NU, BANGSA 1914-2010, DAN POLITIK

SITI ARDIANTARI/SIIV/B

Nahdatul ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang eksistensinya  memainkan peran penting bagi kehidupan bangsanya. Sebagai organisasi terbesar dinegeri ini, sudah pasti tanggung jawab social yang diemban NU juga besar dan meniscayakannya mengambil sikap dalam ranah politik. Sikap ini tidak hanya diambil untiuk melindungi para pemimpin dan warganya dari proses degradasi dan demoralisasi politik, tapi juga untuk menjaga keutuhan Negara yang sedasng belajar berdemokrasi ini [1]
Disitulah politik kebangsaan menjadi sebuah pilihan dan cara berkhidmat kepada bangsa, sejalan dengan garis perjuangan (khittah) NU 1926. Penegasan “kembali ke khittah” bukanlah merupakan pelarian NU dari politik, apalagi untuk menutupi ambisi kekuasaan, melainkan untuk membingkai pengabdian NU kedepan agar tidak ternodai oleh kepentingan politik praktis yang justru mengeruhkan ruh organisasi.
Namun sayang, ternyata tidaklah gampang bagi NU untuk meluruskan garis perjuangan luhur tersebut. Pemimpin dan orang-orang NU acap tergoda dan larut dalam permainan politik praktis yang berorientasi kekuasaan dan sarat kepentingan sesaat. Hal ini bisa dilihat pada saat NU dibawah kepemimpinan KH. Hasyim muzadi. Bahkan, KH. Hasyim muzadi sendiri terlibat jauh dengan menjadi salah satu kontestan perebutan kepemimpinannya politik nasional. Keterlibatan ini bukanlah prestasi, melainkan justru menodai semangat khittah NU.
Dalam beberapa kali menghadiri perbincangan tentang kederisasi dilingkungan nahdiliyin , baik di GP Ansor DIY, Jamaah NU, NU cultural, dan mereka yang merasa dang mengaku nahdiliyin, penulis sering menemuai ungkapan-ungkapan yang muncul: “ibarat gerbong mogok, kita selalu diminta untuk ikut mendorong, tetapi ketika gorbong sudah jalan, kita selalu di tinggal”. Bahkam yang paling nyinyir menyebutkan, sebagaimana sering disitir mbah cholil bishri: “ kita sering di  “kita selalu jadi maf’ul, pelengkap penderita.”
Secara keseluruhan nasib sejarah social-politik-ekonomi (sospolek) masyarakat nahdliyin, tetapi cukup menyindir tentang posisi masyarakat nahdliyin didalam peta kebangsaan dan kerakyatan di Indonesia.
NU didirikan 31 januari 1926 sebagai gerakan social keaagamaan (Gersosag). Sebagai organisasi dengan cara pengorganisasian yang di imajinasikan bisa “modern”, didirikannya NU tahun 1926 itu untuk menjawab dua tantangan yang saat itu sedang terjadi. Tantangan itu bernama globalisasi yang terjadi dalam dua hal: globalisasi wahhabi, ketika arab Saudi dikuasai oleh kelompok wahhabi dan dunia islam banyak meng impor gagasan-gagasan  wahhabi dalm bentuk pemurnian islam, dan salafiyah dengan cara mereka masing-masing:globalisasi imperialism fisik konvesional yang diindonesia dilakukan belanda, inggris, dan jepang, sebagaimana juga terjadi dibelahan  afrika, asia, amerika latin, dan negeri-negeri lain yang dijajah bangsa eropa.
Tentang globalisai wahhabiyang kemudia mengambil bentuk salafiyah dengan berbagai karirnya, seperti terjelma dalam diri syaikh ahkmad soorkati, KH. Ahmad dahlan, A. Hasan, dan perintis-perintis awal pemurnian dengan segala perbedaan masing-masing, mulai muncul melakukan kontestasi dengan keislaman pesantren yang bercorak tasawuf, bertarekat, dan bermazhab. Akibat dua dorongan itu, sebuah rapat para ulama di Surabaya 31 januari akhirnya memutuskan untuk mengirim komite Hijaz dan membentuk NU.
