Kebangkitan Peradaban Islam di Eropa


Merri Natalia S/SP

Awal mula kebangkitan peradaban Islam dapat ditelusuri dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kegiatan intelektual di Baghdad dan Cordova. Pada masa pemerintahan   Al-Ma'mun (813-833 M), ia mendirikan Bait al-Hikmah di Baghdad yang menjadi pusat kegiatan ilmiah. Pendirian sekolah yang terkenal ini melibatkan sarjana Kristen, Yahudi, dan Arab, mengambil tempat sendiri terutama dengan "pelajaran asing", ilmu pengetahuan dan filosofi Yunani, hasil karya Galen, Hippocrates, Plato, Arsitoteles, dan para komentator, seperti Alexander (Aphrodis), Temistenes, John Philoponos, dan lain-lain. Dalam masa itu,
 banyak karya Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Gerakan penerjemahan itu banyak dibantu oleh orang-orang Kristen, Majusi, dan Shabi'ah. Di antara nama para penerjemah yang terkenal adalah Jurjis (George) ibn Bakhtisyu (771 M), Bakhtisyu Ibnu Jurjis (801 M), Gibril, Yahya ibn Musawaih (777-857 M), dan Hunain ibn  Ishaq (w. 873 M).
Sementara itu di Cordova, aktivitas ilmiah mulai berkembang pesat sejak masa pemerintahan Abdurrahman II (822-852 M). Ia mendirikan universitas, memperluas dan memperindah masjid. Cordova kemudian menjadi sangat maju dan tampil sebagai pusat peradaban yang menyinari Eropa. Pada waktu itu, Eropa masih tenggelam pada keterbelakangan dan kegelapan Abad Pertengahan. Menukil perkataan seorang penulis Amerika yang menggambarkan keadaan Eropa pada masa itu,  "Jika matahari telah terbenam, seluruh kota besar Eropa terlihat gelap gulita. Di sisi lain, Cordova terang benderang disinari lampu-lampu umum. Eropa sangat kumuh, sementara di kota Cordova telah terbangun, Eropa sangat kotor, sementara penduduk Cordova sangat concern dengan kebersihan. Eropa tenggelam dalam lumpur, sementara jalan-jalan Cordova telah mulus. Atap istana-istana Eropa sudah pada bocor, sementara istana-istana Cordova dihiasi dengan perhiasan yang mewah. Para tokoh Eropa tidak bisa menulis namanya sendiri, sementara anak-anak Cordova sudah mulai masuk sekolah.
Sejarah Eropa sendiri pada Abad Pertengahan penuh dengan perjuangan sengit antara kaum intelek dan penguasa gereja. Kaum intelek Eropa berontak lebih dari satu kali, tetapi berulang-ulang pemberontakan mereka berhasil dipatahkan oleh gereja. Penguasa gereja itu mendirikan berbagai mahkamah pemeriksaan (Dewan Inquisisi) untuk menghukum kaum intelek serta orang-orang yang dituduh kafir dan atheis. Operasi pembantaian digerakkan secara besar-besaran agar di Dunia Kristen tidak tertinggal seorang pun yang dapat menjadi akar perlawanan terhadap gereja. Diperkirakan antara tahun 1481 hingga 1901, korban pembantaian Dewan Inquisisi mencapai 300 ribu jiwa termasuk 30 ribu jiwa dibakar hidup-hidup, di antaranya adalah sarjana fisika terkemuka Bruno. Ia dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Selain Bruno, Galileo Galilei juga harus menjalani hukuman sampai mati di penjara karena pendapatnya yang menyatakan bahwa bumi beredar mengitari matahari.
 Eropa dan Sentuhan Peradaban Islam
Melalui interaksinya dengan Dunia Islam, Eropa menyadari keterbelakangan dan ketertinggalan mereka. Interaksi tersebut menyebabkan adanya sentuhan peradaban Islam terhadap mereka. Proses persentuhan itu terjadi melalui konflik-konflik bersenjata, seperti dalam Perang Salib, maupun melalui cara-cara damai seperti di Andalusia.
