HAMBATAN MASUKNYA AJARAN DAN PENDIDIKAN ISLAM DI PERANCIS


MERRI NATALIA S/SP

Di Prancis, jumlah umat Islam diperkirakan mencapai 6-7 juta orang. Angka ini merupakan perkiraan karena dalam sensus penduduk Prancis tidak ada pertanyaan tentang agama yang dianut penduduknya. Statistik agama secara resmi dilarang oleh hukum Prancis. Seperti diketahui bersama, Prancis adalah negara sekuler, berbeda dari Indonesia yang adalah negara Pancasila. Di Indonesia, negara tidak mendasarkan pada agama tertentu, tetapi juga bukan negara sekuler yang memisahkan agama sebagai urusan privat dengan negara yang dianggap sebagai ruang publik. Statistik agama justru disediakan negara. Umat Islam di Prancis berasal dari berbagai ras dan etnik dari seluruh dunia, terutama dari daerah Maghrib dan Afrika, selain itu juga dari Turki, Bangladesh, Suriah, Mesir, dan bahkan Indonesia. Mereka banyak yang
sudah memiliki kewarganegaraan Prancis. Mereka terutama terkonsentrasi di kota-kota besar, seperti Paris, Marseille, dan lain-lain. Di Paris dan sekitarnya saja jumlahnya dapat mencapai 1,5–2 juta. Sebagian besar dari mereka berasal dari Aljazair dan Maroko, hal tersebut berkaitan erat dengan proses migrasi yang membawa banyak Muslim dari Afrika Utara selama dan setelah Perang Dunia II.
Kebanyakan keluarga Muslim itu tinggal di pinggiran Paris, di mana mereka beradaptasi dan bergaul dengan penduduk setempat. Selain itu, sebagai Muslim mereka tetap berusaha mewarisi tradisi keagamaan yang dibawa dari negeri leluhur mereka. Jarang sekali ditemui umat Muslim yang pindah agama. Perkembangan Islam di Prancis berlangsung secara alamiah melalui kepemelukan agama sejak lahir. Selain itu ada pula penduduk setempat yang memilih masuk Islam secara sukarela. Ada sekitar 50.000 – 100.000 orang Prancis yang menjadi mualaf. Secara statistik, jumlah pemeluk Islam dari warga Prancis memang kecil dan tidak signifikan, namun angka ini menunjukkan bahwa Islam bukan agama orang Maghrib saja, tetapi Islam dapat diterima oleh orang Prancis. Di Masjid Besar Paris, setiap minggu, sedikitnya 8-10 orang menyatakan syahadat. Selain itu juga dilakukan pembelajaran bagaimana menjadi seorang Muslim, dan pada hari menjadi mualaf mereka harus membaca dua kalimat syahadat, dan setelah itu mereka akan mendapatkan sertifikat yang menyatakan bahwa mereka telah menjadi seorang muslim dan mendapatkan nama "Muslim", seperti Muhammad, Aisyah, Fatimah, dan lain-lain. Ini agak berbeda dengan di Indonesia di mana seorang Muslim sedari lahir tidak "harus" mempunyai nama "Muslim". Di Indonesia, orangtua sering menamai anaknya dengan nama "lokal" atau nama "Barat", khususnya mereka yang tinggal di perkotaan, di mana pengaruh "Barat" relatif kuat lewat media. Sebaliknya di Prancis, warga Prancis yang pindah agama menginginkan "nama baru", walaupun tentu saja secara syariat Islam tidak ada keharusan menggunakan nama-nama yang berasal dari bahasa Arab. Secara demografis, Islam di Prancis umumnya, dan Eropa khususnya ditopang oleh penduduk usia muda. Pemuda merupakan bagian penting dalam komposisi umat Islam. Di Eropa, sekitar 75 % umat Islam adalah mereka yang berumur cukup muda, yaitu sekitar 25-an tahun .
Laicite Hambatan Bagi Perkembangan Islam?
