PERJUANGAN KAPTEN MANSYURDIN DALAM MENEGAKKAN BERITA PROKLAMASI KEMERDEKAAN DI KOTA PEKANBARU

Riska Riani


Kabar Indonesia sudah merdeka ditandai dengan Proklamasi oleh Soekarno dan Muhammad Hatta, pada 17 Agustus 1945, baru sampai ke telinga pemuda di Pekanbaru, Riau, lima hari kemudian, 22 Agustus 1945. Kabar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu diterima melalui telegrafis Pemuda PTT Pekanbaru, Basrul Jamal. Namun, ia belum berani mengungkapkannya kepada pemuda lain karena situasi Pekanbaru ketika itu masih dikuasai  Jepang, negara yang kalah perang. Dalam situasi yang tidak menentu tersebut  dan tidak adanya kepastian tentang keberlangsungan pemerintahana pasca Jepang kalah perang ini, terjadi selama lebih kurang setengah bulan. Beberapa utusan sudah dikirim ke Bukittinggi, tetapi kepastian yang diharapkan belum juga diperoleh.[[1]]

Dari pernyataan diatas kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 memberikan dampak dan berkah yang luar biasa bagi perkembangan negeri Melayu ini. Indonesia telah merdeka namun, situasi yang memaksakan mereka untuk tetap menunggu kabar dari beberapa utusan yang telah dikirim ke Bukittinggi. Hal ini dikarenakan Riau belum terlepas dari kekuasaan Jepang. Demikian juga sarana dan prasarana dalam penunjang yang menyampaikan kemerdekaan ke daera- daerah lain, seperti radio daerah maupun surat kabar.

Berita yang diterima oleh Kantor PTT Pekanbaru, juga bukan dalam bentuk Teks Proklamasi lengkap, tetapi hanya kabar bahwa Indonesia sudah merdeka. Tentara ke-16 juga melakukan kontrol yang keras terhadap media massa. Pada awalnya, Bukittinggi hanya mengizinkan satu radio untuk seluruh Sumatera yang dinamakan Sumatera Hosokyoku (Radio Sumatera).  Barulah tanggal 29 Agustus 1945, Mansyurdin Sang Kapten yang merupakan bekas anggota Gyu Gun, datang ke Pekanbaru dengan membawa Salinan Pamflet Teks Proklamasi yang telah ditanda-tangani Soekarno-Hatta. Berselang delapan hari kemudian, 30 Agustus 1945, barulah Basrul Jamal dan para pemuda tergabung dalam Angkatan Muda PTT Pekanbaru, kemudian menyebarluaskan teks Proklamasi tersebut, usai mendapat kabar kepastian utusan yang datang dari Sumatare Barat. [[2]]

Dari pernyataan diatas jelas Kapten Mansyurdin adalah termasuk tokoh yang sangat dihormati dan disegani. Sepanjang hidupnya, Beliau abdikan untuk kemajuan dan perjuangan di Riau. Beliau merupakan bekas nggota Gyu-Gun yang diperbentuk di Pekanbaru oleh Markas Besar BO-EI-SIREI-BU Sumatera di Bukittinggi. Daerah pengawasan beliau adalah antara Padang dan Singapore termasuk Pekanbaru. Kemudian, sesampainya di Pekanbaru dini hari tanggal 30 Agustus 1945 salinan Pamflet Teks Proklamasi tersebut langsung ditempelkan ke berbagai tempat.