Bagaimanapun juga dalam bidang peradaban materi, Eropa banyak berhutang budi terhadap Perang Salib. Perang ini telah membawa kaum Kristen ke dalam kontak langsung dengan orang-orang Muslim di tanah Islam itu sendiri. Orang-orang Kristen mendapati bahwa di Levant banyak hal baru bagi mereka dan teknik-teknik yang tidak dikenal di Barat. Oleh karena itu ketika terjadi gencatan senjata, mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk mempelajari teknik-teknik baru di bidang pertanian, industri dan kerajinan, serta melakukan hubungan perdagangan dengan orang-orang Muslim. Tidak sedikit di antara orang-orang Kristen yang ikut Perang Salib adalah para saudagar yang berpendapat bahwa perang ini merupakan kesempatan untuk mengadakan hubungan dagang baru. Lama-kelamaan, Perang Salib menyesuaikan diri dengan usaha politik perdagangan bandar-bandar Italia, terutama Venezia. Selain Venezia, kota-kota perdagangan di Italia Utara, Jerman Selatan, dan Belanda juga mulai berkembang akibat Perang Salib, Dari kota-kota inilah nantinya muncul Renaissance.
Selain melalui Perang Salib, cara lain terjadinya sentuhan peradaban Islam terhadap Eropa adalah melalui cara yang murni damai di Andalusia. Ketika Eropa masih larut dalam keterbelakangannya, Andalusia telah tumbuh dalam kemajuan dan kegemilangan peradaban. Ustadz Muhammad Al-Husaini Rakha mengatakan, "Di antara bukti kebesaran peradaban Spanyol bahwa di Cordova saja terdapat lima puluh rumah sakit, sembilan ratus toilet, delapan ratus sekolah, enam ratus masjid, perpustakaan umum yang memuat enam ratus ribu buku dan tujuh puluh perpustakaan pribadi lainnya."
Orang-orang Eropa aktif berinteraksi dengan orang-orang Arab dan mengambil ilmu dari mereka serta mengambil manfaat dari peradaban mereka. Orang-orang Eropa datang ke Andalusia untuk belajar di universitas-universitas umat Islam. Di antara mereka terdapat para tokoh gereja dan para bangsawan.  Sebagai contoh salah seorang yang sangat luar biasa kepandaiannya pada abad X bernama Gerbert d'Aurillac. Ia menjadi paus Perancis pertama di bawah gelar Sylvester II. Ia menghabiskan tiga tahun di Toledo dengan para ilmuwan Muslim. Ia belajar matematika, astronomi, kimia, dan pelajaran-pelajaran lainnya. Beberapa wali gereja/pendeta tinggi dari Perancis, Inggris, Jerman dan Italia juga lama belajar di Universitas Muslim Spanyol.
Ada kasus menarik yang dialami oleh Frederik II (1211-1250) Kaisar Jerman yang juga menjadi raja Napels dan Scilia. Ia merupakan seorang yang berjiwa besar dan berpengetahuan tinggi. Ia dituduh orang masuk Islam dengan diam-diam karena kaisar itu lebih suka tinggal di Italia Selatan dalam lingkungan alam Timur dari pada di Jerman yang belum maju. Di Napels didirikannya sebuah universitas dengan tujuan memindahkan pengetahuan Arab ke Italia.
Selain Frederik II, raja bangsa Eropa lainnya yang menaruh minat sangat besar terhadap kemajuan ilmu pengetahuan kaum Muslimin adalah George III, raja Inggris. Dengan resmi, ia menulis surat kepada Hisyam III khalifah kaum Muslim di Andalusia agar diizinkan mengirimkan delegasinya untuk belajar di sekolah umat Islam Andalusia. George III berkata dalam suratnya,
Dari George Raja Inggris, Ghal, Swedia, dan Norwegia kepada khalifah kaum Muslim di Andalusia paduka yang mulia Hisyam III.
Dengan hormat,
Paduka yang mulia.
Kami telah mendengar kemajuan yang dicapai oleh sekolah-sekolah ilmu pengetahuan paduka dan sekolah-sekolah industri di negara paduka. Oleh karena itu, kami bermaksud mengirim putra-putra terbaik kami untuk menimba ilmu-ilmu tersebut di negeri paduka yang mulia. Ini sebagai langkah awal meniru paduka yang mulia dalam menyebarkan ilmu pengetahuan di wilayah negara kami yang dikelilingi kebodohan dari empat penjuru.
Kami tunjuk Dubanet, putri saudara kami sebagai kepala delegasi wanita Inggris untuk memetik bunga agar ia dan teman-teman delegasinya bisa sehebat paduka, menjaga akhlak yang mulia dan memperoleh simpati wanita-wanita yang akan mengajari mereka.
