REAKSI YANG TIMBUL SEJAK BERDIRINYA BUDI UTOMO


Rizki Aiditya/SI IV/B

1.       Latar Belakang

Kebangkitan nasional adalah masa dimana bangkitnya rasa dan semangat persatuan, kesatuan dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan republik Indonesia. Bangkitnya nasionalisme di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari bangkitnya nasionalisme di Asia yang ditandai adanya kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905.
Sebab-sebab bangkitnya nasionalisme di Indonesia dan tumbuhnya pergerakan nasional Indonesia itu, tidak hanya dipengaruhi adanya pengaruh dari luar Indonesia saja. Namun reaksi pada masa sebelum tahun 1905 yang pernah dicetuskan dengan adanya perlawanan senjata di berbagai daerah, seperti perlawanan Pattimura, Diponegoro, Si Singamangaraja serta
 Hassanudin. Hal ini telah membuktikan nyata adanya semangat nasionalisme telah lam bergejolak pada adda bangsa Indonesia sebagai reaksi terhadap penderitaan lahir dan batin akibat kolonialisme.
Penderitaan lahir batin yang tak tertahankan lagi ditambah pengaruh kejadian-kejadian didalam maupun diluar tanah air yang merupakan dorongan yang mempercepat lahirnya pergerakan nasional dan titik berangkat lahirnya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 sebagai organisasi pelajar guna memajukan kepentingan-kepentingan priyayi rendah, dimana jangkauan geraknya terbatas pada penduduk Pulau Jawa dan Madura. (M.C.Ricklefs : 1998 : 249)
A.    Lahirnya Organisasi Budi Utomo di Indonesia

Budi Utomo merupakan sebuah organisasi pelajar yang didirikan oleh Dr.Sutomo dan para mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Arsten) yaitu Goenawan, Dr.Cipto Mangoenkeosoemo dan Soeraji serta R.T Ario Tirtokusumo, yang didirikan di Jakarta pada 20 Mei 1908. Organisasi ini bersifat sosial, ekonomi, kebudayaan serta tidak bersifat politik.
Berdirinya Budi Utomo tak bisa lepas dari peran Dr. Wahidin Sudirohusodo. Walaupun bukan pendiri Budi Utomo, namun beliaulah yang telah menginspirasi Dr.Sutomo dan kawan-kawan untuk mendirikan organisasi pergerakan nasional ini. Dr.Wahidin Sudirohusodo sendiri adalah seorang alumni STOVIA yang sering berkeliling di kota-kota besar di Pulau Jawa untuk mengkampanyekan gagasannya mengenai bantuan dana bagi pelajar-pelajar pribumi berprestasi yang tidak mampu melanjutkan sekolah. Gagasan ini akhirnya beliau kemukakan kepada pelajar-pelajar STOVIA di Jakarta, dan ternyata mereka menyambut baik gagasan mengenai organisasi tersebut dan dari sinilah awal perkembangan menuju keharmonisan bagi orang Jawa dan Madura.

B.     Tujuan Berdirinya Organisasi Budi Utomo di Indonesia

Budi utomo sebagai organisasi pelajar yang baru muncul ini, secara samar-samar merumuskan tujuannya untuk kemajuan Hindia, dimana yang jangkauan gerak semulanya hanya terbatas pada Pulau Jawa dan Madura yang kemudian diperluas untuk penduduk Hindia seluruhnya dengan tidak memperhatikan perbedaan keturunan, jenis kelamin dan agama. Namun dalam perkembangannya terdapat perdebatan mengenai tujuan Budi Utomo, dimana Dr.Cipto Mangunkusumo yang bercorak politik dan radikal, Dr.Radjiman Wedyodiningrat yang cenderung kurang memperhatikan keduniawian serta Tirtokusumo (Bupati Karanganyar) yang lebih banyak memperhatikan reaksi dari pemerintah kolonial dari pada memperhatikan reaksi dari penduduk pribumi.
