Menilik Kembali Tragedi 40 Tahun Tritura Hingga Sekarang.


Windari/S/B

Tri Tuntutan Rakyat atau biasa disingkat Tritura adalah tiga tuntutan kepada pemerintah yang diserukan para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia. Ketika gelombang demonstrasi menuntut pembubaran PKI semakin keras, pemerintah tidak segera mengambil keputusan. Keadaan Negara Indonesia sudah sangat parah, baik deri segi ekonomi ataupun politik. Harga barang naik sangat tinggi terutama Bahan Bakar Minyak(BBM). Oleh karenanya, pada 12 Januari 1966, KAMI dan KAPPI memelopori kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR menuntut Tritura. Sejak gagalnya kudeta G 30 S/PKI pada tahun 1965 sampai awal tahun 1966, pemerintah tidak segera melaksanakan penyelesaian politik terhadap tokoh-tokoh G 30 S/PKI.[1]  

Hal ini menimbulkan ketidaksabaran rakyat, karena bertentangan dengan rasa keadilan. Keadaan berlarut-larut serta menjurus timbulnya krisis kepemimpinan nasional, mahasiswa, pemuda, partai-partai politik maupun organisasi massa mengutuk pemberontakan G 30 S/PKI dan menuntut agar PKI segera dibubarkan.Sejauh itu Presiden Soekarno belum mau menindak PKI yang terang-terangan telah melakukan upaya kudeta. Berbeda dengan pemerintah pusat, penguasa militer diJawa Barat dan Jakarta sendiri dengan jalan membunuh tokoh-tokoh PKI. Aksi kekerasan itu terjadi terutama di Jawa, Bali, dan Sumatra Utara. Mencermati situasi seperti itu, banyak cabang dan ranting PKI didaerah-daerah segera membubarkan diri. Para pemimpin dan pengikut PKI berusaha menyerahkan diri kepada alat Negara. Pada tanggal 25 Oktober 1965, para mahasiswa Universitas Indonesia  mendirikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Selain KAMI, bermunculan pula kesatuan aksi lainnya, seperti KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia), KAPPI( Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia), KASI(Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), KAWI (Kesatuan Aksi Wanita Indonesia), KABI(Kesatuan Aksi Buruh Indonesia). Kesatuan-kesatuan aksi pada dasarnya menuntut pembubaran PKI dan upaya hukum penyelesaian pemberontakan G 30 S/PKI. Serta masyarakat di Jawa Timur segera membekukan kegiatan PKI dan ormas-ormasnya. Sementara itu, ditengah-tengah ketidak tegasan sikap pemerintah terhadap PKI, rakyat didaerah-daerah menjadi tidak sabar dan mengambil tindakan. Pada tanggal 12 Januari 1966 kesatuan-kesatuan aksi mengajukan tiga tuntutan kepada pemerintah yang disebut Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Adapun isinya yaitu: Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya; Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsure-unsur G 30 S/PKI; dan turunkan harga barang atau perbaikan ekonomi, Tuntutan pertama dan kedua sebelumnya sudah pernah diserukan oleh KAP GESTAPU(Kesatuan Aksi Pengganyangan G 30S/PKI). Sedangkan tuntutan ketiga baru diserukan saat itu. Tuntutan ketiga sangat menyentuh kepentingan orang banyak. Pada tanggal 21 Februari 1966 Presiden Soekarno mengumumkan reshuffle cabinet. Dalam cabinet itu duduk para simpatisan PKI. Kenyataan ini menyulut kembali mahasiswa meningkatkan aksi demonstrasinya. Tanggal 24 Februari 1966 mahasiswa memboikot pelantikan mentri-mentri baru. Menindaklanjuti demonstrasi mahasiswa yang semakin gencar diberbagai daerah Presidium Pusat KAMI telah menginstruksikan mahasiswa Indonesia khususnya yang berada di Jakarta dan yang bernaung dibawah panji KAMI untuk mempertinggi kewaspadaan dan jangan bertindak sendiri. Intruksi itu diberikan berhubung dengan terjadinya insiden antara unsure-unsur Front Marhaneis dengan mahasiswa dari kalangan KAMI ketika mereka sedang mendengar amanah Presiden. Insiden Istana Merdeka ini telah memakan korban. Dewan-dewan mahasiswa dan seluruh Front Indonesia diserukan oleh Presidium Pusat KAMI agar tetap siaga menghadapi kemungkinan terjadi nya demonstrasi mahasiswa sebelumnya. Diserukan agar mahasiswa itu merapatkan barisan dan menyelamatkan revolusi Indonesia dibawah komando Presiden Soekarno dari rongrongan nekolim dan antek-antek PKI. Ketua Umum Prseidium Pusat KAMI, Cosmas Batubara, dalam penjelasannya mengenai insiden di Istana Merdeka menerangkan antara lain bahwa rombongan mahasiswa yang tergabung dalam Komuntias Aksi atau lainnya agar tetap berada pada pihaknya.[2]  Adapun beberapa sikap yang perlu dipahami dan dilakukan bagi para mahasiswa adalah sebagai berikut:
1.       Tetap merapatkan barisan perjuangan mahasiswa & tetap berdiri di belakang Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno
2.      Menggalang kekompakan kesatuan segenap potensi mahasiswa dengan semangat rela berkorban, berdisiplin dan ikhlas mengabdi menjadi satu front yang bisa diuji kemampuannya oleh Bung Karno; Terus meningkatkan penghayatan dalam satu Front menolak PKI
3.      Tetap waspada akan usaha pecah belah,intrik adu domba serta pancingan-pancingan yang muncul dari antek-antek PKI.
