Sejarah Pendidikan Cina pada Masa Dinasti Han

ANDI AMINAH RISKI/SP
Ada sebuah hadist: "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina". Dalam hadist ini muncul satu negara, yaitu negeri Cina. Dari hadist ini timbul pertanyaan, ada apa dengan pendidikan cina sehingga dapat dijadikan panutan untuk negeri lain. "Di negeri Cina pendidikan mendapat tempat yang penting sekali dalam penghidupan". Dengan mendapatkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, membuat sistem pendidikan di Cina meningkat. Sikap orang Cina yang mementingkan pendidikan di dalam kehidupannya telah melahirkan sebuah filofis orang Cina mengenai pendidikan dan pendidikan ini telah lama menjaga kekuasaan Cina berapa lama.Permulaan pendidikan Cina kuno mencampai puncak dimulai pada Dinasti Han.
Dinasti Han merupakan dinasti kekaisaran besar pertama didalam perjalanan sejarah kekaisaran Cina. Pada masa ini banyak literature lama yang dikumpulkan dan diperbaiki kembali. Hal tersebut dikarenakan pada masa pemerintahan sebelumnya ajaran-ajaran kong hu cu diberantas habis. Pada masa ini Confusianisme menjadi falsafah terkemuka dan menjadi inti bagi sistem pendidikan. Pada masa Dinasti Han yang menjadi dasar masyarakat Tionghoa, ialah pengajaran counfusius Pada negeri Cina pendidikan mendapat tempat yang penting sekali dalam penghidupan. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Cina menganggap pendidikan sejalan dengan filsafat, bahkan menjadi alat bagi filsafat, yang mengutamakan etika. Anggapan ini membuat pendidikan di Cina mengiringi kembalinya popularitas aliran filsafat Kung Fu Tse di dalam masyarakat Cina. Anggapan tersebut muncul dari ajaran-ajaran Confusianisme yang mulai mendapatkan tempat kembali di hati rakyat Cina, yang ditandai dengan munculnya Dinasti Han sebagai penguasa. Ajaran-ajaran tersebut mengajarkan bahwa pendidikan tersebut penting. Seperti yang ditanamakan Hsun Tzu, "Belajar terus sampai mati dan hanya kematianlah yang menghentikannya" (H. 19). Belajar adalah pekerjaan sepanjang hayat, dan jabatan yang tinggi mungkin merupakan ganjarannya. Cina telah memberikan status pada kegiatan belajar lebih dari masyarakat mana pun. Dalam membicarakan mengenai falsafah pendidikan Cina, tidak dapat dijauhkan dari pembicaraan mengenai ajaran Confusianisme. Seperti yang diutarakan di atas, bahwa ajaran confusianisme memberikan dasar-dasar dan sumbangan-sumbangan dalam sistem pendidikan Cina, khususnya pada masa Dinasti Han ini. Dalam ajaran confusianisme, pendidikan adalah mesin yang mengemudi dunia kebenaran.  menuntut pendidikan dikejar secara terus menerus sampai kematian. Pernyataan-pernyataan yang dinilai mementingkan pendidikan tersebut dan diperkuat dengan ajaran kong hu cu yang dianggap sebagai agama bagi masyarakat Cina, dimana masyarakat Cina sangat kuat dalam memeluk ajaran tersebut, sehingga membuat pendidikan memiliki sisi yang penting dalam kehidupan masyarakat Cina.[1]
Dinasti Han berlangsung 206 SM sampai 220 M, didahului oleh Dinasti Qin yang terjadi 221 sampai 207 SM dan diteruskan oleh Tiga Kerajaan. Han didirikan oleh pemimpin pemberontak Liu Bang, yang secara anumerta dikenal sebagai Kaisar Gaozu dari Han. Han sempat diselingi oleh Dinasti Xin 9 samapai 23 M yang didirikan oleh seorang bekas pejabat bernama Wang Mang. Dinasti Han ini sempat ter putus sejenak oleh kudeta dari Wang Mang, dimana ia mendirikan Dinasti Xin (9 – 25) yang berumur singkat. Tetapi kemudian Kaisar Han Guangwu (25 – 57) yang juga terkenal dengan sebutan Guang Wudi berhasil merestorasi kembali Dinasti Han. Oleh karena itu Dinasti Han sebelum pemberontakan Wang Mang disebut dengan Dinasti Han Barat dan Dinasti Han sesudahnya disebut dengan Han Timur. periode Dinasti Han dianggap sebagai zaman keemasan dalam sejarah Cina. Hingga saat ini, kelompok etnis mayoritas di Cina menyebut diri mereka sebagai "orang Han" dan aksara Cina disebut "huruf Han" (Hanzi).[2]
