KEBUDAYAAN SUKU SAKAI DI KECAMATAN MANDAU

TESA LIANTIKA PUTRI

                              

Pada setiap daerah pola kebudayaan dari suatu masyarakat kadang tidak terlepas dari cara hidup atau sistem mata pencarian masyarakat itu. Terkait dengan hal tersebut, dalam masyarakat desa dikenal adanya fenomena kemiskinan. Kemiskinan didefinisikan sebagai bentuk ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Diketahui bahwa ukuran garis kemiskinan berbeda di setiap daerah. Tingkat kemiskinan dapat diukur berdasarkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan, akses terhadap sumber nafkah, pola konsumsi, tingkat pendidikan, dan beberapa ukuran lainnya. Tingkat kemiskinan seperti ini dapat dilihat dari suku Sakai yang ada di Kota Duri, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis.

A.    Lokasi dan Lingkungan Hidup Orang Sakai.

Di propinsi Riau ada sepuluh kabupaten. Yaitu, Kab. Kampar, Kab. Bengkalis, Kab. Indragiri hulu, Kab. Indragiri Hulu, Kab. Indragiri Hilir, Kab. Kuantan singingi, Kab. Pelalawan, Kab. Rokan Hilir, Kab. Rokan Hulu, Kab. Kepulauan Meranti. Orang Sakai hidup di wilayah Kab. Bengkalis. Sedangkan orang Sakai terbanyak adalah yang berada di wilayah Kecamatan Mandau. Sebagian kecil lainnya hidup di wilayah Kecamatan Bukit Baru. Desa-desa yang berpenduduk asli suku Sakai ada di desa-desa seperti Talang Parit, Talang Sei Limau dan sebagainya.

Tempat tinggal orang Sakai pada umumnya terletak di tepi-tepi mata air dan rawa-rawa. Melalui jalan sungai atau jalan darat, yaitu dengan jalan kaki atau merambah hutan, tempat tinggal mereka dapat dicapai. Sehingga sebetulnya orang Sakai tidak sepenuhnya terasing dari masyarakat luas Riau. Karena lingkungan hidup mereka jauh dari pantai, maka lingkungan hidup mereka adalah rawa-rawa, atau daerah berpaya-paya, berhutan serta bersungai.

Flora dan fauna lingkungan hidup mereka sama dengan lingkungan alam wilayah Riau, khususnya lingkungan alam bukan pantai. Mereka hidup terpencar-pencar dalam sebuah satuan wilayah yang berada dalam sebuah satuan administrasi yang dinamakan batin (dukuh) kalau penduduknya sedikit, dan kepenghuluan kalau jumlah penduduknya banyak. Pada masa sekarang perbatinan sudah tidak ada lagi, yang ada adalah penghuluan (desa).

Ketika Kota Duri mulai dibangun dan dikembangkan, orang Sakai sebagian besar yang menghuni wilayah-wilayah disekitar kota tersebut diminta pergi dengan diberi pesangon untuk penggantian rugi atas tanah dan pepohonan serta tanaman-tanaman yang ada diladang-ladang mereka. Sebagian dari mereka berpindah tempat pemukiman ke kelompok-kelompok tempat tinggal atau desa-desa orang Sakai lainnya, dimana mereka mempunyai kerabat. Sedangkan sebagian lainnya berpindah ketempat pemukiman masyarakat terasing yang didirikan oleh Departemen sosial beberapa tahun kemudian setelah penggusuran tersebut.

        

Jadikan gambar sebaris    Jadikan gambar sebarisMasyarakat sakai dahulu                                                   Masyarakat sakai sekarang

Masyarakat Suku Sakai

B.     Masyarakat dan Kebudayaan Orang Sakai.

1.      Sejarah dan Asal Muasal Orang Sakai.

Suku Sakai adalah salah satu komunitas pedalaman di Nusantara yang menempati wilayah kabupaten Bengkalis, Siak Indrapura, dan Rokan Hilir, sebelum pemekaran wilayah, ketiga kabupaten tersebut dulunnya merupakan satu wilayah kebupaten, yakni Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Jumlah terbanyak orang Sakai di daerah tersebut berada di Dusun Peneso, Kelurahan Muara Basung, Kecamatan Mandau. Daerah ini merupakan lokasi pemukiman orang sakai tertua  ( Husni Thamrin, 2003:64). Tak mengherankan jika daerah ini menjadi inti atau sentral dari semua kebudayaaan orang sakai.