Hamba titipkan lewat raja kecil kami ini, hadiah apa adanya untuk paduka yang mulia dan sudilah kiranya paduka menerimanya dengan senang hati.
Tertanda
Hamba paduka yang patuh
George III
Orang-orang Eropa yang belajar di universitas-universitas Andalusia itu melakukan gerakan penerjemahan kitab-kitab para ilmuwan Muslim yang berbahasa Arab ke bahasa Latin dan mulailah buku-buku tersebut diajarkan di perguruan-perguruan tinggi Barat. Ketika itu, bahasa Arab menjadi bahasa terdepan di dunia dalam masalah ilmu pengetahuan. Orang yang ingin mempelajari ilmu pengetahuan harus pandai berbahasa Arab. Bercakap-cakap dengan bahasa tersebut merupakan bukti tingkat wawasan yang tinggi. Philip K. Hitti mengatakan, "Selama berabad-abad, Arab merupakan bahasa pelajaran, kebudayaan dan kemajuan intelektual bagi seluruh dunia yang berperadaban, terkecuali Timur Jauh. Dari abad IX hingga XI, sudah ada hasil karya di berbagai bidang, di antaranya filsafat, medis, sejarah, agama, astronomi dan geografi banyak ditulis dalam bahasa Arab daripada bahasa lainnya."
Pada abad XII diterjemahkan kitab Al-Qanun karya Ibnu Sina mengenai kedokteran, Pada akhir abad XIII diterjemahkan pula kitab Al-Hawiy karya Ar-Razi yang lebih luas dan lebih tebal daripada Al-Qanun. Kedua buku ini hingga abad XVI masih menjadi buku pegangan bagi pengajaran ilmu kedokteran di perguruan-perguruan tinggi Eropa. Buku-buku filsafat bahkan terus berlangsung penerjemahannya lebih banyak daripada itu. Bangsa Barat belum pernah mengenal filsafat-filsafat Yunani kuno kecuali melalui karangan dan terjemahan-terjemahan para ilmuwan Muslim. Tercatat di antara nama-nama para penerjemah Eropa itu adalah Gerard (Cremona) yang menerjemahkan fisika Aristoteles dari teks bahasa Arab, Campanus (Navarra), Abelard (Bath), Albert dan Daniel (Morley) Michel Scot, Hermann The Dalmatian, dan banyak lainnya. Banyak orang Barat yang mengakui bahwa pada Abad Pertengahan, kaum Muslim adalah guru-guru bangsa Eropa selama tidak kurang dari enam ratus tahun. Gustave Lebon mengatakan bahwa terjemahan buku-buku bangsa Arab (Islam), terutama buku-buku keilmuan, hampir menjadi sumber satu-satunya bagi pengajaran di banyak perguruan tinggi Eropa selama lima atau enam abad. Dapat dikatakan bahwa pengaruh bangsa Arab dalam beberapa bidang ilmu, seperti ilmu kedokteran, masih berlanjut hingga sekarang. Buku-buku karangan Ibnu Sina pada akhir abad yang lalu masih diajarkan di Montpellier. Lebon juga mengatakan bahwa hanya buku-buku bangsa Arablah yang dijadikan sandaran oleh Roger Bacon, Leonardo da Vinci, Arnold de Philippe, Raymond Lull, San Thomas, Albertus Magnus, serta Alfonso X dari Castella.

Renaissance dan Kebangkitan Eropa
Persentuhan Eropa dengan peradaan Islam benar-benar memberikan pengaruh luar biasa terhadap kehidupan mereka. Pengaruh terpenting yang diambil Eropa dari pergaulannya dengan umat Islam adalah semangat untuk hidup yang dibentangkan oleh peradaban dan ilmu Islam. Keterpengaruhan Eropa pada peradaan Islam itu bersifat menyeluruh. Hampir tidak ada satu sisi pun dari berbagai sisi kehidupan Eropa yang tidak terpengaruh oleh peradaban Islam. Dalam bukunya Making of Humanity, Robert Briffault menegaskan, "Tidak hanya ilmu yang mendorong Eropa kembali pada kehidupan. Tetapi pengaruh-pengaruh lain yang masuk terutama pengaruh-pengaruh peradaban Islam yang pertama kali menyalakan kebangkitan Eropa untuk hidup."