NU pada saat lahir di hindia belanda yang disahkan oleh GR Erdbrink atas nama gubernur jenderal dari hindia belanda, tertanggal 6 februari 1930. Dalam AD/ART yang akhirnya diakui pemerintah belanda itu, perkumpulan bernama NU dilahirkan di Surabaya 31 januari 1926, untuk keperluan lamanya sampai 29 tahun. Kalau dihitung sejak dilahirkannya NU pada 1926, maka keperluan 29 tahun itu berarti jatuh pada 1955. Tahun itu ternyata dikemudian hari menjadi pemilu pertama yang dilakukan pemerintah RI dan NU telah berubah menjadi partai politik.
Maksud didirikan NU adalah untuk memegang teguh salah satu dari mazhabnya imam empat” dan mengerjakan apa saja yang menjadi kemasalahan agama islam. Untuk mencapai maksud itu, diadakanlah ikhtiar sebagai berikut:
1.     Mengadakan perhubungan diantara ulama-ulama yang bermazhab
2.     Memeriksa kitab-kitab sebelumnya yang dipakai untuk mengajar, supaya diketahui apakah itu dari kitab-kitab ahlisunnah waljamah atau kitab-kitab ahli bid’ah
3.     Menyiarkan agama islam bersaka pada mazhab, dengan jalan apa saja yang terbaik
4.     Berikhtiar memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan agama islam
5.     Memerhatikan hal-hal yang berhubungan dengan mesjid-mesjid, surau-surau, pondok-pondok, begitu juga dengan hal-ikhwalnya anak-anak yatim, dan orang-orang yang fakir miskin
6.     Dan mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan, perusahaan yang tiada dilarang oleh syarat agama islam
Yang boleh menjadi anggota dari perkumpulan ini adalah ulama atau guru agama dan bukan guru agama; kekuasaan tertinggi terletak dikongres yang dihadiri utusan-utusan . keputusan dalam kongres yang perlu dalam keterangan hukum agama hanya boleh diputus pleh utusan-utusan dari golongan agama; hasil perkumpulan ini dari apa saja yang tidak dilarang agama; statue ini hanya bisa diubah di kongres dan dengan suara yang terbanyak.
Ketika NU didirikan pada 1926 indonesia masih dijajah belanda via VOC. Pada 1927 tujuan organisasi NU baru dirumuskan dan pedoman dasarnya bertanggal 5 september  1929 dan diakui oleh pemerintah hindia belanda baru pada februari 1930. Kongres yang diadakan setelah tahun 1926-1940 berturut-turut diselenggarakan selama setahun sekali, dan setelah itu bervariasi sampai sekarang lima tahunan.
Kongres 1 diadakan disurabaya (1927), kongres ke 3 di Surabaya (1928), kongres ke 4 di semarang(1929), kongres ke 5 pekalongan (1930), kongres ke 6 di Cirebon (1931), kongres ke 7 di bandung (1932), kongres ke-8 di Jakarta (1933), kongres ke-9 di banyuwangi (1934), kongres ke 10 di solo (1935), kongres ke 11 di Kalimantan (1936), kongres ke 12 di malang (1937), kongres ke 13 di menes (1938), kongers ke 14 di magelang (1939), dan kongres ke 15 di Surabaya (1940) [2]
NU di masa –masa awal, di cerminkan dari kongres-kongres yang diadakn di berbagai daerah, dimaksudkan untuk menghimpun sebanyak-banyaknya ulama dan dukungan umat islam untuk bergabung dengan NU. Pada 1930, cabang pertama didirikan diluar jawa, di pulau Kalimantan; kongres 1930 menyebut utusan dari 6 cabang di jawa barat; 21 di jawa tengah; 18 dijawa timur. Pada kongres 1936, organisasi local hidayatul islamiyah dikalimantan bergabung dengan NU dan memperkuat barisan NU di Kalimantan selatan.
Pada masa-masa awal, terlaksananya kongres NU saja sudah luar biasa, karena dimana-mana terjadi perang dan penjajah. Berbagai pemberontakan daerah dilakukan untuk mengusir penjajah, juga mengakibatkan banyak keterlibatan kyai dalam pemberontakan-pemberontakn itu. Keputusan-keputusan kongres NU disamping soal-soal agama, juga menyangkut soal-soal masyarakat. Disamping mengurus NU, para kiai juga mengurus pesantern dan terus-menerus mendidik kader.
