SEJARAH NEGARA BAHRAIN

DEDEK RATNASARI/S/E-B/

A.    Kilas balik sejarah

Pada mulanya, semua daerah yang berada di pesisir barat kawasan teluk bernama "Bahrain", atau lebih tepatnya semua daerah yang berada antara kota Masqat (Muskat) dan Basra. Selanjutnya, nama ini mengalami pergeseran, sehingga Bahrain hanya digunakan sebagai nama negara yang terletak di jantung teluk Arab. Sebelum nama Bahrain daerah ini bernama "Awal" nama sebuah berhala milik dua bersaudara Bakr dan Taglib putra Wail. Karena Bani Wail bersama Bani Abdi Qais adalah penduduk yang menetap di daerah ini pada kurun waktu tersebut.

Sebelum datangnya Islam hingga awal masa kenabian, Bahrain yang berada di daerah pesisir antara Muskat dan Basrah adalah jajahan Persia sejak tahun 615 M, mayoritas tampuk pemerintahan diserahkan  kepada kalangan Arab, dari bani Wail dan Tamim, sementara penduduknya terdiri dari kaum Yahudi, Majusi dan Nasrani di samping Arab Najed dari bani Abdi Qais, Wail dan Tamim yang telah disebutkan di atas.
Tahun ke-8 Hijriah, Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam mengutus sahabat yang mulia al-'Ala ibn al-Hadhramiy ke daerah ini sebagai duta dan penyeru kepada Islam, sehingga banyak penduduknya masuk ke dalam Islam. Pada saat Rasulullah wafat, sebagian penduduknya murtad, maka diutuslah kembali sahabat al-'Ala ibn al-Hadhramiy bersama al-Jaruud Ibn Abd al-Qais kemudian diperkuat oleh Khalid Ibn al-Walid –Radhiyallahu 'anhum- dengan misi mengembalikan mereka ke dalam Islam, dan Islam berhasil bersemai kembali di Bahrain.
Bahrain tetap eksis dalam pemerintahan Islam pada masa Khulafa al-Rasyidin, dinasti Bani Umayyah kemudian dilanjutkan oleh dinasti Bani Abbasiyah, meskipun dalam perjalanannya mengalami beberapa usaha sabotase dan makar yang diprovokasi oleh kaum Khawarij, Shahib al-Zanj (separatis dari kaum Alawiyyin) dan Qaramithah (sekte ekstrim syi'ah bathiniyyah).
Sejak dahulu, kaum Imperialis telah menjadikan Bahrain sebagai incaran, dikarenakan letaknya yang sangat strategis sebagai jalur para nelayan pemburu mutiara serta kekayaan agraris yang melimpah.
Pada dekade berikutnya, daerah ini takluk pada penjajah Oman dan Portugal. Faktor penyebab eksisnya imperialisme barat ke Bahrain, selain dikarenakan kuatnya pengaruh kaum penjajah juga   dikarenakan menurunnya kekuatan khilafah Utsmaniyah yang terlalu sibuk mengurusi permasalahan-permasalahan internal.
Kaum Syi'ah Shafawiyah yang memerintah Iran sejak 905 H (1500 M), merasa khawatir dan terganggu dengan meluasnya ajaran Islam seiring dengan meluasnya wilayah kekuasan khilafah Utsmaniyah di barat dan timur. Maka mulailah mereka merancang strategi untuk menghancurkan kaum Utsmaniyyin, dengan cara menikam dari belakang, melakukan konspirasi terselubung, khususnya pada masa pemerintahan Shah Ismail al-Shafawiy. Meletuslah perang antara kedua kubu yang berakhir dengan kekalahan tragis di pihak pengikut Shafawiy. Tetapi konspirasi ini tidak berhenti di sini, Shah Ismail al-Shafawiy mulai menjalin hubungan dengan negara-negara barat untuk "menghabisi" kekuatan khilafah Utsmaniyah, salah satunya kesepakatan yang digalang bersama Afonso de Albuquerque penguasa Portugal di India, yang berintikan 4 poin penting:
1.    Angkatan laut Portugal akan membantu misi Iran untuk mengusai Bahrain dan al-Qathif.
2.    Kerjasama Portugal dan Iran dalam meredam gerakan separatis di Balochistan dan Mukran (bagian tenggara Iran).
3.    Bersatu dalam menghadapi Daulah Utsmaniyah.
4.    Pihak Iran harus mengalihkan perhatian terhadap Selat Hormuz (selat yang memisahkan Iran dan UEA, terletak di antara teluk Oman dan teluk Persia, pent) dan menyerahkan pengusaannya kepada pemerintah Portugal serta tidak mencampuri urusan internal selat ini.
Hasilnya, Portugal berhasil menduduki Bahrain sejak 1521 hingga 1602 M, kemudian kembali dikuasai secara berperiodik oleh Iran hingga tahun 1783 M, kemudian didepak dan diusir oleh kaum Arab 'Utbah yang merupakan asal muasal keluarga  Alu Khalifah (penguasa sekarang), yang bekerjasama dalam meminta perlindungan dari pemerintah Inggris hingga deklarasi kemerdekaannya pada tahun 1971 M.
B.     B. Sejarah islam di Negara Bahrain

