TIKA PERMATA SARI / SI 3
Sultan Hamengkubuwono I lahir dari Pasangan Amangkurat IV yang merupakan raja dari Kasunanan Kertasura dan seorang selir yang bernama Mas Ayu Tejawati. Beliau lahir pada tanggal 6 Agustus 1717, Nama Asli dari Hamengkubuwono I ini adalah Raden Mas Sujana dan setelah dewasa ia diberi gelar yaitu Pangeran Mangkubumu. Beliau juga merupakan adik dari Susuhunan Mataram II Surakarta.
Secara Genologis Hamengkubuwono juga berasal dari Keturunan Raja Brawijaya V, hal ini didapat Ayahnya yaitu Amangkurat IV dan Ibunya Mas Ayu Tejawati masih merupakan keturunan dari Brawijaya V. Dari silsilah inilah yang menunjukkan tentang garis silsilah Ayahnya menyambung sampai kepada Raja Brawijaya V. Meskipun hal ini sebenarnya sudah diketahui oleh keluarga ibunya, namun dari pihak keluarga ibunya masih sedikit yang mengungkap kebenaran tersebut.
Silsilah yang dapat tergambar tentang ibunya adalah Brawijaya V memiliki seorang putra yang bernama Jaka Dhalak yang kemudian Jaka Dhalak tersebut memiliki putra yang bernama Wasisrowo atau sering disebut Pangeran Panggung. Kemudian Pangeran Panggung tersebut memiliki seorang Putra bernama Pangeran Alas yang kemudian Pangeran Alas ini memiliki putra yang bernama Tumenggung Perampilan. Ketika dewasa Tumenggung Perampilan mengabdikan dirinya didaerah Pajang pada Sultan Hadiwijaya dan menikah kemudian memiliki seorang putra yang bernama Kiai Cibkakak yang lahir didaerah Kepundung Jawa Tengah. Setelah Kiai Cibkakak dewasa dan menikah beliau memilki seorang putraa yang diberi nama Resoyuda dan Resoyuda juga memiliki seorang putra yang bernama Ngabehi Hondroko yang kemudian menikah dan memiliki seorang putri yang bernama Mas Ayu Tejawati yang tidak lain adalah Ibunda dari Hamengkubuwono I.
Didaerahnya sendiri yaitu Yogyakarta, Hamengkubuwono I dikenal sebagai seorang Sultan yang besar dan tangguh. Beliau mampu mengalahkan Surakarta, meskipun pada saat itu Yogyakarta masih tergolong kerajaan yang baru. Bahkan pada saat itu jumlah Armada perang dan pasukannya lebih besar daripada jumlah Armada perang milik VOC yang ada pada dipulau Jawa pada saat itu. Tidak hanya sebagai seorang pemimpin yang ahli pada bidang perang, beliau juga mencintai keindahan alam. Salah satu Mahakarya idenya adalah Taman Sari Keraton Yogyakarta yang merupakan karya Arsitektur yang Monumental dan indah pada masa kepemimpinannya. Taman tersebut dirancang oleh Ahli bangunan Kesultanan yang berkebangsaan Portugis namun memiliki nama Jawa yakni Demang Tengis. [1]
Kisah heroiknya bermula ketika penyerangan pada tahun 1742 Istana Kertasura diserbu oleh kaum pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Said yang merupakan keponakan dari Pakubuwono dan Pangeran Mangkubumi. Serbuan pemberontak tersebut mengakibatkan rusaknya Istana Kertasura dan akhirnya Pakubuwono II terpaksa membangun istana yang baru di Surakarta, pemberontakan tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh VOC dan Cokroningrat dari Madura.
Namun pemberontakan tersebut berhasil merebut tanah Sukowati. Untuk merebut kembali tanah sukowati tersebut, Pakubuwono II mengumumkan sayembara yang berhadiah tanah seluas 3000 cacah untuk siapa saja yang berhasil merebut tanah itu kembali. Ketika Pangeran Mangkubumi berhasil mengusir Mas Said pada tahun 1746 dan pada saat itu juga Patih Pringgalaya mencoba menghalang-halangi Mangkubumi dengan menghasut Pakubuwono II untuk membatalkan Perjanjian Sayembara tersebut.
Ketika masalah tersebut mulai mereda datang pula Baron Van Imhoff yang merupakan gubernur VOC pada saat itu dan memperkeruh suasana. Ia mendesak Pakubuwono II agar menyewakan daerah pesisir Jawa kepada VOC seharga 20.000 real untuk melunasi hutang keraton terhadap Belanda. Hal ini sangat ditentang oleh Pangeran Mangkubumi yang berujung penghinaan oleh Baron van Imhoff kepada pangeran Mangkubumi didepan umum. Atas kejadian tersebut membuat Pangeran Mangkubumi dan pergi meninggalkan Surakarta pada tahun 1746 dan menggabungkan diri dengan Mas Said sebagai pemberontak, sebagai tanda ikatan gabungan tersebut Pangeran Mangkubumi mengawinkan Mas Said dengan putrinya yaitu Rara Inten.