Ada warga daerah yang langsung mempercayai berita tersebut dan ada pula yang meragukan, bahkan ada yang tidak menyukai Indonesia merdeka. Ada lima latar belakang utama yang menyebabkan terjadinya berbagai perbedaan di atas. Pertama, kontrol yang ketat oleh bala tentara Jepang terhadap semua aktivitas (politik) daerah/warga daerah; kedua, perbedaan kesempatan dari masing-masing daerah/warga daerah untuk mendapatkan akses informasi; ketiga, perbedaan psikologis daerah/warga daerah dalam menyikapi/mengambil keputusan yang berskala besar dan berdampak masif, tegasnya perbedaan darah dan semangat dari kaum muda serta kematangan dan kedewasaan dari kaum tua. Keempat, perbedaaan keterlibatan daerah/warga daerah dalam berbagai peristiwa yang berkaitan dengan perjuangan kemerdekaan pada masa Jepang; kelima, sikap kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki hubungan istimewa dengan penjajah (Belanda). Kemudian beliau berinisiatif memakai bendera merah putih untuk memberi tahu kepada masyarakat luas jika kemerdekaan sudah dikumdangkan namun beliau tidak menemukannya. Agar tidak terjadi kebingungan di masyarakat, maka Mansyurdi berinisiatif memperbanyak rekan untuk membantu menyebarluaskan dan membantu mencari kain merah putih.  Namun kain merah putih gagal dinaikkan karna sulit didapat. Pihak kepolisian (dipimpin KEISI KARIM) yang mnegetahui aksi Mansyurdin, menangkap Mansyurdin dan rekannya. Tak berlangsung lama, pada hari itu mereka dibebaskan, namun diperintahkan segera kembali ke Bukittinggi. Kapten Mansyurdin tidak pantang menyerah dalam menggerakkan berita kemerdekaan di Pekanbaru, bersama rekan-rekan lainnya yaitu, bermawi, Ali Rasyid, Bang Ali, Bongsu dan lain-lain membentuk gerakan pemuda pada tanggal 1 September  1945 yang diperintahkan untuk mengumpulkam persenjataan sebanyak mugkin dan berupaya mengimbangi tindakan-tindakan Belanda dan kaki tangannya.[[3]]

Pada pernyataan diatas Beliau sangat gigih agar kota Pekanbaru Merdeka dari jajahan Jepang, Mansyurdin melakukan berbagai mulai dari mengumpulkan rekan-rekan perjuangan membela tanah air dan mencari kain putih dan merah sebagai bendera merah putih Indonesia. Namun hal itu digagalkan pihak kepolisian yang dibawah pimpinan jepang di Pekanbaru pada masa tersebut.  Beliau diebabskan kembali dan diberi perintah untuk kembali ke Bukittinggi namun, beliau tidak pantang menyerah dan segera mengumpulkan persenjataan dengan rekan-rekan perjuangannya yang lain.

Gerakan Serikat Hantu Kubur. Gerakan ini merupakan gerakan tersembunyi para pemuda dengan maksud memberikan ancaman bagi mereka yang membantu Belanda dan bangsa lainnya yang ingin berkuasa di Indonesia. Pada tanggal 12 September 1945, pemimpin-pemimpin rakyat beserta para pemuda, antara lain: Mansyurdin, Umar Usman, Dt.Mangku, Wan Abdurrachman, Hasan Basri, Basrul Jamal, Toha Hanafi, Bermawi, Amat Suka, Rd.Yusuf, Rd. Selamat, Agus Ramadan, Abu Bakar Abduh, menaikkan bendera merah putih secara resmi di Kantor Riau Syu Tjo Kan (Residen Riau). Tindakan tersebut diambil alih oleh para pemuda, karena Instruksi Penaikan Bendera Merah Putih dari Gubernur Sumatera di Medan kepada Residen Riau pada waktu itu, Aminuddin, tidak ditanggapi, akibat sudah dipengaruhi Belanda. Sebelumnya Sang Merah Putih pernah dinaikkan para pemuda di Kantor Riau, Syu Tjo Kan, tetapi tidak lama dapat berkibar karena kedatangan tentara Sekutu dari Singapore yang dipimpin Majoor Langly, yang memerintahkan Jepang untuk menurunkan Sang Merah Putih. Para pemuda pada awalnya akan menghantam tentara Jepang tersebut, namun dibatalkan dengan pertimbangan untuk menjadikan Jepang sebagai kawan dalam melawan Belanda/sekutu.[[4]]

