Yosdalifa Katrin /SI IV
Pidato Soekarno yang masih mengharapkan hadiah kemerdekaan Indonesia atas Jepang, atas janji Jenderal Terauchi di Saigon pada tanggal 1 Agustus 1945, dengan meneruskan perang suci Dai Toa, sedangkan para pemuda pejuang yang berkumpul yang menghendaki kemerdekaan sekarang juga dengan proklamasi kemerdekaan, yang diumumkan sendiri oleh rakyat, tanpa campur tangan Jepang apalagi pemberian hadiah kemerdekaan dari Jepang, seperti yang dijanjikan, keputusannya sebagai berikut:
1. Kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal Rakyat Indonesia sendiri, tak dapat digantungkan pada orang lain atau kerajaan lain. Untuk menyatakan bahwa Indonesia sudah sanggup merdeka, dan sudah tiba saatnya merdeka, baik menurut keadaan, kodrat, dan histori. Jalannya hanya satu yaitu dengan " proklamasi kemerdekaan oleh bangsa Indonesia sendiri, lepas dari bangsa asing atau bangsa apapun".
2. Menugaskan Wikana dan Darwis untuk menyampaikan keputusan tersebut kepada kedua pimpinan yaitu Soekarno dan Hatta
3. Menugaskan Djohar Nur menyusun persiapan-persiapan diasramanya dalam rangka keputusan di atas.
Keputusan-keputusan tersebut harus dilaksanakan. Wikana dan Darwis pada tanggal yang sama, dan persisnya pada tanggal 15 Agustus 1945 jam 22.00 datanglah Wikana dan Darwis kekediaman bung Karno waktu itu, jalan Pegangsaan Timur no 56. Kedua pemuda itu menyatakan kepada bung Karno bagaimana sikapnya sebagai pemimpin rakyat terhadap soal kemerdekaan Indonesia pada situasi Jepang sudah menyerah, jawaban bung Karno yaitu "saya belum percaya pada penyerahan Jepang, sebelum pihak resmi (Gunseikan atau Sumobucho) menyampaikan berita itu, tentang kemerdekaan Indonesia akan tetap merdeka, karena soal ini sekarang menunngu waktu saja, sebab segala persiapan segala sesuatunya sekarang hampir selesai" tutur bung Karno.
Selanjutnya dua utusan itu menanyakan lagi kepada bung Karno, "apakah kita harus menunggu kemerdekaan itu dipersenkan kepada kita dari Jepang, sedangkan Jepang sendiri sudah menyerah kalah dalam perang sucinya?"
Bung Karno menjawab, " ya, kita Rakyat harus menunggu dahulu, karena soal kemerdekaan (hadiah) sudah pasti. Selanjutnya kedua utusan itu bertanya lagi, "Mengapa tidak Rakyat sendiri yang menyatakan kemerdekaan kita? Mengapa tidak Rakyat kita yang Memproklamirkan Kemerdekaan itu?
Jawaban bung Karno tegas, "Hal ini tidak dapat saya putuskan, tetapi harus lebih dahulu saya rembukkan dengan teman-teman lainnya dan saya harus lebih dahulu mendengarka keterangan resmi tentang penyerahan Jepang itu dan lain-lain yang berhubungan dengan persiapan kemerdekaan itu".
