KEBIJAKAN PEMERINTAHAN JEPANG DI INDONESIA


andri/SI IV/A
a.       Usaha mempertahankan kekuasaan
Perang Pasifik semakin hari semakin melemahkan tentara Jepang. Keadaan itu membuat sikap Jepang terhadap negeri-negeri yang didudukinya. Jepang sangat membutuhkan bantuan rakyat setempat sepenuhnya guna menahan ofensif Serikat yang semakin dahsyat. Maka berdasarkan keputusan sidang parlemen ke-82 di Tokyo, dikemukakan oleh Perdana Mentri Tojo didalam pidatonya di lapangan Ikada (di belakang stasiun Gambir), Jakarta pada tanggal 7 Juli 1943 tentang adanya kesempatan untuk "turut mengambil bagian dalam pemerintahan negara".
 Menyusunlah pada tanggal 1 Agustus 1943 pengumuman Saiko Syikikan (Panglima Tertinggi Tentara Keenambelas) tentang garis-garis besar rencana pengambilan bagian dalam pemerintahan negara yang di janji kan itu, yakni meliputi badan-badan pertimbangan di daerah dan di pusat serta jabatan-jabatan tinggi untuk orang- orang Indonesia dan juga penunjukan orang-orang Indonesia sebagai penasehat Pemerintahan Militer. Pengakatan orang-orang Indonesia untuk kedudukan tinggi tersebut mulai dengan pengangkatan Prof. Husein Djajadiningrat sebagai Kepala Departemen Urusan Agama pada tanggal 1 Oktober 1943. Kemudian tanggal 10 November 1943 Mas Sutarjo Karthohadikusumo dan R.M.T.A Surio masing-masing sebagai Jakarta dan Bojonego Syucokan.
Pengangkatan 7 penasehat bangsa Indonesia pada Pemerintahan Militer dilakukan pada pertengahan bulan September 1943. Mereka di sebut Sanyo yang dipilih untuk 6 macam bu (departemen) : Ir. Soekarno untuk Somubu (Departemen Urusan Umum): Mr. Suwandi dan dr. Abdul Rasjid untuk Naimubu (Departemen Urusan Dalam Negeri); Prof. Dr.Mr.Supomo untuk syihobu (Departemen Kehakiman); Mochtar bin Prabu Mangkunegoro untuk Kotsubu (Departemen Lalu Lintas); Mr. Muh. Yamin untuk Sendenbu (Departemen Propoganda) dan Prawoto Sumodiligo untuk Sangyobu (Departemen Ekonomi) [1]
Mengenai pembentukan Badan  Pertimbangan Pusat (Cuo Sangi In), dimuat dalam Osamu Seirei. No 36/1943, yang di kembangkan oleh Saiko Syikikan. Sedangkan mengenai Badan Pertimbangan di Keresidenan dan Kotapraja Istimewa (Syu danTokubetsu Syi Sang Kai). Dimuat dalam Osamu Seirei No.37/1943 untuk kemudian dijelaskan dalam Osamu Kanrai No.8/1943. Osamu Kanrai, tersebut merupakan peraturan yang di keluarkan oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan Militer yang dijabat oleh Kepala Staf Tentara) untuk pelaksanaan Osamu Seirei. Cuo Sangi In atau Badan Pertimbangan Pusat adalah suatu Badan yang tugasnya mengajukan usul kepada Pemerintah serta menjawab peertanyaan Pemerintah mengenai soal-soal politik dan mementukan tindakan yang akan dilakukan oleh Balatentara. Dua puluh tiga orang anggotanya di angkatoleh Saiko Syikika. Delapan belas merupakan utusan dari tiap keresidenan dan kotapraja Jakarta Raya serta dua orang utusan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta. Dengan demikian jumlah seluruh anggotanya adalah empat puluh tiga orang.
Sidang Cou Sangi In yang pertama berlangsung pada tanggal 16 sampai 20 Oktober 1943, di mana di bentuk empat bunkakai (bagian), yang telah menjawab pertanyaan pertanyaan Saiko Syikikan tentang cara-cara apa yang sebaiknya dilakukan guna mencapai kemenangan di dalam perang. Karena Gunseikan dan pembesar-pembesar tentara Jepang lainnya turut menghadiri serta mengawasi jalannya sidang, maka jawaban sidang tak lepas dari kehendak pemerintah, yakni supaya seluruh potensi kerja dan produksi dikerahkan guna kepentingan perang.
Pemerintah militer Jepang mulai pula memikirkan pengarahan pemuda-pemuda Indonesia Guna membantu usaha pertahanan mereka. Sejak kekalahan armada-armadanya di dekat Midway dan sekitar kepulauan Solomon, Jepang mulai beralih kepada strategi defensif dimana wilayah Indonesia menjadi front depan. Maka menyelenggarakanlah latihan-latihan militer penuh bagi pemuda-pemuda indonesia. Seinen Dojo di Tangerang merupakan tempat latihan yang pertama, yang telah memberikan latihan militer penuh kepada kurang lebih 50 pemuda indonesia. Seinen Dojo di Tangerang merupakan tempat latihan yang pertama, yang telah memberikan latihan militer penuh Kemudian pada tanggal 29 April 1943 dibentuklah beberapa organisasi para militer, diantaranya yang terpenting adalah Keibodan (Barisan Bantu Polisi) dan Seinendan (Barisan Pemuda). Pemuda-pemuda dalam barisan-barisan tersebut mendapat latihan militer elementer dengan senjata-senjata tiruan yang terbuat dari kayu. Demikian pula dilakukan pengerahan tenaga heiho (pembantu prajurit), yang semula merupakan tenaga pekerja kasar tetapi kemudian dikerahkan untuk tugas-tugas bersenjata. [2]