Setelah perdebatan yang panjang, maka diputuskan bahwa jangkauan gerak Budi Utomo hanya terbatas pada penduduk Jawa dan Madura dan tidak akan melibatkan diri dalam kegiatan politik. Bidang kegiatan yang dipilihnya pendidikan dan budaya. Pengetahuan bahasa Belanda mendapat prioritas utama, karena tanpa bahasa itu seseorang tidak dapat mengharapakan kedudukan yang layak dalam jenjang kepegawaian kolonial. Dengan demikian Budi Utomo cenderung untuk memejukan pendidikan bagi golongan priyayi dari pada bagi penduduk pribumi pada umumnya. Slogan Budi Utomo berubah dari perjuangan untuk mempertahnkan penghidupan menjadi kemajuan secara serasi. Hal ini menunjukkan pengaruh golongan tua yang moderat dan golongan priyayi yang lebih mengutamakan jabatannya. (Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto : 1984 : 178)
C.      Reaksi Belanda terhadap berdirinya Organisasi Budi Utomo di Indonesia

Kehadiran Budi Utomo di Indonesia mengundang reaksi yang kurang enak dari orang Belanda yang tidak senang dengan kehadiran "si Molek " dan mengatakan bahwa orang Jawa makin banyak "cincong". (Prof.Dr.Suhartono : 2001 : 30)
Lain halnya menurut M.C.Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern yang menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal van Heutsz yang menyambut baik Budi Utomo, sebagai tanda keberhasilan politik ethis yang menghendakaki adanya suatu organisasi pribumi yang progresif-moderat yang dikendalikan oleh para pejabat yang maju. Namun pejabat –pejabat Belanda lainnya mencurigai Budi Utomo yang dianggap sebagai gangguan yang potensial.
D.      Perkembangan Organisasi Budi Utomo di Indonesia

Pancaran eksistensi Budi Utomo di Indonesia dibuktikan dengan diadakannya konggresnya yang pertama di Yogyakarta pada tanggal 3-5 Oktober 1908. Dalam waktu singkat Budi Utomo mengalami perubahan orientasi. Kalau semula orientasinya terbatas pada kalangan priyayi maka menurut edaran yang dimuat dalam Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 23 Juli 1908, Budi Utomo cabang Jakarta menekankan cara baru bagaimana memperbaiki kehidupan rakyat.
Di dalam konggres tersebut menghasilkan beberapa keputusan,sebagai berikut :
1.      Tidak mengadakan kegiatan politik
2.      Bidang utama adalah pendidikan dan kebudayaan
3.      Terbatas wilayah Jawa dan Madura
4.      Mengangkat Raden Adipati Tirtokusumo (Bupati Karanganyar) sebagai ketua Budi Utomo.
Semenjak dipimpin oleh Raden Adipati Tirtokoesoemo, banyak anggota baru BU yang bergabung dari kalangan bangsawan dan pejabat kolonial, sehingga banyak anggota muda yang memilih untuk menyingkir. Dibawah kepengurusan generasi tua, kegiatan Budi Utomo yang awalnya terpusat di bidang pendidikan, sosial, dan budaya, akhirnya mulai bergeser di bidang politik. Strategi perjuangan BU juga ikut berubah dari yang awalnya sangat menonjolkan sifat protonasionalisme menjadi lebih kooperatif dengan pemerintah kolonial belanda.
Perkembangan selanjutnya merupakan periode yang paling lamban bagi Budi Utomo. Aktivitasnya hanya terbatas pada penerbitan majalah bulanan Goeroe Desa dan beberapa petisi, yang di buatnya kepada pemerintah berhubung dengan usaha meninggikan mutu sekolah menengah pertama. Tatkala kepemimpinan pengurus pusat makin melemah, maka cabang-cabang BU melakukan aktivitas sendiri yang tidak banyak hasilnya. Pemerintah yang mengawasi perkembangan BU sejak berdirinya, dengan penuh perhatian dan harapan akhirnya menarik kesimpulan bahwa pengaruh BU terhadap penduduk pribumi tidak begitu besar.
