NAHDATUL ULAMA (NU)


IRMA LINDA / SI IV/ A

Sejak awal penyebaran agama Islam mempunyai pusat-pusat penyebaran dikota dan di desa. Ditempat tersebut agama Islam berkembang ke daerah sekitarnya, para tamatan pesantren mendirikan pesantren-pesantren baru ditempat lain atau di tempat asal santri tersebut, dengan demikian penyebaran islam agama Islam terus meluas, pada umumnya pesantren-pesantern yang berpusat dipedesaan menjadi pusat pengajaran agama Islam yang sudah tua sekali, sebelum datangnya pengaruh baru. Pusat pengembangan agama Islam yang ada dikota-kota biasanya datang kemudian menjadi pusat pembaharuan Islam. Dapat dikatakan bahwa pusat agama Islam dan pengikutnya di pedesaan adalah para ulama dan satri tradisional dan mereka yang tinggal di perkotaan adalah pengikut modernis, sebagai wadah gerakan islam tradisional sesungguhnya telah ada sejak lama. [1]
 Nahdlatul Ulama merupakan kebangkitan Ulama atau disebut juga dengan kebangkitan Cendekiawan Islam disingkat dengan NU. Nu adalah sebuah organisasi islam yang besar di Indonesia dimana NU berdiri pada 31 Januari 1926 M (16 Rajab 1344 H). [2] Bergerak dalam bidang pendidikan, sosial dan ekonomi, Nahdahlatul Ulama didirikan oleh K.H. Hasjim Asjari (Tebuireng Jombang), K.H. Dahlan, K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan tokoh ulama lainnya, Nu didirikan sebagai reaksi terhadap kebangkitan golongan modernis.
Keterbelakangan baik secara mental  maupun ekonomi yang di alami bangsa Indonesia yang diakibatkan dari penjajahan maupun akibat dari kungkungan tradisi yang menimbulkan kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa Indonesia melalui jalur pendidikan dan organisasi. Semangat kebangkitan menyebar ke seluruh Indonesia setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalan yang jauh dari bangsa lain,maka muncul berbagai organisasi pendidikan dan pekbebasan. Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme merespon kebangkitan organisasi  tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan seperti Nahdatul Wathan (kebangkitan tanah air) pada 1916.
 Pada September 1926 Nahdatul Ulama menyelenggarakan kongresnya di Surabaya sebagai aksi menentang kongres partai sarikat islam dan kongres islam sedunia cabang Hindai Timur atau MAIHS (Muktamar Al Islam Al Islami Fa'rul Hindis Asj-Sjargyah). Ulama-ulama ortodok hawatir akan niat sarikat islam dan Muhamaddiyah yang bermaksud ikut sertan dalam kongres islam sedunia yang akan berlangsung di Mekah pada 1 Juni 1926 dan kongres al islam kedua di Garut, telah diputuskan SI mengutus Tjokroaminotonke kongres itu dan Muhamadiyah memutus akan mengutuskan H. Mansur. Kongres itu berada dibawah pengaruh Raja Ibnu Saud. Golongan ortodoks khawatir bila Sarikat Islam dan Muhammaddiyah  mengirimkan wakil-wakilnya ke kongres tersebut, hal itu kan mendatangjkan pengaruh Wahabi di Indonesia.  1923 didirikan persatuan pemuda NU dibawah pimpinan K.H. Abdullah Ubaid dan dalam kongres NU kesembilan 24 April 1934 di Banyuwangi, nama pemuda NU diubah menjadi Ansor Nahdatul Ulama. Nama Ansor diberi oleh K.H. Hasyim Asjari sebagai hasil Isticharah-nya.
Nahdatul Ulama sama seperti Muhammadiyah pada dekade dua puluhan tidak mencampuri politik, dengan tujuan untuk memajukan paham ortodok menurut aliran Sjafi, Maliki, Hanafi dan Hambali denagn jalan memeliharabhubungan antara ulama-ulama keempat aliran tersebut. NU berusaha supaya dalam pelajaran agama islam tidak digunakan kitab-kitab kaum modernis. NU berusaha memajukan sekolah-sekolah islam dan memelihara mesjid, langgar, surau dan lain-lain dimana tempat ibadah umat islam. Pengaruh NU paling menonjol terlihat di Surabaya, Kediri, Bojonegoro, dan Kudus. [3]
   Kebangkitan para ulama dalam merespons modernitas tidak terlepas dari berbagai kejadian dan peristiwa sebelumnya yang memiliki keterkaitan satu dengan yang lain.
