GERAKAN KEPEMUDAAN

Fitri vidianingsih/ SI IV/A

Pada tanggal 7 Maret 1915 di Jakarta dr. R. Satiman Wiryosandjoyo, Kadarman dan Sunardi dan beberapa pemuda lainnya bermufakat untuk mendirikan perkumpulan pemuda dimana yang di terima sebagai anggota hanya anak-anak sekolah menengah yang berasal dari pulau Jawa dan Madura. Perkumpulan yang di beri nama TRI KORO DHARMO merupakan gerakan pemuda pertama yang sesungguhnya. Pada tahun itu juga didirikan cabang di Surabaya. Pada mulanya cabang Jakarta mempunyai kurang 50 anggota. Majalah perkumpulan juga bernama Tri Koro Dharmo yang diterbitkan untuk pertama kalinya pada tanggal 10 November 1915. Tujuan perkumpulan yakni mencapai Jawa Raya dengan jalan memperkukuh rasa persatuan antara pemuda Jawa, Sunda, Madura, Bali dan Lombok. Tri Koro Dharno bererti tiga tujuan yang mulia: sakti, budi dan bakti.
Asas perkumpulan yaitu:
1.      Menimbulkan pertalian antara murid-mirid bumi putra pada sekolah menengah dan kursus perguruan kejuruan.
2.      Menambah pengetahuan umum bagi anggota-anggotanya.
3.      Membangkitkan dan mempertajam perasaan buat segala bahasa dan budaya Indonesia.

Namun, karena sifatnya masih Jawa sentris, pemuda-pemuda Sunda dan Madura merasa tidak senang. Untuk menghindari perpecahan, pada kongres di Solo ditetapkan bahwa mulai tanggal 12 Juni 1918 namanya di ubah menjadi Jong Java.[1]

Menurut anggaran dasar yang di tetapkan tahun 1920, Jong Java bertujuan mendidik para anggota supaya ia kelak dapat memberikan tenaganya untuk pembangunan Jawa Raya dengan jalan mempererat persatuan, menambah pengetahuan anggota, serta berusaha menimbulkan rasa cinta akan budaya sendiri. Dalam kongres bulan Mei 1922 ditetapkan bahwa Jong Java tidak mencampuri urusan politik, anggota-anggotanya dilarang menjalankan politik atau menjadi anggota perkumpulan politik. Jong Java menjauhkan dirinya sama sekali dari medan aksi dan propaganda politik. Diakui sebagai badan hukum oleh pemerintah setelah anggaran dasarnya diubah dan disesuaikan dengan peraturan pemerintah tahun1923.

Perkembangan gerakan politik ternyata juga menyeret Jong Java sehingga masalah ini menjadi hangat dalam kongres VII tahun 1924. Ada usul supaya Jong Java tetap tidak dijadikan perkumpulan politik, tetapi kepada anggota yang sudah cukup dewasa diberi kebebasan berpolitik. Sikap ini di sokong oleh Agua Salim yang mencoba memasukkan soal agama dalam Jong Java dengan pendapat bahwa soal agama ini adalah sangat besar pengaruhnya dalam mencapai cita-cita. Usul ini ditolak, yang setuju berpolitik kemudian mendirikan Jong Islamieten Bond dengan agama islam sebagai dasar perjuangan. Jong Islamieten Bond juga menerbitkan majalah yang di beri nama Al-Noer. Untuk menggalang persatuan dengan perkumpulan pemuda-pemuda islam lainnya di bentuklah Pemuda Muslimin Indonesia. Sejalan dengan munculnya Jong Java, berdiri pula perkumpulan-perkumpulan pemuda yang berdasarkan kedaerahannya seperti Pasundan, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, Jong Batak, Jong Ambon, Jong Celebes (Sulawesi) dan Timorees Verbond yang kesemuanya bercita-cita ke arah kemajuan Indonesia, terutama memajukan budaya dan daerah masing-masing.[2]

            Jauh dari kampung halaman dan berada di tengah-tengah suasana kebangkitan nasional, meningkatkan kesadaran pelajar-pelajar dari Sumatra untuk mendirikan organisasi pemuda. Organisasi ini dijadikan alat untuk memperkokoh hubungan antarsesama pelajar asal Sumatra di Jakarta. Selain itu, melalui organisasi ini diharapkan lahir kesadaran bahwa nantinya mereka akan menjadi pemimpin bangsa.
            Untuk itulah, pada 9 Desember 1917 berkumpul sekitar 90 orang pemuda asal Sumatra di gedung Volkslecture Jakarta. Mereka mendirikan organisasi pemuda yang di beri nama Jong Sumatranen Bond.
            Pengurus pusat Jong Sumatranen Bond berada di Jakarta karena sebagian besar pelajar sekolah lanjutan berada di Jawa. Dari kalangan inilah, muncul tokoh-tokoh nasional seperti Moh. Hatta, Moh. Yamin dan  Bahder Djohan. Sementara itu, hubungan antara pusat dengan cabang dilakukan melalui penerbitan majalah. Majalah Jong Sumatra terbit satu tahun setelah terbentuknya organisasi ini. Melalui organisasi ini, para anggota dapat mengetahui perkembangan perkumpulan, baik di pusat maupun di cabang-cabang.[3]
            Tujuan dari organisasi ini adalah mempererat hubungan diantara  murid-murid yang berasal dari Sumatra, mendidik pemuda Sumatra untuk menjadi pemimpin bangsa serta mempelajari dan mengembangkan budaya Sumatra. Di antara pemimpin-pemimpin perkumpulan ini terdapat Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin. Dapat dilihat bahwa beberapa perkumpulan mengandung dalam susunannya atau bentuknya benih-benih yang dapat ditujukan ke arah persatuan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pemuda-pemuda Indonesia merasa perlunya persatuan pemuda-pemuda Indonesia di tuangkan dalam satu wadah sehingga dapat satu langkah yang sama dalam mencapai apa yang dicita-citakan oleh pemuda Indonesia umum.