Tidak lama kemudian, dalam suasa sedang berdiskusi dan belum sekesai, datanglah Hatta, Soebardjo, dan Dr. Buntaran Martoadmodjo, dan ikut dalam perundingan bung Karno memberikan keterangan kepada ketiga pemimpin di atas tentang maksud kedatangan kedua pemuda diatas, selanjutnya bung Karno menanyakan pendapat sebagai berikut :
Saya mengerti maksud kedatangan saudara-saudara dan saya sudah mendengar pula tentang penyerahan Jepang itu, akan tetapi resminya belum. Tentang maksud supaya rakyat kita yang memproklamirkan kemerdekaan, itupun sudah saya dengar dari Sjahrir, yang membawa berita penyeraha tersebut dan menanyakan jika kita "Soekarno-Hatta" mengumumkan kemerdekaan itu. Akan tetapi saya belum setuju jika kita yang mengumumkan Proklamasi itu, sebelum kita mendengar secara resmi penyerahan Jepang, dan sebelum kita mendengar bagaimana pikiran dan pertimbangan Gunseikan dan Sumubuchi tentang kemerdekaan yang dijanjikan itu.[1]
Peran dan Strategis Pemuda di Rengasdengklok
Selama pengamanan di rumah Djiau Kie Siong, bung Karno dan bung Hatta terus menanyakan kabar perihal revolusi besar di Jakarta yang sering disebit-sebut oleh pemuda. Namun tentara peta yang menjaganya tidak tahu apa-apa tentang hal itu, kemudian bung Hatta menyuruh tentara yang menjaganya itu untuk menanggil Sukarni. Tidak lama setelah itu Sukarni datang dan mengatakan bahwa ia belum mendapatkan kabar dari Jakarta. Mendengar hal itu, Hatta berargumen bahwa revolusi besar yang direncanakan pemuda itu telah gagal dan pengamanan ke Rengasdengklok hanya sia-sia karena di Jakarta tidak terjadi apa-apa.,
Beberapa jam setelah istirahat bung Karno dan bung Hatta dibawa kesebuah ruangan yang dimana ruangan tersebut sudah terdapat para pemuda, diantaranya Sukarni, Jusuf Kunto, de. Sutjipto, dan Umar Bahsan. Dalam buku Adam Malik yang berjudul Riwayat Proklamasi Agustus 1945, ia merekam dialog antara pemuda dengan Soekarno-Hatta didalam ruangan itu, yaitu sebagai berikut:
Sukarni memulai pembicaraan, ia menerangkan : maksud membawa kedua tokoh tersebut tidak lain hanya untuk mempersilahkan bung berdua selekasnya menyatakan Proklamasi Kemerdekaan atas nama seluruh rakyat, karena keadaan sudah sangat mendesak dan suasana pun sudah sangat memuncak. Jika tidak segera diproklamasikan, meka pemberontakan yang hebat akan terjadi, pemberontakan melawan tiap-tiap penghalang kemerdekaan (Jepang dan kaki tangannnya) tentu akan berlaku. Maka oleh karena itu atas nama segenap rakyat, buruh, tani, dan tentara supaya saudara-saudara turut melakukan proklamasi itu. Jika tidak, maka segala akibatnya, terutama yang mengenai keselamatan dari saudara berdua, tidak akan dapat ditanggani oleh rakyat.
Disini sangat jelas terlihat bahwa para pemuda menginginkan kemerdekaan sesegera mungkin yang dibuat oleh bangsanya sendiri bukan dari bangsa asing. Pemuda menilai jika kemerdekaan menunggu Jepang (PPKI) maka sama artinya dengan kemerdekaan buatan Jepang yang sewaktu-waktu bisa dijajah lagi. Oleh karena itu pemuda melihat kekalahan Jepang atas Sekutu adalah sebuah momentum bagi Indonesia bisa merdeka tanpa ada intervensi bangsa lain.[2]
Adanya janji yang diumbar-umbar Jepang akan kemerdekaan Indonesia membuat para golongan tua begitu yakin dengan janji Jepang tersebut, mereka begitu yakin karena taktik yang dilakukan oleh Jepang sangat meyakinkan, mengapa demikian sebab Jepang telah membentuk usaha-usaha untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, seperti BPUPKI (badan penyelidik usaha kemerdekaan Indonesia), BPUPKI ini untuk hal-hal yang berkaitan dengan pembentukan Negara Indonesia.
Bagaimanapun kegagalan dalam meyakinkan Soekarno dan Hatta dalam rapat yang diwarnai pertentangan-pertentangan dan emosional pada tengah malam pada 15 Agustus 1945. Para pemuda sadar bahwa mereka tidak akan meninggal kedua tokoh yang berpengaruh tersebut, mereka dianggap oleh masyarakat Indonesia sebagai pemimpin yang terkemuka dalam mendoronag masyarakat Indonesia untuk mencapai kemerdekan.
