KEBIJAKAN JEPANG DI BIDANG PENDIDIKAN

ANISA FIRDA RAHMA/ SI IV
            Zaman pendudukan Jepang di Indonesia memperlihatkan gambaran buruk mengenai bidang pengajaran jika di bandingkan dengan masa-masa pemerintah Hindia-Belanda. Jumlah sekolah dasar menurun dari 21.500 menjadi 13.500, sekolah lanjutan dari 850 menjadi 20, perguruan tinggi/fakultas terdiri dari 4 buah, jumlah murid sekolah dasar juga merosot 30% , sedangkan murid sekolah menengah merosot 90%. Guru-guru sekolah dasar berkurang 35%, sedangkan guru sekolah menengah yang aktif tinggal kira-kira 5%. Angka buta huruf tinggi sekali walaupun ada usaha yang dilakukuan untuk memberantas buta huruf.1
            Pada masa pendudukan Jepang pendidikan tingkat dasar dijadikan satu macam saja yakni sekolah dasar 6 tahun. Sebenarnya Jepang mengadakan penyeragaman itu adalah untuk memudahkan pengawasan terhadap sekolah-sekolah tersebut, baik dalam isi maupun penyelenggaraannya. Ternyata, kemudian penyeragaman tersebut menguntungkan bagi rakyat Indonesia karena penyeragaman ini berarti menghapuskan diskriminasi. Sistem pengajaran dan struktur kurikulum ditujukan kepada keperluan Perang Asia Timur Raya seperti disebutkan dibawah ini.
  1. Mengadakan pelatihan bagi guru-guru di jakarta untuk mendoktrinasi mereka dalam Hakko Ichiu ("delapan benang di bawah satu atap", yang intinya adalaah pembentukan suatu lingkungan yang didominasi oleh Jepang yang meliputi bagian-bagian besar dunia).2 para peserta pelatihan diambil dari tiap-tiap daerah/kabupaten. Selesai pelatihan tersebut mereka harus kembali kedaerah masing-masing dan mengadakan pelatihan untuk meneruskan hasil-hasil yang diperolehnya selama pelatihan di Jakarta.
  2. Sekolah umum terdiri dari :
1.      Sekolah rakyat enam tahun (kokumin gakko), di samping itu, masih ada lagi sekolah desa atau sekolah pertama;
2.      Sekolah menengah pertama tiga tahun;
3.      Sekolah menengah tinggi tiga tahun;
  1. Sekolah guru terdiri dari :
1.      Sekolah guru dua tahun ( shoto shihan gakko ) 
2.      Sekolah guru empat tahun ( cuto shihan gakko )
3.      Sekolah guru enam tahun (koto shihan gakko )
Ternyata, bahasa jepang tidak saja diajarkan melalui sekolah-sekolah untuk para murid, tetapi masyarakat umum pun dapat mempelajarinya melalui kursus-kursus. Kursus bahasa Jepang antara lain diadakan di Balai Pustaka, Jakarta, dimulai tanggal 6 juni 1942. Pengajarnya W.J.S. Poerwadarminta, yang memberikan kursus bahasa jepang khusus untuk teman-teman sejawatnya, seperti Kartadiredja (Patih Jatinegara), Sutan Doko (Kepala Komisaris Polisi), dan Hilman Mangkudidjaja (Ketua Pengadilan Jatinegara) dan Pubaja (Wedana Kota).3 untuk para guru Indonesia sebagai pendukung perserikatan, di samping diadakan pelatihan, juga diadakan kursus bahasa Jepang, yang diakhiri dengan ujian. Jika mereka lulus ujian tersebut maka diberikan tambahan gaji.
Disiplin militer yang merupakan ciri pemerintahan Jepang diterapkan pula di bidang pendidikan. Murid-murid diharuskan melakukan kinrohosyi (kerja bakti), seperti mengumpulkan bahan-bahan untuk perang, menanam bahan makanan, membersihkan asrama, dan memperbaiki jalan-jalan. Selain itu, juga diadakan latihan jasmani yang keras serta kemiliteran.
Murid-murid menerima gemblengan sedemikian rupa agar mereka "bersemangat jepang" ( Nippon Seishin ). Hal lainnya yang harus dilakukan para pelajar adalah menyanyikan lagu kebangsaan Jepang Kimigayo dan lagu-lagu lainnya, melakukan penghormatan ke arah istana Kaisar di Tokyo seikeirei, dan menghormati bendera Jepang dan melakukan gerak badan taiso.
Demikianlah, sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan menjadi tempat indokrinasi Jepang. Menurut Jepang, melalui pendidikan dibentuk kader-kader untuk mempelopori dan melaksanakan konsepsi "Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya". Adapun "Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya". Oleh karena itu, segala usaha harus ditujukan untuk memenangkan perang itu. Konsepsi dan pelaksanaannya telah siap dibuat oleh Jepang sebelum Perang Pasifik pecah.4
 Jepang menyadari pentingnya pendidikan. Melalui pendidikan mentalitas dan cara berfikir masyarakat Indonesia dapat diubah dari mentalitas eropa kepada alam pikiran Nippon. Melalui pendidikan tercipta kader-kader khususnya para pemuda sebagaimana yang diharapkan Jepang.