Dechary Hasmy (1970), mantan kepala Kecamatan Mandau, mengatakan bahwa kata sakai berasal dari gabungan huruf dari kata-kata S-ungai, A-ir, K-ampung, A-nak, I-kan. Hal itu mencerminkan pola-pola kehidupan mereka, di kampung, tepi-tepi hutan, di hulu-hulu anak sungai yang banyak ikannya dan yang cukup airnya untuk minum dan mandi. Sedangkan menurut Parsudi suparlan, dari seorang bekas kepala perbatinan (dukuh) sakai yang bernama Saepel, mengatakan bahwa kata sakai berasal dari kata sekai, yaitu nama sebuah cabang anak sungai yang bermuara di sungai Mandau. Selanjutnya dia juga mengatakan bahwa nama sakai juga berasal dari kata saka, yaitu tiang rumah punggung utama, atau juga kata sikai (tergolong spesies calamus), yaitu sejenis pohon salak yang tidak berbuah dan banyak terdapat di hutan-hutan tempat hidup mereka, yang daunnya di gunakan untuk atap rumah.

Menurut Moszkowski (1089) yang di kutip oleh Loeb (1935), orang sakai adalah orang veddoid yang bercampur dengan orang-orang minangkabau yang datang bermigrasi pada sekitar abad ke-14 ke daerah Riau, yaitu ke Gasib, di tepi sungai Gasib, di hulu sungai Rokan. Gosib kemudian menjadi sebuah kerajaan, kemudian kerajaan gasib di hancurkan oleh kerajaan aceh, dan warga masyarakat ini melarikan diri ke hutan-hutan di sekitar daerah sungai-sungai Gasib, Rokan, dan Mandau serta seluruh anak-anak sungai Siak. Mereka adalah nenek moyang orang sakai.

Dalam uraian Saepel (mantan batin beringin sakai), yang di wawancarai oleh Parsudi Suparlan, mengenai asal muasal orang sakai tercakup sejarah awal mula adanya perbatinan lima dan perbatinan delapan. Yang coraknya seperti dua paruh masyarakat. Adapun asal muasal orang sakai menurut Parsudi Suparlan, dalam versi orang sakai itu sendiri adalah sebagai berikut.

a)      Perbatinan lima.

Orang sakai datang dari kerajaan Pagarruyung, Minangkabau Sumatra Barat, dalam dua gelombang migrasi. Kedatangan pertama diperkirakan terjadi sekitar abad ke 14, langsung ke daerah Mandau.Mereka ini ada lima keluarga yang masing-masing membangun rumah dan tempat pemukiman sendiri, yang karena itu disebut dengan perbatinan lima. (lima dukuh).

Setelah beberapa tahun tinggal di desa Mandau, rombongan yang berjumlah lima keluarga ini, memohon untuk di beri tanah atau hutan untuk mereka menetap dan hidup, karena tidak mungkin bagi mereka untuk kembali ke Pagarruyung. Oleh kepala desa Mandau, masing-masing keluarga di beri hak atas tanah-tanah atau hutan-hutan. Yaitu di daerah sekitar Minas, sungai Gelutu, sungai Penaso, sungai Beringin, dan di daerah sungai Ebon.

b)      Perbatinan Delapan.

Beberapa lamanya setelah keberangkatan rombongan meninggalkan Pagarruyung, kerajaan ini telah menjadi padat lagi. Secara diam-diam, tanpa meminta izin dari raja, sebuah rombongan yang terdiri dari 15 orang (12 orang perempuan dan sebuah keluarga yang terdiri dari suami dan istri, serta seorang hulubalang yang menjadi kepala rombongan yang bernama batin sangkar) pada suatu malam meninggalkan Pagarruyung. Tujuan mereka adalah membuka tempat baru untuk bermukim. Sehingga mereka sampai di hulu sungai Syam-Syam, di Mandau dan berkeliling sampai di daerah yang dialiri tujuh buah anak sungai. Di tempat ini mereka tinggal untuk beberapa tahun lamanya.

