PNI (Partai Nasional Indonesia)


Rezky Aditiya [B]/ SI IV
Politik Van de Venter yang diterapkan saat itu menyebabkan lahirnya golongan-golongan terpelajar, kaum intelektual pun mulai merasakan bahwa kolonialisme merupakan sebuah ajang ekploitasi ekonomi, politik, dan sosial budaya. Sehingga mereka pun akhirnya merubah cara perjuangan, yang mulanya perjuangan  tersebut dilakukan dengan otot atau senjata menjadi perjuangan yang dilakukan dengan menggunakan otak atau akal. Akibat dari perubahan cara perjuangan tersebut muncullah organisasi pergerakan nasional. Salah satu organisasi pergerakan nasional ialah PNI (Partai Nasional Indonesia).
Pada tahun 1925, Ir. Soekarno mendirikan Algemeene Studieclub (kelompok belajar umum) dikalangan mahasiswa. Kelompok belajar yang didirikan Ir. Soekarno ini bersifat politik, dengan kemerdekaan Indonesia sebagai tujuan utamanya.[1] Akhirnya pada 4 Juli 1927, PNI pun didirikan di Bandung. Usaha pendirian PNI ini digagas oleh  Dr. Cipto Mangoenkoesoemo, Ir. Soekarno, Mr. Iskaq Cokroadisoerjo, Mr. Sartono, Mr. Boediarto, Mr. Soenarjo, Dr. Samsi, dan Ir. Anwari. PNI yang lahir sebagai tanda kesadaran kesadaran rakyat Indonesia dan sebagai kelanjutan pergerakan kebangsaan Indonesia yang sudah dirintis oleh organisasi sosial politik sebelumnya. PNI pun didirikan dan dipimpin oleh kaum muda yang terpelajar dan telah mendapatkan pendidikan politik melalui kursus-kursus politik maupun buku-buku pergerakan. Sebagian mereka adalah mantan anggota Perhimpunan Indonesia (PI) yang belajar di Negeri Belanda.[2]
 Dan dalam kongres pertama di Surabaya tanggal 27-30 Mei 1928, diputuskan untuk mengganti kata "perserikatan" menjadi kata "partai". Perkumpulan ini selanjutnya akan disebut "Partai Nasional Indonesia" atau dikenal sebagai PNI. Pergantian nama ini berarti meningkatnya PNI menjadi suatu organisasi yang lebih tersusun, menjadi suatu partai politik yang harus mempunyai program politik, ekonomi, dan sosial yang tertentu dan berhati-hati dalam penerimaan anggota. Asas dan tujuan partai ini sangat jelas yaitu perjuangannya yang bersifat antikolonialisme, nonkooperasi, dan organisasi massa. Maka dalam hubungan itu membangkitkan kesadaran nasional adalah salah satu tugas PNI, yaitu menyadarkan rakyat akan besarnya penderitaan dalam menghadapi eksploitasi ekonomi, sosial, dan politiknya yang dijalankan oleh penguasa kolonial. Kemudian tujuan ini hendak dicapai dengan azas "selfhelp" dengan menimbulkan suatu pergerakan rakyat yang sadar, yang percaya atas tenaga dan kekuatan sendiri.[3]
Untuk mencapai tujuan tersebut, PNI telah menetapkan program kerja
sebagai berikut.
1.    Usaha politik, yakni memperkuat rasa kebangsaan (nasionalisme) dan kesadaran
atas persatuan bangsa Indonesia, memajukan pengetahuan sejarah
kebangsaan, mempererat kerja sama dengan bangsa-bangsa Asia, dan menumpas
segala rintangan bagi kemerdekaan diri dan kehidupan politik.
2.    Usaha ekonomi, yakni memajukan perdagangan pribumi, kerajinan, serta
mendirikan bank-bank dan koperasi.
3.    Usaha sosial, yaitu memajukan pengajaran yang bersifat nasional, meningkatkan
derajat kaum wanita, memerangi pengangguran, memajukan
transmigrasi, memajukan kesehatan rakyat, antara lain dengan mendirikan
poliklinik.
Dalam menyebarluaskan gagasannya, PNI melakukan berbagai propaganda baik melalui surat kabar seperti Banten Priyangan di Bandung dan Persatuan Indonesia di Batavia, maupun lewat para pemimpin khususnya Ir. Soekarno. Pemerintah Hindia Belanda semakin hari bertambah cemas melihat pengaruh yang diperoleh PNI dimana-mana, mulai menunjukkan tangan besi. Soekarno juga menulis berbagai tulisan yang menyerang Belanda, seperti Soeloeh Indonesia Moeda, Persatoean Indonesia dan Fikiran Ra'jat. Dari media tulis menulis inilah Soekarno mencurahkan segala ide tentang nasionalisme, anti-imperialisme, dan anti-kolonialisme hingga sosialisme. Tetapi dari ketiga surat kabar tersebut Fikiran Ra'jat yang ditujukan untuk kaum Marhaen yang paham membaca dan menulis.[4] Tujuan Seokarno menulis di media tersebut adalah untuk memompa semagat nasionalisme dikalangan rakyat untuk menentang imperialisme dan kolonialisme di Tanah air. Kaum Marhaen di Fikiran Ra'jat dicirikan sebagai masyarakat miskin, buruh terbodohkan dan terjajah, mereka adalah masyarakat yang harus bangkit dari keterpurukannya untuk lahir kembali sebagai manusia yang merdeka di tanahnya sendiri.