Dalam kongres sebuah NU bertempat dikalimantan pada 1936, KH. Hasyim Asya’ri perlu untuk mengingatkan umat islam agar jangan saling gontok-gontokan yang terutama di korbankan oleh perasaan saling benar sendiri. KH. Hasyim asy’ari menulis dalam al-mawaizh. ‘sampailah kepadaku suatu berita bahwa diantara kamu semuanya sampai kepada masa ini, berkobarlah api fitnah dan pertentangan-pertentanagn… semuanya telah bermusuh-musuhan. Wahai ulama-ulama yang bertaashub kepada setengah mazhab atau setengah qaul, tanggalkanlah tashubnya dalam soal-soal furu’ itu… “(dalam PBNU, t.t: lampiran)
Rujukan yang dipakai adalah kitab bughryah al-mustarsyidin dalam bab al-hudnah wa al-immamah): semua tempat dimana muslim mampu menempatinya pada suatu masa tertentu, maka ia menjadi daerah islam yang ditandai berlakunya syariat islam pada masa itu.
Disamping itu, pertentangan dan perselisihan terus terjadi sampai tahun 1937 diantara kelompok-kelompok islam membentuk majlis islam  A’la Indonesia (MIAI).
NU, Gus, Dur, dan siding MPR (2001)
Waktu 1 bulan yang diberikan oleh DPR dalam memorandum II hanyalah prosedur semua, buan semata-mata substansi; yang pada ahirnya pendukung Abdurrahman wahid melihat itu sebagai benar-benar proses penjatuhan gus dur dari kepresidenan. Gus dur sendiri setelah lengser menyebutkan bahwa Amien rais CS- lah yang paling bertanggung jawab dalam proses kejatuhannya, dan menurutnya biarlah bangsa ini menilainya sendiri: sejaralah yang akan membuktikan.
Pores memorandum memang akhirnya bergeser menjadi siding istimewa MPR. Keputusan DPR untuk meminta SI MPR adalah tanpa kehadiran FKB yang sudah melakukan walk out. Tepat pada 31 mei 2001 pimpinan MPR melakukan rapat, mulai 1 juni 2001 untuk mempersiapkan bahan SI MPR [3]
1946, NU Konsisten Menolak Perjanjian Renville
Bagi NU yang sejak awal berjuang untuk kemerdekaan Indonesia raya yang wilayahnya membentang dari Sabang sampai Meraoke tentunya merasa dikibuli ketika Belanda menawarkan perjanjian Renville yang semakin mempersempit wilayah Indonesia,  padahal Belanda telah kalah perang. Karena itu NU menolak perjanjian manipulatif tersebut. Persetujuan Renville antara Indonesia dengan penjajah Belanda yang ditandatangani pada 17 januari 1948 di atas kapal USS Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Perjanjian ini merupakan titik balik  perjuangan Indonesia. Indonesia harus tunduk di bawah kekuasaan Ratu Belanda. Perjanjian yang ditandatangani pemerintahan Amir Syarifuddin dari PSI itu mewakili Indonesia, sedangkan pihak Belanda diwakili orang Indonesia pula yaitu R Abdul Kadir Widjojoatmojo seorang federalis yang bekerja pada pemerintah federal bikinan Van Mook. ;
ISI PERJANJIAN TERSEBUT :
  1. Pembentukan dengan segera Republik Indonesia Serikat.
  2. Sebelum RIS terbentuk Belanda memegang  kedaulatan seluruh Indonesia.
  3. Republik Indonesia akan menjadi bagian dari RIS.
  4. Akan dibentuk Uni Indonesia yang akan dikepalai oleh Ratu Belanda.
  5. Akan diadakan peblisit untuk menentukan kedudukan rakyat dalam RIS.
Karena isi perjanjian Renville lebih buruk dari perjanjian Linggarjati, dengan perjanjian itu    berarti Indonesia mengakui kedaulatan kembali Belanda atas Indonesia. Dengan tegas NU menolak perjanjian pengkhianatan tersebut. NU menyebutnya sebagai perjanjian munkarat dan pengkhianatan, karena itu haram turut menyetujuinya. Tetapi anehnya PSI dan PKI menyetujui perjanjian itu. Secara substansi NU menolak perjanjian tersebut karena bentuk perjanjian tersebut bertujuan melakukan tipu muslihat, sebab bagi NU tidak ada kolonial yang berniat baik, dan  semua langkahnya adalah tipu muslihat, sejak dahulu hingga sekarang. Dengan kewaspadaan semacam itu, sebagai langkah antisipasi NU tetap mensiagakan Hisbullah dan Sabilillah untuk menjaga segala kemungkinan yang terjadi.