Bahrain telah diduduki oleh manusia sejak zaman pra-sejarah lagi. Lokasinya yang strategik di Teluk Parsi telah membawa kepada pengaruh daripada orang-orang Assyria, Babylon, Yunani, Parsi, dan akhir sekali Arab (penduduknya kemudian menjadi Muslim). Bahrain pada zaman silam dikenali sebagai Dilmun, Tylos (nama Greeknya), Awal, malah Mishmahig sewaktu dibawah pemerintahan Empayar Parsi.
Pulau-pulau di Bahrain yang terletak di tengah-tengah sebelah selatan Teluk Parsi berjaya menarik penjajah sepanjang sejarah. Bahrain dalam Bahasa Arab bermaksud "Dua Laut". Hal ini sama ada merujuk kepada fakta yang pulau ini mempunyai dua sumber air berbeza, air tawar dan air masin atau kepada air disebelah utara dan selatan teluk ini, memisahkannya daripada Semenanjung Arab dan Iran.
Sebagai sebuah pulau yang strategik, subur, dan mempunyai bekalan air mentah, Bahrain menjadi antara pusat tamadun dunia sepanjang sejarah. Selama 2300 tahun, Bahrain menjadi pusat perdagangan dunia di antara Mesopotamia (sekarang Iraq) dan Lembah Indus (sekarang sebuah wilayah di India). Hal ini ialah tamadun Delmon yang mempunyai kait rapat dengan Tamadun Sumeria pada kurun ke-3 SM. Bahrain menjadi sebahagian daripada Babylon lebih kurang pada tahun 600 SM. Rekod-rekod sejarah menunjukkan Bahrain dikenali melalui pelbagai gelaran yang antaranya "Mutiara Teluk Parsi".
Faktor inilah yang kemudian menarik untuk didiskusikan dalam artikel ini dengan memaparkan perihal eksistensi kaum syi'ah Bahrain, asal mula masuknya faham syi'ah, gerakan dan organisasi syi'ah dan hubungannya dengan Iran, pengaruh hubungan bilateral Bahrain – Iran terhadap eksistensi kaum syi'ah Bahrain.

