FRAKSI NASIONAL

Dahrial Hamidi/ SIV / A

Ide pembentukan Fraksi Nasional di dalam Volksraad muncul dari anggota Volksraad Moh. Husni Thamrin, ketua perkumpulan Kaum Betawi, karena pengaruh faktor-faktor yang timbul pada saat itu. Faktor-faktor tersebut adalah:
a. Sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap gerakan politik di luar Volksraad, terutama terhadap PNI
b. Anggapan dan perlakuan yang sama oleh pemerintah terhadap semua gerakan nasional baik non maupun kooperasi. Terutama dalam peristiwa penggeledahan tokoh-tokoh PNI yang juga dilakukan terhadap anggota perkumpulan yang bersifat moderat dan bersifat kooperasi.
c. Didirikannya Vaderlandsche Club (VC) tahun 1929 sebagai protes terhadap "ethisch beleid" Gubernur Jenderal de Graef.
            Zentgraaf pendiri VC berpendapat bahwa kehidupan nasional belanda yang lebih kuat akan merupakan alat untuk "menghadapi tuntutan-tuntutan gila dari nasionlisme timur".
Fraksi ini didirikan tanggal 27 januari 1930 di Jakarta dan beranggotakan 10 orang anggota Volksraad yaitu wakil-wakil dari daerah-daerah di Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Menurut Moh. Husni Thamrin yang ditunjuk sebagai ketua, sedikitnya jumlah anggota bukanlah merupakan suatu masalah karena yang penting adalah mutu dari anggota-anggota tersebut. Dalam tindakannya Fraksi Nasional lebih memusatkan usahanya di dalam lingkingan Volksraad. Sesuai dengan keadaan yang memengaruhi timbulnya, Fraksi Nasional mempunyai tujuan sebagai berikut :
a. mengusahakan perubahan-perubahan ketatanegaraan;
b.berusaha menghapuskan perbedaan-perbedaan politik, ekonomi, dan intelektual sebagai antitesis kolonial;
c. mengusahakan kedua hal tersebut di atas dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.[1]
            Kegiatan pertama dari fraksi ini adalah pembelaan terhadap pemimpin-pemimpin PNI yang ditangkap di dalam sidang-sidang Volksraad, terutama sebelum tokoh-tokoh PNI tersebut diadili pada bulan Agustus 1930. Anggota tindakan penggeledahan dan penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin PNI oleh pemerintah itu tidak dapat pertanggungjawabkan bahkan banyak di antara mereka yamg bukan anggota PNI juga digeledah dan dicurigai. Sementara itu, masalah pertahanan juga dibicarakan dalam sidan  Volksraad pada tahun 1930, di mana pemerintah bermaksud akam meningkatkannya. Maksud ini ditentang oleh anggota-anggota Fraksi Nasional. Mereka berpendapat bahwa peningkatan kekuatan pertahanan itu pasti akan memerlukan biaya besar sedangkan keadaan keuangan negara sangat buruk, dan lagi tidak ada manfaatnya bagi Indonesia. Terlandanya Indonesia oleh pengaruh malaise dan diangkatnya de Jonge seorang yang sangat reaksioner sebagai Gubernur Jenderal yang baru pada tahun 1931 ternyata telah memberi akibat yang sangat buruk bagi Indonesia, baik dalam segin sosial-ekonomi maupun kehidupan politik. De Jonge menjalankan pemerintahan dengan sikap yang sangat keras dan kaku, sehingga masa pemerintahannya dianggap masa yang terburuk. Dalam kehidupan politik, umpanya Fraksi Nasional yang tidak radikal itu telah didorong ke arah politik non, yang seharusnya pemerintah justru mendorong mereka ke arah politik kooperasi. Sesuai dengan keadaan kehidupan sosial-ekonomi yang sangat tetekan akibat depresi ekonomi, kegiatan fraksi juga terutama ditujukan untuk memperbaiki keadaan sosial-ekonomi rakyat. Apalagi kehidupan di bidang politik memang sangat ditekan sekali oleh pemerintah de Jonge. Masalah sosial yang banyak dibicarakan pada waktu itu adalah bidang pendidikan akibat diumumkannya peraturan sekolah-sekolah liar (wilde shchoolen ordonnantie) oleh pemerintah. Dijalankannya peraturan ini pasti akan menghambat kemajuan rakyat Indonesia bahkan juga dari golongan Cina, India, dan Arab, karena itu dengan dipelopori oleh Ki Hadjar Dewantara peraturan ini ditentang dengan keras. Anggota-anggota Fraksi Nasional di dalam sidang Volksraad juga menuntut agar pemerintah mencabut segera peraturan tersebut.
