KESELURUHAN PERGERAKAN POLITIK DIZAMAN ORDE BARU

Rezky Aditiya/1205113204/B/SI V
Indonesia  merupakan sebuah bangsa yang besar, yang di dalamya terdapat beraneka etnis, suku, ras, agama, hingga budaya. Indonesia adalah negara yang kaya raya, baik dari kekayaan alam hayati dan non hayati. Indonesia merupakan bangsa yang "unik" dan "menarik" untuk dikaji dari berbagai segi, terutama dari segi historisitasnya. Sisi histories sebuah bangsa berbicara mengenai bagaimana bangsa itu berkembang dari masa ke masa. Di masa ke masa itulah banyak terimpan lembar sejarah yang sangat penting untuk diketahui.
Masa Orde Baru merupakan salah satu peristiwa sejarah yang pernah terjadi di Indonesia. Orde Baru merupakan sebuah masa setelah berakhirnya Orde Lama dibawah pimpinan presiden Soekarno. Orde Lama tersebut runtuh karena keadaan keamanan dalam negeri yang tidak kondusif setelah terjadinya peristiwa pemberontakan G30S/PKI. Hal ini menyebabkan presiden Soekarno memberikan mandat kepada Soeharto untuk melaksanakan kegiatan pengamanan di Indonesia melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Dengan keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, maka hal itu menandakan lahirnya Orde Baru dibawah pimpinan presiden Soeharto.[1]
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) mengandung beberapa pokok pikiran sebagai berikut:
1.    Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketertiban serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi. Serta, menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pimpinan Besar Revolusi/Mandataris MPRS demi keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia.
2.    Mengadakan  koordinasi pelaksanaan perintah dengan panglima-panglima angkatan lain dengan sebaik-baiknya.
3.    Supaya melaporkan segala yang bersangkutan dalam tugas dan tanggungjawab seperti tersebut.[2]
Periode Orde Baru ini berlangsung selama 32 tahun, yakni dari tahun 1966 hingga 1998. Dibawah kepemimpinan presiden Soeharto sistem pemerintahan pun turut berubah. Orde Baru tidak lagi menerapkan Demokrasi Terpimpin, tetapi menerapkan Demokrasi Pancasila. Perubahan sistem pemerintahan ini juga berdampak pada beberapa bidang, ekonomi dan kebudayaan nasional. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Negara bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh kegiatan ekonomi sehingga mematikan potensi dan kreasi unit-unit ekonomi swasta. Sehingga, pada permulaan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan Negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Dan pada masa Orde Baru, Demokrasi Pancasila menuntut rakyat menjadi subjek dalam pembangunan ekonomi. Pemerintah memberikan peluang bagi terwujudnya hak-hak ekonomi rakyat dengan menjamin tegaknya prinsip keadilan sosial.
Dalam praktiknya, hal ini pernah diwujudkan dalam Program Ekonomi Banteng tahun 1950, Sumitro Plan tahun 1951, Rencana Lima Tahun Pertama tahun 1955-1960, Rencana Delapan Tahun, dan terakhir dalam Repelita. Namun, ironisnya semua usaha tersebut malah menyuburkan praktik korupsi dan merusak sarana produksi. Hal ini ditujukan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 dan sila ke-5 Pancasila. Maka, secara konkret rakyat berperan melalui wakil-wakil rakyat di parlemen dalam menentukan kebijakan ekonomi. Selain dari itu pemerintah juga melakukan usaha seperti, stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi, kerjasama luar negeri, dan pembangunan nasional. Sedangkan dalam bidang kebudayaan nasional,  Demokrasi Pancasila menjamin adanya fasilitas dari pihak pemerintah agar keunikan dan kemajemukan budaya Indonesia dapat tetap dipertahankan dan ditumbuh kembangkan. Sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat terpelihara dengan baik. Terdapat penolakan terhadap uniformitas budaya dan pemerintah menciptakan peluang bagi berkembangannya budaya lokal. Sehingga, identitas suatu komunitas mendapat pengakuan dan penghargaan.[3]