Usaha propaganda yang lainnya dilakukan dengan membentuk serikat pekerja supir "Persatuan Motoris Indonesia", Serikat Anak Kapal Indonesia", Persatuan Jongos Indonesia", Partai Sarekat Islam, Budi Utomo, Study Club Surabaya, serta organisasi-organisasi kedaerahan dan kristen yang penting bergabung bersama PNI dalam suatu wadah yang dikenal sebagai PPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). Popularitas PNI berkembang pesat karena pengaruh Soekarno dengan pidato-pidatonya yang sangat menarik perhatian rakyat. Kewibawaan dan gaya bahasa sebagai alat bagaimana pidato-pidato Soekarno sangat ditunggu-tunggu disetiap pertemuan rapat PNI. Pada akhir tahun 1928 sudah ada 2.787 orang anggotanya, sampai Mei 1929 anggotanya telah mencapai 3.860 orang (sebagian besar di Bandung, Batavia, dan Surabaya). Dan pada akhir tahun 1929, jumlah anggota partai ini mencapai 10.000 orang.[5] Soekarno bertekad untuk mengejar Indonesia Merdeka di bawah panji-panji Merah Putih Kepala Banteng (Merah-keberanian, Putih-kebersihan hati, Kepala Banteng-percaya kepada kekuatan dan tenaga sendiri). Gagasan nasionalisme seluruh Indonesia sebagai ukuran umum kini muncul semakin kuat. Maka para pemimpin terpelajar kelompok-kelompok suku bangsa dan kedaerahan menerima konsep itu antara lain sebagai alat untuk mempertahankan diri dari dominasi suku Jawa yang potensial, sedangkan kelompok-kelompok Kristen memandang konsep tersebut antara lain sebagai alat untuk mempertahankan diri dari dominasi Islam. Namun perbedaan-perbedaan, tujuan, ideologi, dan kepribadian yang nyata masih tetap memecah belah gerakan-gerakan tersebut. PSI yang berganti nama menjadi PSII keluar dari PPKI, karena kelompok-kelompok menolak untuk mengakui peranan utama Islam yang oleh para pemimpin Islam perkotaan.
Bung Karno dan Gatot Mangkoepraja, setelah selesai menghadiri kongres PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangasaan Indonesa) yang kedua di Solo pada tanggal 29 Desember 1929 ditangkap pemerintah Hindia Belanda. Kemudian mereka dibawa ke Bandung dengan penjagaan yang ketat kemudian ditempatkan di penjara Sukamiskin. Begitu pula dengan beberapa pimpinan teras PNI lainnya. Setelah itu mereka diadili di pengadilan landrad di Bandung, yang menghasilkan suatu pidato pembelaan soekarno yang sangat terkenal yaitu "Indonesia Menggugat".[6] Tuduhan yang dikenakan pemerintah Hindia Belanda adalah pasal karet, haatzai artikelen. Mereka dituduh menggangu keamanan dalam negeri dan hendak melakukkan pemberontakan sehingga melanggar artikel 10 buku hukum pidana dan artikel 163 bis ter buku hukum pidana. Dan juga artikel 171 undang-undang hukum pidana tentang menyiarkan kabar dusta untuk menganggu ketertiban umum. Sesudah Bung Karno ditahan, dan dijatuhi hukuman selama 4 tahun kepemimpinan PNI diambil alih oleh Mr. Sartono.[7] Setelah melalui kongres pada bulan Februari 1931 di Jakarta, Pengurus Besar PNI mengeluarkan maklumat tentang pembubaran PNI dengan alasan untuk menjaga anggota-anggota PNI lainnya agar tidak mendapatkan kesulitan karena dituduh sebagai anggota partai terlarang. Pengurus besar PNI atas anjuran Mr. Sartono, berkaitan dengan keputusan pengadilan negeri Bandung tersebut, mengusulkan pembubaran PNI dan sebagai gantinya mereka mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Partai ini bertujuan Indonesia Merdeka dan berdiri atas dasar nasionalisme dan "self-help" atau yang lazimnya dikenal sebagai sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Ketika Bung Karno keluar dari penjara Sukamiskin pada pertengahan 1932, ia mendapati PNI (lama) telah terpecah menjadi dua yaitu PNI (Baru) dan Partindo. Namun akhirnya Bung Karno memilih Partindo sebagai basis perjuangannya. Walaupun begitu ia tidak puas melihat perkembangan partai itu, apalagi ia mendengar adanya desas-desus bahwa PNI baru juga bermaksud menggunakan nama lama itu. Ia mengusulkan kepada Badan Pengurus partindo pada bulan Maret 1933 agar merubah namanya menjadi Partai Nasional Indonesia. Tujuannya adalah untuk memperluas jumlah cabang Partindo, dalam persaingan dengan PNI baru. Pada waktu itu, kepemimpinan partai nasionalis terpecah dua, yaitu Soekarno/Sartono bersaing dengan Hatta/Syahrir. Bagi Soekarno pribadi, hanya dia yang berhak menggunakan nama asli itu, sebab itu adalah partainya.