Kekecawaan pada diri para pemuda yang sangat benci dengan yang berbau Jepang yang membuat kekesalan dikalangan para pemuda semakin menumpuk sejak awal tahun 1945, tidak ada jalan lain selain pengasingan atau penculikan Ir.Soekarno dan Drs.Moh.Hatta ke Pegangsaan timur, tujuannya untuk menhindari dan dijauhkan dari kekuasaan Jepang pada kedua tokoh tersebut. Sehingaa hasrat pemuda untuk mengadakan revolusi tidak terhalang oleh tokoh tersebut. Keputusan tersebut dimabil dari rapat kilat di Asrama Baperpi Cikini No.71 Jakarta Selatan yang mendapat dukungan dari pemuda peta didikan militer Jepang.
Alasan memilih Rengas Dengkok
Pertama, karena letak Rengas Dengklok cukup terpencil, yaitu 15 km dari kearah utara dari pertigaan Kedunggede, kekuatan peta disana pro para pemuda. Selain itu mereka lebih siap menghadapi Jepang, bahkan pada 16 Agustus 1945 saat masih pagi Shodancho Umar Bahsan dan kawan-kawan peta disana telah lebih dahulu bertindak merebut kekuasaan dan melucuti senjata Jepang yang berada di tangsi peta dekan rawa-rawa delta Sungai Citarum. Pada hari tu juga mereka telah mengibarkan bendera Merah Putih atas nama Republik Indonesia yang ketika itu belum diproklamasikan. Lagi pula, di Kedunggede terdapat pos penjagaan tentera peta, dengan demikian setiap pergerakan Jepang dapat dipantau.
Kedua, redikalisme pete disana sejajar dengan rencana-rencana kelompok pemuda radikal di Jakarta untuk meneruskan rencana mereka membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok.
Ketiga, rencana itu didukung sepenuhnya oleh kelompok peta disana, dibawah ShodanCho Umar Bahsan dan atasannya, Daidancho Suryoputro, namun yang lebih penting adalah pejabat sipil disana yakni asistan wedana Rengasdengklok juga ikut menyokong. Guna menghindari kecurigaan Jepang, tugas menculik kedua tokoh ini diserahkan kepada Shodancho Peta Singgih, dr. Sucipto, Komandan Peta Jagamonyet, dan tokoh pemuda sukarni dan kawan-kawan.[3]
Penculikan Soekarno dan Hatta
Sukarni mengatakan bahwa kalangan muda memutuskan untuk bertindak sendiri karena Soekarno tidak mau memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Menurut Sukarni pada pukul 15.00 WIB nanti rakyat bersama-sama dengan mahasiswa dan anggota peta akan menyerbu kekota untuk melucuti Jepang. Ia melanjutkan " Bung Karno dan Hatta kami bawa ke Rengasdengklok untuk meneruskan pimpinan pemerintahan RI disana" . proses penculikan secara halus itu tampaknya berjalan lancar, antara lain, karena adanya bantuan perlengkapan dari Chudancho Latief Hendraningrat yang pada waktu itu mewakili Daidanco Kasman Singodimedjo yang sedang bertugas ke Bandung.
Hampir sehari penuh Soekarno dan Hatta berada ditempat itu. Meskipun para pemuda menginginkan agar kedua tokoh itu segera melaksanakan proklamasi tanpa ada kaitan dengan Jepang, mereka tetap tidak berani memaksakan kehendaknya kepada kedua tokoh tersebut, sekali lagi para pemuda gagal mendesak agar bung Karno dan Hatta besedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia disana, sementara itu di Jakarta tercapai kesepakatan antara Ahmad Soebardjo, wakil dari golongan tua, dan Wikana, wakil dari golongan muda, agar proklamasi kemerdekaan Indonesia harus terjadi di Jakarta. Hal itu didukung pula oleh kesediaan Laksamana Tadashi Maeda untuk menyediakan rumahnya sebagai tempat pertemuan dan bersedia menjamin keselamatan mereka.
