YULIANA NURHAFIZAH/S1 V/B
Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959 ialah dekrit yang mengakhiri masa parlementer, namun sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959 ini maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dari struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik, dan ekonomi. Akan tetapi kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah dimasa ini belum mampu
memperbaiki keadaan ekonomi bangsa Indonesia.
Akhirnya digunakanlah kembali Undang-Undang Dasar 1945, maka terdapat serangkaian dokumen-dokumen yang mendasari politik luar negeri Republik Indonesia, yakni:
1) Undang-Undang Dasar 1945
2) Amanat Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul "Penemuan Kembali Revolusi Kita" dan yang terkenal sebagai "Manifesto Politik Republik Indonesia". Dengan penetapan Presiden No.1 tahun 1960, tanggal 29 Januari 1960, yang diperkuat pula dengan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/I/1960, tanggal 19 November 1960, Manifesto tersebut telah dijadikan "Garis Besar Haluan Negara".
3) Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang terkenal dengan nama "Jalannya Revolusi Kita" yang dengan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960, tanggal 9 Nopember 1960 telah dijadikan "Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia".
4) Pidato Presiden tanggal 30 September 1960 di muka Sidang umum PBB yang berjudul "To Build the World anew" ( Membangun Dunia Kembali ), yang dengan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960, tanggal 19 Nopember 1960, ditetapkan sebagai Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia dan yang dengan keputusan DPA No. 2/Kpts/Sd/61, tanggal 19 Januari 1961, dinyatakan sebagai "Garis-garis Besar Politik Luar Negeri RI," dan sebagai "Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia dibidang politik luar negeri RI".
Dalam waktu satu tahun saja telah dilahirkan tiga teori-teori revolusi, yang bukan saja telah mencakup tugas-tugas nasional, bahkan juga pandangan-pandangan tentang bagaimana perjuangan internasional seharusnya diarahkan. Kebijaksanaan politik luar negeri yang bertolak dari teori-teori revolusi itu telah menyeret diplomasi Indonesia kehadapan panggung politik dunia, tanpa memperhatikan prioritas kepentingan dan sumber-sumber kekuatan nasional. Di sini berlaku teori bahwa "politik adalah panglima". Jika sesuatu teori tidak didukung oleh faktor-faktor obyektif, maka pada hakikatnya teori itu hanya merupakan utopia belaka, yang jika ia dijadikan landasan suatu kebijaksanaan, akan mengaburkan cara-cara pelaksanaannya, sehingga membuka pintu lebar bagi setiap kemungkinan pengingkaran dan penyelewengan.[1]
Dasar politik luar negeri RI termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 alinea pertama Pembukaannya yang berbunyi sebagai berikut:
"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan".
Kerangka ketiga Tujuan Revolusi yang disebutkan didalam Manifesto Politik RI yang menyangkut politik luar negeri berbunyi sebagai berikut:
"Pembentukan satu persahabatan yang baik antara Republik Indonesia dan semua negara-negara di dunia, terutama sekali dengan negara-negara Asia-Afrika, atas dasar kerja sama membentuk satu Dunia Baru yang bersih dari imprealisme dan kolonialisme, menuju perdamaian dunia yang sempurna".
Di bidang politik luar negeri Manipol menyatakan sebagai tujuan jangka-pendek "melanjutkan perjuangan anti-imperialisme ditambah dengan mempertahankan kepribadian Indonesia ditengah-tengah tarikan-tarikan ke kanan dan ke kiri, yang sekarang sedang berlaku kepada kita dalam pergolakan dunia menuju kepada satu imbangan baru. Dalam jangka panjang, di bidang yang menyangkut luar negeri, Revolusi Indonesia bertujuan untuk "melenyapkan imperialisme di mana-mana, dan mencapai dasar-dasar bagi perdamaian dunia yang kekal dan abadi".
Diplomasi sangat erat hubungannya dengan unsur-unsur tentang "cara" bagaimana melaksanakannya. Menurut Manipol, maka cara itu tidak bisa lain harus "tidak mengenal kompromi", "harus radikal" dan "revolusioner". Cara yang semacam itu, tidak bisa digolongkan sebagai sesuatu cara yang hanya bertujuan untuk menjalankan ofensif diplomatik saja, oleh karena dalam kenyataannya ia telah menunjukkan sifat-sifat yang radikal, yang menjurus kepada "hostile attitude" terhadap hampir setiap permasalahan. Sebagai konsekuensinya maka posisi Indonesia lambat laun menjadi semakin terasing (isolated). Dengan "Manipol" itu Indonesia bermaksud untuk menghimpun kawan-kawan yang hendak dikonfrontasikan terhadap "musuh revolusi". Kenyataannya sahabat-sahabat Indonesia sendiri bersikap "reserved". Terhadap garis politik Indonesia. Mereka yang seolah-olah akan bisa dieksploitir dan dapat dimasukkan oleh saling bergeraknya dan saling bermainnya kekuatan-kekuatan yang resminya adalah "sahabat-sahabat" sendiri. Bahaya dari suatu politik yang militan bukan sekedar "for the sake of militancy" itu saja, tetapi politik yang demikian itu mudah terjebak oleh siasat mereka yang disangka "kawan", tapi sebetulnya adalah "lawan".
