ORGANISASI PERGERAKAN ZAMAN JEPANG

Rinta Yuliana Mandasari/ SI IV/B

Selama masa pendudukan Jepang, bangsa Indonesia dilarang membentuk organisasi sendiri. Akan tetapi, Jepang sendiri membentuk organisasi-organisasi bagi rakyat Indonesia  dengan maksud dipersiapkan untuk membantu Jepang. Organisasi-organisasi ini pada akhirnya berbalik melawan Jepang.
Pada akhir bulan maret 1942 hubungan kerjasama antara nasionalis Indonesia dengan pihak Jepang di tuangkan dalam bentuk institusional. Dibentuk perhimpunan dengan nama gerakan Tiga A. namanya dijabarkan dari semboyan propaganda jepang pada waktu itu : “Nippon cahaya Asia, Nippon pelindung Asia, Nippon pemimpin Asia. [1]  Bagian propoganda (Sendenbu)  sebagai sponsor  gerakan itu telah mengangkat tokoh Parindra – Jawa Barat, Mr. Samsuddin sebagai ketuanya, yang kemudian dia  mencoba mempropogandakan Gerakan Tiga A keseluruh Jawa. Kemudian secara bertahap gerakan yang diciptakan oleh Jepang itu mulai bulan Mei 1942 diperkenalkan kepada masyarakat melaluin mass-media. Gerakan Tiga A hanya berumur beberapa bulan saja. Pemerintah pendudukan Jepang menganggap bahwa Gerakan Tiga A tidak begitu efektif di dalam usahanya untuk mengerahkan bangsa Indonesia. Karena itu pada bulan Desember 1942 telah direncanakan untuk membentuk organisasi baru. Organisasi baru itu dipimpin oleh tokoh-tokoh Pergerakan Nasional yang lebih dikenal di kalangan rakyat. Demikianlah Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan K. H. Mansur ditampilkan sebagai pemimpin-pemimpin dengan sebutan Empat Serangkai.
Pemerintah Jepang ingin menggunakan tokoh-tokoh  Pergerakan Nasional Indonesia itu yang diharapkan dapat menggerakan massa untuk usaha perang mereka serta membangkitkan perasaan anti-Barat dan anti-bangsa kulit putih. Sentimen rasial sangat ditonjolkan dalam propaganda Jepang. Terutama Ir. Sukarno, seorang tokoh nasionalis lulusan Sekolah Tinggi Tehnik di Bandung, yang telah dikenal namanya sejak jaman Hindia Belanda dan sangat mahir berpidato, amat diharapkan kerjasamanya oleh Jepang.
Pada bulan Desember 1942, dibentuk satu panitia persiapan pembentukan suatu organisasi rakyat Indonesia yang dipimpin oleh Ir. Sukarno pada tanggal 1 Maret 1942 ia mengumumkan lahirnya  gerakan baru yang bernama Poesat Tenaga Rakyat  yang disingkat Poetera. Tujuan daripada Poetera ini menurut Ir. Sukarno adalah untuk membangun dan menghidupkan segala apa yang dirobohkan oleh imperialisme Belanda. [2] Peranan Sukarno dalam membentuk Poetera  ini menentukan, sekalipun dalam banyak hal ruang geraknya dibatasi oleh Jepang.
Bagi Jepang tujuan Poetera adalah untuk memusatkan segala potensi masyarakat Indonesia dalam rangka membantu usaha perangnya. Untuk itu, telah digariskan sebelas macam kegiatan yang harus dilakukan, sebagaimana yang tercantum di dalam peraturan dasarnya. Yang terpenting antara lain adalah tugas untuk memimpin rakyat supaya kuat rasa kewajiban  dan tanggungjawabnya untuk menghapuskan pengaruh Amerika, Inggris dan Belanda, mengambil bagian dalam usaha mempertahankan Asia Raya, memperkuat rasa persaudaraan Indonesia dan Jepang, serata mengintensifkan pelajaran-pelajaran bahasa Jepang. Di samping tugas di bidang propoganda sebagaimana tersebut diatas, Poetera mempunyai tugas pula dibidang sosial-ekonomi. Poetera mempunyai tugas untuk membina masyarakat dan memusatkan potensi itu untuk kepentingan perang Jepang.
Poetera mempunyai pimpinan pusat dan pimpinan daerah, yang masing-masing dibagi-bagikan atas pejabatan, yaitu:
1.      Pejabaran Susunan Pembangunan;
2.      Pejabatan Usaha dan Budaya;
3.      Pejabatan Propoganda.
Usaha pengembangan Poetera baru dimulai pada bulan April 1943. Sebagai pemimpin tertinggi diangkat. Ir. Sukarno yang dibantu oleh Drs. Moh. Hatta, Ki Khadjar Dewantara dan K.H. Mas Mansur. Pimpinan Poetera itu bersifat kolektif dan seperti telah diketahui disebut Empat Serangkai serta dianggap lambang daripada segala aliran di dalam Pergerakan Nasional. Di samping pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia, Poetera mempunyai beberapa penasehat orang Jepang. Mereka adalah S. Miyoshi, seorang bekas konsul Jepang di Jakarta, G. Taniguci pemimpin surat kabar Toindo Nippon, Iciro Yamasaki seorang pemimpin badan perdagangan dan Akiyama dari Bank Yokohama. Mereka semuanya sebelum perang pernah tinggal di Indonesia.
Pada awal berdirinya, Poetera mendapat sambutan yang baik dari organisasi-organisasi massa yang ada. Pengurus besar Persatuan Guru Indonesia beserta sejumlah 15.000 orang anggotanya telah menyatakan diri bergabung dengan Poetera. pula Perkumpulan Pegawai Pos Menengah akan menyerahkan perkumpulan kepada Poetera. Langkah kedua organisasi ini kemudian diikuti oleh organisai lainnya. Pada bulan April Pegawai Pos, Telegraf, Telpon dan Radio (PTTR)  di Bandung, dan Pengurus Besar Istri Indonesia di Jakarta menyatakan dirinya untuk bergabung dengan Poetra. [3]
