PERAN ABRI PADA MASA ORDE BARU

 ZURIKA MITRA/SI V/B

ABRI merupakan singkatan dari Agkatan Bersenjata Republik Indonesia. Pada seminar Hankam yang dipimpin oleh Kepala Staf Hankam Mayor Jendral,M.M Rachmat Kartakusuma yang berlangsung selama 12-21 November 1966, menghasilkan dokumen penting, yaitu Doktrin Pertahanan dan Keamanan Nasional dan Doktrin perdjuangan ABRI Tjatur Dharma Eka Karma. Yang mana isi Doktrin ini meliputi landasan aidiil, asas-asas, dan pedoman pelaksanaan. Dalam landasan aidiil disebutkan bahwa Pancasila
galian Bung Karno menjiwai Revolusi Indonesia yang melahirkan kekuasaan pertahanan kemanan Nasional pada era Revolusi yang berkembang menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Kepolisan Negara kemudian menjadi ABRI. Awalnya ABRI merupakan alat Negara dibidang Hankam dan kekuatan sosial Revolusi Indonesia dengan Pancasila sebagai doktrinnya. Hakikat ABRI merupakan salah satu kekuatan  sosial Revolusi Indonesia sekaligus menjadi Angkatan Bersenjata Revolusi, yang memiliki fungsi sosial yang melaksanakan tugas serta fungsi kekaryaan di bidang politik, sosial, ekonomi, ilmu, dan teknologi, serta wawasan Nusantara untuk mencapai tujuan Nasionalisnya. Bagian asas-asas, berisikan dua bagian utama yang menjelaskan makna Pertahanan Keamanan Nasional tugas serta fungsi ABRI dalam menghadapi hakikat ancaman, sengketa, dan stateginya.
Dijelaskan tentang Doktrin Kekaryaan, yaitu doktrin perjuangan ABRI, sebagai golongan karya (GOLKAR), penegak demokrasi yang berjiwa Orde Baru yang secara konstitusional tercantum di dalam UUD 1945, dilaksanakan melalui kekaryaan yaitu semua kegiatan dilakukan di luar bidang Hankam. [1]
Tahun 1975, lahir doktrin Kekaryaan, ABRI, sebagai doktrin pelaksanaan kegiatan-kegiatan kekaryaan ABRI. Dalam doktrin ini dinyatakan secara tegas istilah Dwifungsi ABRI.[2]
Istilah Dwifungsi ABRI baru dikenal pada masa Orde Baru, peran militer dalam politik telah diciptakan oleh Presiden Soekarno. Melalui Konsepsi Presiden pada Februari 1957, Angkatan Perang pada saat itu diposisikan sebagai salah satu golongan fungsional, bersama dengan golongan fungsional lainnya, bertujuan membangun kekuatan partai-partai politik. Sejak itu, ABRI mulai terlibat dalam aktivitas politik praktis. Pada hakikatnya partai-partai politik belum rela menerima kehadiran ABRI sebagai kekuatan politik baru. Namun, akhirnya pada tanggal 22 November 1969 partai-partai politik menyetujui 20% anggota badan Legislatif yang diangkat.[3]
Pada awal 1970 jumlah jabatan Menteri/pimpinan lembaga tertinggi berjumlah 50 persen, dan duta eselon 150 persen, jabatan gubernur 70 persen, bupati 50 persen dan duta besar 45 persen. Pada tahun 1977, jabatan sipil yang di duduki oleh ABRI mencapai 53,5 persen.
Persetujuan partai-partai politik ini sebagai pembuka kunci pelaksanaan fungsi kedua ABRI dalam politik praktis sebagai golongan karya pada badan legislatif. Fungsi kedua ABRI dalam badan legislatif berdasarkan konsep Dinamistator dan Stabilitator. Fungsi ABRI dalam konsep dinamistator adalah :
1)      Kemampuan ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika masyarakat, dan untuk memahami serta kebutuhan-kebutuhan rakyat, memungkinkan ABRI untuk secara nyata membimbing, menggugah dan mendorong masyarakat untuk lebih giat melakukan partisipasi dalam pembangunan. Contohnya ABRI Masuk Desa (AMD), ABRI Masuk Desa ini membantu segala hal yang berkaitan dengan pembangunan desa dalam rangka mengabdi kepada masyarakat.
