NU PADA ZAMAN KEBANGKITAN NASIONAL (Dalam Pengembangan di Bidang Ekonomi)

NAMA : Suni Hartini/B/SIIV/2012

Nahdatul ulama (NU), tidak saja lahir dengan bangunan keagamaan, nasionalisme dan pemikiran, namun ia juga dibangun oleh kekuatan ekonomi. Tiga fondasi itulah yang menjadi berdirinya NU pada tahun 1926, dan sering disebut sebagai pilar penyokong berdirinya NU. Tiga pilah utama yaitu sebagai semangat nasionalisme dan politik, sebagai semangat pemikiran keilmuan dan keagamaan dan sebagai semangat pemberdayaan ekonomi. Dalam perjalannya, ketiga pilar ini tidak berjalan dengan seimbang, dan satu pilar atau orientasi menindih orientasi yang lain. Selama 82 tahun NU berdiri, orientasi politiklah mendapatkan porsi lebih, hingga porsi pengembangan pemikiran melalui pendidikan dan pemberdayaan ekonomi umat menjadi terabaikan. Maka saat ini mesti menjadi momentum untuk membangkitkan kembali kedua pilar yang selama ini agak terpinggirkan, pendidikan dan perekonomian [1]
Terlalu banyak jejak NU dalam politik, ternyata tidak demikian halnya dalam domain ekonomi. Ranah ini kurang disentuh, sehingga kiprah NU yang sudah 82 tahun belum juga sanggup mengangkat kesejahteraan warganya. Padahal dari jumlah penduduk miskin sekitar 37,2 juta jiwa, sebagian besar warga NU. Berdasarkan survei nasional LSI 2004, jumlah warga nahdliyin mencapai 35 persen. Mayoritas tinggal di pedesaan dan sebagian lagi “terpaksa” hijrah ke kota menjadi buruh dan bekerja di sektor informal. Artinya tahun 2007 saja, jumlah nahdliyin miskin sekitar 13 juta jiwa. Hal ini pula yang kemudian disadari oleh para tokoh NU, khususnya oleh Ketua Umum PBNU Dr.KH. A. Hasyim Muzzadi. Dalam pidatonya menyambut puncak peringatan Harlah NU ke-82, Kyai Hasyim selain berpesan agar warga Nahdhiyyin tidak terjebak dalam konflik dan perpecahan politik, juga mendorong pada upaya perbaikan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan warga Nahdhiyyin.
Urgensi dan matra pengembangan ekonomi yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Terma Ekonomi kepentingan rakyat sebenarnya tidak  dikenal dalam teori ekonomi. Terma ini muncul dari pemerintah Indonesia sebagai respon terhadap krisis ekonomi yang tengah terjadi, barangkali yang dimaksud terma ini merupakan gabungan dua teori antara kapitalis dan sosialisme. Krisis ekonomi itu timbul karna system pemerintahan yang sangat sentralistik serta akibat campur tangan yang terlalu besar dari pemerintahan orde baru ke dalam perekonomian hingga mekanisme pasar tidak dapat berfungsi secara efektif.[2]
Persyarat untuk pemulihan ekonomi adalah pemerintahan yang baik dan bersih. Dari pemerintahan yang seperti itu sangat dimungkinkan akan terciptanya penataan dan penguatan institusi sehingga mendorong mekanisme pasar bekerja secara sehat. Supaya ekonomi pasar benar benar untuk kesejahtraan rakyat, maka harus ditunjang oleh undang-undang (UU) atau peraturan pemerintah, seperti undang-undang persaingan sehat.
Setelah beberapa waktu NU berdiri ditengah kondisi perjuangan dan makin banyaknya persoalan social kemasyarakatan dan keagamaan, Nahdlotut Tujjar tidak lagi memiliki peranan penting sebagaimana di awal berdirinya. Hingga banyak persoalan kesejahteraan umat terabaikan. untuk mengantisipasi problem ekonomi umat ketika itu, sebenarnya telah dikembangkan ekonomi kerakyatan berupa koperasi. Pada tahun 1937 Ketua Tanfidz NU, KH. Mahfoedz Siddiq mendirikan koperasi Syirkah Mu’awwanah. Kehadiran koperasi ini berupaya membuka jaringan perdagangan antar pesantren yang banyak menghasilkan produk-produk pertanian dan usaha-usaha kecil lainnya.