Pada tahun 1912 terjadi pergantian pemimpin dari Tirtokusumo ke tangan Pangeran Noto Dirodjo yang berusaha dengan sepenuh tenaga mengejar ketinggalan. Dengan ketua yang baru itu,perkembangan Budi Utomo tidak begitu pesat lagi. Hasil-hasil yang pertama di capainya yaitu perbaikan pengajaran di daerah kesultanan dan kasunanan. Budi utomo mendirikan organisasi darmoworo. Tetapi hasilnya tidak begitu pesat. Dalam masa kepemimpinannya terdapat dua organisasi nasional lainnya yaitu syarekat Islam dan Indische Partij. Kedua partai tersebut merupakan unsur-unsur yang tidak puas terhadap Budi Utomo.
Kekuatan Budi Utomo kembali bangkit sejak mulai pecahnya Perang Dunia I pada tahun 1914. Berdasarkan adanya kemungkinan intervemsi kekuasaan asing maka Budi Utomo melancarkan isu pentingnya pertahanan sendiri dan yang pertama mengajukam gagasan wajib militer pribumi. Diskusi yang terjadi berturut-turut dalam pertemuan-pertemuan setempat justru menggeser perhatian rakyat dari soal wajib militer kearah soal perwakilan rakyat, sehingga dikirimlah ebuah misi kenegri Belanda oleh komite" Indie Weerbaar " untuk pertahanan India dalam tahun 1916-1917 yang merupakan pertanda masa yang amat berhasil bagi Budi Utomo.
Dwidjosewoyo sebagai wakil Budi Utomo dalam misi tersebut berhasil mengadakan pendekatan dengan pemimpin-pemimpin Belanda terkemuka keterangan menteri urusan jajahan tentang pembentukan Volksraad (Dewan Rakyat) yang waktu itu dibicarakan didalam dewan perwakilan rakyat Belanda, dimana ia menekankan badan itu akan dijadikan Dewan Perwakilan Rakyat yang nantinya akan menggembirakan anggota misi Budi Utomo. Undang-undang wajib militer gagal sebaliknya undang-undang pembentukan Volksraad disahkan pada bulan November 1914 .
Di dalam sidang Volksraad wakil-wakil Budi Utomo masih tetap berhati-hati dalam melancarkan kritik terhadap kebijaksanaan politik pemerintah. Sebaliknua para anggota pribumi yang lebih radikal dan juga anggota sosialis Belanda di dalam Volksraad melaukan kritik terhadap pemerintah dengan memakai kesempatan adanya krisis bulan November 1918 di negeri Belanda mereka menuntut perubahan bagi Volksraad dan kebijakan politik negeri Belanda umumnya sampai akhirnya dibentuk sebuah komisi pada tahun 1919.
E.     Penyebab ketidakhadiran Organisasi Budi Utomo dalam Lapangan Politik Indonesia

Mengapa Budi Utomo tidak langsung terjun ke lapangan politik seperti organisasi yang kemudian lahir? Rupanya Budi Utomo menempuh cara dan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi pada waktu itu sehingga wajar jika Budi Utomo berorientasi pada kultural. Tindakan yang tepat ini berarti Budi Utomo tanggap terhadap politik kolonial yang sedang berlaku. Contohnya ialah bahwa pemerintah sudah  memasang rambu Regeerings Reglement (RR) pasal 111 yang bertujuan membatasi hak untuk rapat dan berbicara, dengan perkataan lain adanya pembatasan hak berpolitik.
Selama RR masih berlaku maka kegiatan Budi Utomo hanya terbatas pada bidang sosio-kultural. Ini merupakan bukti bahwa Budi Utomo selalu menyesuaikan diri dengan keadaan sehingga gerakan kultural lebih mewarnai kegiatan Budi Utomo pada fase awal. Kebudayaan sendiri dijunjung tinggi guna menghargai harkat diri agar mampu menghadapi kultur asing yang masuk. (Prof.Dr. Suhartono : 2001 : 32)
F.        Penyebab berakhirnya Organisasi Budi Utomo di Indonesia

Pada dekade ketiga abad XX kondisi-kondisi sosio-politik makin matang dan Budi Utomo mulai mencari orientasi politik yang mantap dan mencari massa yang lebih luas. Kebijakan politik yang dilakukan oleh pemerintah kolonial, khususnya tekanan terhadap pergerakan nasional maka Budi Utomo mulai kehilangan wibawa, sehingga terjadilah perpisahan kelompok moderat dan radikal dalam Budi Utomo. Selain itu juga, karena Budi Utomo tidak pernah mendapat dukungan massa, kedudukannya secara politik kurang begitu penting, sehingga pada tahun 1935 organisasi ini resmi dibubarkan. (M.C.Ricklefs : 1998 : 251)
Tujuan organisasi Budi Utomo tidak maksimal karena banyak hal, yaitu :