Pada masa Orde Baru ini presiden Soeharto berencana berencana merubah kehidupan sosial dan politik dengan landasan ideal Pancasila dan UUD 1945. Jadi secara tidak langsung, Soekarno dan Soeharto sama-sama berpedoman pada UUD 1945. Rancangan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) adalah salah satu program besarnya untuk mewujudkan itu. Tahapan yang dijalani orde baru adalah merumuskan dan menjadikan Pancasila sebagai ideologi Negara, sehingga Pancasila membudaya di masyarakat. Ideologi pancasila bersumber pada cara pandang integralistik yang mengutamakan gagasan tentang Negara yang bersifat persatuan. Sehingga pancasila diformalkan menjadi satu-satunya asas bagi organisasi kekuatan politik dan organisasi keagamaan-kemasyarakatan lainnya. Dan kesetiaan kepada ideologi-ideologi selain pancasila disamakan dengan tindakan subversi. Di era ini, kekuatan politik bergeser pada militer, teknokrasi dan birokrasi. Dan pada masa Orde Baru presiden Soeharto juga melakukan beberapa langkah politik, diantaranya:
1.    Pembentukan Kabinet Pembangunan
Kabinet pertama pada masa peralihan kekuasaan adalah Kabinet Ampera. Salah satu tugasnya adalah Dwi Darma Kabinat Ampera, yaitu menciptakan stabilitas politik dan stabilitas ekonomi sebagai syarat untuk melaksanakan pembangunan nasional. Program Kabinet Ampera dikenal dengan nama Catur Karya Kabinet Ampera.
2.    Penyederahanaan Partai Politik
Pada tahun 1973, setelah dilaksanakannya pemilihan umum untuk pertama kalinya pada masa Orde Baru, pemerintah mulai melakukan penyederhanaan dan penggabungan (fusi) partai-partai menjadi tiga kekuatan sosial politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak didasari pada kesamaan ideologi, tetapi lebih atas persamaan program. Tiga kekuatan sosial politik itu adalah sebagai berikut:
     1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan PERTI.
     2.  Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, Parkindo.
     3.  Golongan Karya.
Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam upaya menciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada masa pemerintahan sebelumnya telah memberikan pelajaran bahwa perpecahan yang terjadi masa Orde Lama karena adanya perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsi serta pemahaman Pancasila sebagai hukum tertinggi di Indonesia.
3. Pemiihan Umum
Selama masa kepemimpinan rezim Soeharto, pemerintah telah berhasil melakukan enam kali pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977, 1985, 1987, 1992, 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar memperoleh mayoritas suara dan memenangkan Pemilu. Dan pada masa ini Partai Demokrasi Indonesia (PDI) mengalami perpecahan karena disebabkan konflik internal ditubuh partai berkepala banteng tersebut. PDI pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri, yang sekarang menjadi PDIP.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru talah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan baik. Apalagi, Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia).
4. Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI
Untuk menciptakan stabilitas politik, pemerintah Orde Baru memberikan peran ganda kepada ABRI, yakni Hankam dan Sosial. Peran Ganda ini kemudian dikenal dengan Dwi Fungsi ABRI. Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemiirkan bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. Di MPR dan DPR, mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui Pemilu. Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI didasarkan pada fungsinya sebagai stabilitator dan dinamisator.
Peran dinamisator sebenarnya telah diperankan ABRI sejak zaman perang kemerdekaan. Waktu itu, Jenderal Sudirman telah melakukannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pimpinan pemerintahan telah ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika menyelamatkan bangsa dari perpecahan setelah G 30S/PKI, yang melahirkan Orde Baru. Boleh dikatakan, peran dinamisator telah menempatkan ABRI pada posisi yang terhormat dalam percaturan politik bangsa selama ini.