            Di bawah tekanan poliitik Gubernur Jenderal de Jonge politik non kooperasi menjadi lumpuh, akibatnya muncul kaum kooperator yang di dalam Volksraad oleh Fraksi Nasional dan di luar Volksraad oleh Partai Indonesia Raya (Parindra) yang didirikan pada tahun 1935. Dalam masa itu muncullah Petisi Sutardjo pada tahun 1936, yang berisi usul Indonesia berdiri sendiri tetapi tidak lepasb dari kerja sama Belanda. Petisi yang menghebohkan kalangan pergerakan, ada yang pro dan kontra akhirnya gagal karena ditolak pemerintah Belanda. Dalam sidang Volksraad sendiri, suara  Fraksi Nasional juga terpecah-pecah dalam menaggapi petisi. Di satu pihak gerakan nasional di luar Volksraad bersatu, tetapi dipihak lain terjadi perpecahan dalam Fraksi Nasional di Volksraad.[2]
            Pidato Thamrin yang menunjukkan keinginan untuk mencapai kemerdekaan melalui persatuan dan kesatuan yang universal setiap golongan yang mempunyai cita-cita yang sama. Meskipun pergerakan nasional di Indonesia pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama, yakni, kemerdekaan Indonesia, namun jalan yang ditempuh berbeda-beda. Ada yang menginginkan kemerdekaan secara berangsur-angsur dari tangan Belanda. Hal ini dapat terlihat apabila ditelusuri berbagai golongan yang berjuang di Volksraad, yaitu:
1. Golongan Kanan : Mandagie, Sukawati, Rehatta
2. Golongan Moderat : Herman Kartowisatro, Hudoyo, Ali Musa
3. Golongan Kiri : Wiranata Kusuma, Sutarjo Kartohadikusumo, Danusugondo, Prawoto Gondosubroto, Bustam, Ratulangi
4. Golongan Radikal : Muhammad Husni Thamrin, Otto Iskandardinata, Raden Panji Suroso, Sukarjo Wiryopranoto, Suangkupon, Muhammad Nur, Yahya.[3]
            Terbaginya wakil-wakil Indonesia dalam golongan-golongan ini mengakibatkan berkurangnya kekompakan mereka dan hal ini jelas tidak menguntungkan perjuangan. Sikap ini nampak ketika menghadapi Petisi Sutarjo. Sutarjo Kartohadikusumo, ketua persatuan Pegawai Bestuur Bumiputera (PPBB) mengajukan suatu petisi di dalam sidang Volksraad pada bulan Juli 1936. Petisi ini mengacu pada pasal 1 Undang-undang Dasar Kerajaan Belanda yang berbunyi bahwa Kerajaan Nederland wilayah Nederland, Hindia, Belanda, Suriname, dan Curacao. Adapun isinnya adalah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan Belanda untuk menyusun rencana yang isinya adalah pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri dalam batas pasal 1 UUD Kerajaan Belanda. Pelaksanaanya akan dijalankan secara berangsur-angsur dalam waktu sepuluh tahun atau dalam waktu yang akan ditetapkan oleh sidang permusyawaratan itu. Perubahan-perubahan yang dimaksud di dalam Petisi Sutarjo tersebut, secara garis besarnya adalah :
1. Pulau Jawa dijadikan propinsi, sedangkan daerah-daerah di luar Jawa dijadikan kelompok-kelompok daerah yang bersifat otonom dan berdasarkan demokrasi
2. Sifat dualisme dalam pemerintahan daerah dihapus
3. Gubernur Jenderal diangkat oleh Raja dan mempunyai hak kekebalan
4. Direktur Departemen mempunyai tanggung jawab
5. Volksraad dijadikan parlemen yang sesungguhnya
6. Raad van Indie, anggota-anggota biasa dan seorang Wakil Presiden diangkat Raja, di samping itu Ketua dan Wakil Ketua Volksraad sebagai anggota mempunyai hak suara
7. Dibentuknya Dewan Kerajaan sebagai badan tertinggi antara negeri Belanda dan yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil ketua daerah debgan satu pimpinan yang diangkat salah seorang dari ketua parlemen
8. Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahiran, asal-usul, dan cita-citanya.[4]
            Pada bulan September 1939 Perang Dunia II pecah di Eropa. Dalam pernyataanya pada tanggal 19 September, GAPI menyerukan agar dalam keadaan penuh bahaya ini dapat dibina suatu hubungan kerja sama yang baik antara Belanda dan Indonesia. Diharapkan agar Belanda memperhatikan aspirasi rakyai Indonesia untuk membentuk pemerintahan sendiri dengan memberikan suatu parlemen sesungguhnya. Tuntutan GAPI tersebut di kenal dengan aksi Indonesia "Indonesia Berparlemen" ditanggapi secara dingin oleh Belanda untuk mengadakan perubahan ketatanegaraan hingga perang berakhir. Sikap ini sangat mengecewakan kaum pergerakan. Hingga ketika Belanda bermaksud , memperkuat armada lautnya (Rencana Pembikinan Slagkruisers) dan diajukan dalam sidang Volksraad, mendapat reaksi keras darin pemimpin Indonesia di VolksraaD. M.H Thamrin, Suangkopon, Oto Iskandar Dinata mengajukan mosi yang pada prinsipnya menghendaki :
1. Secepatnya harus diadakan perubahan dalam kedudukan rakyat Indonesia, dalam arti pemerintahan, perekonomian, dan kecerdasan pikiran, sehingga ia dapat memperoleh hak yang luas dalam segala urusan negeri.
2. Bahwa perubahan tersebut di atas, haruslah telah terbukti ketika menyiapkan armada yang diusulkan itu. Selain tuntutan dalam bidang ketatanegaraan seperti yang diajukan oleh Sutarjo, Wiwoho dan GAPI, adapula   upayan dalam bidang pendidikan dan bahasa. Pada tanggal 17 Agustus 1939, Husni Thamrin bersama rekan-rekannya di Volksraad mengajukan suatu mosi yang menyangkut pengadaan pendidikan sastra di Indonesia. Mosi tersebut mengharapkankan agar selambat-lambatnya tahun 1940, sebuah Fakultas Sastra dapat didirikan.[5]
            Di terima Milisi Hindia oleh Volksraad pada tanggal 11 Juli 1941 menyebabkan kepercayaan kaum pergerakan dan rakyat umumnya terhadap Volksraad semakin hilang. Dengan demikian perjuangan kaum pergerakan di Volksraad hanya berhasil mewujudkan mosi Thamrin tentang pengadaan pendidikan tinggi dalam bidang sastra. Meskipun tidak berhasil mencapai cita-cita Indonesia merdeka, namun telah tertanam suatu tekad dan kepercayaan, bahwa kemerdekaan tidak mungkin dicapai melalui kerja sama dengan Belanda, tetapi harus diupayakan dengan menngandalkan kekuatan sendiri. Hal ini dapat dilihat dari sikap kaum pergerakan menjelang kedatanhan Jepang.
Notes :
[1] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka, Hal 381
[2] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka, Hal 383
[3] Ktut Sudiri Panyarikan. 1992. Sukarjo Wiryopranoto. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Hal. 19
[4] Dra. Sutjianingsih. 1983. Oto Iskandar Dinata. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Hal. 37
[5] Anhar Gonggong, 1992. Pahlawan Nasional Muhammad Thamrin. Jakarta: Balai Pustaka, Hal. 193
DAFTAR PUSTAKA
-Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka, Hal 383
-Ktut Sudiri Panyarikan. 1992. Sukarjo Wiryopranoto. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional
-Dra. Sutjianingsih. 1983. Oto Iskandar Dinata. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional
-Anhar Gonggong, 1992. Pahlawan Nasional Muhammad Thamrin. Jakarta: Balai Pustaka

No comments:

Post a Comment