Perang antara Mangkubumi melawan Pakubuwono II yang didukung VOC disebut para sejarawan sebagai Perang Suksesi Jawa III. Pada tahun 1747 diperkirakan kekuatan Mangkubumi mencapai 13.000 orang prajurit. Perang ini dikenal dengan "Perang Tahta Jawa Ketiga".Pertempuran demi pertempuran dimenangkan oleh Mangkubumi, misalnya pertempuran di Demak dan Grobogan. Pada akhir tahun 1749, Pakubuwono II sakit parah dan merasa kematiannya sudah dekat. Ia pun menyerahkan kedaulatan negara secara penuh kepada VOC sebagai pelindung Surakarta tanggal 11 Desember.
Sementara itu Mangkubumi telah mengangkat diri sebagai raja bergelar Pakubuwono III tanggal 12 Desember di markasnya, sedangkan VOC mengangkat putra Pakubuwono II sebagai Pakubuwono III tanggal 15. Dengan demikian terdapat dua orang Pakubuwono III. Yang satu disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut Susuhunan Kebanaran, karena bermarkas di desa Kebanaran di daerah Mataram.Perang kembali berlanjut. Pertempuran besar terjadi di tepi Sungai Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang dipimpin Kapten de Clerck. Orang Jawa menyebutnya Kapten Klerek. [2]
Pada tahun 1752 Mangkubumi dengan Raden Mas Said terjadi perselisihan. Perselisihan ini berfokus pada keunggulan supremasi Tunggal atas Mataram yang tidak terbagi.Dalam jajak pendapat dan pemungutan suara dukungan kepada Raden Mas Said oleh kalangan elite Jawa dan tokoh tokoh Mataram mencapai suara yang bulat mengalahkan dukungan dan pilihan kepada Mangkubumi. Dalam dukungan elite Jawa menemui fakta kalah dengan Raden Mas Said maka Mangkubumi menggunakan kekuatan bersenjata untuk mengalahkan Raden Mas Said tetapi Mangkubumi menemui kegagalan. Raden Mas Said kuat dalam dukungan-pilihan oleh elite Jawa dan juga kuat dalam kekuatan bersenjata. Mangkubumi bahkan menerima kekalahan yang sangat telak dari menantunya yaitu Raden Mas Said. Akibat kekalahan yang telak Mangkubumi kemudian menemui VOC menawarkan untuk bergabung dan bertiga dengan Pakubuwono III sepakat menghadapi Raden Mas Said.
Tawaran Mangkubumi untuk bergabung mengalahkan Raden Mas Said akhirnya diterima VOC tahun 1754. Pihak VOC diwakili Nicolaas Hartingh, yang menjabat gubernur wilayah pesisir utara Jawa. Sebagai perantara adalah Syaikh Ibrahim, seorang Turki. Perudingan-perundingan dengan Mangkubumi mencapai kesepakatan, Mangkubumi bertemu Hartingh secara langsung pada bulan September 1754.Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan naskah Perjanjian Giyanti yang mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwono I. Wilayah kerajaan yang dipimpin Pakubuwono III dibelah menjadi dua. Hamengkubuwono I mendapat setengah bagian. Perjanjian Giyanti ini juga merupakan perjanjian persekutuan baru antara pemberontak kelompok Mangkubumi bergabung dengan Pakubuwono III dan VOC menjadi persekutuan untuk melenyapkan pemberontak kelompok Raden Mas Said.