Walaupun ia gagal mengubah nama partai itu, tetapi ideologi Marhaenisme yang merupakan rumusan original yang diperkenalkan Soekarno. Secara resmi diterima sebagai dasar-dasar politik partai dalam kongres bulan Juli 1933. Ideologi itu tidak menunjukkan adanya perubahan penting dalam pemikiran politik Soekarno, hanya sekadar menghaluskan ide-idenya tentang politik, sosial dan ekonomi yang dikemukakan sejak tahun 1927 sejalan dengan arus utama gerakan nasionalis sekuler. Namun demikian kejadian tersebut ditentang oleh beberapa tokoh PNI lainnya seperti Soedjadi Moerad, Kantaatmaka, Bondan, Soekarto dan Teguh. Mereka menolak bergabung dengan Partindo dan membentuk dalam daerahnya masing-masing "Golongan Merdeka".[8]
Kesimpulan
PNI adalah entitas yang dinamis karena pertentangan berbagai unsur di dalamnya. PNI adalah Jawasentris dan sekuler, tetapi mencakup unsur non-Jawa dan Islam. Kelompok birokrat priayi, lapisan sosial atas berpendidikan Barat, dan Berbeda dengan agama yang disatukan oleh konsep "umat" atau komunisme yang mewadahi perjuangan kelas proletar, nasionalisme memiliki kontradiksi karena penyatuan rakyat dilakukan bukan atas nama mereka, tetapi atas nama bangsa dan negara dengan sebuah identitas primordial.
Lalu partai nasionalis sering mencari figur karismatis untuk menyatukan pengikutnya. Pendukungnya yang memiliki beragam identitas primordial dan kelas sosial menemukan wadah kulturalnya, yakni budaya feodal yang masih berakar kuat. Sehingga kita dapat melihat bagaimana Soekarno menjadi jantung dari pergerakan PNI. PNI langsung kehilangan pamornya ketika Soekarno ditangkap . Pada era 1950an, PNI melakukan propaganda dengan menyebut Soekarno sebagai pemimpin PNI, padahal itu terjadi pada era 1920-an. Kedekatan PNI dengan soekarno membuat PNI mendapatkan dukungan yang besar dari rakyat Indonesia . PNI berhasil memenangkan pemilu pertama dan juga mendapatkan posisi strategis dipemerintahan. Itu semua tidak lepas dari nama besar Soekarno sebagai pendiri PNI. Sehingga PNI dapat di identikan dengan Soekarno.
Kutipan
1.    Poesponegoro,Mawarti Djoened.2012. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta.Balai Pustaka, hal: 210
2.    Dimjati, M. 1951. Sedjarah Perdjuangan Indonesia. Djakarta: Widjaja, hal: 83
3.    Poesponegoro,Mawarti Djoened.2012. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta.Balai Pustaka,hal: 211
4.    Lubis, L.M. 1987. Sejarah Pergerakan dan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta : Dian Rakyat, hal: 80
5.    Poesponegoro,Mawarti Djoened.2012. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta.Balai Pustaka, hal: 213
6.    Soekarno. 1983. Indonesia MenggugatJakarta: Tjita Agung, hal: 158
7.    Poesponegoro,Mawarti Djoened.2012. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta.Balai Pustaka, hal: 216
8.    Utomo C. Budi.1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari kebangkitan hingga kemerdekaan.Semarang: Ikip Semarang Press, hal: 160
Daftar Pustaka
1.    Poesponegoro,Mawarti Djoened.2012. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta.Balai Pustaka
2.    Lubis, L.M.1987. Sejarah Pergerakan dan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta : Dian Rakyat
3.    Utomo C. Budi.1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari kebangkitan hingga kemerdekaan.Semarang: Ikip Semarang Press.
4.    Soekarno. 1983. Indonesia MenggugatJakarta: Tjita Agung
5.    Dimjati, M. 1951. Sedjarah Perdjuangan Indonesia. Djakarta: Widjaja.

No comments:

Post a Comment