Sesuai dengan Oendang-Oendang No. 12 tertanggal 22 April 1942, sekolah yang semula dibekukan dibuka kembali secara berangsur-angsur. Pada tanggal 1 Juni 1942 Sekolah rakyat yang pertama kali dibuka adalah HIS Djagamonjet, HIS Gastenweg, HIS Baloelweg, Jatinegara. Jumlah murid seluruhnya 966 orang, menunjukkan besarnya minat masyarakat terhadap ketiga sekolah tersebut. Kemudian, pada bulan Agustus 1942 berlangsung pembukaan sekolah menengah seperti : Sekolah menengah Pertama 1 di Prapatan 10; Sekolah Menengah Pertama II di Gambir Wetan, dan Sekolah Menengah pertama III di Raya Straat Manggarai. Di samping sekolah-sekolah rakyat dan sekolah-sekolah menengah di Jakarta itu, dibuka pula sekolah menengah tinggi di Menteng 10. 5
Tidak hanya berlangsung pembukaan kembali bekas sekolah-sekolah pemerintah belanda, sekolah-sekolah swasta pun diizinkan dibuka kembali, misalnya Sekolah Agama Islam,6 Sekolah Taman Siswa, dan Sekolah Muhammadiyah.7 sekolah-sekolah swasta yang dahulunya diasuh oleh badan-badan missie ataupun oleh zending, pada umumnya kembali dibuka dengan catatan bahwa sekolah-sekolah itu langsung diselenggarakan oleh pemerintah Jepang seperti halnya sekolah-sekolah negri. Mengenai pembukaan sekolah swasta baru, pemerintah jepang memberikan kesempatan kepada perkumpulan-perkumpulan untuk membuka sekolah bagi golongan minoritas, misalnya perkumpulan Chung Hua Chiao Thung diizinkan membuka sekolah untuk menampung anak-anak golongan keturunan Cina. 8
Dengan dikeluarkannya Osamu Seirei No. 22/2604 (1944) mengenai penertiban sekolah-sekolah swasta, kebebasan untuk membuka sekolah-sekolah baru diberikan kepada jawa hokokai, sedang swasta lainnya hanya diperkenankan untuk membuka sekolah kejuruan dan bahasa. Pemberian izin demikian untuk jawa hokokai tidak mengherankan karena badan organisasi itu adalah untuk membantu jepang dalam usaha perangnya.9 pembukaan sekolah kejuruan dan bahasa sejajar dengan kepentingan jepang di Indonesia yaitu untuk memenuhi tenaga pendidik.
Pemerintah pendudukan Jepang juga melakukan pelatihan-pelatihan bagi guru-guru di seluruh jawa. Pelatihan pertama dimulai pada bulan Juni 1942 di Jakarta. Mata pelajaran yang diberikan kepada mereka antara lain: pendidikan semangat, bahasa dan adat istiadat Jepang, nyanyian Jepang, dan pendidikan tentang dasar-dasar pertahanan. 10
Pada awal zaman jepang, semua perguruan tinggi ditutup. Sejak tahun 1943vada beberapa yang dibuka kembali seperti, Perguruan Tinggi Kedokteran ( Ika Daigaku ), di Jakarta dan Perguruan Tinggi Teknik ( Kogyo Daigaku ) di Bandung. Di samping itu, Jepang membuka Akademi Pamongpraja ( Kenkoku Gakuin ) di Jakarta dan Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan di Bogor.11 khusus untuk kaum perempuan didirikan Sekolah Kepandaian Poetri "Wakaba".
Demikianlah, jika dilihat dari segi pencapaian akademis (academic achievement) perguruan tinggi pada zaman Jepang benar-benar mundur, akan tetapi pencapaian yang paling penting oleh sekolah-sekolah ketika itu (1942-1945) adalah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan permulaan nasionalisasi staf pengajar serta pembentukan kader-kader muda untuk tugas besar dan berat pada zaman kemerdekaan.
NOTES :
1Departemen Penerangan, 20 Tahun Indonesia Merdeka, Jilid VIII, 1965, hlm. 35. Pemberantasan buta  huruf ini dimasukkan dalam  kategori pendidikan masyarakat. Pendidikan ini dipelopori oleh Poetera atau Jawa Hokokai dan Tonarigumi, Soera Asia, 28 April 1943
       2 Nugroho Notosusanto, Tentara Peta…, hlm. 17
  3Rochmani Santoso, op. cit., hlm. 81-82
4Panji Poestaka, no. 11, 20 Juni 1942, hlm. 362
5Williard H. Elsbree, Japan's Role in Southest Asian Nationalist movement, 1953, hlm. 38
6 Sinar Baroe, 10 Juli 2602 (1942)
7 Ibid., 2 Agustus 2605 (1945)
8 Soera Asia, 14 April 2605 (1945)
9 Djawa Baroe, 9 Juli 2602 (1942)
10 Soeara Asia, 9 Juli 2602 (1942)
11 Asia Raja, 9 Juli 2602 (1942)

DAFTAR PUSTAKA
Poesponegoro, Marwati Djoned. Sejarah Nasional Indonesia VI : Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 2008
Asril, S. Pd. Sejarah Pendidikan. Pekanbaru : Cendikia Insani. Tanpa tahun
Sitorus, L. M. sejarah Pergerakan dan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta : Dian Rakyat. 1998

No comments:

Post a Comment