Pertama, berdirinya sebuah forum diskusi yang bernama Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (kebangkitan pemikiran) sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri, forum diskusi tersebut didirikan di Surabaya pada 1914 oleh dua orang ulama muda yaitu Wahab Hasbullah dan Mas Mansur. Tetapi forum tersebut kemudian berkembang menjadi arena perdebatan yang panas tentang masalah-masalah Khilafiyah seperti : soal bermazhab, kebebasan berijtihad, bertaqlid, sampai pada persoalan furu (cabang/kecil) misalnya soal tawassul, qunut, dan bacaan ushali sebelum shlat. Kedua tokoh tersebut mewakili kecenderungan yang berbeda, dimana Wahab Hasbullah cenderung lebih dekat pendiriannya pada ulama pesantren sedangkan Mas Mansur lebih dekat pendiriannya dengan Muhammadiyah. Sehingga kedua toko tersebut mengambil keputusan yang berbeda, Wahab Hasbullah menjadi salah satu tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, sementara Mas Mansur aktif pada Muhammadiyah dan pernah menjadi ketua HB (Hoof Besturr / pimpinan pusat) Muhammadiyah 1936-1942. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (pergerakan kaum saudara), serikat tersebut dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar maka Taswirul Afkar selain tampil sebagai kelompok studi atau pendidikan juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dengan memiliki cabang diberbagai kota.
Komitmen dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis yang bertujuan untuk mengatisipasi perkembangan zaman. Maka dengan berkordinasi dengan berbagai kyai akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk sebuah organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama yang dipimpin oleh K. H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar, untuk menegaaskan prinsip dasar organisasi ini maka K.H.Hasyim merumuskan kitab Qanun Asis (prinsip dasar) kemudia Ia juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunah Wal Jamaah, kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittsh NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berfikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan polotik.
Kedua, pergeseran sosial, politik, dan keagamaan di Tanah Suci. Pergeseran ini terjadi sejak tahun 1924, dimana Abdul azis Ibnu Saud bersama gerakan Ikhwannya yang disemangati oleh ajaran kaum Wahhabi (pembaru pramodren yang menekankan tauhid secara murni dan menjauhkan diri dari segala yang berbau syirik) berhasil menumbangkan rezim Syarif Husein di Mekah. Pergeseran kekuasaan tersebut membuat Kerajaan Saudi Arabia menganut mazhab Habali. Hal ini menimbulkan kekhawatiran para ulama "golongan tradisi" bahwa mereka akan mendapatkan halangan ketika beribadah haji sesuai dengan mazhabnya (syafii).
Ketiga, Kongres Umat Islam Indonesia yang pertama diadakan di Ceribon 31 Oktober-2 November 1922. Kongres ini dihadiri oleh semua pihak golongan Muslim, yakni Muhammadiyah, SI, Al Irsyad (ketiganya mewakili golongan pembaru), dan golongan tradisi yang diwakilkan K.H. Abdulwahab Hasbullah dan Asnawi dari Taswirul Afkar. Dalama kongres ini, golongan tradisi kecewa karena terjadi perdebatan yang sengit mengenai Khilafiyah, sementara tujuan dari kongres tersebut untuk menggalang persatuan seluruh Umat Muslim tidak dapat tercapai.
Keempat, Komite Hijaz, pembubaran sistem kekhalifahan di Turki 1924 yang dipimpin oleh tokoh nasionalis-sekuler Mustafa Kemal Pasha Atta Turk, telah memancing solidaritas umat Muslim di berbagai Negara untuk membela sistem kekhalifahan tersebut.
Respon atas kejadian tersebut di Indonesia dibentuk sebuah Komite Khilafat dengan ketua H. Fachruddin dari Muhammadiyah dan K.H. Abdulwahab Hasbullah dari golongan tradisi. Komite Khilafat ternyata kurang melibatkan kalangan tradisi, hal ini tampak pada Kongres Umat Islam II di Yogyakarta (Agustus 1925) dan terutama pada Kongres Umat Islam III di Bandung (Februari 1926). Satu bulan sebelum Kongres Umat Islam III  diadakannya pertemuan kalangan pembaru pada 18-10 Januari 1926 yang menyepakati bahwa delegasi umat islam di Indonesia yang akan dikirimkan ke Kongres Khalifat di Mekkah hanya dari kalangan pembaru. Hal ini lah yang memicu kalangan tradisi untuk mengumpulkan para ulama dari kalangan tradisi 31 Januari 1926 bertempat di rumah K.H. Abdulwahab Hasbullah, Kertopaten, Surabaya.