Dalam pada itu, terdapat satu departemen dari lima departemen yang ada yang secara khusus mengurusi masalah bisnis di dalam NU (lihat teks dalam Anam 1985, Lampiran) Para anggota yang memproduksi barang-barang sederhana seperti pakaian, rokok, sajadah, dan lain-lain diperkenankan memasarkan barangnya dengan nama “Nahdlatul Ulama”, dengan menggunakan lambang resmi NU. Sebagai imbalannya mereka harus mamberikan persentase keuntungannnya kepada organisasi, dan semua label harus dicetak di percetakan milik NU sendiri. Kiai didorong madirikan toko sendiri, dengan logo NU, untuk menjual barang-barang yang diperlukan di pesantren; departamen ini akan membantu mereka mengembangkan keterampilan bisnis mereka, dan para usahawan didorong menjual barang-barang mereka ke toko-toko ini dengan persyaratan yang lebih mudah.
Namun pada kenyataannnya Syirkah Mu’awwanah dan departemen yang mengurusi bisnis di NU ini tidak mampu berperan secara maksimal dalam mengangkat perekonomian umat. Meski telah memiliki BMT SM NU dan usaha-usaha lain seperti Koperasi an Nisa, Koperasi Bintang Sembilan dari kelanjutan Syirkah Muawwanah, namun hingga kini manfaatnya belum dapat dirasakan secara maksimal oleh warga NU. Selain itu, banyak pesantren NU yang berhasil memperkuat basis ekonominya dengan mendirikan koperasi-koperasi pesantren. Lihat saja, Koperasi Pesantren Sidogiri di Pasuruan bahkan sudah memiliki lebih dari 10 cabang, An Nuqoyah di Guluk-guluk Sumenep, Nurul Jadid di Paiton-Probolingga, Pesantren Drajat di lamongan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Diantara pesantren itu bahkan telah memiliki produk unggulan masing masing. Namun koperasi-koperasi dan unit-unit usaha produksi yang berdiri kuat di pesantren ini masih belum memiliki jaringan ekspansi pasar yang kuat dan berjalan sendiri-sendiri, sehingga pengembangannya menjadi agak terhambat. Selain itu aspek permodalan juga masih sangat kurang, disamping sklill dalam menangani bisnis juga masih perlu terus ditingkatkan.
Secara structural, sebenarnya telah diadakan upaya-upaya membangun perekonomian ini. Pada juni 1990 NU menandatangani kesepakatan dengan Bank Summa (milik grup Astranya William Soerjadjaya) dan membentuk bank Nusumma. Kehadiran bank Nususmma ini sebenarnya adalah upaya menjembatani kebutuhan permodalan bagi pengembangan usaha-usaha warga NU, selain secara khusus juga dimaksudkan sebagai badan usaha untuk menopang kebutuhan NU. Namun keberadaan Nusumma sendiri tidak mampu bertahan setelah kelompok usaha William Surjadjaja tersandung masalah dan terpaan badai krisis ekonomi 1997. setelah Nusumma tidak lagi punya liquiditas dan pemerintah tidak lagi membantu meningkatkan liquiditasnya, akhirnya Nusumma turut di liquidasi bersama bank-bank nasional lainnya.
Setelah masa reformasi bergulir, NU pun turut dalam program-program peningkatan kesejahteraan khususnya petani dan pengusaha kecil. NU juga dipercaya sebagai salah satu penyalur dana dari program Kredit Usaha Tani (KUT), namun karena minimnya SDM dan banyak factor lain, seperti fluktuasi harga dan gagal panen, banyak dari peminjam dana KUT tidak mengembalikan, termasuk yang disalurkan melalui NU kepada warganya. Akhirnya program KUT dinyatakan gagal dan Pemerintah membebaskan dari pengembalian utang KUT.
Peran-peran NU dalam mengembangkan sector perekonomian ini terasa masih sangat kurang sekali jika dibandingkan dengan perhatian NU terhadap urusan-urusan politik. Padahal kita tahu bahwa, sector ekonomi menjadi tumpuan utama dalam masyarakat.