Dwi Fungsi ABRI mempunyai alasan yang kuat berdasarkan setting historis. Pertama, Dwi Fungsi ABRI diperlukan dalam rangka pembersihan birokrasi dai elemen Orde Lama yang anti-Orde Baru. Dwi Fungsi ABRI termasuk juga dalam rangka ketahanan bangsa atas musuh laten yang terus membayangi, yang sering diidentitaskan dengan label Ekstrem Kanan (Islam Fundamentalis) dan Ektrem Kiri (Komunisme). Kedua, Dwi Fungsi ABRI dianggap pelembagaan dari tradisi ABRI yang sejak zaman Pra Kemerdekaan memang telah terlibat dalam persoalan non-kemiliteran bersama rakyat. Doktrin Dwi Fungsi ABRI telah disepakati secara nasional berlaku di negeri ini. Maka, berdasarkan doktrin Dwi Fungsi ABRI itu, militer menduduki jabatan strategis dalam pentas politik nasional maupun lapangan ekonomi.
5. Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
Pada tanggal 12 April 1976, Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang dikenal dengan nama Ekaprasatya Pancakarsa atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Dengan demikian rakyat akan mengarahkan dukungan pada pemerintahan Orde Baru. Dan, sejak tahun 1985, pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dan kehidupan berorganisasi. Semua bentuk organisasi hanya boleh menggunakan asas Pancasila. Menolak Pancasila sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, penataran P4 merupakan bentuk indoktrinasi ideologi. Dan, Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, budaya, dan sosial masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde Baru. Oleh karenanya, semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi Pancasila, dan sebagainya. Bahkan Pancasila dianggap memiliki kesakralan (kesaktian) yang tidak boleh diperdebatkan.
Tepat pada tanggal 28 September 1966, Indonesia dibawah kekuasaan Orde Baru kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan untuk kembali menjadi anggota PBB dikarenakan pemerintah sadar bahwa banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota PBB pada tahun 1955-1964. Kembalinya Indonesia sebagai anggota PBB disambut baik oleh negara-negara Asia lainnya, bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukan dengan dipilihnya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk sidang tahun 1974. Kebijakan politik luar negeri selanjutnya yang diterapkan di masa Orde Baru ialah normalisasi hubungan dengan negara lain. Dalam hal ini, Indonesia memulihkan kembali hubungan dengan tiga negara, yakni Singapura, Malaysia, dan RRC. Pertama, pemuliahan hubungan dengan Singapura terjadi lewat perantara Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman. Pada tanggal 2 Juni 1966, pemerintah Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura kepada Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Dan, pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia. Kedua, normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan diadakannya perundingan di Bangkok pada 29 Mei-1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok. Lalu pada 11 Agustus 1966, pesetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik (Indonesia) dan  T. Abdul Razak (Malaysia). Ketiga, pada tanggal 1 Oktober 1967, pemerintah Republik Indonesia membekukan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina (RRC). Keputusan tersebut dilakukan karena RRC telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan kepada G 30S/PKI, baik dalam persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah terjadinya pemberontakan tersebut. Selain itu, pemerintah Indonesia merasa kecewa dengan tindakan teror yang dilakukan orang-orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota Kedutaan Bessar Republik Indonesia di Peking.[4]
Pemerintah RRC juga memberikan perlindungan kepada tokoh-tokoh G 30S/PKI di luar negeri, serta secara terang-terangan menyokong bangkitnya kembali PKI. Melalui media masanya, RRC telah melakukan kampanye menyerang Orde Baru. Dan, pada 30 Oktober 1967, pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Besar di Peking.
KUTIPAN
1. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Halaman 89-92
2. Sudirman, Adi. 2014. Sejarah Lengkap Indonesia; Dari Era Klasik hingga Terkini. Yogyakarta: Diva Press. Halaman 403-404
3. Edward, Aspinall. 2000. Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Yogyakarta: LKiS. Halaman 56-58
4. Sudirman, Adi. 2014. Sejarah Lengkap Indonesia; Dari Era Klasik hingga Terkini. Yogyakarta: Diva Press. Halaman 423-425
DAFTAR PUSTAKA
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Edward, Aspinall. 2000. Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Yogyakarta: LKiS.
Sudirman, Adi. 2014. Sejarah Lengkap Indonesia; Dari Era Klasik hingga Terkini. Yogyakarta: Diva Press.

No comments:

Post a Comment