Pada pernyataan diatas, Beliau membangun organisasi gelap dan tersembunyi yang telah diikuti para pemuda Pekanbaru. Pada tanggal tersebut, pemimpin-pemimpin rakyat serta Residen Riau pada saat itu telah menaikkan bendera merah putih secara resmi, namun diambil alih para pemuda karena pemimpin daerah medan  sudah bersekutu dengan Belanda yang ingin mengambil wilayah Riau dibawah kepemimpinan Belanda. Sebelumnya telah dibaikkan bendera merah putih namun kedatangan tentara sekutu memerintahkan Jepang menurunkan Bendera Merah Putih, yang mengakibatkan para pemuda geram dan kesal ingin menghantam tentara Jepang, namun dibatalkan karena mereka ingin Jepang berperan melawan Belanda. Pengibaran bendera merah putih adalah salah satu ekspresi dukungan anak bangsa terhadap proklamasi kemerdekaan. Pengibaran merah putih sekaligus menandai pengambilalihan kekuasaan oleh para pendukung republik dari tangan Jepang khususnya dan penjajah pada umumnya. Penaikan merah putih bisa dikatakan sebagai aksi heroik dan perlawanan pertama pejuang bangsa terhadap larangan Jepang yang diperintahkan menjaga status quo. Menariknya lagi, penaikan bendera tersebut dilakukan di tempat-tempat strategis yang menarik perhatian, serta di lokasi-lokasi yang menjadi simbol kekuasaan penguasa Jepang. Di Pakanbaru bendera merah putih pertama kali juga dikibarkan di Kantor PTT (15 September) dan kemudian di halaman Kantor Shu Chokan (16 September).

Mansyurdin dan Bermawi, serta beberapa orang pemuda mendatangi rumah Residen Aminuddin dan Keisi Karim (Komisaris) dengan maksud menanyakan pendiriannya terkait Kemerdekaan Indonesia. Akibat desakan dari Mansyurdin, Bermawi, dan para pemuda, akhirnya Aminuddin melarikan diri masuk kamp Sekutu, sedangkan Keisi Karim diperintahkan meninggalkan Riau sesegera mungkin. Setelah pengibaran bendera merah putih di Pekanbaru, Aparat Pemerintahan, Barisan Keamanan Rakyat (BKR), Organisasi Pemuda, dan lain-lain mulai disusun, dan disebarkan ke seluruh Riau. Serikat Hantu Kubur yang dikomandoi Mansyurdin, kembali menaikkan bendera sang Saka Merah Putih yang sudah diturunkan Tentara Jepang di Kantor Riau Syu Tjo Kan. Saat itu, 'Sang Merah Putih' yang sudah berkibar di Kantor Syu Tjo Kan  sejak tanggal 1 September 1945, tiba-tiba diturunkan kembali oleh Tentara Jepang.[[5]]

Nah, pada pernyataan diatas, sebenarnya pernah juga beberapa pemimpin rakyat mendatangi mereka, akan tetapi tidak ditanggapi akibat pengaruh dari pihak Belanda yang sering mendatangi rumah mereka.  Mansyurdin bersama 4 orang rekan-rekannya, yakni  Bermawi, Miswan, Abdullah Rukun dan Adjo Udin lalu bertindak. Pada malam harinya dengan sembunyi-sembunyi dan merangkak, mereka menaikkan kembali Sang Merah Putih di Kantor Riau Syu Tju Kan yang sedang dikawal tentara Jepang. Karena sudah diturunkan Tentara Jepang di Kantor Riau Syu Tjo Kan saat itu. Kemudian, pada tiang bendera itupun ditulis kalimat yang berbunyi "AWAS SIAPA YANG MENURUNKAN MAUT", di bawah kalimat itu juga ditulis "SERIKAT HANTU KUBUR". Pada posisi paling atas dibuat gambar tengkorak dan kalimat-kalimat yang ditulis Albanik. Dan ternyata upaya Beliau tidak sia-sia. Para tentara Jepang tidak mau lagi menurunkn bendera itu. Maka, berkibarlah terus Sang Merah Putih di Kantor Syu Tjo Kan yang akhirnya dinamakan Kantor Residen RI Riau. Sang Merah Putih yang dinaikkan oleh Mansyurdin dan rekan-rekannya pada tengah malam buta itu, merupakan pemberian Toha Hanafi kepada "Serikat Hantu Kubur".

