PERKEMBANGAN NAHDLATUL ULAMA

MARA ANJANI  / SI IV / A

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, dengan membentuk organisasi pergerakan, adalah Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang berdiri pada tahun 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar, dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (kebengkitan pemikiran), yang merupakan wahana pendidikan social politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatul Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Organisasi ini dijadikan sebagai basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Adanya Nahdlatul Tujjar menyebabkan Taswirul Afkar tampil sebagai kelompok studi dan juga lembaga pendidikan yang berkembang pesat serta memiliki cabang di beberapa kota.
Nahdlatul Ulama digagas oleh K. H. Wahab Chasbullah dan mendapatkan dukungan serta restu dari K. H. Hasyim Ashari. Nahdlatul Ulama berkembang pesat pada saat kepemimpinan keluarga  K. H. Hasyim Ashari. Nahdlatul Ulama sebelum tahun 1928 belum begitu nampak di wilayah Sumatera.
Tujuannya dari berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama adalah:
1.      Untuk memajukan syariat Islam menurut salah satu dari empat mazhab, yaitu Syafe'i, Maliki, Hanafi dan Hambali
2.      Mengusahakan berlakunya hukum Islam dalam masyarakat.
3.      Mengimbangi perhimpunan kebangsaan dan perkumpulan-perkumpulan Islam beraliran modern.
4.      Membela kepentingan kaum muslim dan para kyai tradisional
5.      Mendukung kemajuan sekolah-sekolah Islam tradisional
6.      Memelihara dan menyantuni fakir miskin.
Untuk melaksanakan tuuan-tujuan diatas, Nahdlatul Ulama berusaha dengan cara-cara sebagai berikut: 
  1. Memperkuat persatuan di antara sesama ulama penganut ajaran-ajaran empat mazhab.
  2. Meneliti kitab-kitab yang akan dipergunakan untuk mengajar agar sesuai dengan ajaran ahlusunnah wal jamaah.
  3. Menyebarkan ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran empat mazhab.
  4. Memperbanyak jumlah lembaga pendidikan Islam dan memperbaiki organisasinya. 
  5. Membantu pembangunan mesjid, surau dan pondok pesantren serta membantu kehidupan anak yatim dan orang miskin.
  6. Mendirikan badan-badan untuk meningkatkan perekonomian anggota.(1)
Sejak pembentukannya, Nahdlatul Ulama mampu membatasi penyebaran pikiran-pikiran Islam Moderen ke desa-desa di Jawa, yang sejak akhir tahun 1920-an tercapai suatu status quo ketika kaum Islam moderen memusatkan misinya di lingkungan perkotaan, sedangkan Nahdlatul Ulama cukup puas menarik pengikutnya, terutama mereka yang berasal dari daerah pedesaan.(2)
Sampai pada tahun 1942 telah terbentuk 120 cabang, yang tersebar di Pulau Jawa, Kalimantan, dan Sumatra. Nahdlatul Ulama menekankan perlunya pendidikan yang mendalami ilmu agama. Gagasan dan gerakan pendidikan Nahdlatul Ulama telah dimulai sejak perintisan pendirian Nahdlatul Ulama di Nusantara. Keberadaan pendidikan di wilayah Nahdlatul Ulama berawal dari keberadaan pesantren. Para kyai pesantren, dahulu kala, ketika pulang dari Timur Tengah ke Indonesia, sebagian besar mendirikan pesantren sebagai institusi pendidikan.
Oleh karena pendidikan pesantren, maka keilmuan yang diutamakan adalah keagamaan. Pondok pesantren di Indonesia memang tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat. Berdasarkan laporan pemerintah kolonial Belanda pada 1831, di Jawa terdapat tidak kurang dari 1853 buah pesantren dengan jumlah santr tidak kurang dari 16,500 orang. Pertumbuhan dan perkembangan pesantren terhambat ketika bangsa Eropa datang ke Indonesia untuk menjajah.
Hal ini terjadi karena pesantren bersifat non kooperatif bahkan mengadakan konfrontasi terhadap penjajah. Akibat dari sikap tersebut, maka pemerintah kolonial ketika itu mengadakan control dan pengawasan yang ketat terhadap pesantren. Gagasan gerakan pendidikan yang berlandaskan pesantren pun terus digulirkan. Dimulai dari gerakan ekonomi kerakyatan melalui Nahdlatul Tujjar (1918), disusul dengan Tashwirul Afkar (1922) sebagai gerakan keilmuan dan kebudayaan, hingga Nahdlatul Wathan (1924) yang merupakan gerakan politik di bidang pendidikan. Gerakan pemberayaan umat di bidang pendidikan yang sejak semula menjadi perhatian para ulama pendiri Nahdlatul Ulama kemudian dijalankan melalui lembaga yang bernama Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU) atau kerap juga disebut Darul Ma'arif. Lembaga ini bersama-sama dengan jam'iyah Nahdlatul Ulama secara keseluruhan melakukan strategi-strategi yang dianggap mampu memberdayakan program-program pendidikan yang dicita-citakan Nahdlatul Ulama.
