KERAJAAN GUNUNG SAHILAN, KAMPAR KIRI

Febby Indri R/ S R

 

Istana Kerajaan Gunung Sahilan yang terletak di Kecamatan Gunung Sahilan di Kampar Kiri, Kabupaten Kampar merupakan peninggalan Kerajaan Gunung Sahilan. Saat ini Istana Kerajaan Gunung Sahilan merupakan salah satu situs Nasional di Kabupaten Kampar. Penanganan situs Nasional Istana Gunung Sahilan telah ditangani secara Nasional dan Provinsi.

Bekas istana Kerajaan Gunung Sahilan (1700-1941) masih berdiri di kawasan Kampung Gunung Sahilan, Kecamatan Gunung Sahilan (Kampar Kiri) Kabupaten Kampar. Sebuah bangunan renta yang tampak uzur dimakan usia, bahkan nyaris rubuh karena tidak adanya perhatian sama sekali. Melihat kondisinya yang sangat dan sangat memprihatinkan itu, niscaya beberapa tahun ke depan situs sejarah paling bernilai tersebut akan punah-ranah. Sudah ada kesepakatan antara Pemkab Kampar dan Pemda Provinsi Riau dalam bentuk sharing budget dan sharing program tentang pengembangan dan renovasi Istana Gunung Sahilan. Pemkab Kampar telah memenuhi kewajibannya dalam bentuk melakukan

pembebasan lahan seluas 2 Ha pada tahun 2011. Sementara kewajiban Pemda Provinsi Riau melanjutkannya dengan melakukan pembangunan sarana dan prasarana serta renovasi di kompleks Istana Gunung Sahilan.[1]

Istana Kerajaan Gunung Sahilan dari Pekanbaru Ibukota Provinsi Riau berjarak lebih kurang 70km atau dapat ditempuh lebih kurang 1jam perjalanan darat. Dulunya jalan akses menuju Istana,kita harus melewati jalur sungai melewati Sungai Kampar melalui rakit,pompong atau sampan. Kini Telah berdiri dengan kokoh sebuah jembatan. Tidak jauh dari jembatan tersebut kita dapat menjumpai sebuah Istana Tua yang sudah tidak terawat yaitu Istana Kerajaan Gunung Sahilan, Istana ini tepat berada di Jalan Istana.

Wilayah Kampar Kiri yang dulunya secara pemerintahan bernama Kecamatan Kampar Kiri akhirnya mengalami pemekaran wilayah pemerintahan sehingga menjadi lima wilayah kecamatan di dalam daerah otonom Kabupaten Kampar yaitu; Kecamatan Kampar Kiri, Kampar Kiri Hulu, Kampar Kiri Hilir, Kampar Kiri Tengah dan Kecamatan Gunung Sahilan.

Sejarah mencatat bahwa wilayah Rantau Kampar Kiri, sudah dikenal dalam catatan sejarah semenjak abad mula sejarah Nusantara (abad 1-5 M ), di dalam tambo adat Kampar dikatakan "Undang-Undang di Kampar Kiri". Wilayah Rantau Kampar Kiri sangat identik dengan wilayah eks Kerajaan Gunung Sahilan. Hal ini disebabkan karena Kerajaan Gunung Sahilan adalah kerajaan yang paling lama hampir 400 tahun menguasai dan memerintah di wilayah hukum adat Rantau Kampar Kiri.

Kerajaan Gunung Sahilan merupakan puncak dari sistem sosial (perasaan kesebangsaan/raison d'entre) dari masyarakat adat Rantau Kampar Kiri, sehingga melahirkan suatu kelembagaan politik yang bernama Kerajaan Gunung Sahilan.

Luas wilayah bekas Kerajaan Gunung Sahilan sama dengan luas Kecamatan Kampar Kiri asal yaitu seluas 347.578 Ha. Di dalam pembahagian wilayah berdasarkan hukum adat Kerajaan Gunung Sahilan wilayah Kerajaan ini adalah "Dari Pangkalan yang duo laras, Pangkalan Serai di laras kiri dan Pangkalan Kapas di laras kanan dihulu Sungai Subayang dan Sungai Batang Bio sampai ke Muara Langgai".

Secara adat maka wilayah Kerajaan Gunung Sahilan dibagi menjadi tiga Rantau yaitu, pertama Rantau Daulat dari Muara Langgai sampai ke Muara Singingi dengan kampung-kampungya, Mentulik, Sungai Pagar, Jawi-Jawi, Gunung Sahilan, Subarak, Koto Tuo Lipat Kain. Kedua, Rantau Indo Ajo, mulai dari Muara Singingi sampai ke Muara Sawa disebut Indo Ajo dengan nama negerinya adalah Lubuk Cimpur yang disebut dengan kapalo kotonya Gunung Sahilan.

