan menjadi akses langsung manuju Laut Merah sebagai jalur transportasi dan perdagangan. Akses menuju Laut Merah inilah yang mereka butuhkan karena menunjang kegiatan perdagangan dan perekonomian kedua Negara.

 

 

DAFTAR PUSTAKA.

·         http://www.dehai.org/conflict/analysis/alemsghed1.html

·         http://www.guardian.co.uk/world/2000/jun/01/ethiopia

·         http://www.afrol.com/news/eth005_peacekeepers_authorized.html

·         Wallensteen,Peter.Understanding conflict Resolution:War,Peace and the            Global System.2002.London:Sage Publication.

 

 

No comments:

Post a Comment