Pada tanggal 25 September1945 atas permintaan Sekutu pada Residen Riau maka Mansyurdin, Bermawi, dan Bongsu dibawa ke markas Sekutu dengan alasan untuk melakukan perundingan. Ternyata, kedatangan mereka ditunggu oleh seorang kolonel Jepang, yaitu Kepala Staf tentara Jepang seluruh Riau, serta tentara Jepang dari wilayah lainnya dan memutuskan untuk menahan Mansyurdin beserta Bermawi dan Bonsgu. Akan tetapi, Residen Malik beserta delegasi yidak menerima keputusan ini. Akhirnya, Kolonel Jepang tersebut mengambil jalan tengah, dimana Mansyurdin dan dua rekannya diserahkan kepada Kompetei (Polisi Militer Jepang) saat itu. Pada tanggal 26 September 1945, Sekutu memerintahkan Pengadilan Jepang untuk mengadili Mansyurdin dan 2 rekannya. Situasi didalam dan luar Pengadilan sangat tegang. Pengadilan Jepang memutuskan untuk menahan Mansyurdin dan 2 rekannya selama 8 tahun penjara. Namun, pada akhirnya setelah memperoleh pembelaan dari rekan sejawat mereka, hukuman menjadi 4 tahun penjara dan dikirim ke Bukittinggi dengan pengawalan ketat.[[6]]

Pada pernyataan diatas, sekutu memerintahkan Residen Riau dibawa runding, namun hal ini ternyata untuk menahan Mansyurdin dan dua rekan lainnya. Hal ini tentu menjadi pengkhianatan dari pihak Residen Riau terhadap masyarakatanya. Namun, kepada Delegasi, Kolonel Jepang memberitahukan secara diam-diam bahwa Mansyurdin dan rekan-rekannya akan dihukum tembak oleh sekutu dengan tuduhan mengacau keamanan dan lubang kuburan sudah disiapkan. Dan Jepang berjanji lagi kepada delegasi, bahwa Mansyurdin beserta rekan-rekannya akan diselamatkan sebisa mungkin. Kemudian Beliau ditahan selama 4 tahun penjara dan dikirim ke Bukittinggi. Setelah Beliau ditahan, pemimpin-pemimpin rakyat yang ada di Bukittinggi mebebaskan beliau, dengan syarat Mansyurdin tidak diperbolehkan kembali ke Riau lagi.

Kesimpulan

Provinsi Riau menyimpan banyak kisah heroik masyarakatnya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada masa lampau. Kabar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu diterima melalui telegrafis Pemuda PTT Pekanbaru, Basrul Jamal.  Kapten mansyurdin merupakan tokoh perjuangan yang memerjuangkan hak-hak di Riau untuk menyuarakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Meskipun Beliau berasal dari daerah lain yaitu Sumatra Barat, namun bukan berarti Beliau mengabaikan perannya yaitu tetap memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Melalui berbagai tindakan yang dimulai secara terang-terangan mengumumkan kemerdekan dengan menggunakan pamflet dan radio sampai bersembunyi dalam mengembalikan bendera merah putih ketempat asalnya. Kapten Manyurdin bersama rekannya membangun Serikat Hantu Kubur yang diberi amanah guna membentuk ‘polisi tentara’  sampai akhirnya membawa mereka ke penahanan oleh tentara Jepang dan berusaha untuk membebaskan diri dari jeratan hukum. Hingga Kapten Mansyurdin dibebaskan dengan syarat tidak boleh kembali ke Riau.

 


[1] Muchtar, Lutfi. Dkk. Buku Sejarah Riau Pekanbaru. 1977 

[2] Gunawan, Restu. Dkk. Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Direktorat Sejarah, Direktorat Jendral Kebudayaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2015. Hal. 69

[3] Ibid. Hal. 72

[6] RealitaOnline. Indonesia. http://www.realitaonline.com/read-15435-2019-08-10-sempena-hut-ke-62-provinsi-riau-12-tokoh-mendapat-gelar-pejuang-kemerdekaan.html. 2019 Diakses 6 Desember 2020.

 

DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Restu. Dkk. Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Direktorat Sejarah, Direktorat Jendral Kebudayaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2015.

Lutfi, Muchtar. Dkk. Buku Sejarah Riau Pekanbaru. 1977  

GoRiau. Indonesia. https://www.goriau.com/berita/baca/sandang-gelar-pejuang-kemerdekaan-ini-kisah-perjuangan-kapten-mansyurdin.html. Diakses pada tanggal 6 Desember, pukul 09.42.

RealitaOnline. Indonesia. http://www.realitaonline.com/read-15435-2019-08-10-sempena-hut-ke-62-provinsi-riau-12-tokoh-mendapat-gelar-pejuang-kemerdekaan.html. Diakses pada tanggal 6 Desember, pukul 15.23.

No comments:

Post a Comment