EKSPANSI JEPANG KE INDONESIA

FITRIANI / SI IV/ A

            Pada hari minggu malam, 8 Maret 1942, pukul 23.00 WIB, radio NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij) yang melakukan siaran melalui stadion darurat di Ciumbuleuit, untuk terakhir kalinya mengudara. Penyiar Bert garthoff sempat menyampaikan salam terakhir, “kami tutup siaran ini sekarang. Selamat berpisah, sampai berjumpa kembali diwaktu yang lebih baik. Hidup Sri Ratu”. Beberapa jam sebelumnya, pada hari minggu sore, tetal terjadi peristiwa besar yaitu penyerahan Belanda kepada Jepang dilapangan militer kalijati Subang, Jawa barat.
            Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan kelanjtan dari serangan Jepang ke Asia tenggara di perang pasifik yang mereka namakan “Perang Asia Timur Raya” atau” Dai Toa Shenso”. Sejak serangan pearl harbour pada tanggal 7 Desember 1941, pukulan kekuatn militer Jepang ke wilayah Selatan tampaknya tidak banyak mengalami hambatan. Dalam waktu singkat, Hongkong dan Singapura segera jatuh. Demikian pula dengan Filipina sebagai benteng Amerika dan Hindia Belanda sebagai kekuasaan dari kerajaan Belanda.[1]
            Lima puluh jam setelah Jepang meluluhlantakan armada terkuat amesika Serikat. Presiden AS, menandatangani pernyataan perang terhadap Jepang, diikuti Gubernur Jendral hindia Belanda, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh stachhouwer.
            Jepang kemudian melakukan ekspansi ke Indonesia, sesuai rencananya menguasai wilayah Selatan (Asia Tenggara). Indonesia menjadi target sasaran Jepang karena dianggap memiliki bahan strategis terutama minyak dan karet. Jepang berpikir bahwa bahan-bahan tersebut bisa dikuasai bila mereka berhasil menduduki Indonesia. Dalam usahanya menguasai instalasi minyak, Jepang mendaratkan pasukannya di Tarakan (Kalti) pada tanggal11 januari 1942. Keesokan harinya Tarakan berhasil dikuasai Jepang dengan menyerahnya Komandan Belanda di pulau itu. Serangan kemudian dilanjutkan ke Balikpapan sebagai sumber minyak kedua.
            Pada tanggal 24 Januari 1942, Balikpapan pun dikuasai Jepang. Namun, Belanda segera membumihanguskan instalasi minyak di sana. Padahal, Jepang telah mengultimatumkan Belanda untuk tidak melakukan hal tersebut. Berturut-turut Kota di kamlimantan dikuasai oleh Jepang. Pontianak pada tanggal 29 Januari 1942, Samarinda pada tanggal 3 Februari 1942, dan pada tanggal 10 Februari banjarmasin.
            Sasaran Jepang berikutnya adalah kota-kota lain di indonesia bagian timur, seperti Ambon, Morotai (kota yang mempunyai arti penting dalam pertempuran udara), manado, dan Kendari berhasil dikuasai. Dengan dikuasainya Kendari, hubungan udara antara Indonesia dan Australia terputus. Pertahanan Belanda di indoensia menjadi terancam. Serangan selanjutnya berlanjut ke Sumatera. Pada tanggal 16 Februari1942 Palembang sebagai sumber minyak berhasil diduduki Jepang.
            Untuk mengahadapi Jepang, pasukan sekutu, (tentara gabungan Eropa dengan Amerika) membentuk komando gabungan American British Dutch Australian Command (ABDACOM) pada tanggal 15 Januari 1942. ABDACOM dipimpin oleh Marsekal Sir Archibald wavell (Inggris) dan bermarkas di Lembang, dekat Bandung. Panglima angkatan perang Hindia Belanda Letnan jenderal Ter Poorten diangkat sebagai panglimaAngkatan Darat, sedangkan Laksamana Thomas C. Hart diangkat sebagai panglima angkatan Laut ABDACOM.