Pada abad XV muncul gerakan di Eropa yang dinamakan renaissance. Renaissance berasal dari kata renasseimento yang berarti lahir kembali atau rebith sebagai manusia yang serba baru. Renaissance diartikan sebagai kelahiran kembali atau kebangkitan kembali jiwa atau semangat manusia yang selama Abad Pertengahan terbelenggu dan diliputi oleh mental inactivitY. Renaissance disebut juga Abad Kebangkitan karena ia adalah awal kebangkitan manusia Eropa yang ingin bebas dan tidak lagi terbelenggu sebagai kehendak untuk merealisasikan hakikat manusia sendiri. Renaissance merupakan gerakan yang menaruh minat untuk mempelajari dan memahami kembali peradaban dan kebudayaan Yunani dan Romawi kuno.
Renaissance terjadi melalui proses yang sangat panjang dimana pengaruh Islam sangat dominan dan tidak bisa dipungkiri. Kehidupan intelektual di Eropa sebagai warisan pemikiran yang mulai dikembangkan pada abad XII menyebabkan berkembangnya ilmu pengetahuan sejati yang sebagian besar maju berkat penggunaan ilmu pasti dari kalangan filosof-filosof bangsa Arab. Dengan munculnya renaissance, maka perhatian dan penggalian terhadap filsafat Abad Kuno, terutama filsafat Aristoteles, semakin berkembang. Orang Eropa Barat untuk pertama kalinya mengenal tulisan-tulisan Aristoteles melalui terjemahan-terjemahan bahasa Arab, serta melalui ajaran-ajaran dan komentar-komentar yang disusun filosof-filosof Arab yang menafsirkan filsafat Aristoteles yang telah mendapat pengaruh dari paham Neo-Platonisme.
Demikian juga, metode eksperimen mula-mula dikembangkan oleh sarjana-sarjana muslim pada zaman keemasan Islam. Ilmu pengetahuan lainnya mencapai klimaks antara abad IX hingga abad XII. Semangat untuk mencari kebenaran yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani dan hampir padam dengan munculnya kekaisaran Romawi, tetapi kemudian dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. Dalam perjalanan sejarah, maka lewat sarjana-sarjana muslimlah dan bukan lewat perjalanan Latin, dunia modern ini sekarang mendapatkan dasar-dasarnya.
Briffault berkata, "Eropa lama, sebagaimana kita lihat, tidak menampakkan karya-karya ilmiah. Ilmu perbintangan dan ilmu pasti orang Yunani adalah ilmu asing yang dimasukkan dari luar negeri dan dipungut dari orang lain. Dalam waktu lama Yunani tidak mau menyesuaikan diri. Tetapi kemudian secara bertahap menyatu dengan kebudayaan Yunani. Lalu Yunani menyusun aliran-aliran, mengundangkan hukum-hukum dan membuat teori-teori. Tetapi kegigihan metode penelitian, pengumpulan dan pemusatan berbagai maklumat (informasi dan data-data) yang positif, metode rinci dalam ilmu, pengamatan yang teliti dan terus menerus serta penelitian empirik, semuanya sama sekali asing dari kebudayaan Yunani. Hal yang kita sebut ilmu, muncul di Eropa sebagai hasil semangat penelitian dan metode analisis baru dari cara percobaan, pengamatan dan penganalogian serta dikarenakan perkembangan ilmu pasti yang sebelumnya sama sekali tidak dikenal oleh Yunani. Semangat dan metode ilmiah itu dimasukkan oleh Arab ke dalam Dunia Eropa."