Sesuai dengan tuntutan perang yang makin mendesak, pemerintah militer Jepang tidak saja membatasi diri pada pembentukan barisan para-militer, tetapi kemudian meluas dengan membentuk organisasi militer yang di kenal dengan nama Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) (Boei Giyugun). Riwayat pembentukan dimulai dengan usul R.Gatot Mangkupraja melalui suratnya yang ditunjukan kepada Gunseikan Pada tanggal 7 September 1943 yang antara lain meminta supaya bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintah militer Jepang, tidak saja di belakang garis-perang tetapi juga di medan-perang.
Pada tanggal 3 Oktober 1943 Panglima Tentara Keenam belas yang ke dua, Letnan Jendral Kumakici Harada memaklumkan Osamu Seirei No.44 yang mengatur pembentukan Peta. Dalam bulan itu juga dilatih puluhan calon perwira Indonesia di Jawa Boei Giyugun Kanbu Renseitai ( Korps Latihan Perwira Tentara Sukarela Pembela Tanah Air Jawa. Pembentukan Giyugun Sumatra juga berlangsung pada waktu yang hamper bersamaan dengan Peta di pulau Jawa. Pada tanggal 9 November 1943, Syucokan Aceh di depan umum di balaikota memberikan uraian tentang maksud pembentukan Giyugun. Dan pada tanggal 22 November diresmikanlah pembentukan Giyugun di Aceh dan beberapa daerah di Sumatara.
Menghadapi kekuatan Serikat, Jepang berusaha menjadikan seluruh daerah yang di dudukinya sebagai rangkaian pertahanan yang kompak dimana seluruh penduduk dengan bahan yang ada di daerahnya di kerahkan. Pengarahan penduduk itu tidak hanya terdiri dari penduduk asli, tetapi juga berlaku untuk semua golongan yang diikutsertakan didalam usaha perang melawan Serikat. Demikianlah pada tanggal 8 Januari 1944 Jepang memeperkenalkan system baru, yaitu system yang disebut, tonarigumi (rukun tetangga), suatu sistem yang di maksudkan untuk memperketat pengadilan terhadap penduduk. Tonarigumi membagi seluru pulau jawa dalam bagian- bagian kecil yang masing-masing terdiri dari 10-20 rumah tangga; beberapa tonarigumi dikelompokan kedalam ku ( desa atau bagian kota). [3]
Karena perang semakin mendesak Jepang, maka kewajiban yang harus dilakukan tonarigumi secara aktif antara lain adalah mengadakan latihan bersama-sama tentang pencegahan bahaya udara, kebakaran, pemberantasan mata-mata musuh dan penyampaian ikhtiar pemerintahan militer kepada penduduk, menganjurkan penambhan hasil bumi dan berbakti kepada pemerintahan militer pada bidang lain.
Setelah system baru ini berjalan dengan lancer, pemerintah militer Jepang kemudian membentuk suatu organisai yang meliputi semua ysaha tonarigumi, yakni organisasi yang berlainan sifatnya dengan Poetra, antara lain karena meliputi seluruh penduduk Asia lainnya dan orang-orang peranakan. Organisai tersebut bernama Djawa Hokakai yang pembentukannya diresmikan pada tanggal 1 Maret 1944. Pemimpin tertinggi adalah Gunseikai sedangkan Ir. Soekarno hanya mejabat sebagai Komon (penasehat).
Jika tonarigumi menonjolkan sifat gotong-royongnya, maka di dalam Djawa Hokokai yang ditonjolkan adalah sifat berbakti, maka semua badan yang bersifat kebaktian kepada Jepang, dilebur kedalam Djawa Hokokai, sedangkan Poetra sendiri dinyatakan bubar. Fujinkai (perkumpulan kaum wanita). Masjumi, Kakyo Sokai (perhimpunan cina), Taiku Kai (perkumpulan Olahraga), Keimin Bunka Syidosyo (himpunan kebudayaan) merupakan badan-badan yang dilebur kedalam Djawa Hokokai. [4]
Notes:
[1]. Sartono Kartodirjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia VI, 1975, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Hal 11-12.
[2]. Sartono Kartodirjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia VI, 1975, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Hal 12-13.
[3]. Sartono Kartodirjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia VI, 1975, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Hal 13-14.
[4]. Sartono Kartodirjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia VI, 1975, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Hal 14.
DAFTAR PUSTAKA
1.      Sartono Kartodirjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia VI, 1975, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
2.      http://handikap60.blogspot.com/2013/01/berbagai-kebijakan-pemerintah-jepang-di.html

No comments:

Post a Comment