1.      Adanya kesulitan finansial.
2.      Adanya sikap Raden Adipati Tirtokusumo yang lebih memperhatikan kepentingan pemerintah kolonial dari pada rakyat.
3.      Lebih memajukan pendidikan kaum priyayi dibanding rakyat jelata.
4.      Keluarnya anggota dari gologan mahasiswa.
5.      Bahasa Belanda lebih menjadi prioritas utama dibandingkan dengan Bahasa Indonesia.
6.      Priyayi yang lebih mementingkan jabatan lebih kuat dibandingkan jiwa nasionalisnya.
Notes:
[1] Kartodirdjo Sartono, dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta : Depdikbud. hal 181
[2]  Kartodirdjo Sartono, dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta : Depdikbud. hal 182
[3] Kartodirdjo Sartono, dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta : Depdikbud. hal 185
[4] Gonda dalam Akira Nagazumi, 1989: 58).
Daftar Pustaka
Suhartono. 2001. Sejarah pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908 - 1945. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ricklefs. 1998. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 1984. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta : Balai Pustaka.

PNI (Partai Nasional Indonesia)


Rezky Aditiya [B]/ SI IV
Politik Van de Venter yang diterapkan saat itu menyebabkan lahirnya golongan-golongan terpelajar, kaum intelektual pun mulai merasakan bahwa kolonialisme merupakan sebuah ajang ekploitasi ekonomi, politik, dan sosial budaya. Sehingga mereka pun akhirnya merubah cara perjuangan, yang mulanya perjuangan  tersebut dilakukan dengan otot atau senjata menjadi perjuangan yang dilakukan dengan menggunakan otak atau akal. Akibat dari perubahan cara perjuangan tersebut muncullah organisasi pergerakan nasional. Salah satu organisasi pergerakan nasional ialah PNI (Partai Nasional Indonesia).
Pada tahun 1925, Ir. Soekarno mendirikan Algemeene Studieclub (kelompok belajar umum) dikalangan mahasiswa. Kelompok belajar yang didirikan Ir. Soekarno ini bersifat politik, dengan kemerdekaan Indonesia sebagai tujuan utamanya.[1] Akhirnya pada 4 Juli 1927, PNI pun didirikan di Bandung. Usaha pendirian PNI ini digagas oleh  Dr. Cipto Mangoenkoesoemo, Ir. Soekarno, Mr. Iskaq Cokroadisoerjo, Mr. Sartono, Mr. Boediarto, Mr. Soenarjo, Dr. Samsi, dan Ir. Anwari. PNI yang lahir sebagai tanda kesadaran kesadaran rakyat Indonesia dan sebagai kelanjutan pergerakan kebangsaan Indonesia yang sudah dirintis oleh organisasi sosial politik sebelumnya. PNI pun didirikan dan dipimpin oleh kaum muda yang terpelajar dan telah mendapatkan pendidikan politik melalui kursus-kursus politik maupun buku-buku pergerakan. Sebagian mereka adalah mantan anggota Perhimpunan Indonesia (PI) yang belajar di Negeri Belanda.[2]
 Dan dalam kongres pertama di Surabaya tanggal 27-30 Mei 1928, diputuskan untuk mengganti kata "perserikatan" menjadi kata "partai". Perkumpulan ini selanjutnya akan disebut "Partai Nasional Indonesia" atau dikenal sebagai PNI. Pergantian nama ini berarti meningkatnya PNI menjadi suatu organisasi yang lebih tersusun, menjadi suatu partai politik yang harus mempunyai program politik, ekonomi, dan sosial yang tertentu dan berhati-hati dalam penerimaan anggota. Asas dan tujuan partai ini sangat jelas yaitu perjuangannya yang bersifat antikolonialisme, nonkooperasi, dan organisasi massa. Maka dalam hubungan itu membangkitkan kesadaran nasional adalah salah satu tugas PNI, yaitu menyadarkan rakyat akan besarnya penderitaan dalam menghadapi eksploitasi ekonomi, sosial, dan politiknya yang dijalankan oleh penguasa kolonial. Kemudian tujuan ini hendak dicapai dengan azas "selfhelp" dengan menimbulkan suatu pergerakan rakyat yang sadar, yang percaya atas tenaga dan kekuatan sendiri.[3]
Untuk mencapai tujuan tersebut, PNI telah menetapkan program kerja
sebagai berikut.