C.     Penduduk Bahrain

Tidak dapat ditutupi, salah satu cara gerakan syi'ah untuk menunjukkan eksistensi politisnya adalah dengan memanipulasi jumlah mereka di setiap negara. Salah satunya adalah Bahrain, yang sebagian mereka mengklaim bahwa persentasi pengikut syi'ah di negara ini baik dari keturunan Arab ataupun Iran mencapai kisaran 60 % sampai dengan 65 % dari jumlah keseluruhan penduduk.
Laporan yang dikeluarkan oleh Ibn Khaldun Center for Development Studies berkaitan dengan permasalahan minoritas pada tahun 1993 menyebutkan bahwa penduduk Bahrain terbagi menjadi tiga kelompok: "Syi'ah Arab berjumlah 45% dari jumlah keseluruhan penduduk, Arab sunni berkisar 45 %, dan penduduk berdarah Iran berjumlah 8 %, sepertiganya adalah sunni dan duapertiganya adalah syi'ah. Kesimpulan akhirnya adalah bahwa persentasi keseluruhan pengikut syi'ah yang berdarah Arab dan Iran adalah 52%, dan persentasi pengikut Sunni Arab dan  keturunan Iran Balochistan berjumlah 48%.
Kaum syiah Bahrain merasa bangga dengan peran mereka dalam merealisasikan kemerdekaan Bahrain tahun 1971 yang mereka jadikan sebagai bukti konkrit akan loyalitas mereka kepada negara mereka dan bukan sebagai antek Iran, sebagaimana yang disuarakan oleh seorang tokoh oposisi syiah Abdul Wahhab Husain.  Tetapi hal yang perlu dicatat, bahwasanya sikap ini (loyalitas kepada Bahrain) lahir akibat adanya pertarungan dan permusuhan antara tokoh agama syi'ah (Imam) dengan para shah (penguasa/raja Iran). Maka secara logika, mereka tidak mungkin menuntut dimasukkannya Bahrain ke dalam kekuasaan Iran di bawah pemerintahan shah, sementara bersamaan dengan itu mereka berusaha untuk menggulingkan kekuasaan shah. Apalagi pelaksanaan referendum (Bahrain) dilakukan semasa Iran masih dikuasai oleh para Shah, delapan tahun sebelum terjadinya revolusi Khomeini yang di kalangan syi'ah di seluruh dunia dijadikan sebagai model dan panutan, yang selanjutnya (semangat revolusi) menjalar dan menyulut semangat kaum syi'ah di kawasan teluk secara umum dan di Bahrain secara khusus untuk kembali menyuarakan tuntutan agar Bahrain tunduk kepada Iran yang dijadikan sebagai kiblat gerakan syi'ah. Dan (semangat) itu, diwujudkan dalam bentuk tindakan anarkis dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok syi'ah Bahrain terutama di tahun 80-an dan di awal tahun 90-an. Dimana poster-poster para tokoh syi'ah Iran (Khomeini) dan Hizbullah Libanon pro Iran, menjadi sesuatu yang biasa dan menjadi pemandangan rutin di setiap aktivitas dan demonstrasi kaum syi'ah di Bahrain.
Sejak awal, dan khususnya setelah meletusnya revolusi Iran tahun 1978 yang menjadi momentum awal  terbentuknya paradigma ekspor semangat revolusi (fikrah tashdir al-Tsaurah) ke negara lain , gerakan perlawanan kaum syi'ah Bahrain telah merapatkan barisan dengan membentuk sebuah organisasi pertama yang mewadahi semangat ini yang mereka namakan "al-Jabhah al-Islamiyah li Tahrir al-Bahrain" (Front Islam Untuk Pembebasan Bahrain) yang didirikan pada bulan Sepetember, beberapa bulan setelah meletusnya revolusi Iran. Kemudian disusul dengan berdirinya "Harakah Ahrar al-Bahrain al-Islamiyah"  (Gerakan Pembebasan al-Bahrain al-Islamiyah) yang berpusat di London. Kemudian muncullah "Hizbullah al-Bahrain" yang dipandang oleh pemerintah Bahrain pada awalnya sebagai salah satu cabang gerakan organisasi "Hizbullah" yang merupakan wadah gerakan politik kaum syi'ah pro revolusi di luar
Daftar pustaka :
4.      Abdul aziz. 2012. Kerajaan Bahrain vs kudeta syiah. Toobagus publishing. Hal 76-87
5.      Joyce Miriam. 2010.  BAHRAIN FROM THE TWENTIETH CENTURY TO THE ARAB SPRING. Hal 115
6.      World and Its Peoples - ARABIAN PENNISULA  hal. 37

No comments:

Post a Comment