2)      Kemampuan tersebut dapat mengarah dua jurusan. Disatu pihak hal tersebut merupakan potensi nyata ABRI untuk membantu masyarakamenegakkan asas-asas serta tata cara kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk juga rencana-rencana serta proyek-proyek pembangunan. Di lain pihak itu menyebabkan ABRI dapat berfungsi sebagai penyalur aspirasi-aspirasi dan pendapat-pendapat rakyat.
3)      Untuk dapat lebih meningkatkan kesadaran Nasional dan untuk dapat mensukseskan pembangunan, diperlukan suatu disiplin sosial dan disiplin Nasional yang mantap. Oleh karena disiplin ABRI bersumber dari Saptamarga dan Sumpah Prajurit, sehingga secara masyarakat, maka ABRI dapat berbuat banyak dalam rangka pembinaan serta peningkatan disiplin Nasional tersebut.
4)      Sifat ABRI yang modern serta penguasaan ilmu dan teknologi serta peralatan yang maju, memberikan kemampuan kepada ABRI untuk juga memplopori usaha-usaha modernisasi.
Fungsi ABRI dalam konsep stabilitator adalah :
1)      Kemampuan ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, dinamika masyarakat dan untuk memahami aspirasi-aspirasi yang hidup dalam masyarakat, membuat ABRI menjadi salah satu jalur penting dalam rangka pengawasan sosial.
2)      Kesadaran Nasional yang tinggi dimiliki oleh setiap Prajurit ABRI merupakan suatu penangkal yang efektif terhadap pengaruh sosial yang bersifat negatif dari budaya serta nilai-nilai asing yang kini membanjiri masyarakat Indonesia.
3)      Sifat ABRI yang realistis dan fragmatis dapat mendorong masyarakat agar dalam menanggulangi masalah-masalah berlandaskan tata pilar yang nyata dan berpijak pada kenyataan situasi serta kondisi yang dihadapi, dengan mengutamakan nilai kemanfaatan bagi kepentingan NAsional. Kemudian rakyat akan dapat secara tepat waktu menentukan prioritas-prioritas permasalahan dan sasaran-sasaran yang diutamakan.
4)      Dengan demikian akan dapat dinetralisasi atau dikurangi ketegangan, gejolak-gejolak dan keresahan-keresahan yang pasti akan melanda masyarakat yang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan dan karenanya mengalami perubahan sosial.
Peran Dinamistator sebenarnya telah diperankan ABRI sejak zaman perang Kemerdekaan, waktu itu Jenderal Sudirman telah melakukan dengan meneruskan perjuangan, walaupun pimpinan pemerintah telah di tahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika menyelamatkan Bangsa dari perpecahan setelah G30S/PKI, yang melahirkan Orde Baru. Boleh dikatakan, peran dinamistator telah menempatkan ABRI pada posisi yang terhormat dalam peraturan politik bangsa selama ini.
Pada masa kepemimpinan Soeharto tepatnya pada tanggal 27 Maret 1980 di adakan rapat pimpinan ABRI di Pekanbaru. Yang mana Presiden Soeharto mengingatkan kembali kepada pimpinan ABRI tentang perlunya peningkatan upaya mewujudkan kemanunggalan ABRI dengan rakyat. Perjuangan ABRI dibutuhkan karena rakyat menginginkan kelanjutan dan kelancaran pembangunan. Dalam hal ini tugas kekaryaan di samping lingkungan eksekutif maupun legislatif, juga perlu dilanjutkan dengan pelaksanaan Operasi Bhakti. Tugas tersebut di khususkan bagi daerah-daerah yang memerlukan, tanpa mengurangi kemampuan ABRI dan membangun institusinya. Operasi Bhakti merupakan pengabdian ABRI kepada rakyat guna menangani bidang-bidang yang belum mampu dilaksanakan oleh rakyat, atau untuk membantu instansi lain yang belum mampu menanganinya. [4]
Ini merupakan contoh dari konsep ABRI sebagai fungsi Dinamistator yang telah dijelaskan diatas adalah bentuk pelestarian kemanunggalan ABRI dan rakyat yang  dilaksanakan melalui program ABRI Masuk Desa (AMD). Program tersebut merupakan perwujudan bakti ABRI di masa damai. Selain itu, upaya ini dilaksanakan untuk ikut serta dalam memajukan pembangunan seperti yang diarahkan oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara ( GBHN ). Pelaksanaan program AMD yang dicetuskan pada tahun 1980 memiliki tujuan, yaitu :
