PERTEMPURAN PASCA KEMERDEKAAN DI PADANG DAN SEKITARNYA

JUHERI SEPTIAWAN /A/SI/5
Sumatera Barat adalah salah satu dari sedikit daerah administratif setingkat provinsi di Indonesia yang teritorialnya hampir identik dengan sebuah daerah budaya. Daerah budaya yang di maksud adalah Minangkabau. Kesamaan ini tidak hanya terlihat sejak provinsi itu di bentuk secara yuridis tahun 1957, tetapi juga telah terwujud jauh hari dari sebelumnya. Setidaknya, gejala kesamaan itu telah muncul sejak cikal bakal daerah administratif Sumatera Barat terbentuk dan itu terjadi di zaman pemerintahan Belanda. Sebuah
gambaran bahwa ada proses panjang yang dialami, serta ada struktur tersendiri yang dimiliki daerah ini sehingga kesamaan antara daerah administratif dan budaya itu memiliki arti tersendiri bagi pelaksanaan pemerintahan daerah khususnya serta warga daerah pada umumnya.
            Penyelenggaraan pemerintahan bisa terbantu karena adanya kesamaan tersebut. Di sisi lain, proses dan struktur itu dalam banyak hal tetap menjadi ingatan kolektif warga daerah sehingga sering dijadikan sebagai dasar untuk bertindak dan alasan untuk sebuah keputusan. Setidaknya sejak proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, bagian ini akan mengemukakan perjalanan dan dinamika sejarah daerah administratif Sumatera Barat dan kaitannya dengan daerah budaya, mulai sejak pertama kali nama itu muncul hingga menjadi sebuah daerah administratif seperti yang ada saat sekarang. [1]
A.    Sumatera Barat awal Kemerdekaan.       
Berita tentang menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, hanya terhambat sementara ke Sumatera Barat. Meski sempat kebingungan, rakyat memberi respon yang sangat cepat begitu mendengar desas-desus dan berita radio Jawa yang melaporkan bahwa Soekarno dan Hatta telah memproklamirkan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Para aktivitas setempat segera memanfaatkan situasi untuk membentuk pemerintah Republik di daerah ini karena kekosongan kekuasaan sejak pertengahan Agustus 1945 hingga mendaratnya tentara Sekutu pada pertengahan Oktober 1945. Menjelang akhir Agustus di Padang tokoh-tokoh lokal anggota Hokokai bentukan Jepang melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan di Jakarta, serta mengganti nama organisasi tersebut menjadi Komite Nasional Indonesia (KNI). Pada tanggal 29 Agustus Mohammad Sjafei atas nama rakyat Sumatera mengeluarkan pernyataan umum menerima Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Dua hari kemudian tanggal 1 September Komite Nasional Indonesia menyelenggarakan rapat pertama di Padang, sidang itu memilih Mohammad Sjafei sebagai Residen Sumatera Barat yang pertama.
            Pada tanggal 5 Oktober 1945 Presiden Republik Indonesia yang baru Soekarno mengeluarkan perintah pembentukan tentara Republik yakni Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Badan Keamanan Rakyat (BKR) Sumatera Barat berganti nama menjadi TKR. Akhir bulan itu Residen Palembang A.K. Gani di tunjuk sebagai koordinator angkatan bersenjata Republik di Sumatera dan dia menunjukan mantan kepala polisi di Lampung Suhardjo Hardjowardojo sebagai komandan TKR seluruh Sumatera. Angkatan Bersenjata Republik di Sumatera secara resmi dibagi atas enam divisi, Sumatera Tengah yang terdiri atas Sumatera Barat dan Riau dijadikan divisi 3 dengan nama divisi Banteng dan sebagai panglimanya adalah dahlan Djambek. [2]
B.     Awal masuknya Sekutu dan Penyerangan  di Padang
Pasukan Inggris mendarat di Padang pada tanggal 10 Oktober 1945 tepatnya terletak di pelabuhan Teluk Bayur dipimpin oleh Mayor Jendral H.M. Chambers dan didampingi oleh Mayor Jendral A.I. Spits ( Mantan Gubernur Sumatera ) sebagai wakil Belanda dan di bawah pemimpin Brigadir hutchinson. Dua hari kemudian Hutchinson mengadakan pertemuan dengan Pemerintahan RI Sumatera Barat. Dalam pertemuan itu Inggris membuat kesepakatan dan mengatakan bahwa pasukannya hanya bertugas menjalankan tugas-tugas Sekutu untuk memelihara keamanan tidak akan mencampuri urusan pemerintahan, dan akan berkonsultasi dengan pemerintahan RI sebelum melakukan suatu tindakan. Dalam pertemuan kedua ia meminta kesedian pemerintah Sumatera Barat meminjamkan kantor Residen yang akan digunakan sebagai kantornya. Pihak indonesia menafsirkan permintaan itu sebagai pengakuan Inggris terhadap kekuasaan de facto pemerintahan Republik Indonesia. [3]
Meski pihak Indonesia yang ada di Sumatera Barat merasakan kecurigaan terhadap kedatangan dari pihak sekutu, tetapi pihak Indonesia selalu bersikap Positif atas kedatangan mereka. Mereka percaya bahwa tugas sekutu datang ke Padang hanya menjalankan tugasnya untuk membebaskan tawanan perang dan memulangkan tentara Jepang dan tidaklah membiarkan Belanda untuk kembali menjajah negeri ini. Meski merasa was-was, pejabat-pejabat Republik tetap menunjukkan sikap percaya bahwa pasukan Sekutu itu datang hanya dalam rangka menjalankan tugasnya.