Suatu ketika seorang istri hamil dan nyidam, dan meminta kepada suaminya untuk mencarikan bayi rusa jantan yang masih ada dalam kandungan. Tetapi yang di dengar oleh sang suami adalah bayi jantan yang dikandung oleh pelanduk (kancil) jantan. Sehingga suami pergi berburu dan tidak pernah kembali, karena ia telah berjanji tidak akan menemui istrinya kalau tidak dapat memenuhi permintaan istrinya. Sedangkan 12 orang perempuan yang di pimpin oleh batin sangkar bermaksud meninggalkan tempat tersebut, mencari daerah lainnya yang lebih baik. Sang istri tidak mau ikut, dan 12 orang perempuan tetap berangkat, dan sang istri melahirkan bayi laki-laki. Setelah sang bayi besar, maka sang anak ibunya tersebut kembali ke Pagarruyung, dan meminta maaf kepada raja Pagarruyng, kemudian mereka menceritakan semua apa yang telah mereka alami. Dan raja mengirim satu rombongan untuk menyusul Batin Sangkar.

Rombongan yang dipimpin Batin Sangkar akhirnya sampai di daerah petani, setelah melewati hutan belantara dan rawa-rawa. Setelah menetap di daerah ini untuk beberapa tahun lamanya, Batin Sangkar memecah rombongan tersebut ke dalam delapan tempat pemukiman yang letaknya saling berdekatan. Mereka membuat hutan untuk tempat pemukiman baru. Yaitu, Petani, Sebaya atau Duri Km 13, Air Jamban Duri, Pinggir, Semunai, Syam-syam, Kandis, dan Balai Makam.

Secara kebetulan setelah delapan tempat itu di bangun, datang satu rombongan yang disuruh oleh raja Pagarruyung. Kemudian oleh Batin Sangkar satu rombongan tersebut di bagi rata penempatannya di delapan tempat pemukiman. Batin Sangkar menyuruh seorang cendekia untuk menghadap kepada raja Siak, dan meminta izin untuk dapat dijadikan rakyat kerajaan Siak Indrapura dan di beri pengesahan atas hak pemukiman dan menggunakan tanah atau hutan diwilayahnya. Oleh raja Siak delapan tempat tersebut disahkan sebagai sebuah perbatinan (dukuh) dengan kepalanya seorang Batin (kepala dukuh) dan diterima sebagai bagian dari kekuasaan kerajaan Siak Indrapura. Kedelapan buah perbatinan tersebut di sebut dengan perbatinan delapan.

2.      Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan bagi orang sakai merupakan refrensi atau kerangka acuan yang penting dalam menentukan dengan siapa seseorang ego atau saya dapat berhubungan dan bekerja sama dalam berbagai bidang kehidupan sosial, ekonomi, dan keluarga. Kekerabatan mereka terbentuk karena ketetanggaan ladang, satuan permukiman.

Landasan yang utama bagi berfungsinya sistem kekerabatan adalah penggunaan istilah-istilah kekerabatan. Karena didalam istilah-istilah kekerabatan, mereka tergolong sebagai kerabat. Kerana hubugan dara, perkawinan diklasifikasikan dalam satuan-satuan identitas yang disertai dengan fungsi-fungsinya dalam struktur hubungan dengan ego. Melalui istilah-istilah tersebutlah mereka dapat menentukan jauh dan dekatnya hubungan kekerabatannya.

Prinsip kekerabatan bagi mereka adalah sebagai landasan kegiatan hidup bersama, yaitu adanya kecenderungan untuk hidup mengelompok diantara mereka yang sekerabat. Selain itu sebagai kelompok kegiatan-kegiatan ekonomi dan tolong menolong. Hubungan  antar dua orang sakai yang berlangsung secara baik dapat dikatakan hubungan kakak-adik atau dalam bahasa sakainya disebut adik beradik, dan hubungan ini dsahkan dalam bentuk upacara adat.

3.      Perkawinan

Menurut orang sakai, setiap orang boleh kawin dengan siapa saja kecuali dengan orang yang digolongkan dengan keluargannya. Orang yang digolongkan dengan anggota keluarga adalah ibu, ibu angkat, ibu tiri, bapak, bapak angkat, bapak tiri, saudara sekandung, anak, dan saudara sepupu menurut garis paralel.

Perkawinan yang sering terjadi adalah perkawinan antar bujang dengan gadis, atau pasangan janda dengan duda. ada juga yang melakukan poligami dalam perkawinan orang sakai. Namun perkawinan poligami ini jarang dilakukan oleh orang sakai, karena biaya perkawinan yang mahal.

