SEJARAH TERBENTUK DAN PERKEMBANGAN KOTA UJUNG BATU


MAMAN KURNIAWAN / SR

Kota Ujungbatu memiliki letak yang sangat strategis dimana berada pada jalan lintas Sumatera yang menghubungkan Kota Medan dan Kota Pekanbaru. Secara Administratif Kota Ujungbatu berada dalam wilayah Kecamatan Ujungbatu yang merupakan wilayah pemekaran dari kecamatan Tandun dalam kabupaten Rokan Hulu. Wilayah Kota Ujungbatu berbatasaan dengan :  Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pagaran Tapah Darussalam,Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Rokan IV Koto, Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Rambah Samo, Dan Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tandun. Secara Historis Kota Ujungbatu merupakan wilayah dari Kerajaan Rokan. Seperti Kata adat Ujungbatu dan Lubuk Bendahara merupakan adik dan kakak yang  "Boajok Bokalang Batang Botindik Uwek Padi", yang artinya adalah ujung dan pangkal rumah yang sama-sama dibawah panji kuning kerajaan Rokan. Sehingga dalam hal ini Kota Ujungbatu merupakan wilayah paling Utara dari kerajaan Rokan yang berbatasan dengan Kerajaan Kunto, Kerajaan Rambah, dan Kenegerian Tandun. Sedangkan secara adat yang merupakan "Warih Bojawek, Pisoko Botolong", maka batas ulayat Kota Ujungbatu adalah : "di Sialang Bolantak Bosi Tocacak Pila Sobatang Di Aur Tigo Serayo Ko Hilir Lubuk Jambu Menyoborang Ko Bukik Langgak Ayie Togolek Ko Kiri Daerah Kunto Togolek Ko Kanan Punyo Ujungbatu Sampai Ko Sialang Muaro Birah Adalah Berbatasan Dengan Kerajaan Kunto. Dari Sialang Muaro Birah Sampai Ke Hulu Sungai Danto Bo Batas Dengan Tandun. Dari Hulu Sungai Danto Menuju Bukik Suligi Sampai Ke Koto Ujungbatu Tinggi Berbatasan Dengan Lubuk Bendahara. [1]