 Pada tanggal 21 Februari 1966, Bung Karno mengumumkan reshuffle Cabinet. Dalam cabinet itu duduk para simpatisan PKI. Kenyataan ini menulut kembali mahasiswa meningkatkan aksi demonstrasinya.  Rentetan demonstrasi yang terjadi menyuarakan Tritura akhirnya diikuti keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966(Supersemar) oleh Presiden Soekarno yang memerintahkan kepada Mayor Jenderal Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Aksi-aksi mahasiswa masih berjalan terus. Pada tanggal 22 Februari1966, Presiden Sukarno mengadakan perombakan Kabinet Dwikora menggunakan nama Kabinet Dwikora yang disempurnakan atau Kabinet Seratus Mentri. Dengan memperhatikan sikap-sikap presiden Soekarno, rakyat dan para kesatuan aksi semakin berani menuntut pembubaran PKI dan mengadili tokoh-tokihnya, termasuk menuduh presiden Soekarno sebagai pemimpin yang Pro-PKI. Dengan dasar pertimbangan yang kemelut politik yangtidak menentu dan membumbungnya harga-harga kebutuhan pokok. Oleh karena itu, pada tanggal 10Januari 1966 KAMI dan KAPPI mempelopori kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila. Kemudian pada tanggal 12 Januari 1966 mereka bekumpul di halaman gedung DPR-GR untuk mengajukan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Aksi Tritura tersebut berlangsung selama 60 hari . Makin hari mereka makin giat melakukan demonstrasi apalagi pemerintah melakukan tindakan yang bertentangan dengan kehendak rakyat. Pada tanggal 24 Februari 1966, para demonstran menggelar aksi serentak untuk mengagalkan peresmian cabinet.. Dalam bentrokan didepan Istana Merdeka, seorang mahasiswa, Arief Rahman Hakim, gugur terkena tembakan Resimen Cakrabirawa. Ia kemudian diangkat menjadi pahlawan Ampera. Sehari setelah insiden itu, presdien membubarkan KAMI. Akhirnya, Tuntutan dari Tritura dapat terwujud dengan dikeluarkannya Sirat Pemerintah yang memerintahkan untuk memebubarkan Partai Komunis. Selain itu, Supersemar juga mengamankan agar peningkatan perekonomian Indonesia, sehingga dapat terwujud kesejahteraan sosial dan meningkatkan perbaikan  kondisi ekonomi Indonesia saat itu.[3]
Dalam menunjukkan keinginan membantu WakilPerdana Mentri III untuk mengadakan konsultasi Musyawarah Exponen Angkatan '45 menyarankan agar kebijakan ekonomi menekankan pada pendekatan produksi dalam rangka memberantas inflasi. Gaji pegawai, buruh dan prajurit setiap bulan harus berada diatas kebutuhan fisik minimum keluarga mereka. Dikemukakan selanjutnya bahwa sementara menunggu perkembangan produksi sebagai alat satu-satunya mencegah inflasi, maka kebutuhan barang-barang pokok harus dicukupi jumlahnya dengan cara apapun. Segenap alat distribusi harus diawasi secara ketat hingga seluruhnya dikuasai oleh pemerintah sambil melaksanakan Keputusan MPRS tentang pelaksanaan alat-alat distribusi yang dipegang oleh koperasi rakyat. Pernyataan dari Musyawarah Exponen Angkatan '45 Brigadir Jendral Djamin Gintings, Brigadir Jendral Djuhartono, Brigadir Jendral Pol. Sujono, SH, Letnan Kolonel Chandra Hasan, Letnan Kolonel Dominggus Nanlohy, Drosek Zakaria Raib, Alizar Thaib, Ishak Djanggawirana, Armansyah, Herman Wanggamihardja, Ismael Agung Witono, dan Soekandja. Masih terkait dengan Tritura, di Bandung hari Kamis tanggal 13 Januari 1966 terjadi terjadi demokrasi yang diikuti kurang lebih 2.000 mahasiswa dan pelajar untuk menuntt penurunan harga dan pembubaran PKI. Awalnya, demonstrasi tersebut tidak nyaris terkendali, akhirnya pihak keamanan dapat membubarkan demonstrasi mahasiwa dan pelajar itu. Dalam demonstrasi tersebut mahasiswa dan pelajar memeriahkan yel-yel "turunkan harga", kita tidak perlu monument-monumen lagi, "kita perlu industry", "hancurkan gestapu", "bubarkan PKI". [4]