Benar tidak lama kemudian walaupun pemerintah Indonesia telah berusaha menjalankan agenda Reville, tetapi Belanda punya rencana lain dengan kembali melakukan pengkhianatan dengan melakukan agresi pada 19 Desember 1948. Serbuan ke Indonesia yang berkekuatan 140.000 orang ditambah 60.000 tentara KNIL itu diskenario oleh CPF Romme, ketua Partai Katolik Belanda. Oleh karena itu di beberapa tempat agresi Belanda itu menggunakan Sekolah dan Asrama Katolik seperti di Ambarawa sebagai pangkalan militer Belanda. Apa yang diperkirakan NU benar, selain menolak menyerahkan kedaulatan pada Belanda, menolak bentuk negara federal yang merupakan upaya pecah belah, karena itu NU dengan Hisbullah dan Sabilillahnya meneruskan perjuangan bersenjata besama kelompok perjuangan lain yang bergabung dalam Volkfron (Front Perjuangan Rakyat) yang kemudian menjadi Persatuan Perjuangan (PP) yang menghendaki merdeka seratus persen. Persatuan Perjuangan yang dipeopori Tan malaka itu juga diikuti Oleh Jendral Sudirman. Kalangan NU yang dipimpin KH Wahid Hasyim juga mendukung gerakan tersebut, sehingga posisinya sangat kuat dalam melakukan tekanan kepada Belanda sehingga pemerintah juga tidak mudah menyerah.
1948, NU Menolak Perjanjian Linggarjati
Perjanjian Renville yang merugikan bangsa Indonesia itu diperparah lagi oleh Sutan Sjahrir dengan ditandatanganinya perjanjian Linggarjati, yang secara bulat menyerahkan kekuasaan kepada Belanda sehingga wilayah republik Indonesia semakin sempit. NU menilai perjanjian itu sebagai tipu muslihat, karenanya NU memprotes dan perjanjian tersebut harus dibatalkan.
1949, NU Menolak KMB
Perjanjian yang dibuat dengan pihak kolonial Belanda selalu merugikan perjuangan nasional, tidak terkecuali perjanjian Konferensi Meja Bundar/KMB yang ditandatanagani oleh Muhammad Hatta, apalagi perjanjian ini lebih memberatkan Indonesaia, ketika Indonesia dibebani untuk membayar seleuruh hutang Belanda yang digunakan untuk perang menumpas pergerakan bangsa ini. NU dan kelompok nasionalis lain menolak perjanjian yang tidak adil itu. Perjanjian tersebut kemudian dibatalkan secara sepihak oleh Indonesia, sehingga bangsa ini terbebas dari belenggu hutang kolonial. NU berusaha keras memperjuangkan agar Indonesia merdeka dan berdaulat 100 %, sehingga menjadi bangsa yang maju dan mandiri.
 MASA KEBANGKITAN
 1952, NU Menjadi Partai Politik
Ketika beraliansi dengan kelompok Islam modernis dalam Partai Masyumi dirasa tidak cocok lagi, karena kelompok ini melakukan manuver politik yang tidak disetujui NU seperti terlibat dalam DI, serta berbagai manuver politik yang merugikan martabat bangsa ini, maka NU mulai berniat untuk keluar dari Masyumi. Apalagi saat itu NU mulai tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting partai. Kemudian dalam pembagian kursi kabinet juga tidak lagi adil, hanya kelompok modernis yang diakomodasi sementara NU selalu dikebiri. Atas hal dan fenomena yang terjadi, maka NU menyatakan keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik sendiri.
 1954, NU Membentuk Liga Muslimin Indonesia
Keluarnya NU dari Masyumi mengakibatkan NU dituduh sebagai pemecah belah Ukhuwah Islamiyah. Hal tersebut tidak bisa dibenarkan sebab NU hanya ingin memperjuangkan keadilan, sementara tidak semua kelompok Islam mau dihimpun dalam Masyumi seperti PSII, Perti, Washiyah dan sebagainya. Maka untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah, dibentuklah Liga Muslimin Indonesia yang anggotanya terdiri dari Ormas Islam yang ada. Dengan demikian NU tetap mengusahakan terjalinnya Ukhuwah Islamiyah yang adil dan setara tidak seperti Ukhuwah Islamiyah yang dibangun oleh Masyumi.