Perkawinan anta bujang dengan gadis sebelum diadakan akad nikah biasanya dilakukan pertunangan antar kedua belah pihak. Jika tidak dilakukan pertunangan biasanaya perkawinannya dilakukan dengan kawin lari. Ada dua cara dalam melamar si gadi yang, pertama si bujang datang sendiri menemui si bapaknya dan mengatakan bahwa ia ingin bermaksud memperisti sigadis tersebut. Yang kedua bila si bujang merasa malu minta tolong kepada orang tuanya sendiri untuk melamarkannya. Bisanya yang dimintintai tolong  adalah kerabat terdekatnya yang mana dia adalah seorang perempuan yang paling tua.

Ada pun yang menjadi mas kawinnya adalah sebuah mata uang perak, kain baju sepersalinan lengkap, sepotong pakaian yang dipakai sehai-hari, dan sebuah cincin atau gelang yang terbuat dari perak. Semua mas kawin tersebut diserahkan dan dilakukan di dalam rumah.

Upacara perkawinan dilakukan dirumah setelah selesai penyerahan mas kawin oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Upacara dimulai dengan dibuatnya gambar orang-orangdi tiang utama rumah si batin dengan menggunakan kapur sirih. Gambar tersebut menggambarkan si laki-laki dan perempuan yang melambangkan perkawinan pengantin baru. Apa bila gambar sudah selesai di lakukan si batin bertanya kepada pengantin laki-laki dan perempuan apakah sudah siap dikawinkan. Kemudian bila sudah siap si batin bertanya kepada para hadirin untuk kesiapan mejadi saksi perkawinan.

Setelah selesai dilkukan prosesi akad nikah, dipukullah kendang secara bertalu-talu. Dengan dipukulnya kendang tersebut bararti juga dapat dimuali pesta perkawinan kedua pengantin tersebut. Pesta perkawinan masa lampau biasanya berlangsung Selama tiga hari tiga malam dengan hiburan tari menari. Namun pada masa sekarang dilakukan secara sederhana. Yang tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut. Penyerahan mas kawin dihadapan penghulu atau Kantor Urusan Agama, mas kawin berjumlah antara Rp. 1000 sampai Rp.5000. pengesahan perkawinan dilakukan oleh penghulu dan disaksikan oleh masing-masing kerabatyang membubuhkan tanda tangan atau cap jari di surat pernikahan. Pesta perkawinan dilakuakan maksimal satu hari satu malam.

C.     Mata Pencarian dan Perekonamian.

1.      Berladang.

Setiap orang Sakai harus memiliki sebidang tanah, bahkan orang dewasa atau remaja yang masih bujangan pun harus memiliki tanah atau ladang. Karena hanya dari ladang itulah mereka dapat memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari. Untuk pembuatan ladang melalui empat tahapan. Yaitu, memilih tempat untuk berladang. Tanah yang dipilih biasanya tidak banyak semak belukarnya. Tanahnya miring agar tidak tergenang air, berdekatan dengan anak sungai atau air yang mengalir, dan tidak ada sarang semutnya.Yang kedua, membuka hutan untuk dijadikan ladang. Mereka   tahu Batin, tentang maksud membuka ladang diwilayah hutan yang mereka pilih. Bila telah selesai urusan ini, maka mereka menebang pohon-pohon yang ada dihutan yang mereka pilih. Yang ketiga, mereka menanam benih padi. Kemudian mereka menanam ubi kayu beracun dan sayur-sayuran serta tanaman-tanaman lainnya.

2.      Menjerat hewan, menangkap ikan dan meramu hasil hutan.

Biasanya orang Sakai juga menjerat berbagai jenis hewan liar, (kijang, kancil, babi hutan) atau hewan lainnya yang secara tidak sengaja terjerat. Mereka juga menangkap ikan dengan menggunakan cukah yang terbuat dari anyaman rotan. Selain itu, mereka juga menggunakan jaring untuk menangkap ikan kecil-kecil. Serta menggunakan serok untuk udang-udang yang berada dirawa-rawa. Kegiatan ini dilakukan ketika kegiatan diladang berkurang atau seusai menanam padi.Disamping itu mereka juga meramu atau mengumpulkan hasil hutan. Seperti dahan-dahan kering untuk kayu bakar, jamur setelah hujan turun, pucuk-pucuk daun untuk bumbu, damar, kemenyan, kapur barus dan karet.