            Dilangsungkanna peringatan 40 tahun Tritura ini sangat menarik jika dihubungkan dengan kondisi politik Indonesia. Apapun alasan atau dalih yang bisa diajukan mengapa diadakan peringatan 40 tahun Tritura dewasa ini, jelaslah bahwa kegiatan ini sama sekali tidak menguntungkan usaha-usah untuk mengadakan rekonsiliasi nasional dan reformasi. Peringatan ini hanya membangkitkan kembali bnyak fikiran yang serba negative dan menghidupkan berbagai kenangan penuh kepedihan dan kepahitan dari banyak kalangan dalam masyarakat tentang peristiwa 65. Sebab, peristiwa 65 mencakup jugamaslah penumbuhan yang illegal dan secara sewenag-wenang terhadap banyak pimpinan PKI diseluruh Indonesia, pemenjaraan ratusan orang tidak bersalah, pengkhianatan besar-besaran terhadap Bung Karno, persengkokolan dengan musuh bangsa, yaitu imperialism Amerika Serikat. Jadi, peringatan 40 tahun Tritura hanya mengunggah kepedihan atau kesakitan yang diderita oleh orang-orang yang telah menjadi korban kebiadaban dari pimpinan TNI-AD, baik yang dilakukan terhadap Bung Karno serta para pendukungnya. Peringatan 40 Tritura hanya menambah kebencian dendam banyak orang terhadap pimpinan TNI-AD serta pendukung-pendukung Orde Baru. Ini semua tidak menguntungkan usaha-usaha untuk menjalin rekonsiliasi nasional dan juga menimbulkan hal-hal negative untuk reformasi. Tetapi, peringatan 40 tahun Tritura ini juga ada hikmahnya, walaupun segi negatifnya lebih menonjol daripada hikmahnya. Dalam pidato presiden SBY, umpamanya,diakuinya secara terus terang bahwa hingga saat ini penyelenggaraan Negara belum mencerminkan tata pemerintahan yang baik dan bersih. Meskipun tidak dijelaskannya secara tegas bahwa  tata pemerintahan yang tidak baik dan tidak bersih itu sebenarnya berlangsung sejak zamannya Soeharto dan diteruskan pleh pemerintahan Habibie, Gusdur, Megawati dan SBY. Tetapi banyak orang sudah mengerti bahwa banyak sekali kerusakan dan pembusukan yang kita saksikan dewasa ini adalah warisan Orde Baru. Suatu hal yang menarik juga ialah apa yang diucapkan oleh Anwar Nasution yang menjadi penasehat peringatan 40 tahun Tritura. Yang tidak tercermin dalam berita-berita pers ialah adanya ptokritik atau pengakuan salah dari para hadirin peringatan 40 tahun Tritura. Jadi, peringatan 40 Tahun Tritura sebenarnya adalah peringatan 40 tahu pengkhianatan apa yang dinamakan 66 yang mendalangi gerakan KAMI/KAPPI. Pada 15 Januari 1966, KAMI mencestuskan Tritura, yang sebenarnya adalah tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Soekarno. Dengan menuntut kepada Presiden Soekarno untuk membubarkan PKI sebenarnya sasaran pusat yang dituju adalah Presiden Soekarno, yang merumuskan politik persatuan bangsa Indonesia berdasarkan Nasakom. Di sinilah bertemunya tujuan kekuatan anti Soekarno dan anti PKI didalam negri dengan tujuan imperialism AS, yang waktu itu sedang menghadapi persoalan-persoalan besar yang ditimbulakn oleh perang Vietnam, permusuhan RRT-Taiwan, pertentangan RRT-AS dan Perang Dingin.