Laicite adalah sebuah sistem sekuler yang dianut oleh Prancis, yang secara prinsipil memisahkan agama dari negara. Namun laicite bukan penolakan terhadap agama. Jadi kebijakan ini tidak bisa disimpulkan secara sederhana sebagai hambatan atau bahkan bahaya bagi perkembangan agama secara umum, dan Islam secara khusus. Ada keuntungan dan sekaligus kerugian dari kebijakan tersebut. Bagi umat Islam, kebijakan tersebut memang menimbulkan sejumlah kesulitan, seperti mempersulit pembangunan dan pembiayaan masjid dan kegiatan ibadah-ibadah lainnya, dikarenakan negara tidak punya kewajiban untuk membiayai hal tersebut. Oleh karena itu, masjid-masjid bergantung pada kesetiaan umat Islam sendiri untuk dapat membiayai aktivitas-aktivitas keagamaan, seperti membangun masjid, membayar imam masjid, dan mencetak imam-imam masjid yang memenuhi kualifikasi sebagai imam masjid. Namun, umat Islam di Prancis mendapat bantuan dari negara-negara Muslim lainnya, yang umumnya ditujukan kepada komunitas tersebut. Di Paris, misalnya, orang menyebut masjid Maroko karena masjid dikelola oleh orang-orang Maroko. Budaya ini sebenarnya lebih mirip dengan tradisi gereja daripada tradisi umat Islam di Indonesia. Di Indonesia masjid tidak "dimiliki" oleh komunitas tertentu, sementara gereja banyak yang dilekatkan pada komunitasnya, seperti gereja Jawa atau gereja Batak. Indonesia sampai saat ini belum "memiliki" masjid di Prancis. Selain itu, negara-negara Teluk kaya minyak, Uni Emirates Arab, Arab Saudi, dan Qatar juga membantu membiayai kegiatan sosial-keagamaan di masjid-masjid walaupun jumlah muslim yang berasal dari negara-negara Teluk tidak banyak.
Di Prancis, hanya terdapat 2000 masjid, sedangkan jumlah masjid ideal di Prancis seharusnya 4000 masjid. Akan tetapi karena negara bersifat sekuler, maka negara tidak dapat membiayai pembangunan masjid. Kondisi tersebut membutuhkan pengorbanan dan kesabaran besar dari umat Islam sendiri. Masalah lain yang dihadapi berkaitan dengan sekularisme Prancis adalah masalah pemakaman, karena pemakaman yang ada di Prancis adalah pemakaman Eropa yang berbeda dengan kaidah-kaidah pemakaman umat Islam sehubungan dengan arah pemakaman tersebut yang sebaiknya menghadap ke Mekkah. Tentu saja ini bukan keharusan, tetapi bagi warga keturunan Maghribi, makam ke arah Mekkah menjadi penting. Namun demikian, kebijakan laicite memberikan ruang kebebasan bagi umat Islam untuk melakukan ibadah dan aktivitas keagamaan (shalat Jum'at, Idul Fitri dan Idul Adha, buka bersama di masjid, dll). Hal ini dapat dibuktikan oleh adanya kegiatan-kegiatan Islam di bulan Ramadhan yang bisa dilakukan dan diorganisasi dengan baik di Prancis. Selain itu, Islam saat ini telah menjadi agama resmi baik di Prancis maupun di Eropa. Jadi tidak benar perkembangan agama memburuk di bawah sistem sekuler, asal kesetiaan pemeluk agama, termasuk Islam, tetap kuat dan terjaga.
Kesulitan Umat Islam di Prancis
Masalah pertama adalah kurangnya masjid. Sifat negara Prancis yang merupakan negara sekuler tidak memungkinkan pembiayaan masjid oleh negara. Selain itu, sangat sulit mendapat tanah untuk membangun masjid, sehingga masjid yang ada di Prancis biasanya sangat kecil dan sangat kurang. Berikutnya, sebagian besar umat Islam di Prancis berasal dari kelas menengah-bawah yang tidak mempunyai kekuatan finansial besar untuk membangun masjid dan membiayai kegiatan sosial-keagamaan lainnya secara sempurna. Konsekuensinya, banyak umat Muslim yang harus melakukan shalat di jalan, terutama pada saat shalat Jum'at dan terutama pada peringatan hari besar seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Di satu sisi, ini menunjukkan kesetiaan umat Islam terhadap agamanya, di sisi lain ini menimbulkan kesulitan kerena ruang publik, termasuk jalan, sebenarnya secara legal tidak boleh digunakan untuk aktivitas keagamaan apapun. Ini menimbulkan sedikit "ketegangan" dengan penduduk Prancis yang fanatik terhadap sekularisme, walaupun negara sebenarnya memberikan "dispensasi". Di Masjid Besar Paris sendiri, setiap luberan jamaah ke jalan selalu diawasi oleh petugas keamanan resmi berseragam yang menjamin luberan tersebut tidak mengganggu "ketertiban umum".