Ketiga, Rantau Andiko dari Muara Sawa sampai Kepangkalan yang dua laras dengan negeri-negeri Kuntu, Padang sawah, Domo, Pulau Pencong, Pasir Amo (Gema), Tanjung Belit, Batu Sanggan, Miring, Gajah Bertalut, Aur Kuning, Terusan, Pangkalan Serai, Ludai, Koto Lamo dan Pangkalan Kapas. Dan pada awalnya di Rantau Kampar Kiri terdapat enam negeri asal yakni Negeri Gunung Ibu atau Gunung Sahilan, Negeri Bungo Setangkai atau Lipat Kain, Negeri Kuntu, Negeri Domo, Negeri Batu Sanggan dan Negeri Ludai.[2]

Kerajaan Gunung Sahilan secara garis besarnya dibagi ke dalam dua wilayah besar yaitu Rantau Daulat dan Rantau Andiko. Rantau daulat adalah daerah pusat kerajaan. Rantau daulat berpusat di Kenegarian Gunung Sahilan. Sedangkan Rantau Andiko adalah daerah kekuasaan Khalifah yang berempat di mudik.

Sebelum berdirinya Kerajaan Gunung Sahilan di Rantau Kampar Kiri pernah dikuasai oleh beberapa kerajaan antara lain: Kerajaan Dinasti Fatimiyah yang mendirikan Kerajaan Islam Kuntu Kampar, pendudukan Kerajaan Singosari, dan kekuasaan Dinasti Aru Barumun dari Tanah Aceh.

Tengku Arifin bin Tengku Sulung kisah awal kerajaan Gunung Sahilan karena terjadinya keributan antar orang sekampung. Tidak jelas sebab musabab terjadinya keributan itu, yang pasti keributan mereda setelah tetua adat dan para khalifah bersepakat untuk mencari seseorang untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan. Pilihan mereka jatuh kepada Kerajaan Pagaruyung yang saat itu dalam masa keemasannya. Berdirinya Kerajaan Gunung Sahilan tidak dapat dipisahkan dari Kerajaan Pagaruyung yang didirikan oleh Adityawarman. Kerajaan Gunung Sahilan pada masa awal berdirinya diperkirakan pada abad ke 16-17 Masehi merupakan kerajaan bawahan kerajaan Pagaruyung dan raja-raja yang memerintah di Kerajaan Gunung Sahilan adalah keturunan raja Pagaruyung atau Raja Muda Kerajaan Pagaruyung.[3]

Masyarakatnya sudah heterogen atau gabungan dari beberapa pendatang, baik dari Johor Baharu (Malaysia) dan orang-orang sekitar negeri seperti Riau Pesisir, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi dan sebagainya. Penduduk asli kampung bersuku Domo, sedang enam suku lainnya merupakan pendatang yang beranak-pinak di sana. Meski harus diakui, masih banyak versi lain mengenai sejarah kerajaan tersebut dengan perbedaan-perbedaan yang tidak terlalu jauh. "Seperti kami dari suku Melayu Darat dan Melayu Kepala Koto adalah pendatang dari Johor, begitu juga suku lainnya, kecuali Domo. Ditambahkan Tengku Arifin, mengapa pilihan jatuh ke Pagaruyung karena saat itu, kerajaan itu terlihat cukup menerapkan sistem pemerintahan yang demokrasi. Karenanya, diutuslah tetua atau bangsawan Gunung Sahilan untuk meminta anak raja untuk di-raja-kan di Gunung Sahilan.

Kerajaan Gunung Sahilan berdiri sendiri sebagai Kerajaan Berdaulat setelah runtuhnya Kerajaan Pagaruyung pada awal abad ke 18 Masehi akibat perang paderi. Sistem adat-istiadat Kerajaan Gunung Sahilan adalah sistem adat Kerajaan Pagaruyung yang sudah dipengaruhi oleh ajaran Islam. Secara ilmiah historis Kerajaan Gunung Sahilan mengakui kekuasaan Kerajaan Hindia Belanda pada tahun 1905 dan kerajaan Gunung Sahilan berakhir setelah bergabung dengan NKRI.[4]

Kontribusi kerajaan dan rakyat Kerajaan Gunung Sahilan bagi kemerdekaan cukup besar, terutama dukungan kerajaan terhadap kemerdekaan dan kontribusi rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan pada masa agresi militer Belanda I dan II dimana wilayah eks Kerajaan Gunung Sahilan adalah basis pertahanan Militer Republik dengan nama Resort Riau Selatan yang tidak pernah mampu ditembus oleh Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II.

Di Kerajaan Gunung Sahilan pemerintahan tertinggi ditangan Raja yang menguasai adat (pemerintahan) dan ibadat (keagamaan). Gelar raja Kerajaan Gunung Sahilan adalah "Tengku Yang Dipertuan Besar" dan untuk Raja Ibadat "Tengku Yang Dipertuan Sati".

Kedudukan Raja dalam Kerajaan Gunung Sahilan adalah sebagai Lambang Negara Kerajaan, sementara pemerintahan dalam artian eksekutif dikendalikan oleh lembaga ini disebut Kerapatan Khalifah nan berempat dimudik berlima dengan Dt. Besar Khalifah Van Kampar kiri.