            Dari pihak Republik Indonesia dan Inggris membuat suatu keputusan sesuai dengan perjanjian yang Inggris sepakati pada awal kedatangannya di Padang, tetapi  Kesepakatan yang telah dicapai dalam pertemuan tersebut tidak seluruhnya ditaati oleh pihak Inggris, mereka tidak menepati janji yang sesuai dengan perjanjian dari awal mereka datang di kota Padang. Mereka menggeledah rumah-rumah penduduk untuk mencaari senjata, mengobrak-abrik kantor Balai Penerangan Pemuda Indonesia ( BPPI ) yang mereka curagai sebagai pusat kegiatan pemuda. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari camp tahanan, mereka di persenjantai. Dengan perlindungan Inggris bekas tawanan dari pihak Belanda ini menduduki secara paksa gedung sekolah teknik di Simpang haru, bahkan memukuli kepala sekolahnya. Tindakan orang-orang Belanda ini di balas oleh TKR dan para pemuda dengan melakukan serangan pada tanggal 17 November 1945. Sebagai balasan terhadap serangan itu Inggris menggeledah rumah-rumah di sekitar Simpang Haru, bahkan ada yang dibakar. Beberapa orang pemuda mereka ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Inggris juga memberlakukan jam malam dari pukul 18:00 sore sampai pukul 06:00 pagi WIB.
            Pasukan Inggris berhasil membentuk beberapa daerah kantong ( Enclave ) di kota padang, tetapi tidak pernah dapat memperluas kontrolnya sampai ke luar kota. Sampai April 1946 pasukan sekutu hanya berkonsentrasi dalam pengamanan daerah-daerah kantong tersebut. Di kantong-kantong ini mereka memberi perlindungan kepada pengungsi dari kawasan-kawasan lain di kota padang, yang karena alasan tertentu merasa takut kepada pemerintah Republik. Pasukan Inggris juga mempunyai prioritas pengamanan lain menjamin kelancaran jalur komunikasi dengan landasan udara Tabing di utara dan pelabuhan Teluk Bayur sekitar lima kilometer di Selatan. Padang adalah satu-satunya kota yang diduduki tentara sekutu selama lima belas bulan bertugas di Sumatera Barat dan selama sekitar dua tahun pertama kemerdekaan kontak senjata antara Republik dengan tentara Sekutu dan kemudian Belanda hanya berlangsung di kota Padang. Bangsa Indonesia memandang daerah pinggiran kota Padang sebagai garis depan perjuangan mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda di Sumatera Barat.
            Walaupun tidak pernah ada pertempuran skala besar di antara kedua belah pihak, insiden-inseden kecil sering terjadi. Insiden paling serius adalah pembunuhan brutal yang terjadi pada tanggal 5 Desember 1945 di sungai Barameh kira-kira sebelah kilometer daerah batas kota di Selatan. Sekelompok rakyat Indonesia menyerang dan membunuh seorang serdadu Inggris Mayor Anderson yang sedang mandi-mandi di laut bersama seorang perawat Palang Merah Miss Allingham, yang disiksa sampai tewas setelah di perkosa terlebih dahulu. Dalam aksi pembalasannya, Inggris membumi hanguskan tiga kampung dekat terjadinya peristiwa itu, serta menyerang barak tentara Indonesia dan kantro BPPI Padang yang menyebabkan beberapa orang TKR tewas dann membunuh 12 orang penduduk.