 Ilmu pengetahuan berkembang pesat di Eropa sejak masa renaissance. Berbagai riset dan observasi ilmiah dilakukan oleh para ilmuwan Eropa. Dalam kenyataannya, banyak penemuan para ilmuwan itu yang bertentangan dengan doktrin gereja. Oleh karena dianggap sebagai ancaman, pihak penguasa gereja melakukan penekanan dan tindakan kekerasan kepada para ilmuwan dan orang-orang yang dipandang menentang gereja. Tidak sedikit para ilmuwan diburu, diajukan ke pengadilan gereja, dan dijatuhi hukuman mati. Di antara mereka adalah Copernicus, Galileo Galilei, Bruno, dan sebagainya. Gereja berusaha membendung arus renaissance yang semakin deras dan mempertahankan otoritasnya. Akan tetapi, usaha pihak gereja itu dalam perjalanannya menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Masyarakat Eropa yang telah jenuh hidup di bawah pengaruh kekuasaan gereja serta ingin bebas akhirnya melancarkan reformasi-reformasi agama untuk menentang kekuasaan Paus. Gerakan-gerakan reformasi tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari adanya pengaruh Islam. Bahkan, pengaruh Islam itu sudah terjadi sejak masa awal persentuhan Eropa dengan peradaban Islam. Ahmad Amin mengatakan, Muncullah pertentangan di kalangan orang-orang Nasrani karena pengaruh Islam. Di antaranya pada abad kedelapan Masehi atau abad-abad kedua dan ketiga Hijriah lahirlah di Septimania gerakan yang menyerukan pengingkaran pengakuan dosa di depan pendeta karena mereka tak mempunyai hak untuk hidup. Dan manusia hanya untuk tunduk kepada Allah dalam meminta pengampunan dosa-dosanya. Islam tidak mempunyai pendeta dan kaum paderi, maka di dalam Islam tidak dikenal pengakuan dosa. Demikian pula terdapat gerakan yang menyerukan penghancuran gambar-gambar serta patung-patung keagamaan (iconoclast). Pada abad kedelapan dan kesembilan Masehi atau abad ketiga dan keempat Hijriah muncul mazhab Nasrani yang menolak pengkudusan gambar-gambar dan patung-patung. Pada tahun 726 M, Kaisar Leo III dari Romawi mengeluarkan perintah yang melarang pengkudusan gambar-gambar dan patung-patung dan perintah lain pada tahun    730 M yang menganggap perbuatan tersebut sebagai paganisme. Demikian pula Konstantin X dan Leo IV pada saat Paus Gregorius II dan III dan Germanius, Uskup Konstantinopel serta kaisar wanita Irene menyokong penyembahan gambar-gambar, sehingga terjadilah perlawanan hebat antara kedua golongan itu.
Banyak peneliti menegaskan bahwa Martin Luther dalam gerakan reformasinya terpengaruh oleh pandangan para filosof Arab dan ulama Muslim mengenai agama, akidah, dan wahyu. Perguruan-perguruan tinggi Eropa pada masa Martin Luther selalu berpegang pada buku-buku para filosof Muslim yang jauh sebelumnya telah diterjemahkan ke bahasa Latin. Begitu pula pembangkangan-pembangkangan terhadap kekuasaan-kekuasaan feodal yang zhalim yang menjadikan tuan tanah sebagai badan legislatif, badan eksekutif, dan badan yudikatif sekaligus sehingga melahirkan Revolusi Perancis yang menuntut pemisahannya, juga karena terpengaruh dengan Islam. Orang-orang Eropa datang ke negeri Syiria dalam Perang Salib. Mereka melihat bahwa di Kekhilafahan Islam, rakyat ikut mengawasi penguasanya. Penguasa hanya tunduk pada pengawasan rakyat. Melihat hal tersebut, raja-raja di Eropa membandingkan antara kebebasan raja-raja Arab dan kaum Muslimin dengan ketundukan mereka sendiri terhadap kekuasaan Roma dan kekhawatiran mereka akan nasib buruknya bila tidak lagi tunduk kepada raja Roma yang agamis.
Setelah orang-orang Eropa itu kembali ke negerinya, mereka mengadakan pemberontakan hingga memperoleh kemerdekaan. Rakyat mereka pun kemudian memberontak kepada mereka sehingga memperoleh pula kemerdekaan. Setelah itu, muncullah Revolusi Perancis dan prinsip-prinsip yang diproklamasikan tidak lebih banyak daripada yang diproklamasikan dalam peradaban kita pada dua belas abad sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA
1.      William Montgomery watt, The influence of islam on medleval europe (Endinburgh: Edinburgh University Press, 1972)
2.      Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, (Jakarta : Rajawali Pers,2009)
3.      Philip K.Hitti, History of the Arabs, (Jakarta: PT.Serambi Ilmu Pustaka,2005)
4.      William Montgomery watt, The influence of islam on medleval europe (Endinburgh: Edinburgh University Press, 1972)
5.      Muslim Spain and European Culture, dalam http:// www.muslimheritage.com

No comments:

Post a Comment