1.    Usaha politik, yakni memperkuat rasa kebangsaan (nasionalisme) dan kesadaran
atas persatuan bangsa Indonesia, memajukan pengetahuan sejarah
kebangsaan, mempererat kerja sama dengan bangsa-bangsa Asia, dan menumpas
segala rintangan bagi kemerdekaan diri dan kehidupan politik.
2.    Usaha ekonomi, yakni memajukan perdagangan pribumi, kerajinan, serta
mendirikan bank-bank dan koperasi.
3.    Usaha sosial, yaitu memajukan pengajaran yang bersifat nasional, meningkatkan
derajat kaum wanita, memerangi pengangguran, memajukan
transmigrasi, memajukan kesehatan rakyat, antara lain dengan mendirikan
poliklinik.
Dalam menyebarluaskan gagasannya, PNI melakukan berbagai propaganda baik melalui surat kabar seperti Banten Priyangan di Bandung dan Persatuan Indonesia di Batavia, maupun lewat para pemimpin khususnya Ir. Soekarno. Pemerintah Hindia Belanda semakin hari bertambah cemas melihat pengaruh yang diperoleh PNI dimana-mana, mulai menunjukkan tangan besi. Soekarno juga menulis berbagai tulisan yang menyerang Belanda, seperti Soeloeh Indonesia Moeda, Persatoean Indonesia dan Fikiran Ra'jat. Dari media tulis menulis inilah Soekarno mencurahkan segala ide tentang nasionalisme, anti-imperialisme, dan anti-kolonialisme hingga sosialisme. Tetapi dari ketiga surat kabar tersebut Fikiran Ra'jat yang ditujukan untuk kaum Marhaen yang paham membaca dan menulis.[4] Tujuan Seokarno menulis di media tersebut adalah untuk memompa semagat nasionalisme dikalangan rakyat untuk menentang imperialisme dan kolonialisme di Tanah air. Kaum Marhaen di Fikiran Ra'jat dicirikan sebagai masyarakat miskin, buruh terbodohkan dan terjajah, mereka adalah masyarakat yang harus bangkit dari keterpurukannya untuk lahir kembali sebagai manusia yang merdeka di tanahnya sendiri.