Setahun setelah berdiri Nahdlatul Ulama, persisnya pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-2 (1927), Muktamirin mengagendakan penggalangan dana secara nasional untuk mendirikan dan membangun madrasah dan sekolah. Pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-3 (1928), elite Nahdlatul Ulama memprakarsai gerakan peduli pendidikan dengan mengajak para Muktamirin untuk mengunjungi pesantren-pesantren besar seperti Tambak Beras yang dipimpin K. H. Wahab Chasbullah, Denanyar yang dipimpin oleh K. H. Bisri Syamsuri, juga pesantren di Nganjuk yang dipimpin oleh K. H. Pathudin Seror Putih.
Pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-4 (1929), panitia Muktamar merespon kecendrungan naiknya kuantitas dan kualitas pendidikan yang mendorong para Muktamirin sepakat untuk membentuk wadah khusus yang menangani bidang pendidikan yang bernama Hoof Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO) yang diketahui oleh Ustadz Abdullah Ubaid, waktu itu disebut presiden.
Nahdlatul Ulama yang berpusat di pedesaan Jawa Timur pada tahun 1926 berdiri sebagai organisasi Islam yang konservatif. Kaum Muslim konservatif ini mengkritik Muhammadiyah sebab mengabaikan penganutan tradisional orang Indonesia kepada aliran hukum Shafi, oleh karena bermain mata dengan kaum wahabbi Ibn Saud, dan karena cara-caranya yang kebarat-baratan. Di daerah pedesaan Jawa Timur, Muhammadiyah menimbulkan oposisi sebab ia mengganggu kompromi-kompromi antara Islam dan kepercayaan Jawa yang telah berlangsung lama, dengan menuntut bahwa kebiasaan-kebiasaan sinkretis diubah dalam jiwa Islam yang lebih murni. Walaupun profesinya yang non-politik, dasar Muhammadiyah yang modern di perkotaan memberikannya suatu sifat anti-kolonial, yang mungkin paling kentara di wilayah-wilayah yang diperintah secara tidak langsung, dimana ia biasanya bertentangan dengan kekuasaan religious tradisional para raja. (3)
Dalam waktu singkat, Nahdlatul Ulama menegakkan kepemimpinan mereka atas umat Islam di Indonesia, menggeser bukan hanya para politisi Muslim dari Sarekat Islam (sejak tahun 1929 PSII) tetapi juga hierarki pejabat-pejabat agama yang diangkat Negara. Nahdlatul Ulama saling mendekati pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Belanda guna mempertahankan kepentingan-kepentingan Islam terhadap pemerintah dan kaum nasionalis sekuler. Pada tahun 1937 Nahdlatul Ulama bergabung sebagai federasi dalam Majlisul Islam a'laa Indonesia (MIAI), untuk mensponsori konferensi-konferensi agama tahunan. MIAI ini merangkum sebagai ormas Islam. Semboyan MIAI adalah sebuah ayat Qur'an yang mengajak umat Islam bersatu: "Berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah." (Sura 3: 103). Pemrakarsa terbentuknya MIAI adalah Abdul Wahab Hasbullah dan setelah terbentuk diketuai oleh Wahid Hasyim. (4)
Pada masa penjajahan Belanda sikap Nahdlatul Ulama jelas, yaitu menerapkan politik non-cooperation (tidak mau kerja sama) dengan Belanda. Untuk menanamkan rasa benci kepada penjajah, para ulama mengharamkan segala sesuatu yang berbau Belanda, sehingga semakin menumbuhkan rasa kebangsaan dan anti penjajah. Hal ini terlihat ketika Nahdlatul Ulama menolak mendudukkan wakilnya dalam volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat masa Belanda).(5)
NOTES:
1.      Irsyam,  Mahrus, 1984. Ulama dan Partai Politik, Jakarta: Yayasan Perkhidmatan. Hal: 12. 
2.      A.K. Pringgodigdo, 1984. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta: Dian 
Rakyat. Hal:
80. 
3.      Reid, Anthony, 1996. Revolusi Nasional Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hal: 7
4.      A.K. Pringgodigdo, 1984. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta: Dian 
Rakyat.  Hal: 78. 
5.      Kartodirdjo, Sartono, 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia. Hal: 55.
DAFTAR PUSTAKA
Kartodirdjo, Sartono, 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.
Reid, Anthony, 1996. Revolusi Nasional Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Praptanto, Eko, 2010. Sejarah Indonesia: Zaman Kebangkitan Nasional. Jakarta: Bina Sumber Daya MIPA.
Irsyam,  Mahrus, 1984. Ulama dan Partai Politik, Jakarta: Yayasan Perkhidmatan.
Pringgodigdo, A.K., 1984. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta: Dian 
Rakyat

No comments:

Post a Comment