            ABDACOM kemudian dibubarkan pada tanggal 22 Februari 1942 karena kurangnya koordinasi yang baik antar-komando akibat dari mendahulukan kepentingan negaranya masing-masing. Sekutu kemudian membentuk formasi pertahanan laut yang dipusatkan kepada kesatuan pemukul (striking force). Formasi pertahanan laut ini berada dibwah pimpinan Laksamana Muda Karel Doorman yang berada dikapal penjelajah De Ruyter, dengan armadanya di Surabaya. Armada inilah yang kemudian terlibat pertempuran laut dengan armada Jepang di sebelah selatan Pulau Buwean, di alut Jawa, pada tanggal 27 ebruari 1942. Hanya sekitar dua jam, serangan tembakan torpedo Jepang megakibatkan Karel doorman kehilangan dua kapal perusak, Kortenaer dan Electra. Dalam usahanya melarikan diri, Laksamana Karel Doorman sempat memerintahkan kapal penjelajah Houston dan Perth menyelamatkan diri ke Tanjung Priuk, sedangkan kapal penjelajah De ruyter beserta Laksamana Karel Doorman tenggelam akibat serangan torpedo.[2]
            Setelah pasukan jepang berhasil menguasai wilayah-wilayah penghasil minyak di Kalimantan, tentara ke-16 (osamu butai) dibwah Komandan Letnan Jendral Hitoshi Imamura mulai bergerak untuk merebut Pulau Jawa. Pada waktu itu, Letnan Jendral Hitoshi Imamura memercaykan Divisi ke-2 di bawah komando Mayer Jendral Maruyama Masao, Divisi ke-38 di bawah komando mayor Jenderal sano tadayoshi, Divisi ke-48 di bwaha komando Mayor Jenderal tsuchihashi yuetsu, dan detasemen Sakaguchi di bawah Komando Mayor Jenderal Sakaguchi Shikan.
            Untuk merebut pulau Jawa, Letnan Jenderal Hitoshi Imamura memerintahkan Mayor Jenderal Maruyama Masao, panglima Divisi ke-2, dan Detasemen Shoji dari Divisi ke-38 untuk merebut Jawa Barat. Pada tanggal 1 maret 1942, tentara Jepang berhasil mendaratkan pasukannya di pulau Jawa di tiga tempat sekaligus, yaitu teluk Banten, Eratan Wetan (Jawa Barat), dan Kranggan (Jawa tengah).  keadaan ini memaksa Gubernur Jendral Hindia Belanda, Tjarda Van Starkenborgh Stachouwer, menyerahkan tanpa syarat terhadap tentara Jepang pimpinan Letnan Jendral Hitoshil Imamura dalam sebuah pertemuan di Kalijati tanggal 8 maret 1942. Pertemuan ini mengakhiri kekuasaan Kolonial Belanda dan menepatkan Jepang sebagagai penguas baru atas Indonesia. Hak-hak kekuasaan ini memungkinkan Jepang membagi wilayah Indonesia dalam tiga komando, yaitu tentara ke-16 di pulau Jawa dan Madura yang berpusat di Batavia, tentara ke-25 di Sumatera yang berpusat di Bukit Tinggi dan amada selatan ke-2 di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua Barat yang berpusat di Makasar.[3]
Tentara angkatan ke-16 pimpinaan Letnan Jendral Hitoshil Imamura diberikan mandat untuk memegang kekuasaan di Wilayah Jawa. Pada umumnya Jawa dianggap sebagai daerah yang secara politik paling majunamun secara ekonomi kurang penting, sumber dayanya yang utama adalah manusia. Hal ini memang sangat dibutuhkan oleh Jepang, mengingat niat awal merekauntuk menduduki kawasan Asia Tenggara adalah membangun kawasan persekmamuran bersama Asia Raya.