Akhir peristiwa Rengasdengklok
Berdasarkan kesepakatan tersebut, Ahmad Soebardjo ditemani Jusuf Kunto, salah seorang tokoh pemuda, pada hari iru juga berangkat menuju Rengasdengklok menjemput Soekarno dan Hatta, sewaktu rombongan tiba di Rengasdengklok hari sudah mulai gelap kira-kira pukul 18.00. ditempat itu Ahmad Soebardjo berhasil pula meyakinkan para pemuda bahwa proklamasi akan diumumkan pada 17 Agustus 1945. Dengan adanya jaminan dari Ahmad Soebardjo, akhirnya Soekarno dan Hatta dilepas oleh para pemuda dan kembali ke Jakarta.
Akhirnya, Soekarno dan Hatta tiba kembali ke Jakarta sekitar pukul 23.30 WIB. Setelah sempat singgah sebentar dirumah masing-masing, Soekarno dan Hatta yang dikawal oleh sekelompok kecil pemuda, langsung menuju rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1 (museum naskah proklamasi sekarang). " lebih dahulu kami bersalaman dengan tuan rumah Maeda yang gembira menyambut kedangan kami setelah bertamasya ke Rengasdengklok, kenang Hatta". Setelah duduk bersama membincangkan rencana selanjutnya, Soekarno atas nama rombongan mengucapkan terima kasih kepada Maeda yang telah meminjamkan rumahnya untuk melanjutkan rapat PPKI yang tertunda kareana peristiwa penculikan Rengasdengklok.
Dari rumah Maeda, Soekarno dan Hatta pergi menemui Somubucho Mayor Jenderal Nishimura yang jaraknya hanya kurang lima menit dengan menggunakan mobil, tidak ada tujuan lain kecuali menjajaki tanggapan jenderal Jepang itu terhadap rencana PPKI untuk mengadakan proklamasi. Sewaktu itu Soekarno dan Hatta ditemani oleh Laksamana Maeda, Shigetada Nishijima, dan Tomegoro Yoshizumi, serta Miyoshi yang bertindak sebagai penerjemah. Pertemuan itu tidak menghasilkan kata sepakat seperti yang diharapkan Soekarno dan Hatta. Disatu pihak, Soekarno dan Hatta menyampaikan sekaligus menegaskan bahwa Jenderal Terauchi telah menyerahkan pelaksanaan kemerdekaan kepada PPKI. Di pihak lain, Nishimura justru ingin menegaskan pula bahwa tentang kebijakan panglima Tentara ke-16 di Jawa, ia menyampaikan keterangan bahwa ia baru saja menerima perintah untuk memelihara status quo. Jadi Jepang tidak dapat membantu proklamasi sebagaimana yang pernah dijanjikan sebelumnya.
Jepang juga, menurut Nishimura, terpaksa akan menghalangi proklamasi itu sendiri. Maka terjadi ketegangan dalam pembicaraan kedua pimpinan Indonesia dengan Jenderal Nishimura tentang janji kemerdekaan Indonesia itu, akan tetapi disinilah sebenarnya ada hikmah terselubung itu datang dalam sejarah. Momen akhir tuntutan kemerdekaan bangsa Indonesia saat Jepang tidak lagi dapat menepati janjinya. Maka mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia menjadi tanggung jawab bangsa Indonesia sendiri. Maka setelah sampai permasalahan itu, Soekarno dan Hatta mengambil kesimpulan bahwa tidak ada lagi gunanya membicarakan kemerdekaan Indonesia dengan pihak Jepang. Namun mereka sangat berharap Jepang tidak menghalang-halangi rakyat Indonesia memproklamirkan kemerdekaan atas tanggung jawab rakyat Indonesia sendiri.[4]
Note:
[1] wirasoeminta, Sanusi, Rengasdengklok : Tentara Peta dan Proklamasi 17 Agustus 1945, Yogyakarta, Yayasan Pustaka Nusantara, 1995.
[3] id.wikipedia.org
No comments:
Post a Comment