 1955, NU Menjadi Partai Besar
Dengan keluarnya NU dari Partai Masyumi, NU tertantang untuk menjadikan dirinya sebagai partai besar, sehinggga harus berjuang keras dalam mengelaborasi diri dan segala potensi yang dimilikinya. Pada momentum pemilu 1955, NU memperoleh kemenangan yang telak, menjadi pemenang ketiga setelah PNI dan Masyumi. Dengan demikian NU cukup mewarnai  baik untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun di Konstutuante. Setalah itu NU menduduki berbagai posisi penting di Kabinet, tidak hanya sebagai menteri agama, tetapi juga memegang kementerian ekonomi, perdagangan, dalam negeri dan lain sebagainya.
1958, NU Mengutuk PRRI & Permesta.
Di tengah upaya keras membangun negeri ini, tiba-tiba kelompok Masyumi dan PSI melakukan pemberontakan bersenjata di berbagai daerah yang mereka namakan PRRI-Permesta. NU yang membela keutuhan bangsa ini menolak dengan keras manuver politik PSI dan Masyumi yang melakukan pemberontakan di berbagai daerah, karena ini dianggap melawan pemerintah yang sah. NU harus melawan manuver politik tersebut karena tidak sesuai dengan ideologi dan ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah.
1956-1959 Kembali ke UUD 1945
NU menjadi anggota Konstituante yang sangat menentukan arah sidang dan menguasai forum Parlemen. Ketika sidang Konstituante mengalami kebuntuan, NU berusaha memberikan strategi pemecahannya, terutama setelah penenataan dasar Negara mengalamai kemandegan antara kelompok Islam dan kelompok Pancasila. Pada tanggal 20 Februari 1959, NU mengusulkan adanya kompromi dengan Islam Pancasila, kemudian NU mengusulkan agar piagam Jakarta tetap menjiwai UUD 1945. Usulan NU itu diterima sehingga partai Islam yang ada baik Masyumi, Perti, PSII dan lainnya mau menerima  Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Usulan NU itu dituangkan dalam alinea teakhir Dekrit Presiden yang sangat monumental.
Partai NU, Soekarno, dan PRRI (1956-1957)
Saat itu tahun 1956, seorang deputi direktur perencanaan CIA,Frank wisner berkata kepada ketua divisi timur jauh CIA, Alfred C. Ulmer: “saya rasa sekaranglah saatnya kita memanggang soekarno diatas api” (dalam baskara, 2009): 138). Perintah ini kemudian disampaikan kepada para pejabat CIA cabang No. 5 dari divisi asia timur (FE/5). Divisi ini membawahi Indonesia dan malaka. Ulmer kemudia mengatakan kepada para pejabat itu: “jika tidak melaksanakan komando itu, mungkin santa Klaus akan datang dan mengisi kantong-kantong kita dengan tugas-tugas yang lebih buruk.”
Joseph burkholer smith, kepala divisi FE/5 itu mengenang kejadian setelah itu: “dimulailah sebuah petualangan yang berlangsung satu setengah tahun, yang berakhir dengan matinya ribuan rakyat Indonesia. sementara itu, seorang pilot amerika …. Berada disebuah penjara Jakarta, menunggu di eksekusi.”
Pada 1957, Eisenhower terpilih lagi sebagai presiden amerika serikat dengan wakilnya Richard Nixon. Di tanah air, soekarno sudah meraskan kejengkelan trhadap partai politik, dan dan rakyat sendiri melihat terjadinya banyak korupsi yang dilakukan elite. Pengunduran diri ali sastroamijoyo sebagai perdana menteri dan kabinetnya pada 14 maret 1957 menandai berakhirnya parlementer dan demokrasi liberal, dan ketidakpercayaan rakyat terhadap partai politik semakin besar. Pada saat yang sama antara 1957-1959 dilakukan pemilu daerah.

Notes:
[1] Ahmad nurhasyim dan ridwan nur khalik. 2010. Demoralisasi khittah NU dan pembaruan. Yogyakarta.Hal. 7
[2] Nur khalik ridwan. 2010. Perluasan NU(1926-1937). Yogyakarta. Hal. 49
[3] Dharwis, Ellyasa KH. (ed). 1997. Gus dur, dan NU. Yogyakarta. Hal. 375

DAFTAR PUSTAKA
Ridwan nur khalik. NU dan Bangsa 1914-2010: Pergulatan politik &kekuasaan/ Nur Khalik Ridwan-jogjakarta: Ar- Ruzz media, 2010
Ahmad Nurhasyim dan Nur Khalik ridwan. 2010. Demoralisasi Khittah NU dan pembaruan. Yogyakarta. Pustaka Tokoh Bangsa
  

No comments:

Post a Comment