Hal itu bisa terjadi karena dua hal. Pertama, sikap hati-hati yang berlebihan, sehingga perubahan masyarakat yang begitu cepat terlambat untuk disikapi. Sikap demikian memang ada nilai positifnya, yaitu tetap kuatnya karakter dan identitas NU karena ia tidak mudah larut dalam perubahan. Tradisi NU menjadi demikian kokoh sehingga gaya hidup liberal tidak mampu membuatnya terseret terlalu jauh. Namun dampak negatifnya NU menjadi gagap dalam merespons persoalan yang membutuhkan jawaban segera. Kedua, orientasi politik yang kuat di kalangan elite NU. Banyak elite NU yang menjadi pengurus karena ingin mendapatkan jabatan politik baik di tengah masa jabatannya maupun sesudahnya. Misalnya menjadi ketua NU karena berniat ikut dalam pemilihan presiden atau wakil presiden, atau jabatan-jabatan politik lain di bawahnya seperti gubernur/wagub atau bupati/wabup. NU pun sering menjadi kendaraan politik, atau banyak orang bilang NU terkadang lebih politis dari partai politik.
Orientasi seperti itu sebenarnya tidak menjadi masalah jika selama menjadi pemimpin NU ia bisa fokus dan serius mengembangkan NU sebagai gerakan ekonomi dan pendidikan, tidak hanya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya seremonial atau pamer kekuatan (show of force). Sebab, selama dua sektor itu tidak tergarap dengan baik, maka tradisi NU yang sudah sangat kokoh bisa mengalami proses degradasi yang tidak terkendali dan persoalan NU saat ini atau di masa depan akan tetap sama dengan persoalan yang dihadapi pada tahun 1950-an: minimnya sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraan yang kurang layak.  Pengembangan ekonomi berbasis pertanian, yang diharapkan dapat menjadi tulang punggung ekonomi masional kedepan.
 Pengalaman Krisis moneter dan krisis ekonomi menunjukkan bahwa sector pertanian merupakan salah satu sector yang masih memiliki nilai positif dalam pertumbuhan GDP walaupun nilainya kecil. Hal ini memberikan gambaran bahwa sector pertanian memiliki ketangguhan dalam menghadapi gejolak perekonomian nasional. Untuk mendorong pertumbuhan sector pertanian, perlu diantisipasi dengan meningkatkan dukungan modal pada usaha kecil/menengah serta pengembangan investasi disektor agrobisnis dengan berorientasi pada permintaan pasar domestic maupun ekspor.[3]
Masalah-masalah dasar dibalik krisis ekonomi Indonesia. krisis ekonomi diindonesia merupakan risis kombinasi antara social,ekonomi,dan politik. Ketika krisis itu pertama kali menerpa, saat itu pemerintah indonesiaentah disengaja atau tidaktelah memperbodoh rakyat dengan mengungkap data pendukung yang menunjukkan kuatnya fundamental ekonomi Indonesia.ternyata data itu tidak valid.
Kini upaya pemulihan ekonomi masih mengandung optimism, karena :
a.      Pertumbuhan ekonomi akan lebih cepat lagi karena regional asia tengah pulih.
b.     Dukungan luar negri terhadap Indonesia masih tinggi
c.      Kekayaan alam Indonesia masih cukup besar
d.     Ada potensi ekspansi pajak
e.      Mobilita social secara vertical harus didasarkan pada prestasi bukan KKN
f.      Restrukturisasi dan privatisasi BUMN

Notes :
[1]Muktamar. 1997. XXX NU. Kediri jawa timur.Hal. 519
[2] Nur khalik ridwan. 2002. Masail maudhu’iyyah siyasiyyah.jakarta. Hal.559
[3] Dharwis, Ellyasa KH. (ed). 1997. Gus dur, dan NU. Yogyakarta. Hal. 250


DAFTAR PUSTAKA
Ridwan nur khalik. NU dan Bangsa 1914-2010: Pergulatan politik &kekuasaan/ Nur Khalik Ridwan-jogjakarta: Ar- Ruzz media, 2010

No comments:

Post a Comment