Sejak Perjanjian Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua. Pakubuwono III tetap menjadi raja di Surakarta, Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I menjadi raja di Yogyakarta. Mangkubumi sekarang sudah memiliki kekuasaan dan menjadi Raja maka tinggal kerajaan tempat untuk memerintah belum dimilikinya. Untuk mendirikan Keraton/Istana Mangkubumi kepada VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa tetapi VOC saat itu belum memiliki yang diminta oleh Mangkubumi.Pada bulan April 1755 Hamengkubuwono I memutuskan untuk membuka Hutan Pabringan sebagai ibu kota Kerajaan yang menjadi bagian kekuasaannya . Sebelumnya, di hutan tersebut pernah terdapat pesanggrahan bernama Ngayogya sebagai tempat peristirahatan saat mengantar jenazah dari Surakarta menuju Imogoro. Oleh karena itu, ibu kota baru dari Kerajaan yang menjadi bagiannya tersebut pun diberi nama Yogyakarta.[3]
Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwono I pindah dari Kebanaran menuju Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu nama Yogyakarta sebagai ibu kota kerajaannya menjadi lebih populer. Kerajaan yang dipimpin oleh Hamengkubuwono I kemudian lebih terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta.Hamengkubuwono I meskipun telah berjanji damai namun tetap saja berusaha ingin mengembalikan kerajaan warisan Sultan Agung menjadi utuh kembali. Surakarta memang dipimpin Pakubuwono III yang lemah namun mendapat perlindungan Belanda sehingga niat Hamengkubuwono I sulit diwujudkan, apalagi masih ada kekuatan ketiga yaitu Mangkunegoro I yang juga tidak senang dengan Kerajaan yang terpecah, sehingga cita cita menyatukan kembali Mataram yang utuh bukan monopoli seorang saja. Setelah Pakubuwono IV naik tahta menggantikan ayahnya yaitu Pakubuwono III, ia sangat menolak keras keinginan dari Hamengkubuwono I untuk menyatukan kembali Mataram dengan mengabaikan Yogyakarta dengan mengangkat saudaranya menjadi Pangeran Mangkubumi, hal yang menyebabkan ketegangan dengan Hamengkubuwono I. Setelah pengangkatan saudaranya menjadi Pangeran, Pakubuwono IV juga tidak mengakui hak waris tahta putra Mahkota di Yogyakarta.
Pakubuwono IV mengambil langkah konfrontatif dengan Yogyakarta dengan tidak mau mencabut nama "Mangkubumi" untuk saudaranya. Memang dalam Perjanjian Giyanti tidak diatur secara permanen soal suksesi Kasultanan Yogyakarta, sehingga sikap konfrontatif Pakubuwono IV ini dapat dimengerti bahwa penguasa Surakarta memahami tanggung Jawab Kerajaan.Sikap konfrontatif Pakubuwono IV ini beriring dengan munculnya penasehat penasehat spiritual yang beraliran keagamaan dan ini yang meresahkan VOC dan dua penguasa lainnya, karena ancaman perang yang meluluh lantahkan Jawa bisa terulang kembali.
Pada tahun 1790 Hamengkubuwono I dan Mangkunegara I (alias Mas Said) kembali bekerja sama untuk pertama kalinya sejak zaman pemberontakan dulu. Mereka bersama VOC bergerak mengepung Pakubuwono IV di Surakarta karena Pakubuwono IV memiliki penasehat penasehat Spiritual yang membuat khawatir VOC. Pakubuwono IV akhirnya menyerah untuk membiarkan penasehat penasehat spiritualnya dibubarkan oleh VOC. Ini adalah kerja sama dalam kepentingan yang sama yaitu mencegah bersatunya penasehat spiritual dengan golongan Ningrat yang merupakan ancaman potensial pemberontakan kembali.
Meskipun permusuhannya dengan Belanda berakhir damai namun bukan berarti ia berhenti membenci bangsa asing tersebut. Hamengkubuwono I pernah mencoba memperlambat keinginan Belanda untuk mendirikan sebuah benteng di lingkungan Keraton Yogyakarta. Ia juga berusaha keras menghalangi pihak VOC untuk ikut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi adalah perang terberat yang pernah dihadapi VOC di jawa (sejak 1619 – 1799). [4]
Rasa benci Hamengkubuwono I terhadap penjajah asing ini kemudian diwariskan kepada Hamengkubowono II, raja selanjutnya. Hamengkubuwono I menghembuskan napas terakhirnya dan meninggal dunia pada tanggal 24 Maret 1792. Tahta yang dia miliki sebagai seorang raja Yogyakarta kemudian diwariskan kepada putranya Raden Mas Sundoro, yang bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono II. Sri Sultan Hamengkubuwono I ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 10 November 2006.
Daftar Pustaka
[1] Houben, Vincent J.H , 2003 . Keraton dan kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870 , Yogyakarta : Bentang Nusantara
[2] Surjomihardjo, Abdurracman, 2008. Kota Yogyakarta Tempo Doeloe Sejarah Sosial 1880-1930 , Yogyakarta : Komunitas Bambu
[3] Marihandono,Djoko, 2008 . Sultan Hamengkubuwono II, Pembela tradisi dan kekuasaan Jawa, Yogyakarta : Banjar Aji Production
[4] De Graff, H.J , 1990. Puncak kekuasaan Mataram,Politik Ekspansi Sultan Agung , Jakarta : Temprint
No comments:
Post a Comment