Pada masa Dinasti Han sudah terdapat sebuah system pendidikan yang ketat, untuk tujuan mendapatkan pejabat-pejabat kerajaan yang berkualitas. Para pelajar yang menginginkan untuk menjadi pegawai kerajaan tidak dipandang asal golongannya, asal ia dapat melawati tahapan-tahapan ujian yang sudah ditetapkan oleh kekaisaran. Hal tersebut dikarenakan ajaran konfusius tidak memperbolehkan memandang asal-usul seseorang atau pangkatnya .Para pegikut-pengikut konfusius yang berada di beberapa daerah distrik mendirikan sekolah-sekolah yang bersifat informal. Disebut sekolah informal dikarenakan proses belajar mengajar yang dilakukan tidak terikat oleh tempat atau waktu. Berjalannya pendidikan di distrik ini dibantu oleh para saudagar yang memberikan sumbangan-sumbangan.Sekolah di setiap distrik ini menampung para pemuda-pemuda yang ingin menuntut ilmu sebelum mereka mengikuti tahapan-tahapan ujian penerimaan sebagai pegawai kekaisaran. Materi-materi pelajaran yang diajarkan dalam proses belajar mengajar yaitu berasal dari isi kitab konfusius. Dalam kitab konfusius ini berisikan cerita-cerita dalam bentuk sastra, yang didalamnya terdapat ilmu sastra, ilmu strategi perang, ilmu pasti, ilmu hukum, dan sebagainya. Para murid diharapkan dapat menghafalkan isi kitab tersebut dan mengembangkannya sendiri dalam bentuk puisi. Mengajar yang digunakan para guru dalam menyampaikan bahan materi pelajaran adalah para murid berkumpul mengelilingi guru yang sedang menyampaikan isi dari kitab konfusius tersebut. Setetah disampaikan kepada para murid, mereka diharapkan dapat menghafalkan isi kitab tersebut. Metode mengajar yang digunakan oleh guru pada saat itu ialah metode ekspositori (ceramah). Penyimpulan ini dikarenakan yang dilakukakan serupa dengan metode ekspositori, dimana guru lebih aktif disini dalam mentransfer imu kepada para murid. Setelah tahapan belajar mengajar, maka melangkah kepada tahapan evaluasi atau system ujian. System ujian yang berlaku pada masa Dinasti Han merupakan suatu hal yang unik dalam system pendidikan Cina. Pada masa itu sudah berkembang suatu system evaluasi yang sangat kompleks. Menurut Rochiati Wiriaatmadja, A. Wildan, dan Dadan Wildan mengatakan bahwa ujian ini dibagi ke dalam tiga tahap atau jenjang. Tiga tahap ujian tersebut antara lain: Ujian tingkat pertama diadakan di beberapa ibukota prefektur (kabupaten). Calon pegawai yang dapat melewati ujian tahap pertama ini diberi gelar Hsui-Tsai, bila diartikan yaitu "bakat yang sedang berkembang". Mereka mendapatkan hak istimewa seperti dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, terbebas dari hukuman badan, sehingga sangat sulit sekali untuk lolos dari tahap ini. Seorang Hsui-Tsai diharuskan tiap tahuan mengikuti ujian sebagai upaya mempertahankan gelarnya tersebut, bila tidak maka namanya akan hilang dalam daftar nama golongan pelajar. Sebelum sampai pada ujian tahapan ini, pelaksanaan ujian saringan pertama dilaksanakan di setiap distrik dari setiap prefektur. Selanjutnya, ujian tingkat dua yakni ujian tingkat provinsi untuk mencapai gelar Chu-Jen, yakni "orang yang berhak mendapatkan pangkat". Orang-orang yang berhak mengikuti tahapan ujian ini yaitu orang-orang yang telah mendapatkan gelar Hsui-Tsai. Para peserta ujian tidak langusng mengikuti ujian, tetapi mereka diharuskan mengikuti latihan di akademi prefektur dalam rangka menghadapi persiapan ujian Chu Jen. Ujian provinsi ini diadakan tiga tahun sekali. Mereka yang dapat lulus dari ujian ini dengan nilai tertinggi akan mendapatkan tunjangan belajar. Pada tahap akhir yaitu ujian tahap tiga yang diadakan di ibukota kerajaan. Ujian ini diadakan setiap tiga tahun sekali, dilaksanakan setahun setelah ujian provinsi. Tahapan ujian bertujuan untuk mendapatkan gelar Chih Shih, yakni "Sarjana naik pangkat". Peserta ujian mendapatkan nilai yang tertinggi berhak mendapatkan penghormatan istimewa dan menjadi orang termasyur di kerajaan. Para lulusan dapat diangkat menjadi anggota akademi Hanlin (Hanlin Yuan), yakni dewan penasihat khusus kaisar yang beranggotakan enam orang. Adapun materi-materi yang diujikan dalan tahapan-tahapan ujian ini, yakni