Pada awalkedatangan Jepang disambut baik oleh orang-orang Jawa yangberanggapan bahwa kedatangan tentara Jepang sesuai dengan ramalan Joyoboyo. Oleh sebab itu, ketika tentara Jepang mendirikan pemerintahan militernya orang-orang Jawa menerimanya dengan sukarela. Disamping itu, bagian propaganda(sendendu) Jepang telah pula melakukan aksinya dengan berbagai macam pendekatan terhadap rakyat, diantaranya ; mendirikan Gerakan Tiga A denga slogannya yang terkenal : Jepang Cahaya Asia, Jepang pelindung Asia, Jepang Saudara Asia. Mengangkat orang-orang pribumi dalam berbagai pemerintahan yang perinsip turun-temurunnya dihapuskan ; menetapkan wilayah-wilayah voorstenland sebagai kochi (daerah istimewa). Maksudnya agaar tentarra Jepang yang mendirikan pemerintah militernya dapat diterima oleh penduduk pribumi. Tujuan utama pendudukan Jepang di Jawa adalah menyusun dan mengarahkan kembali perekonomian peninggalan pemerintah Hindia Belanda dalam rangka menopang upaya perang Jepang dan rencana-rencananya bagi ekonomi jangka panjang terhadap Asia Timur dan Tenggara. Tujuh utamaini mengarahkan kebijakan-kebijakan pemerintah militer untuk menghapuskan pengaruh-pengaruh barat dikalangan rakyat Jawa den memobilisasi rakyat Jawa demi kemenangan Jepang dalam perang Asia Timur Raya.
Sejak membentuk pemerintahan militernya, Jepang membuat banyak sekali perubahan dalam bidang pemerintahan. Perubahan tersebut terjadi ditingkat bawah. Tanggal 1 Agustus 1942, saat dikeluarkannya undang-undang perubahan tata pemerintahan di Jawa, Jepang menetapkan bahwa seluruh daerah Jawa dibagi menjadi syu,si,ken,gun,son,dan kun, keuali surakarta dan yogyakarta yang ditetapkan sebagai kooti (kerajaan) dan Batavia sebagai tokubetsu si (ibu kota pemerintah militer). Pembagian pulau Jawa atas provinsi-provinsi juga dihapuskan.
Sejarah Jepang masuk keIndonesia, khususnya ketika menduduki pulau Jawa tahun 1942-1945 telah banyak membawa banyak perubahan yang sangat berarti bagi perkembangan Jawa dimasa berikutnya. Priode ini merupakan salah satu bagian dari perjalanan penting sejarah besar sejarah besar bangsa ini untuk melangkah kemasa depan. Masa ini telah terjadi berbagai perubahan yang mendasar pada alam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Masa pendudukan Jepang di Indonesia selama tiga setengah tahun tersebut sering dipandang sebagai masa yang singkat tetapi akibat yang diterima oleh masyarakat sebanding dengan masa penjajahan Belanda sebelumnya dengan jangka waktu yang lebih lama.[4]

NOTES:
[1] Marwati Djoened Poesponegoro, dkk. Sejarah Nasional Indonesia VI (Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), hlm 2.
[2] Nasution. Sekitar Perang Kemerdekaan, Jilid I (Bandung: Angkasa, 1988),hlm. 87-88; Onghokham. Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: Gramedia,1989), hlm. 279-280.
[3] M.C.Ricklefs. 1985. A Historiografi of Modern Indonesia Since c.1200. a.b Satriono Wahono, dkk. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2005), hlm. 405-406.
[4] Cahayo Budi Utomo. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan Nasional Hingga Kemerdekaan (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), hlm. 180.

DAFTAR PUSTAKA
Marwati Djoened Poesponegoro, dkk. Sejarah Nasional Indonesia VI (Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975)
Nasution. Sekitar Perang Kemerdekaan, Jilid I (Bandung: Angkasa, 1988),hlm. 87-88; Onghokham. Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: Gramedia,1989), hlm. 279-280.
M.C.Ricklefs. 1985. A Historiografi of Modern Indonesia Since c.1200. a.b Satriono Wahono, dkk. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2005)
Wahono, dkk. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cahayo Budi Utomo. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan Nasional Hingga Kemerdekaan (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995)

No comments:

Post a Comment