1.      Menguji system keamanan pertahanan rakyat semesta di lapangan
2.      Membantu rakyat dalam semua aspek kehidupan
3.      Mengumpulkan permasalahan untuk dicari pemecahannya
4.      Menjajaki cara terbaik untuk melaksanakan Pertahanan Keamanan rakyat Semesta
Dalam hal ini desa dipilih oleh ABRI sebagai sasaran utama pembangunan karena desa merupakan penunjang di dalam usaha bela Negara. Dari sudut pandang ekonomi, desa memiliki potensi sebagai lumbung bahan mentah dan tenaga kerja. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pembangunan di perdesaan mendapatkan skala prioritas untuk segera ditangani agar kehidupan masyarakat dapat di tingkatkan. Masyarakat menyambut pelaksanaan program AMD merupakan suatu rangkaian program terpadu dalam usaha menjangkau Kecamatan Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP) yang diprioritaskan dalam pembangunan perdesaan, terutama bidang kesejahteraan rakyat berupa kegiatan fisik dan non fisik. Titik  berat sasaran adalah program air bersih, listrik, penanggulangan bencana alam dan mengatasi wabah penyakit-penyakit menular. Kegiatan non fisik berupa pemberian ceramah tentang kesadaran bernegara dan bela Negara. Kegiatan-kegiatan fisik berupa pembangunan rumah sakit, pembuatan jalan-jalan, sekolah, jembatan, dan lain-lain. Kegiatan yang berhubungan dengan bidang ketertiban masyarakat (kamtibmas) ditangani oleh petugas polisi. Tugas kamtibmas dalam kegiatan fisik meliputi penanganan kasus-kasus kriminalitas, mengeluarkan surat izin berpergian, surat kelakuan baik, pengaturan lalu lintas dan rambu-rambu. Kegiatan non fisik seperti penyuluhan dan penerapan agar masyarakat desa memahami dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya keamanan serta ketertiban di desanya masing-masing
Realisasi kemanunggalan ABRI dan rakyat dapat mudah tercapai jika satuan-satuan ABRI mampu mengisi semua desa. Namun, sejak Repelita I jumlah desa di Indonesia selalu meningkat. Hal ini karena adanya desa – desa baru yang di ciptakan oleh adanya program transmigrasi yang berakibat pada pemekaran desa-desa berpenduduk padat. Pada awal Repelita IV (1984-1985), jumlah desa di Indonesia mencapai 67.448 desa yang tersebar di seluruh pelosok tanah air dari Sabang hingga Marauke. Tak jarang pada masa Orde Baru para anggota ABRI memiliki kehidupan yang sejahtera. Namun  Dwi Fungsi ABRI ini juga banyak memiliki dampak negative dan positif. Dampak negatif dari Dwi Fungsi ABRI seperti : berkurangnya jatah kaum sipil dibidang pemerintahan yang paling terlihat.pada masa Orde Baru, pelaksanaan Negara banyak didominasi oleh ABRI. Dominasi yang terjadi pada masa itu adalah banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon,Menteri bahkan Duta besar. selain itu dengan adanya Dwi Fungsi ABRI ini praktek-praktek nepotisme semakin tumbuh subur di Indonesia. Tidak jarang keluarga atau rekan terdekat dari anggota ABRI memanfaatkan posisi yang dimiliki untuk kepentingan masing-masing. selanjutnya dampak positif dari Dwi Fungsi ABRI adalah lebih banyak dirasakan oleh kalangan internal ABRI khususnya dalam bidang materi, karena banyak para jendral ABRI memiliki kesejahteraan yang terhitung tinggi karena kiprahnya dalam posisi-posisi yang stategis. [5]
Notes :
1.      Sudirman adi (2014).Sejarah lengkap Indonesia.DIVA press:Yogyakarta. Hal.417
2.      Marwati Djoned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto.2008.Sejarah Nasional Indonesia VI.Balai Pustaka,Jakarta.hal.599

No comments:

Post a Comment