menurut H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak (1951: 188) adalah isi kitab-kitab konfusius serta pengikut-pengikutnya. Hal tersebut bertujuan sebagai pembuktian bahwa mereka mengetahui isi buku tersebut dengan seksama. Untuk membuktikan hal tersebut mereka diharuskan dapat membuat karangan dan mengubah dengan dasar aturan-aturan kuno. Selain itu juga, para peserta juga diuji mata pelajaran lain, yang digolongkan ke dalam mata pelajaran tambahan. Ujian tersebut dilaksanakan di ruang dalam bangunan-bangunan yang sangat panjang dan lurus. Bangunan panjang tersebut terdiri dari kamar-kamar kecil yang disekat . calon pegawai tersebut tinggal di dalam kamar selama sehari untuk ujian tahap pertama, tiga hari untuk ujian tahap kedua, dan lebih lama lagi untuk ujian tahapan ketiga. Output-output yang dikeluarkan dari system pendidikan ini disalurkan menjadi pegawai-pegawai pemerintahan dan mereka yang gagal dalam mengikuti ujian ini akan menjadi tenaga-tenaga pengajar di daerah asalnya. Dapat dikatakan bahwa kekaisaran Wu-ti-lah yang telah meletakkan dasar system ujian, seperti yang berlaku di Tiongkok itu.[3]
Kaum gentry merupakan kelompok feudal baru (New Feodal Class) yang menggantikan kedudukan para bangsawan dari zaman dinasti Chou. Kelompok ini terbentuk secara alami. Anggota dari kelompok ini berasal dari orang-orang yang lulus ujian sipil, secara bertahap dan semakin banyaknya lulusan dari ujian tersebut, maka baru terbentuklah suatu kelas baru dalam kehidupan masyarakat yang lazim disebut kaum literati-confucians atau para serjana sastra-confuciabis.Mereka yang diajarkan kitab-kitab konfuius dan pengikutnya dan dapat dikatan sangat dekat dan memahami isi kitab tersebut menjadi pendukung dan pembina utama ideology Confusinisme. Lulusan ujian negara yang semakin banyak tersebut pada akhirnya membentuk kelas sendiri dalam startifikasi masyarakat Cina, dimana mereka memonopoli jabatan-jabatan dalam pemerintahan, yaitu golongan yang memiliki keahlian dalam tata administrasi pemerintahan. Kelas baru tersebut menggeser posisi bangsawan di dalam stratifikasi masyarakat Cina. pergeseran tersebut dikarenakan kehormatan dan penghargaan yang diberikan oleh lulusan ujian tersebut sangatlah tinggi. Penghargaan tersebut tidak saja datang dari masyarakat tetapi juga datang dari kaisar sendiri. Dominasi kelompok ini juga tidak lepas dari kebijakan kaisar yang tidak memberikan posisi jabatan-jabatan pemerintahan kepada bangsawan, atau pada masa Sje Hwang-ti disebut penganut aliran undang-undang, melainkan kaisar mencari pengikut-pengikut ajaran konfusius melalui system ujian yang dikeluarkan. Keistimewaan yang diberikan kepada golongan ini juga membuat mereka dihargai dalam masyarakat. Mereka mendapatkan keistimewaan-keistimewaan yang diberikan setiap mereka melewati tahapan ujian yang diikuti. Selain itu, keistimewaan yang diberikan kepada kaum gentry ini bahwa: "Golongan sarjana sebagai golongan pegawai negeri yang tidak perlu mengotorkan tangannya dengan pekerjaan tangan. Sebagai tanda orang yang tidak hidup dari hasil pekerjaan tangannya, jari kuku "kaum terpelajar" panjang-panjang dan dipelihara dengan baik. Tangan halus dan lembut!". Dari perubahan atau pergeseran dalam stratifikasi masyarakat ini berarti telah terjadi sebuah perubahan dalam masyarakat Cina, dimana sebelumnya masyarakat memandang tinggi seseorang dalam masyarakat didasari atas kepemilikan harta dan keturunan, pada maa Dinasti Han hal tersebut berubah. Masyarakat tidak lagi sepenuhnya memandang sesorang berdasarkan kepemilikan harta dan keturunannya, melainkan jenjang pendidikan yang telah ditempuhnya.[4]

NOTES:
[1] Muhammad Said dan Junimar Affan; Mendidik Dari Zaman ke Zaman .1987.
[2] http://group.yahoo.com/group/budaya-tionghoa/message
[3] I. Djumhur. Sejarah Pendidikan. Jakarta: Djembatan H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak. 1951.
[4] Kong Hu Cu. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Rochiati Wiriaatmadja. 2000.

No comments:

Post a Comment