D.    Rumah Orang Sakai

 

Jadikan gambar sebaris

Rumah adat suku sakai

Ada sebagaian orang sakai yang masih hidup berpindah-pindah, namun mereka tetap memerlukan rumah untuk bertempat tinggal.mereka umumnya mendiami di hutan-hutan dan bertempat tinggal dialiran sungai-sungai untuk mendirikan rumah. Rumah menurut orang saki disebut dengan umah. Rumah atau umah orang sakai berbentuk persegi panjang dan juga berbentuk panggung. Rumah orang sakai di buat dengan berbentuk panggung karena untuk menghindari serangan hewan-hewan buas, seperti gajah. Harimau, macan, ular, dan lain-lain. Bagi orang skai rumah atau umah bukan hanya tempat berteduh yang nyaman dan tenang  tetapi juga sebagai tempat melakukan sebuah acar atau ritual keagamaan.

Rumah orang sakai ini termasuk rumah yang sangat unik, karena dapat berdiri dengan kokoh tanpa menggunakan paku. Hanya disambung dengan tali rotan. Keunikan lainnya adalah mereka menggunakan kayu sebagai bahan utamanya seperti tiang dan juga yang lain dengan cara kayu utuh.

Rumah orang sakai juga tergolong rumah yang sederhana, hanya ada satu ruangan yang digunakan untuk serbaguna. Hanya berkisar ukuran 4x6 saja. Lantai dan dindidngnya terbuat dari kulit kayu, sedangkan atapnya terbuat dari jerami atau daun kelapa.

Meskipun rumah orang sakai terbilang unik dan sederhana, namun rumah ini memiliki bebarapa fungsi bagi kehidupannya. Diantara fungsi rumah bagi orang sakai adalah sebagai berikut; Tempat tinggal keluarga, Tempat upacara adat, Tempat penyimpanan barang, Tempat kegiatan social.

Kesimpulan

Dari penjelasan yang singkat di atas dapat penulis simpulkan bahwa,

1.      Orang sakai nama sakai berasal dari gabungan huruf dari kata-kata S-ungai, A-ir, K-ampung, A-nak, I-kan. Hal itu mencerminkan pola-pola kehidupan mereka, di kampung, tepi-tepi hutan, di hulu-hulu anak sungai yang banyak ikannya dan yang cukup airnya untuk minum dan mandi.

2.      Kata sakai berasal dari kata sekai, yaitu nama sebuah cabang anak sungai yang bermuara di sungai Mandau dan juga berasal dari kata saka, yaitu tiang rumah punggung utama, atau juga kata sikai (tergolong spesies calamus), yaitu sejenis pohon salak yang tidak berbuah dan banyak terdapat di hutan-hutan tempat hidup mereka, yang daunnya di gunakan untuk atap rumah.

3.      Kehidupan suku sakai berada di tepi-tepi sungai.

4.  Mereka bertahan hidup dengan cara bercocok tanam, berburu hewan dan juga membuka ladang yang baru.

5.      Orang sakai hidup secara berkelompok-kelompok menempati suatu tempat.

6.      Pernikahan mereka tidak ada batasan dengan siapa mereka menikah.

7.      Rumah mereka terbuat dari kayu-kayu yang ada dihutan.

 

Daftar pustaka

Thamrin, Husni.2003.Sakai: kekuasaan, pembangunan, marjinalisasi. Pekanbaru:

     Gagasan Press

Suparlan, Parsudi. 1995. Orang sakai di Riau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

UU Hamidy.1991. Masyarakat terasing daerah Riau di Gerbang Abad

     XXI.Pekanbaru: Zamrad

Al-mudra, Mahyudin.2007.Rumah Panggung Tradisional Orang Sakai di

     Riau.http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2597/umah-rumah-panggung

     tradisional-orang-sakai-di-riau.html. Diakses tanggal 11 Maret 2015.

http://surgaditelapakibu.blogspot.com/2011/05/orang-sakai-di-riau.html

http://meutia88.wordpress.com/pola-strategi-nafkah-masyarakat-pedesaan/

 

No comments:

Post a Comment