            Tritura adalah langkah awal dari Supersemar yang merupakan jebakan licik dari kepemimpinan TNI-AD terhadap Bung Karno, yang tidak lain adalah langkah lebih konkrit dalam operasi penghianatan Angkatan 66 terhadap perjuangan rakyat Indonesia melawan imperialism dan neo-kolonialisme, yang dibenggoli oleh AS. Selama rezim militer Orde Baru berkuasa selama 32 tahun, banyak orang-orang dari angkatan 66 diangkat oleh Soeharto sebagai pejabat dalam pemerintahan atau tokoh dalam berbagai organisasi. Pada umumnya mereka juga menjadi orang-orang penting dalam Golkar, partai yang menjadi pendukung utama Orde Baru(bersama-sama TNI-AD). [5] Kesulitan rakyat Indonesia untuk mendapatkan hidup yang baik, sehingga banyak terjadi busung lapar dan gizi buruk, adalah sebagian besar dari pemerintahan selama 32 tahun Orde Baru, dan diteruskan oleh pemerintahan di bawah Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan SBY. Dalam semua pemerintahan yang bergantian berturut-turut itu Partai Golkar tetap memainkan peran yang penting, termasuk unsure-unsur dari Angkatan 66. Jadi, peran negative Angkatan 66 ini sudah berlangsung lama sekali, sampai sekarang. Kalau dilihat dari berbagai segi, maka nampaklah dengan jelas bahwa peringatan 40 Tahun Tritura oleh Angkatan 66 ini merupakan suatu hal yang sangat bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh gerakan nasional mahasiswa tahun 1998. Kalau Angkatan 66 mengadakan aksi-aksi Tritura untuk menyerang Prsiden Soekarno dan melumpuhkan PKI dengan dukungan pimpinan TNI-AD, CIA, dan begundal-begundal, maka gerakan secara nasional, maka gerakan secara nasional mahasiswa tahun 1998 adalah untuk menggulingkan kekuasaan Soeharto, seorang dictator yang telah menimbulkan banyak sekali kerusakan bagi bangsa dan Negara.  Jadi, peringatan 40 Tahun Tritura, yang intinya adalah mengenang kembali gerakan mahasiswa dalam menjatuhkan presiden Soekarno dan menjatuhkan PKI, merupakan tantangan yang provokatif sekali terhadap gerakan mahasiswa patriotic dan demokratik tahun 1998 yang memaksa Soeharto turun dari tahtanya. Selama 32 Tahun Orde Baru, angkatan Tritura ternyata hanya menjadi embel-embel rezim militer Orde Baru, walaupn tidak sedikit diantara tokoh-tokoh nya diberi kedudukan yang lumayan dalam birokrasi. Karena itulah angkatan Tritura ini hanya diam seribu bahasa saja ketika terjadi banyak pembantaian jutaan orang tidak bersalah, pembunuhan dan penculikan dikalangan pemuda/ mahasiswa, atau ketika korupsi sudah merajalela dengan hebatnya di masa Orde Baru. Angkatan Tritura dulunya berkaok-kaok setinggi langit bahwa Presiden Soekarno adalah dictator korup yang membuat rakyat Indonesia menderita karena kemiskinan. Tetapi kemudian, ketika Soeharto menjadi dictator yang kekejamannhya dan kekorupan nya tiada taranya dalam sejarah bangsa kita ini, angkatan 66 ini tidak pernah buka suara sedikit pun. Jadi, semestinya ketika Soeharto diturunkan dari tahtahnya oleh gerakan mahasiswa dengan dukungan rakyat banyak, maka seharusnya angkatan tritura ini pun tersapu bersih oleh arus reformasi, seperti halnya unsure-unsur dalam rezim militer Orde Baru. Melihat sejarah lahirnya angkatan tritura dan aksi-aksi yang dilancarkannya dalam tahun-tahun 1966, maka jelaslah kiranya bahwa angkatan tritura ini adalah unsure pendukung Orde Baru.
            Melihat ke kondisi saat ini, setelah sekian lama tragedi tersebut terjadi, dapat kita maknai dari apa yang telah mereka perbuat dikala penyambutan masa Orde Baru. Sebagai generasi penerus bangsa, sikap yang memihak pada pihak mana pun nampaknya kurang baik dan tidak member manfaat. Karena peristiwa yang telah terjadi seharusnya kita jadikan pengajaran dalam hidup dan berkaca dimasa lalu menjadikan kita generasi yang membanggakan untuk kedepannya. Adapun kita bisa mengambil sikap dan contoh dari tegsanya kaum pemuda disaat menurunkan rezim yang korup dan merugikan. Sikap mudah terhasut nampaknya tidak bisa dijadikan contoh disaat itu. Sebagai pemuda bangsa, kita mampu berfikir kritis dan menelaah setiap peristiwa sejarah dimasa lampau agar dapat diambil hikmah serta dapat dijadikan pengajaran untuk kedepannya supaya mampu berbuat yang lebih baik bagi Negara dan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
[1]Wibisono,C.(1970). Aksi Tritura: Kisah Sebuah Partnership, 10 Djanuari -11 Maret 1966: Jakarta: Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah.
[2]Oetama, Jakob. 2001. Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi. Jakarta:Kompas.
[3]Abdullah,Taufik,et al. 1995. 50 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta:PT Citra Media Persada.
[4]1975. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta:Sekretariat Negara Republik Indonesia.
[5]Sanit, Arbi.2002.Sistem Politik Indonesia. Jakarta:Grafindo Persada.

No comments:

Post a Comment