            Berikut keterangan lokasi batas adat ulayat tersebut :
  1. Perbatasan antara ulayat Ujungbatu dan Kunto Darussalam adalah dimana jatuh peluru orang Ujungbatu dan kemana air mengolek (mengalir ditempat tersebut) maka disitulah batas tapak ulayat.
  2. Perbatasan Ujungbatu dan kerajaan Rambah, yaitu pada hari yang telah ditentukan oleh kedua pihak (Rambah dan Ujungbatu (kerajaan Rokan), masing-masing berangkat dari daerahnya, dengan perjanjian tempat bertemu perwakilan kedua pihak (Kerajaan Rambah dan Ujungbatu), maka disitulah tapal batas ulayat. Pada hari yang ditentukan Pihak kerajaan Rambah berangkat mulai jam 3 malam, sedangkan pihak dari Ujungbatu (kerajaan Rokan) baru mulai memasak bekal perjalanan, sesudah makan dan minum pagi baru mulai berjalan, maka akhirnya kedua rombongan bertemu di Padang Lintam Sangkir. Sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak diambillah sepotong besi yang disediakan dan di"cacakkan' pada sebatang pohon Sialang dan diikrarkan disitulah yang menjadi batas ulayat. Dan akhirnya dikenal dengan istilah ' Sialang Bolantak Bosi, tecacak pila sebatang, di Aur tiga serayo, ke hilir ke Lubuk Jambu, menyeborang ke Bukik Langgak,  air togolek ko kiri daerah kunto, menggolek kekanan punyo Ujungbatu, sampai ko Sialang Muaro Birah, sampai ke hulus Sungai Danto berbatas dengan Tandun. Dari hulu sungai Danto menuju bukik sehingga sampai ke Koto Ujungbatu Tinggi berbatas dengan Lubuk Bendahara.
  3. Khusus untuk batas Ujungbatu dan Lubuk Bendahara secara adat dari dulu masih belum memiliki kejelasan sesuai dengan kato adat, dari "warih yang bojawek pisako yaang botolong" yang berbunyi ; Ujungbatu paangkal rumah, boajok bokalang batang botindik uwek padi. Yang dimaksudkan secucu sekemenakan, sepayung dibawah panji kerajaan Rokan, dengan tata cara pengendalian " Boladang sobidang surang, Bokojo moambik ari", yang dimaksudkan batas daerah kerja tetap ada tetapi secara hukum adatnya secucu sekemenakan. "kok tibo silang solisih samo-samo di selosaikan. Kok koruh samo-samo di jonihkan. Akan tetapi secara administratif permasalahan tapal batas Lubuk Bendahara dan Ujungbatu (Desa Suka Damai) sudah pernah dimusyawarahkan pada tahun 2005. [2]
      Ujungbatu Tanah Bolobieh
Asal usul penduduk Ujungbatu dapat diurut dari negeri Sakai yang berada di Koto Bungo Tanjung yang letaknya lebih kurang diantara LubukBendahara dan Tanjung Medan sekarang. Menurut cerita Koto Bungo Tanjung adalah negeri yang damai sampai terjadinya adanya wabah Somuk Gata yang tiba-tiba sangat banyak datang sehingga jumlanya tidak tertanggulangi lagi oleh masyarakat. Akhirnya wabah ini memaksa penduduk Koto Bungo Tanjung untuk mencari tempat  hidup yang baru dan Koto Kocik (Lubuk Bendahara) menjadi pilihan untuk pemukiman yang baru. Namun setelah tahun berganti tahun dan abad berganti abat Koto Kocik tidak lagi dapat untuk menampung jumlah penduduk yang semakin banyak. Apalagi ketika itu wilayah daratan masih sangat terbatas mengingat permukaan air yang masih tinggi dimana Sungai Rokan yang sekarang masih seperti lautan dan belum terbentuk badan sungainya. Kemudian perkampungan Koto Kocik inipun akhirnya berkembang kewilayah yang lumayan mendukung yaitu kewilayah  timur Koto Kocik yang ketika itu bernama Koto Jonjang Batu Tinggi yang lambat laun berubah nama menjadi Koto Ujungbatu Tinggi. Diberi nama Ujungbatu Tinggi karena wilayah tersebut adalah wilayah terujung yang masih Tinggi yang bisa dijadikan perkampungan dan tanahnya berbatua-batuan.Ujungbatu yang sekarang bukanlah daratan yang dapat kita temukan saat ini. Sekitar 6 abad yang lalu Ujungbatu yang sekarang masih merupakan air tergenang (danau) karena ketika itu permukaan laut masih tinggi sedangkan sungai Rokan yang sekarang kedalam airnya masih sekitar 20 m. Asal muasal penduduk  Kota Ujungbatu Sekarang masih Berada di Ujungbatu Koto Tinggi karena hanya itulah salah satu wilayah yang bisa di huni karena tidak tergenang oleh air. Diberi nama Koto Ujungbatu Tinggi karena mengingat ketika itu wilayah Koto Ujungbatu Tingggi merupakan satu-satunya wilayah paling ujung dari kerajaan Rokan yang berbatu-batu serta satunya yang dataran yang tinggi yang bisa dijadikan perkampungan, maka melihat kondisi daerah inilah ketika itu masyarakat menamakannya " Koto Ujungbatu Tingggi ". [3]