Pertemuan dari para ulama kalangan tradisi dari berbagai kota seperti Surabaya, Semarang, Pasuruan, Jember, Lasem dan Pati, mengambil dua keputusan penting yaitu. Pertama mengukuhkan berdirinya Komite Hijaz akan mengirimkan delegasi mewakili dari para ulama kalangan tradisi untuk menghadap Raja Saud. Kedua membentuk Jam'iyah (organisasi) sebagai wadah persatuan para ulama dalam tugas memimpin umat menuju tercapainya cita-cita Izzul Islam Wal Muslimin. Jam'ijah ini berdasarkan dari usulan Alwi Abdul Aziz, yang diberi nama dengan Nahdlatul Ulama (kebangkitan para ulama), Ketua Dewan Tertinggi Keagamaan atau Rais Akbar Alha'iah As Syuriah dipercaya kepada K.H. Hsyim Asy'ari dari Jombang (Yusuf, et al. 1983 : 6-21).
NU kemudian berkembang menjadi kekuatan umat Islam terbesar di Indonesia. Dimana NU merupakan wakil golongan Islam tradisionalis terbesar, sebagai mana halnya Muhammadiyah yang merupakan representasi golongan Islam modrenis yang juga kita tahu sangatlah besar. Bila basis NU di wilayah perdesaan, tetapi berbeda dengan Muhammadiyah berbasis di wilayah perkotaan. Pada 1937, NU masuk menjadi anggota MIAI. Setelah Indonesia merdeka NU menjadi anggota istimewah Partai Islam Masyumi, bersama-sama dengan Muhammadiyah.
Tetapi pada selanjutnya NU tergoda untuk berkecimbung kedalam dunia politik 1952, NU juga keluar dari Masyumi dan berumah menjadi sebuah partai. Dalam pemilu 1955 NU ikut berlaga dan tampil sebagai partai dalam peringkat ketiga yang memperolah suara terbanyak (setelah PNI dan Masyumi). Pada masa Orde Baru setelah ikut bertanding pada pemilu 1971, NU berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang dibentuk pada 5 Januari 1973 dengan ketua sementara Mintareja SH [4]. Ketika posisinya tidak lagi menguntungkan bagi NU dalam PPP maka 1982 NU keluar dari PPP dan kembali ke Khittah 1926 sebagai organisasi sosial dan keagamaan.
Dalam Paham Keagamaan NU menganut paham Ahlussunah Waljama'ah merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Oleh karena itu sumber pemikiran dari NU tidak hanya berpatokan pada al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah lagi dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam ini dirujuk dari pemikiran terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi, kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab : Imam Syafi'i dengan mengikuti tiga madzhab yang lain seperti : Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Hanbali sebagai mana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4.
Sementara itu dalam bidang Tasawuf mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi yang mengintegrasi antara tasawuf dangan Syariat. Gagasan kembali kekhittah pada 1984 merupakan sebuah momentum penting dalam menafsirkan kembali ajaran Ahlussunah Wal Jamaah serta merumuskan kembali motede berpikir baik di dalam bidang fikih maupun sosial. Juga merumuskan kembali hubungan NU dengan Negara, gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU. 
Notes:
[1] Prof. Dr. Suhartono. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta : Pustaka  Pelajar Offset. Hal: 49
[2] Drs. Suwarno M.SI. 2011. Latar Belakang dan Fase Awal Pertumbuhan Kesadaran Nasional. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal 84
[3] S.Silalahi, M.A. 2001. Dasar-Dasar Indonesia Merdeka. Jakarta : PT Gramedia     Pustaka Utama. Hal: 7.
[4] Wijaya, E Juhana Drs. 1995. Pegangan Sejarah Untuk SLTP Kelas III. Bandung : Armico. Hal : 206.
             Daftar Pustaka
1.        Prof. Dr. Suhartono. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
2.        Drs. Suwarno M.SI. 2011. Latar Belakang dan Fase Awal Pertumbuhan Kesedaran Nasional. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
3.        S. Silalahi, M.A. 2001. Dasar-Dasar Indonesia Merdeka. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
4.        Wijaya, E Juhana Drs. 1995. Pegangan Sejarah Untuk SLTP kelas III. Bandung : Armico.

No comments:

Post a Comment