Masalah kedua adalah hari puasa yang panjang. Bulan puasa tahun-tahun ini akan jatuh pada saat musim panas di Eropa dan Prancis. Saat musim panas di Paris, matahari bersinar lebih lama, sehingga adzan Maghrib baru akan berkumandang sekitar pukul 22.00 malam. Sedangkan Isya adalah tengah malam, sementara itu azan subuh sudah akan berkumandang sekitar pukul 04.30. Kondisi demikian membuat umat Islam di Prancis mengalami hambatan dalam menjalankan ibadah puasa, walaupun sebagian umat muslim di Prancis tetap menjalankan ibadah puasa. Tampaknya ini tidak jauh berbeda dengan situasi di kota-kota besar di Indonesia selama Ramadan. Masalah ketiga yang dihadapi adalah haji. Banyak umat Islam di Prancis yang ingin menunaikan ibadah haji. Setiap tahun diperkirakan sejumlah 25.000-30.000 orang ingin menjalankan ibadah haji. Masalah yang dihadapi adalah sulitnya mendapatkan visa dan kurangnya instansi perwakilan Prancis yang dapat menerima jemaah haji asal Prancis di Mekkah, Jeddah, Mina, Madinah dan sekembalinya dari Mekkah ke Prancis.
Masjid Besar Paris dan Perkembangan Islam di Prancis
Masjid Besar Paris mempunyai tugas untuk memperkenalkan Islam ke seluruh penjuru Prancis dan sebagai simbol Islam di Prancis, seperti simbol Menara Eiffel bagi Prancis. Namun setiap masjid di Prancis independen dan terkait dengan jamaahnya sendiri. Dengan demikian, Masjid Besar Paris tidak memiliki hubungan manajerial dengan masjid lain. Adapun Islam yang diperkenalkan lebih condong ke mazhab Sunni aliran Maliki. Walaupun demikian, Masjid Besar Paris tidak menutup diri dari aliran lain seperti Syafii, Hanafi dan Hambali. Masjid Paris menerima siapa pun yang datang, bahkan orang-orang Eropa (muslim maupun bukan) untuk masuk ke dalam masjid untuk sekedar melihat-melihat dan berkeliling di lingkungan Masjid. Masjid Besar Paris yang berada di kawasan tua Quartier Latin mendukung program negara dalam sektor pariwisata. Selain itu, masjid juga bukan tempat "angker" bagi pemeluk agama lain atau bahkan bagi para ateis yang jumlahnya cukup besar di Prancis dan Eropa. Hanya saja mereka tidak boleh memasuki Salle de prière (ruang shalat) yang memang harus tenang dan terlarang bagi kamera. Di luar ruang shalat, pengunjung bebas memotret dan bercengkrama menikmati arsitektur masjid. Selain itu, Masjid Besar Paris juga memfasilitasi orang-orang yang berkeinginan untuk memeluk Islam. Tentu saja, sekali lagi, prinsip utamanya adalah tidak ada paksaan dalam beragama. Selanjutnya, Masjid Besar Paris bertanggung jawab terhadap pendidikan Islam bagi anak-anak, di mana banyak anak-anak belajar membaca Al-Quran dan bahasa Arab. Aktivitas Islam di masjid ini memang dilakukan dengan menggunakan bahasa Arab. Selain itu, masjid ini juga mempunyai sebuah lembaga pendidikan bernama Institut Al-Ghazali yang bertugas untuk mencetak imam masjid untuk komunitas muslim.