Usaha propaganda yang lainnya dilakukan dengan membentuk serikat pekerja supir "Persatuan Motoris Indonesia", Serikat Anak Kapal Indonesia", Persatuan Jongos Indonesia", Partai Sarekat Islam, Budi Utomo, Study Club Surabaya, serta organisasi-organisasi kedaerahan dan kristen yang penting bergabung bersama PNI dalam suatu wadah yang dikenal sebagai PPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). Popularitas PNI berkembang pesat karena pengaruh Soekarno dengan pidato-pidatonya yang sangat menarik perhatian rakyat. Kewibawaan dan gaya bahasa sebagai alat bagaimana pidato-pidato Soekarno sangat ditunggu-tunggu disetiap pertemuan rapat PNI. Pada akhir tahun 1928 sudah ada 2.787 orang anggotanya, sampai Mei 1929 anggotanya telah mencapai 3.860 orang (sebagian besar di Bandung, Batavia, dan Surabaya). Dan pada akhir tahun 1929, jumlah anggota partai ini mencapai 10.000 orang.[5] Soekarno bertekad untuk mengejar Indonesia Merdeka di bawah panji-panji Merah Putih Kepala Banteng (Merah-keberanian, Putih-kebersihan hati, Kepala Banteng-percaya kepada kekuatan dan tenaga sendiri). Gagasan nasionalisme seluruh Indonesia sebagai ukuran umum kini muncul semakin kuat. Maka para pemimpin terpelajar kelompok-kelompok suku bangsa dan kedaerahan menerima konsep itu antara lain sebagai alat untuk mempertahankan diri dari dominasi suku Jawa yang potensial, sedangkan kelompok-kelompok Kristen memandang konsep tersebut antara lain sebagai alat untuk mempertahankan diri dari dominasi Islam. Namun perbedaan-perbedaan, tujuan, ideologi, dan kepribadian yang nyata masih tetap memecah belah gerakan-gerakan tersebut. PSI yang berganti nama menjadi PSII keluar dari PPKI, karena kelompok-kelompok menolak untuk mengakui peranan utama Islam yang oleh para pemimpin Islam perkotaan.
Bung Karno dan Gatot Mangkoepraja, setelah selesai menghadiri kongres PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangasaan Indonesa) yang kedua di Solo pada tanggal 29 Desember 1929 ditangkap pemerintah Hindia Belanda. Kemudian mereka dibawa ke Bandung dengan penjagaan yang ketat kemudian ditempatkan di penjara Sukamiskin. Begitu pula dengan beberapa pimpinan teras PNI lainnya. Setelah itu mereka diadili di pengadilan landrad di Bandung, yang menghasilkan suatu pidato pembelaan soekarno yang sangat terkenal yaitu "Indonesia Menggugat".[6] Tuduhan yang dikenakan pemerintah Hindia Belanda adalah pasal karet, haatzai artikelen. Mereka dituduh menggangu keamanan dalam negeri dan hendak melakukkan pemberontakan sehingga melanggar artikel 10 buku hukum pidana dan artikel 163 bis ter buku hukum pidana. Dan juga artikel 171 undang-undang hukum pidana tentang menyiarkan kabar dusta untuk menganggu ketertiban umum. Sesudah Bung Karno ditahan, dan dijatuhi hukuman selama 4 tahun kepemimpinan PNI diambil alih oleh Mr. Sartono.[7] Setelah melalui kongres pada bulan Februari 1931 di Jakarta, Pengurus Besar PNI mengeluarkan maklumat tentang pembubaran PNI dengan alasan untuk menjaga anggota-anggota PNI lainnya agar tidak mendapatkan kesulitan karena dituduh sebagai anggota partai terlarang. Pengurus besar PNI atas anjuran Mr. Sartono, berkaitan dengan keputusan pengadilan negeri Bandung tersebut, mengusulkan pembubaran PNI dan sebagai gantinya mereka mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Partai ini bertujuan Indonesia Merdeka dan berdiri atas dasar nasionalisme dan "self-help" atau yang lazimnya dikenal sebagai sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Ketika Bung Karno keluar dari penjara Sukamiskin pada pertengahan 1932, ia mendapati PNI (lama) telah terpecah menjadi dua yaitu PNI (Baru) dan Partindo. Namun akhirnya Bung Karno memilih Partindo sebagai basis perjuangannya. Walaupun begitu ia tidak puas melihat perkembangan partai itu, apalagi ia mendengar adanya desas-desus bahwa PNI baru juga bermaksud menggunakan nama lama itu. Ia mengusulkan kepada Badan Pengurus partindo pada bulan Maret 1933 agar merubah namanya menjadi Partai Nasional Indonesia. Tujuannya adalah untuk memperluas jumlah cabang Partindo, dalam persaingan dengan PNI baru. Pada waktu itu, kepemimpinan partai nasionalis terpecah dua, yaitu Soekarno/Sartono bersaing dengan Hatta/Syahrir. Bagi Soekarno pribadi, hanya dia yang berhak menggunakan nama asli itu, sebab itu adalah partainya.