Kedudukan para khalifah ini dalam Kerajaan Gunung Sahilan adalah sebagai Majelis Menteri (Kementerian) dimana fungsinya dibagi menurut bagian-bagian tertentu. Kerajaan Gunung Sahilan diperkirakan berdiri sekitar abad ke 16-17, dan berakhir pada tahun 1946.

Kerajaan Gunung Sahilan berdiri selama lebih kurang 300 tahun. Selama itu Kerajaan Gunung Sahilan diperintah oleh Sembilan orang Raja atau Sultan dan satu orang Putra Mahkota yang akan dinobatkan menjadi Sultan apabila raja yang terakhir wafat. Sembilan Raja dan satu orang Putra Mahkota itu adalah sebagai berikut :

Pertama, Tengku yang Dipertuan Bujang Sati bergelar Sutan Pangubayang diperkirakan tahun 1700-1730. Mangkat di Pagaruyung merupakan anak raja yang dijemput ke Pagaruyung.

Kedua, Tengku Yang dipertuan Nan Elok, 1730-1760, mangkat di Mekah. Ketiga, Tengku yang Dipertuan Muda I, 1760-1800, Mangkat di Pulau Gameran Laut Merah. Keempat, Tengku yang Dipertuan Hitam 1800-1840, mangkat di Gunung Sahilan.

Kelima, Tengku yang Dipertuan Abdul Jalil Khalifatullah, 1840-1870, mangkat di Jeddah. Keenam, Tengku yang Dipertuan Besar Tengku Daulat, 1870-1905. Ketujuh, Tengku Abdurrahman yang Dipertuan Muda. Kedelapan Tengku Sulung yang Dipertuan Besar, 1930-1945 (Raja Adat)

Kesembilan, Tengku Haji Abdullah Yang Dipertuan Sati 1930-1945 (Raja Ibadat). Kesepuluh Tengku Ghazali (putra Mahkota) dilantik pada tahun 1939, akan tetapi belum dinobatkan sebagai Sultan/Raja.[5]

Sementara menurut daftar silsilah raja-raja kerajaan Gunung Sahilan yang dibuat oleh Drs. H. Darmansyah, 25 September 1992, bahwa kerajaan Gunung Sahilan telah diperintah oleh 10 orang raja dan satu orang putra mahkota yang akan dinobatkan apabila raja yang terakhir wafat.

Akan tetapi putra mahkota yang dilantik pada tahun 1939 tidak jadi dinobatkan menjadi sultan Gunung Sahilan berhubung Kerajaan Gunung Sahilan sudah berintegrasi dengan Republik Indonesia pada tahun 1946.

Urutan silsilah raja-raja Gunung Sahilan itu adalah sebagai berikut : Pertama, Raja Mangiang, adalah raja pertama di kerajaan Gunung sahilan, merupakan keturunan raja Gamayung Panitahan Sungai Tarap, kuburannya di dekat Masjid Sahilan. Kedua,

Raja bersusu empat, kuburannya berdekatan dengan Raja Mangiang. Ketiga, Sultan dipertuan Sakti Sultan Bujang, kuburannya di Kapalo Koto Gunung Sahilan. Keempat, Sultan yang dipertuan Muda, kuburannya di Kapalo Koto Gunung sahilan. Kelima Sultan yang dipertuan Hitam, kuburannya di Kapalo Koto Gunung Sahilan.

Keenam, Sultan Yang Dipertuan Besar, kuburannya di kota suci Mekah. Ketujuh, Sultan Abdul Jalil yang dipertuan Besar Sultan Daulat, kuburannya di Kapalo Koto Gunung Sahilan.

Kedelapan, Sultan Abdurrahman Yang Dipertuan Muda, kuburannya di Jeddah. Kesembilan, Sultan Abdullah Sayyah gelar Yang Dipertuan Besar Tengku Sulung, kuburannya di RSUD Pekanbaru, 18 Maret 1951.

Kesepuluh Sultan Abdullah Hassan Tengku Yang Dipertuan Sakti, kuburannya di Lipat Kain pada 8 Desember 1957. Kesebelas Tengku Ghazali (putra mahkota dinobatkan pada tahun 1941), kuburannya di RSUD Pekanbaru pada tanggal, 26 Juni 1975.

Raja terakhir Kerajaan Gunung Sahilan adalah Tengku Ghazali yang tak lain adalah ayahandanya Tengku Nizar yang pada waktu Pilkada Kampar tahun 2011 ikut menjadi calon Bupati Kampar. Sedangkan salah seorang putri Tengku Ghazali bernama Putri Indra, lahir di Gunung Sahilan pada tanggal, 17 Maret 1929.

NOTE :

[1]  id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Sahilan,_Kampar

[2] http:situsriau.com/2012/04/sekilas-jejak-sejarah-kerajaan-gunung-sahilan

[3] Asri,M.Pd. Sejarah Riau. Pekanbaru

[4] riaudaily./2011/08.istana-kerajaan-gunung-sahilan

[5]http://rantaukamparkiriculturecenter.blogspot.co.id/2012/03/sejarah-kerajaan-gunung-sailan

No comments:

Post a Comment