Stereotyping dan Phobia Islam di Eropa, Khususnya di Prancis
Sudah sejak lama muncul demonstrasi dan upaya-upaya untuk membuat stereotype dan memprovokasi ketakutan dan kebencian terhadap Islam, yang seringkali dihubungkan dengan ras Arab pemeluk agama Islam mayoritas di Prancis. Hal tersebut merupakan masalah yang berat untuk Masjid Besar Paris. Tekanan terhadap Islam semakin meningkat semenjak adanya krisis global, di mana masyarakat Eropa pun juga dihadapkan pada berbagai kesulitan yang kompleks. Kaum muda sulit mendapatkan pekerjaan. Keluarga-keluarga di Prancis dihadapkan pada berbagai kesulitan ekonomi seperti sewa rumah, transportasi, pendidikan anak, dan kualitas hidup yang menurun. Pada saat krisis inilah orang-orang "asing" yang dikorbankan dan dituduh jika terjadi kekerasan dan kejahatan akibat krisis ekonomi tersebut. Hal itu menimbulkan reaksi yang kadang-kadang dipolitisir. Ada beberapa partai politik yang mengeksploitasi ketakutan terhadap Islam, mengeksploitasi rasisme berkaitan dengan Islam, dan mengeksploitasi kebencian terhadap Islam, untuk mendulang suara dalam pemilu. Karena Islam membuat orang takut, sehingga banyak orang yang tidak suka terhadap Islam dan percaya bahwa Islam adalah agama yang penuh dengan kekerasan. Hal tersebut terus berlanjut walaupun umat Muslim di Prancis dan di Eropa pada umumnya telah berusaha untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang terbuka dan toleran serta mau berdialog, namun tetap saja ada partai politik yang mengeksploitasi dan menggunakan isu agama dalam kampanye politiknya. Selain itu, ketakutan tersebut berhubungan dengan kriminalitas dan penggunaan obat-obatan terlarang yang sebagian besar menyentuh generasi muda Muslim dari kelas menengah bawah dengan tingkat pengangguran tinggi, khususnya selama krisis ekonomi. Oleh karena itu, keluarga sebagai unit masyarakat terkecil harus mendidik anak-anak mereka dengan moral Islam yang melarang mencuri, memakai obat terlarang, melakukan kekerasan, dan tidak memprovokasi orang lain. Masjid Besar Paris menghimbau agar anak muda lebih kalem, bijaksana, belajar dengan baik dan serius baik di rumah dan sekolah.
Burqa: Antara Hukum Positif dan Kebebasan Individu
Secara syariah, tidak ada perintah khusus untuk memakai burqa (pakaian yang menutupi kepala dan wajah) bagi para wanita. Itu adalah penafsiran atas teks agama. Secara prinsip, jika ada yang menginginkan memakainya, silakan memakainya. Dari sisi kesekuleran, pelarangan memakai burqa di tempat umum adalah undang-undang yang tidak menghargai keinginan wanita dalam berpakaian. Di dalam masyarakat yang mengklaim dirinya bebas, seharusnya kita tidak bisa menghalangi bagaimana seseorang itu berpakaian. Itu pilihan masing-masing perempuan. Akan tetapi, bagaimanapun juga, umat Islam seharusnya tidak membuat masalah dengan negara sekuler dan sebagian warga setempat yang tidak menerima burqa. Kaum muslimin seharusnya menghargai juga pilihan negara dan masyarakat yang menginginkan kebijakan tunggal yang memperlakukan semua orang, baik pria maupun wanita, sama-sama menampilkan wajah yang terbuka. Walaupun masing-masing orang dapat melakukan apa yang mereka inginkan tapi seharusnya sesuai dengan hukum positif yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
1.      Syamsul. 2009. Sejarah Peradaban Islam Perancis. Jakarta: Amzah.
2.      Muslim Spain and European Culture, dalam http://www muslimheritage.coM
4.      Zuhairini, Dira, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Proyek Pembinaan Prasarana dan sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Jakarta. 1996.


No comments:

Post a Comment