            Pertempuran yang cukup besar antara pasukan Inggris dan pasukan indonesia terjadi tanggal 21 Februari 1946 di Rimbo Kaluang. Pasukan TRI ( Tentara Republik Indonesia ) yang pada saat itu terjadinya perubahan dari TKR menjadi TRI dengan tujuan untuk menyempurnakan organisasi tentara menurut standar militer Internasional. Di bawah pimpinan Ahmad Husien, dengan bantuan laskar berhasil menghancurkan beberapa pos pertahanan Inggris dan membongkar gudang senjata. Sesudah itu terjadi lagi beberapa serangan malam sehingga Inggris menarik pasukannya dari Rimbo Kaluang. Serangan ini dilancarkan dari Kuranji sehingga Inggris menyebut pasukan ini dengan istilah The Tiger Of Kuranji ( Harimau Kuranji ). [4]
            Pada tanggal 14 Juni 1946 pasukan Inggris menyerang Batu Busuak untuk membebaskan kaki tangan mereka yang ditangkap oleh pasukan TRI. Pihak TRI yang sudah mengetahui akan adanya serangan tersebut, mengatur siasat dengan membiarkan pasukan Inggris memasuki Batu Busuak. Serangan dilancarkan pada waktu pasukan itu kembali ke kota Padang. Dalam pertempuran ini 13 anggota TRI gugur dan puluhan orang mengalami luka-luka. Satu regu tentara India muslim melakukan desersi dan bergabung dengan laskar Hizbullah.
            Daerah-daerah sekitar Simpang Haru merupakan medan yang cukup panas, selama tiga hari dari tanggal 7 sampai 9 Juli 1946 pasukan TRI dan laskar melancarkan serangan terhadap kedudukan Inggris di tempat ini. Pada mulanya pasukan Indonesia hanya melancarkan serangan malam dan paginya mereka mundur ke basis mereka, pada hari ketiga terjadi pertempuran jarak dekat. Akhirnya simpang haru di tinggalkan Inggris dengan korban beberapa serdadunya tewas dan sejumlah senjata ringan jatuh ke tangan TRI.
            Malam tanggal 28 Oktober 1946, bertepatan dengan malam takbiran menjelang Idul Fitri, TRI dan laskar melancarkan serangan besar-besaran. Serangan ini langsung diamati oleh Komandan Divis III/Benteng Kolonel Dahlan Djambek. Pertempuran berkobar dalam kota dari pukul 00:00 sampai 05:00 WIB. Menjelang pagi, pasukan TRI menarik diri ke pangkalan masing-masing. Pagi hari ketika penduduk Padang sedang melakukan Shalat Idul Fitri, Inggris menyiapkan pasukannya. Namun, rencana untuk melancarkan serangan kemudian mereka batalkan. [5]
            Tugas Inggris untuk melucuti pasukan Jepang membebaskan para tawanan, dan memulangkan orang Jepang ke negeri mereka, sudah selesai pada bulan Juni 1946. Namun mereka tetap bertahan di Padang menunggu kesiapan pasukan Belanda untuk mengambil alih kedudukan mereka. Pasukan Belanda Brigade U, di bawah pimpinan Kolonel Sluyter tiba di Padang pertengahan November 1946. Serah terima antara pasukan Inggris dan pasukan Belanda dilangsungkan tanggal 28 November dan esok harinya pasukan Inggris meninggalkan Padang. Sejak itu pasukan RI di sekitar Padang berhadapan langsung dengan pasukan Belanda sampai terjadinya Agresi Militer Pertama Belanda bulan juli 1947.
NOTES :
[1] Anan, Gusti. 2007. Memikir Ulang Regionalisme Sumatera. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal 13
[2] Kahin, Udrey. 2005. Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatera Barat dan politik Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal 160
[3] Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka. Hal 199
[4] Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka. Hal 201
[5] Kahin, Udrey. 2005. Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatera Barat dan politik Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal 175
DAFTAR PUSTAKA
Anan, Gusti. 2007. Memikir Ulang Regionalisme Sumatera. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Kahin, Udrey. 2005. Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatera Barat dan politik Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

No comments:

Post a Comment