KONFERENSI MEJA BUNDAR (KMB)

Eis Yani


Bangsa Indonesia yang telah di jajah bertahun-tahun akhirnya mencapai kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Meskipun Indonesia telah merdeka, tetapi penjajah yaitu Belanda masih belum mengakui kemerdekaan dan kedaulatan negara Indonesia. Belanda yang masih berambisi untuk menguasai atau menjajah Indonesia kembali terus mencoba berbagai cara untuk merebut dan menguasai Indonesia dengan jalan paksaan atau kekerasan. Namun, semua usaha dalam bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pihak Belanda untuk menguasai Indonesia kembali berakhir dengan kegagalan. Dan pihak Belanda tidak menyerah dan tetap terus mencoba strategi lain yaitu menggunakan strategi memecah belah bangsa Indonesia dengan membentuk negara-negara boneka atau negara-negara bagian, oleh sebab itu Indonesia yang awalnya merupakan negara kesatuan Republik Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan

mendapatkan kedaulatan yang utuh, bangsa Indonesia berjuang melalui jalur perang gerilya dan diplomasi. Perjuangan diplomasi bangsa Indonesia yang dilakukan di meja perundingan salah satunya yaitu Konferensi Meja Bundar (KMB).

            Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan pertemuan atau perundingan antara pihak Indonesia dan pihak Belanda yang dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949 di S’Gravenhage (Den Haag). Dalam pelaksanaannya, Konferensi Meja Bundar (KMB) melibatkan beberapa pihak yaitu: Negara Republik Indonesia, BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg/Badan Permusyawaratan Federal) dan Belanda, serta komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu United Nations Comissioner for Indonesia (UNCI) yang bertugas sebagai penengah.[1] Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan lanjutan dari perundingan-perundingan sebelumnya yaitu Perudingan Linggarjati, Perundingan Renville, dan Perundingan Roem Roijen, yang mana perundingan-perundingan tersebut di selenggarakan untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia melalui jalur damai yaitu diplomasi dan menjadi titik terang dari berbagai perjuangan diplomasi yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia.

Pelaksanaan Konferensi Meja Bundar (KMB) mempunyai beberapa tujuan yaitu: Pertama, untuk menghentikan atau menghilangkan seluruh bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pihak Belanda terhadap bangsa Indonesia, karena meskipun bangsa Indonesia telah merdeka, Belanda masih melakukan serangan-serangan terhadap Indonesia seperti Agresi Militer Belanda I dan II. Kedua, untuk mendapatkan kedaulatan Republik Indonesia secara penuh dari pihak dunia terutama Belanda, karena belum adanya pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia dari pihak Belanda, maka pihak Belanda masih menguasai dan mengeksploitasi Indonesia, hal ini seharusnya tidak terjadi pada bangsa yang telah merdeka dan berdaulat. Ketiga, menyelesaikan dan melepaskan sengketa Belanda terhadap bangsa Indonesia, karena pihak Belanda yang telah menjajah Indonesia selama bertahun-tahun membuat bangsa Indonesia memiliki keterkaitan dengan hal-hal yang menyangkut pihak Belanda, hal ini yang ingin di hapuskan dan di selesaikan agar bangsa Indonesia terlepas dari berbagai unsur-unsur atau hal-hal yang menyangkut Belanda dan hidup damai tanpa adanya gangguan dari pihak Belanda.

Sebelum dilaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB), pemerintah Indonesia melakukan perancangan delegasi yang akan mewakili pihak Indonesia di Konferensi Meja Bundar (KMB), dan di tunjuklah Mohammad Hatta sebagai pemimpin delegasi Indonesia. Untuk memperkuat posisi Indonesia, maka di selenggarakanlah konferensi khusus yaitu Konferensi Inter Indonesia. Konferensi Inter Indonesia dilaksanakan dengan dua tahap yaitu tahap pertama, Konferensi Inter Indonesia I dilaksanaan di Yogyakarta pada tanggal 19-21 Juli 1949 di pimpin oleh Mohammad Hatta dan tahap kedua, Konferensi Inter Indonesia II dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 31 Juli sampai 2 Agustus 1949 di pimpin Sultan Hamid.[2] Konferensi Inter Indonesia merupakan konferensi antara Negara Indonesia dengan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg/Badan Permusyawaratan Federal). BFO atau Badan Permusyawaratan Federal ini adalah badan yang mewadahi kumpulan negara-negara bagian yang dibentuk oleh Belanda. Konferensi Inter Indonesia dilaksanakan untuk menyatukan pendapat atau pandangan antara Negara Indonesia dengan BFO dalam menghadapi pihak Belanda di Konferensi Meja Bundar (KMB). Kesepakatan yang di capai dalam konferensi ini menjadi modal atau bekal untuk Indonesia dalam menghadapi Belanda di Konferensi Meja Bundar.