Sedangkan asal muasal penduduk Koto Ujungbatu Tinggi ini merupakan sebagian dari penduduk Koto Kocik (Lubuk Bendahara Sekarang) dimana ketika itu penduduk Koto Kocik ini sudah padat sehingga sebagian penduduknya kearah menghilir sungai Rokan yang memiliki wilayah yang cukup datar dan tidak tergenang air. Syahdan seiring dengan perjalanan waktu penduduk Koto Ujungbatu Tinggi  mulai padat penduduknya, tempat berladang semakin sulit karena Koto Ujungbatu Tinggi merupakan daerah yang sempit dan berbatu-batu. Sementara disisi lain daratan sudah mulai bermunculan karena permukaan air mulai surut. Air-air yang merupakan danau sudah mulai menjadi hutan belantara. Alkisah ketika itu yang menjadi penghulu kampung di Koto Ujungbatu Tinggi adalah Datuk Hitam yang bergelar Datuk Bendaharo Mudo dan tangan kanan kepercayaanya adalah Ninik Poladang. Suatu Hari terbersit dihati Ninik Poladang untuk mencari wilayah baru untuk bermukim dan berladang karena melihat banyak belantara yang bisa di buka menjadi soko baik untuk berladang ataupun tempat pemukiman, maka menghadaplah Ninik Poladang kepada Datuk Bendaharo Mudo dan menceritakan Maksud kedatangannya untuk mencari soko baru sebagai tanah ulayat. Hal yang disampaikan Ninik Poladang mendapat tanggapan positif dari Datuk Bendaharo Mudo karena beliau juga sudah lama berniat untuk mencari wilayah baru untuk mendirikan soko, maka dengan lantang Datuk Bendaharo Mudo memberikan mandat untuk mencari "Tanah Bolobieh" untuk tempat hunian baru. Selanjutnya istilah inilah yang sekarang sering disebutkan orang banyak bahwa Ujungbatu Tanah Bolobieh.[4]
Maka pada hari yang ditentukan berangkatlah Ninik Poladang dan Juga ikut Datuk Bendaharo Mudo serta beberapa orang lainnya  berjalan kaki melewati hutan menghiliri Sungai Rokan yang ketika itu sudah mulai surut. Setelah capek berjalan akhirnya mereka mencari tempat yang bagus untuk beristirahat. Setelah berkeliling akhirnya mereka menemukan sebatang pohon durian yang tumbuh liar. Pohon tersebut memiliki diameter yang sangat besar, jika seandainya direbahkan maka oarang yang berdiri di sebalik batang tersebut tidak akan kelihatan, dan akhirnya inilah cikal bakal perkampungan durian sebatang sekarang yang berada diatas Petakur atas Ujungbatu. Setelah puas beristirahat rombongan inipun membuat rakit untuk selanjutnya mencoba pencarian lewat  jalan air dengan mengairi sungai Rokan.Selanjutnya setelah lama berlayar mereka memasuki Danau Seseak Jalo dan berhenti serta menambatkan perahunya di Tanjung Lubuk Tanam Konji atau sekarang sering disebut Toluk Koranji.  Adapun Ninik Poladang membawa seekor anjing yang bernama sibelang. Kemana mereka pergi sebelang selalu mengikuti dari belakang, kemudian pada suatu tempat disebuah lobang sibelang tidak mau beranjak dan hanya  mengelilingi lobang tersebut  sambil terus menggonggong seperti ada suatu hal yang akan disampaikan kepada tuannya. Melihat timgkah anjing tersebut rombongan Datuk Bendaharo Mudo kehilangan akal dan berfikir dalam hati, mungkin disinilah tempat yang pas untuk mendirikan perkampungan yang baik lalu Datuk Bendaharo Mudo menancapkan sebatang anak kayu sebanyak empat batang seluas satu depa persegi disekitar lobang tersebut. Dan akhirnya disinilah kampung yang akan dibangun yang selanjutnya sekarang bernama Koto Ruang, karena ketika itu disini terdapat sedikit ruang yang lapang yang tidak ditumbuhi semak disekitar lobang yang ditemukan anjing Ninik Poladang.Dari Koto Ruang perkampungan mulai berkembang ke daerah Kubu Juar. Dinamakan Kubu Juar karena ketika itu wilayah ini adalah daerah tempat orang berladang dengan mengumpul dan tempat mondoknya terbuat dari kayu Juar. Selanjutnya dari Kubu Juar perkampungan berkembang kearah Sungai Teriak. Perkampungan di Sungai Teriak ini sangat berkembang pesat karena menjadi pusat pasar dimana ketika itu transportasi masih banyak bergantung sama air sungai. Menurut cerita sebelum jadi daratan Ujungbatu sekarang merupakan sebuah danau yang sangat banyak ikannya. Bahkan syahdan dengan sekali menjala Ikan maka hasil tangkapannya bisa untuk memenuhi lauk orang satu kampung sehingga ketika itu danau ini dinamakan "Danau Seseak Jalo". [5]

DAFTAR PUSTAKA

[1] Kantor Pariwisata dan Kebudayaan. 2007. Panduan Alat Musik Gondang Borogong, Kabupaten Rokan Hulu.
[2] Koentjaraningrat. 1985. Metode-metode Penelitian Mayarakat. Jakarta
[3] Maryaeni. 2005  Metode Penelitian Kebudayaan. Bumi Aksara : Jakarta.
[4] Mulyana.2003. Metode Penelitian. Bumi Aksara : Bandung
[5] Poerwadarminta, W.J.S. 1980. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.

No comments:

Post a Comment