Walaupun ia gagal mengubah nama partai itu, tetapi ideologi Marhaenisme yang merupakan rumusan original yang diperkenalkan Soekarno. Secara resmi diterima sebagai dasar-dasar politik partai dalam kongres bulan Juli 1933. Ideologi itu tidak menunjukkan adanya perubahan penting dalam pemikiran politik Soekarno, hanya sekadar menghaluskan ide-idenya tentang politik, sosial dan ekonomi yang dikemukakan sejak tahun 1927 sejalan dengan arus utama gerakan nasionalis sekuler. Namun demikian kejadian tersebut ditentang oleh beberapa tokoh PNI lainnya seperti Soedjadi Moerad, Kantaatmaka, Bondan, Soekarto dan Teguh. Mereka menolak bergabung dengan Partindo dan membentuk dalam daerahnya masing-masing "Golongan Merdeka".[8]
Kesimpulan
PNI adalah entitas yang dinamis karena pertentangan berbagai unsur di dalamnya. PNI adalah Jawasentris dan sekuler, tetapi mencakup unsur non-Jawa dan Islam. Kelompok birokrat priayi, lapisan sosial atas berpendidikan Barat, dan Berbeda dengan agama yang disatukan oleh konsep "umat" atau komunisme yang mewadahi perjuangan kelas proletar, nasionalisme memiliki kontradiksi karena penyatuan rakyat dilakukan bukan atas nama mereka, tetapi atas nama bangsa dan negara dengan sebuah identitas primordial.
Lalu partai nasionalis sering mencari figur karismatis untuk menyatukan pengikutnya. Pendukungnya yang memiliki beragam identitas primordial dan kelas sosial menemukan wadah kulturalnya, yakni budaya feodal yang masih berakar kuat. Sehingga kita dapat melihat bagaimana Soekarno menjadi jantung dari pergerakan PNI. PNI langsung kehilangan pamornya ketika Soekarno ditangkap . Pada era 1950an, PNI melakukan propaganda dengan menyebut Soekarno sebagai pemimpin PNI, padahal itu terjadi pada era 1920-an. Kedekatan PNI dengan soekarno membuat PNI mendapatkan dukungan yang besar dari rakyat Indonesia . PNI berhasil memenangkan pemilu pertama dan juga mendapatkan posisi strategis dipemerintahan. Itu semua tidak lepas dari nama besar Soekarno sebagai pendiri PNI. Sehingga PNI dapat di identikan dengan Soekarno.
Kutipan
1.    Poesponegoro,Mawarti Djoened.2012. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta.Balai Pustaka, hal: 210
2.    Dimjati, M. 1951. Sedjarah Perdjuangan Indonesia. Djakarta: Widjaja, hal: 83
3.    Poesponegoro,Mawarti Djoened.2012. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta.Balai Pustaka,hal: 211
4.    Lubis, L.M. 1987. Sejarah Pergerakan dan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta : Dian Rakyat, hal: 80
5.    Poesponegoro,Mawarti Djoened.2012. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta.Balai Pustaka, hal: 213
6.    Soekarno. 1983. Indonesia MenggugatJakarta: Tjita Agung, hal: 158
7.    Poesponegoro,Mawarti Djoened.2012. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta.Balai Pustaka, hal: 216
8.    Utomo C. Budi.1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari kebangkitan hingga kemerdekaan.Semarang: Ikip Semarang Press, hal: 160
Daftar Pustaka
1.    Poesponegoro,Mawarti Djoened.2012. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta.Balai Pustaka
2.    Lubis, L.M.1987. Sejarah Pergerakan dan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta : Dian Rakyat
3.    Utomo C. Budi.1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari kebangkitan hingga kemerdekaan.Semarang: Ikip Semarang Press.
4.    Soekarno. 1983. Indonesia MenggugatJakarta: Tjita Agung
5.    Dimjati, M. 1951. Sedjarah Perdjuangan Indonesia. Djakarta: Widjaja.