Dalam Konferensi Meja Bundar, delegasi atau perwakilan Indonesia di pimpin oleh Mohammad Hatta yang beranggotakan dua belas anggota. Anggota tersebut ialah Mohamad Roem, Ir. Djuanda, Dr. J. Leitnena, Prof. Dr. Mr.Supomo, Mr. Ali Sastroamijojo, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Dr. Sukiman, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel T.B. Simatupang, Mr. Suyono Hadinoto dan Mr. Muwardi. Delegasi Belanda dipimpin oleh Mr. Van Maarseveen, sedangkan delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II dan delegasi UNCI diwakili oleh Thomas Chritchley.[3]

Berdasarkan kutipan diatas, sangat terlihat jelas bahwa bangsa Indonesia sangat bersungguh-sungguh dalam mempertahankan kemerdekaan dan mendapatkan kedaulatan yang penuh dari pihak dunia terutama pihak Belanda dengan mendelegasikan tokoh-tokoh penting Indonesia atau diplomat Indonesia yang sangat berintelektual untuk mengikuti pertemuan atau perundingan yang sangat penting yaitu Konferensi Meja Bundar (KMB). Dan dengan adanya modal yang dimiliki Indonesia dalam kesepakatan antara Indonesia dan BFO yang dicapai pada Konferensi Inter Indonesia, dapat membantu memperlancar perjuangan Indonesia dalam Konferensi Meja bundar ini.

Dari pelaksanaan Konferensi Meja Bundar (KMB) diperoleh beberapa kesepakatan, yaitu: Pertama, Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Kedua, Pengakuan kedaulatan dilakukan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949. Ketiga, Masalah Irian Barat akan diadakan perundingan lagi dalam waktu 1 (satu) tahun setelah pengakuan kedaulatan RIS. Keempat, Antara RIS dan Kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia-Belanda yang dikepalai Ratu Belanda. Kelima, seluruh hutang Belanda dibebankan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Keenam, tentara Kerajaan Belanda sesegera mungkin ditarik mundur, sedangkan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) akan dibubarkan dengan catatan bahwa para anggotanya yang diperlukan akan dimasukkan dalam kesatuan TNI.[4]

Berdasarkan hasil keputusan dari Konferensi Meja Bundar (KMB) diatas, impian yang di cita-citakan dan diperjuangkan oleh bangsa Indonesia akhirnya terwujudkan. Belanda resmi menyerahkan kedaulatan Republk Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949. Republik Indonesia Serikat (RIS) akhirnya mendapatkan pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan penuh secara de facto dan de jure dari pihak Belanda dan pihak dunia atau internasional. Dan dengan di tarik mundurnya tentara Belanda, maka perang atau konflik fisik antara Indonesia dan Belanda juga berakhir. Tetapi sayangnya masih ada masalah yang belum terselesaikan dalam konferensi ini, yaitu masalah Irian Barat yang masih akan dirundingkan kembali dalam waktu satu tahun setelah dilakukannya pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS). Alasan di tundanya penyerahan Irian Barat kepada Indonesia ialah karena keterbatasan waktu untuk membahas masalah Irian Barat di Konferensi Meja Bundar, dalam membahas masalah Irian Barat yang kompleks ini sangat membutuhkan waktu yang cukup panjang agar dapat menciptakan kesepakatan yang dapat diterima oleh setiap peserta konferensi. Masing-masing delegasi dari Indonesia dan Belanda juga sangat ingin mendapatkan Irian Barat, oleh sebab itu pembicaraan tentang masalah Irian Barat ini harus di bahas secara rinci. Dan alasan lainnya yaitu dokumen-dokumen dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tentang persengketaan Irian Barat tidak disusun dan di atur secara terperinci, oleh sebab itu timbul penafsiran yang berbeda antara pihak Indonesia dan pihak Belanda tentang dokumen tersebut.[5]

Perjuangan bangsa Indonesia belum berakhir karena Irian Barat belum kembali dan bersatu dengan Indonesia. Pada tahun 1950, seharusnya pihak Belanda telah mengembalikan Irian Barat kepada Indonesia, tetapi masalah Irian Barat belum juga terselesaikan. Belanda mengingkari hasil kesepakatan dari Konferensi Meja Bundar yaitu masalah Irian Barat akan diadakan perundingan lagi dalam waktu 1 (satu) tahun setelah pengakuan kedaulatan RIS. Belanda tetap bersikukuh untu mempertahankan Irian Barat dan Irian Barat pun menjadi daerah persengketaan Indonesia dan Belanda. Untuk menyelesaikan masalah persengketaan Irian Barat antara Indonesia dan Belanda, maka di lakukanlah perundingan kembali, tetapi perundingan atau perjanjian tersebut tidak membuahkan hasil. Dan akhirnya diselenggarakanlah Perjanjian New York pada tanggal 15 Agustus 1962, Perjanjian ini menyatakan bahwa Belanda menyerahkan kekuasaannya atas Irian Barat kepada Badan Peralihan Sementara PBB yaitu United Nation Temporary Executive Authority[6] dan masalah persengketaan Irian Barat diakhiri dengan cara Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Hasil dari Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) ialah masyarakat Irian Barat setuju untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

            Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) tidak hanya mempengaruhi tentang status Irian barat saja, tetapi hasil dari konferensi ini juga mempengaruhi bentuk negara Indonesia, yang awalnya merupakan Negara Kesatuan Republik Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Bangsa Indonesia menerima pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) hanya karena untuk mempermudah mendapatkan pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan dari pihak Belanda. Dengan dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), maka Indonesia terpecah menjadi negara-negara bagian. Keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) juga menambah beban bangsa Indonesia, karena utang pemerintahan Belanda dibebankan kepada Republik Indonesia Serikat. Awalnya pemerintah Belanda menganggap bahwa utang pemerintahannya akan di bebankan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), tetapi delegasi Indonesia menolak keputusan tersebut dan delegasi Indonesia hanya menerima utang pemerintah Belanda sampai saat Jepang menyerah pada tahun 1942. Delegasi Indonesia menganggap dengan menerima utang pemerintahan Belanda ini sama halnya seperti bayaran untuk mendapatkan kedaulatan yang penuh dari Belanda.

 

Kesimpulan

Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan pertemuan atau perundingan antara pihak Indonesia dan pihak Belanda yang dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949 di S’Gravenhage (Den Haag). Pihak yang terlibat dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yaitu Negara Republik Indonesia, BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg/Badan Permusyawaratan Federal) dan Belanda, serta komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu United Nations Comissioner for Indonesia (UNCI) yang bertugas sebagai penengah. Tujuan dari pelaksanaan Konferensi Meja Bundar (KMB) yaitu: Pertama, untuk menghentikan atau menghilangkan seluruh bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pihak Belanda terhadap bangsa Indonesia. Kedua, untuk mendapatkan kedaulatan Republik Indonesia secara penuh dari pihak dunia terutama Belanda. Ketiga, menyelesaikan dan melepaskan sengketa Belanda terhadap bangsa Indonesia.

Konferensi Meja Bundar (KMB) menghasilkan beberapa kesepakatan dan hasil kesepakatan tersebut memiliki dampak yaitu, Republik Indonesia Serikat (RIS) akhirnya mendapatkan pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan penuh secara de facto dan de jure dari pihak Belanda dan pihak dunia atau internasional. Dan dengan di tarik mundurnya tentara Belanda, maka perang atau konflik fisik antara Indonesia dan Belanda juga berakhir. Irian Barat belum kembali dan bersatu dengan Indonesia, karena perundingan masalah Irian Barat ditunda. Bentuk negara Indonesia, yang awalnya merupakan Negara Kesatuan Republik Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Beban bangsa Indonesia bertambah, karena utang pemerintahan Belanda dibebankan kepada Republik Indonesia Serikat.

 


[1] Agil Burhan Satia, Cicik Nike Rimayani, dan Hesti Nuraini. Sejarah Ketatanegaraan Pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 Sampai 5 Juli 1959 Di Indonesia. Mimbar Yustitia. Vol.3, No.1, Juni 2019. Hal.99

[2] Radar Jogja. “Teguhkan Konsensus 17 Agustus 1945”.  22 Juli, 2019. https://budaya.jogjaprov.go.id/attachment/view?id=3229&&filename=JOGJA%202207%202019%20HAL%2008.pdf . Diakses 25 November 2020

[3] Radar Jogja. “Teguhkan Konsensus 17 Agustus 1945”.  22 Juli, 2019. https://budaya.jogjaprov.go.id/attachment/view?id=3229&&filename=JOGJA%202207%202019%20HAL%2008.pdf . Diakses 25 November 2020

[4] Radar Jogja. “Teguhkan Konsensus 17 Agustus 1945”.  22 Juli, 2019. https://budaya.jogjaprov.go.id/attachment/view?id=3229&&filename=JOGJA%202207%202019%20HAL%2008.pdf . Diakses 25 November 2020

[5] Epi Juliarni dan Mestika Zed. Sejarah Pemikiran Diplomatik: Konflik Indonesia-Belanda Pada Kmb Dan Isu Yang Belum Terselesaikan. Jurnal Kronologi. Vo.1, No.2. 2020. Hal.17

[6] Epi Juliarni dan Mestika Zed. Sejarah Pemikiran Diplomatik: Konflik Indonesia-Belanda Pada Kmb Dan Isu Yang Belum Terselesaikan. Jurnal Kronologi. Vo.1, No.2. 2020. Hal.21

 

DAFTAR PUSTAKA 

Juliarni, Epi., dan Mestika Zed. Sejarah Pemikiran Diplomatik: Konflik Indonesia-Belanda Pada Kmb Dan Isu Yang Belum Terselesaikan. Jurnal kronologi, Vo.1, No.2. 2020.

Radar Jogja. “Teguhkan Konsensus 17 Agustus 1945”.  22 Juli, 2019. https://budaya.jogjaprov.go.id/attachment/view?id=3229&&filename=JOGJA%202207%202019%20HAL%2008.pdf . Diakses 25 November 2020.

Satia, Agil. Burhan., Rimayani, C. N., dan Nuraini, H. Sejarah Ketatanegaraan Pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 Sampai 5 Juli 1959 Di Indonesia. Mimbar Yustitia. Vol.3, No.1, Juni 2019.

 

No comments:

Post a Comment