            Selanjutnya pada tanggal 31 Agustus 1926 disahkanlah anggaran dasar perhimpunan baru yang bernama Jong Indonesia dengan tujuan menanamkan dan mewujudkan cita-cita persatuan seluruh Indonesia, dengan dasar nasionalisme menuju ke arah terwujudnya Indonesia Raya. Perhimpunan ini terlepas dari semua perkumpulan pemuda Indonesia, bersifat permanen dan di urus oleh satu komite atau dewan.

            Usaha perhimpunan baru itu tidak dapat seperti yang diharapkan. Pada awal tahun 1927 oleh Algemene Studie Club di kota Bandung didirikan perkumpulan pemuda yang juga dinamakan Jong Indonesia, kelak di ganti dengan nama Pemuda Indonesia. Tujuan perkumpulan ini tidak banyak bedanya dengan Jong Indonesia, hanya susunannya berlainan. Tidak berpolitik, tetapi anggota-anggota secara perseorangan boleh. Ditetapkan pula bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa resmi. Pemuda Indonesia bukan badan pusat semua persatuan perkumpulan pemuda.[4]

            Atas inisiatif PPPI, pada tanggal 27-28 Oktober 1928 dilangsungkan kongres pemuda Indonesia II untuk mempersatukan segala perkumpulan pemuda Indonesia yang ada dalam satu badan gabungan. Kongres menghasilkan Sumpah Pemuda. Isinya tiga sendi persatuan Indonesia, yaitu persatuan tanah air, bangsa dan bahasa. Kepada kongres juga di perkenalkan lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh Wage Rudolf Supratman dan bendera merah putih yang di pandang sebagai bendera pusaka bangsa Indonesia.

            Pada kongres yang di adakan di Yogya pada tanggal 24-28 Desember 1928 diambil keputusan untuk mengadakan fusi (gabungan). Keputusan tersebut disetujui oleh Jong Java, Jong Sumatra ( tahun 1928 menjadi pemuda sumatra) dan Jong Celebes. Kemudiaan dibentuklah suatu komisi, kelak di sebut Komisi Besar Indonesia Muda, untuk mempersiapkan langkah-langkah pelaksanaannya. Akhirnya pada tanggal 31 Desember 1930 dalam konferensi di Solo ditetappkan berdirinya organisasi Indonesia Muda. Pada saat berdirinya telah mempunyai anggota 2.400 dan 25 cabang, diantaranya empat di Sumatra  dan satu di sulawasi. Jong Islamieten Bond danm Pemuda Muslimin tidak menggabungkan diri.
            Indonesia Muda memutuskan tidak akan turut segala aksi politik dan anggota dilarang pula melakukan suatu pekerjaan yang berhubungan dengan politik. Asasnya adalah kebangsaan dan tujuannya dalah Indonesia Raya. Organisasi ini juga menerbitkan majalah yang diberi nama Indonesia Muda.
            Oleh karena dinyatakan bahwa Indonesia Muda tidak berpolitik. Aktifitasnya menjadi kurang kelihatan. Walaupun begitu pemerintah masih juga mencurigainya, sehingga murid beberapa sekolah pemerintah dilarang menjadi anggotanya, bahkan banyak dengan alasan yang tidak meyakinkan.
            Tekanan dan kekangan pemerintah terhadap perhimpunan atau organisasi-organisasi pemuda ini, seperti sulit untuk mendapatkan pekerjaan dan larangan bersekolah bagia anggota-anggota organisasi pemuda, meyebabkan banyak juga yang keluar dari organisasi. Akibatnya rasa tidak puas terhadap pemerintah makin luas dan dalam. Organisasi-organisasi baru ayng muncul dengan sifat radikal seperti Suluh Pemuda Indonesia dan Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia  yang mempunyai program indonesia merdeka segera dilarang.
            Politik reaksioner Gubernur Jenderal de Jonge (terutama tahun 1932-1937) tidak hanya melumpuhkan gerakan partai-partai politik tetapi juga organisasi-organisasi pemuda. Adanya ordonasi sekolah-sekolah liar juga menjadi hal yang sangat menghebohkan. Melihat hal ini Indonesia Muda mencoba untuk mengadakan kongres pada tahun 1936, tetapi gagal karena tidak ada izin pemerintah. Barulah pada tahun 1938 dapat di adakan Kongres Pemuda III di Yogyakarta. Hasilnya ialah federasi organisasi-organisasi pemuda dengan pusat di Jakarta. Kongres juga memutuskan mengenai kata “ kemerdekaan Nusa dan Bnagsa” diganti dengan “menjunjung martabat Nusa dan Bangsa “. Ini disebabkan kata “kemerdekaan” tersebut tabu bagi pemerintah Belanda.

Notes:
[1]. Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2008. Sejarah Nasional Indonesia V: Pergerakan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka. Hal: 428

[2]. Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2008. Sejarah Nasional Indonesia V: Pergerakan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka. Hal: 430

[3]. Alfian, Magdalia. 2007. Sejarah SMA kelas XI. Jakarta: Esis. Hal: 96

[4]. Prapianto, Eko. 2008. Sejarah Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional. Jakarta: Bina Sumber Daya Mipa. Hal: 26

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Magdalia. 2007. Sejarah SMA kelas XI. Jakarta: Esis.

Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2008. Sejarah Nasional Indonesia V: Pergerakan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka.

Prapianto, Eko. 2008. Sejarah Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional. Jakarta: Bina Sumber Daya Mipa.

No comments:

Post a Comment