Meskipun Poetra adalahnorganisasi resmi pemerintah, bantuan pemerintah tidak bisa mereka rasakan seperti organisasi resmi pemerintah, yang mengakibatkan tidak pesatnya  perkembangan organisasi tersebut. Namun dengan kekurangannya Poetra berhasil ikut mempersiapkan rakyat secara mental bagi kemerdekaan yang akan datang. Dengan rapat-rapat raksasa dan dengan memakai media komunikasi massa pihak Jepang, pemimpin-pemimpin Indonesia dapat mencapai rakyat secara luas daripada yang pernah dialami dalam jaman Hindia-Belanda. Poetra lebih mengarahkan perhatian rakyat kepada kemerdekaan daripada kepada usaha perang pihak Jepang. Pada tanggal 1 januari 1944 panglima tentara keenambelas, Jendral Kumakici Harada membentuk organisasi Jawa Hokokai (Himpunan Kenaktian Jawa). Organisasi ini diperintah langsung oleh kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan). Latar belakang dibentuknya Jawa Hokokai adalah Jepang menyadari bahwa Putera lebih bermanfaat bagi pihak Indonesia daripada bagi pihak Jepang. Oleh karena itu, Jepang merancang pembentukan organisasi baru yang mencakup semua golongan masyarakat, termasuk golongan Cina dan Arab. Sebelum mendirikan Jawa Hokokai, pemerintah pendudukan Jepang lebih dahulunmeminta pendapat empat serangkai. Alasan yang diajukan adalah semakin hebatnya Perang Asia Timur Raya sehingga Jepang perlu membentuk organisasi baru untuk lebih menggiatkan dan mempersatukan segala kekuatan rakyat. Dasar organisasi ini adalah pengorbanan dalam hokoseiskin (semangat kebaktian) yang meliputi pengorbanan diri, mempertebal rasa persaudaraan, dan melaksanakan sesuatu dengan bakti. Secara tegas, Jawa Hokokai dinyatakan sebagai organisasi resmi pemerintah. Jika pucuk pimpinan Putera diserahkan kepada golongan nasionalis Indonesia, kepemimpinan Jawa Hokokai pada tingkat pusat dipegang langsung oleh Gunseikan. Adapun pimpinan daerah diserahkan kepada pejabat setempat mulai dari Shucokan sampai Kuco. Kegiatan- kegiatan Jawa Hokokai sebagaimana digariskan dalam anggaran dasarnya sebagai berikut.
a. Melaksanakan segala sesuatu dengan nyata dan ikhlas untuk menyumbangkan segenap tenaga kepada pemerintah Jepang.
b.  Memimpin rakyat untuk menyumbangkan segenap tenaga berdasarkan semangat persaudaraan antara segenap bangsa.
c. Memperkukuh pembelaan tanah air.
Anggota Jawa Hokokai adalah bangsa Indonesia yang berusia minimal 14 tahun, bangsa Jepang yang menjadi pegawai negeri, dan orang-orang dari berbagai kelompok profesi. Jawa Hokokai merupakan pelaksana utama usaha pengerahan barang-barang dan padi. Pada tahun 1945, semua kegiatan pemerintah dalam bidang pergerakan dilaksanakan oleh Jawa Hokokai sehingga organisasi ini harus melaksanakan tugas dengan nyata dan menjadi alat bagi kepentingan Jepang.
Jawa Hokokai merupakan organisasi sentral yang anggota-anggotanya terdiri atas bermacam-macam hokokai sesuai dengan bidang profesinya. Guru-guru bergabung dalam wadah Kyoiku Hokokai (Kebaktian para Pendidik) dan para dokter bergabung dalam wadah Izi Hokokai (Kebaktian para Dokter). Selain itu, Jawa Hokokai juga mempunyai anggota-an ggota istimewa yang terdiri dari Fujinkai (Organisasi Wanita), Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan), Boei Engokai (Tata Usaha Pembantu Prajurit Peta dan Heiko), serta hokokai perusahaan.
Diluar pulau Jawa, golongan nasionalis kurang mendapat perhatian dalam sistem pemerintahan lokal. Di Sumatra sendiri tidak dapat dibentuk sebuah organisasi yang merupakan wadah bagi golongan nasionalisme. Ketika di Jawa dibentuknya Poetra, maka Sumatra juga ingin membentuk organisasi yang sama. Pada bulan Juni 1943 Moh. Sjafe’i dan Chatib Sulaiman mengajukan surat permohonan kepada pemerintah Jepang, akan tetapi pembentukan itu tidak mendapat izin. Barulah pada bulan Maret 1945 konsesi politik diberikan kepada Sumatra dengan diizinkannya pembentukan Cuo Sangi In.[4] Ketika pemerintahan Jepang berada di tangan Perdana Menteri Toyo, Jepang pernah memberi janji merdeka kepada Filipina dan Burma, namun tidak melakukan hal yang sama kepada Indonesia. Oleh karena itu, kaum nasionalis Indonesia protes. Menanggapi protes tersebut, PM Toyo lalu membuat kebijakan berikut.
a. Pembentukan Dewan Pertimbangan Pusat (Cuo Sangi In).
b. Pembentukan Dewan Pertimbangan Karesidenan (Shu Sangi Kai) atau daerah.
c. Tokoh-tokoh Indonesia diangkat menjadi penasihat berbagai departemen.
d. Pengangkatan orang Indonesia ke dalam pemerintahan dan organisasi resmi lainnya.

Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, pada tanggal 5 September 1943, Kumakichi Harada mengeluarkan Osamu Serei No. 36 dan 37 Tahun 1943 tentang pembentukan Cuo Sangi In dan Shu Sangi Kai. Cuo Sangi In yang berada di bawah pengawasan Saiko Shikikan (Pemerintahan Tentara Keenambelas) bertugas menjawab pertanyaan Saiko Shikikan dalam hal politik dan pemerintah. Rapat-rapat Cuo Sangi In membahas pengembangan pemerintah militer, mempertinggi derajat rakyat, penanganan pendidikan dan penerangan, masalah ekonomi dan industri, kemakmuran dan bantuan sosial, serta kesehatan. Keanggotaan Cuo Sangi In terdiri atas 43 orang, yaitu 23 orang diangkat oleh Saiko Shikikan, 18 orang dipilih oleh anggota Shu Sangi Kai, dan dua orang anggota yang diusulkan dari daerah Surakarta dan Yogyakarta. Anggota Cuo Sangi In dilantik pada tanggal 17 Oktober 1943 dengan ketua Ir. Soerkarno, serta wakilnya dua orang, yaitu M.A.A. Kusumo Utoyo dan Dr. Boentaran Martoatmodjo. Cuo Sangi In dibentuk dengan tujuan agar ada perwakilan, baik bagi pihak Jepang maupun pihak Indonesia. Namun, agar tidak dimanfaatkan untuk perjuangan bangsa Indonesia, Cuo Sangi In mendapat pengawasan ketat dari pemerintah Jepang. Dilihat dari segi perjuangan bangsa Indonesia dalam memperoleh kemerdekaan, keberadaan Cuo Sangi In memang tidak berarti banyak. Akan tetapi, keberadaan lembaga ini berguna bagi pertambahan wawasan pengalaman kaum nasionalis Indonesia.

Note:
[1] Sejarah Nasional Indonesia VI, hlm 18
[2] Sejarah Nasional Indonesia VI, hlm 19
[3] Sejarah Nasional Indonesia VI, hlm 21
[4] Sejarah Nasional Indonesia VI, hlm 23

Daftar Pustaka
Sukmayani, Ratna, dkk, 2008, Ilmu Pengetahuan Sosial: Untuk SMP/MTS kelas IX, PT. Galaxy Puspa Mega, Jakarta.
Poesponegoro, Marwati.D, dkk, 1984, Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.


No comments:

Post a Comment