Dewan Pertimbangan Agung, dalam Keputusannya No. 1/Kpts/Sd/61, tanggal 19 Januari 1961, tentang Perincian Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia, menetapkan penegasan tentang cara-cara melaksanakan Manipol di bidang politik luar negeri dengan mengambil bagian dari pidato "Jalannya Revolusi Kita", 1960, yang berbunyi sebagai berikut:
"Kita tidak netral, kita tidak penonton-kosong dari pada kejadian-kejadian dunia ini, kita tidak tanpa prinsip ... kita tidak tanpa pendirian. Kita menjalankan politik bebas itu tidak sekedar "cuci tangan", tidak sekedar defensif, tidak sekedar apologetis. Kita aktif, kita berprinsip, kita berpendirian ! Prinsip kita nyalah terang Pancasila, pendirian kita nyalah aktif menuju kepada persahabatan segala bangsa, aktif menuju kepada lenyaplah exploitation deI'homme par I'homme,aktif menentang dan menghantam sagala macam imperialisme dan kolonialisme di manapun ia berada. Pendirian kita yang "bebas dan aktif" itu, secara aktif pula setapak demi setapak harus dicerminkan dalam hubungan ekonomi dengan luar negeri, agar supaya tidak berat sebelah ke Barat atau ke Timur".
Mengenai politik luar negeri Indonesia yang aktif menuju kapada persahabatan dengan segala bangsa sesuai dengan "Kerangka Ketiga Tujuan Revolusi" dalam "Manipol" itu, Menteri Luar Negeri Subandrio menyatakan, terdapat dua aspek dalam politik luar negeri Indonesia, yaitu:
a) Menjalankan Politik persahabatan dengan dunialuar secara konvensional, seperti yang dilakukan oleh semua negara
b) Berjuang menyelesaikan Revolusi Indonesia yang merupakan kenyataan dan harus diterima oleh dunia luar.
Suatu negara mungkin secara konvensional bersahabat dengan Indonesia, tetapi menentang Revolusinya. Indonesia oleh karena itu harus berhati-hati dalam membedakan hal ini. Jikalau suatu nagara memberikan bantuan-bantuan material kepada Indonesia, bantuan-bantuan teknik dan lain-lain, maka hal itu belum berarti bahwa negara itu 100 persen sahabat Indonesia.[2]
Pengarahan ini memberi petunjuk bahwa diplomasi means" dan "peaceful minds". Forum non-gevernmental seperti persatuan Wartawan Asia-Afrika(PWAA), KIAPMA dan lain-lain menjadi salah satu forum kegiatan diplomatik yang sangat mempengaruhi perkembangan politik dalam negeri, Organisasi-organisasi semacam ini di dalam perkembangannya telah didominasi oleh golongan komunis.
Menurut perincian Dewan Pertimbangan Agung dalam Keputusan No. 2/Kpts/Sd/1/61, tanggal 19 Januari 1961, Garis-garis Dasar Politik Luar Negeri RI sebagai terdapat dalam pidato "Membangun Dunia Kembali", adalah sebagai berikut:
1) Dasar : UUD 1945
2)Sifat : Bebas dan aktif, anti-imprealisme dan kolonialismes
3) Tujuan :
a) mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia yang penuh
b) mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional dari seluruh bangsa-bangsa di dunia
c) mengabdi pada perjuangan untuk membala perdamaian dunia.
"Membangun Dunia Kembali" yang diciptakan oleh Kepala Negara RI di depan forum PBB itu merupakan salah satu usaha untuk mencapai agar Indonesia dipandang sebagai unsur yang diperhitungkan di Asia. Pada kesempatan itu Indonesia seolah-olah "menjual" konsepsi-konsepsinya untuk pemecahan berbagai masalah internasional dewasa itu. Posisi "kepeloporan" (mercusuar) Indonesia hendak ditingkatkan , khususnya di bidang ekonomi, Indonesia masih harus mengatasi kesulitan-kesulitan. Mampu atau tidaknya mengatasi kesulitan-kesulitan dalam negeri inilah yang menentukan apakah suara Indonesia diperhatikan oleh dunia luar atau tidak. Memang tidak ada yang menyangkal bahwa Indonesia merupakan satu kekuatan yang potensial, tetapi ia belum lagi menjadi kekuatan yang riil. Dan apabila ia memiliki kekuatan yang riil, seharusnya diarahkan kepada pembinaan stabilitas wilayah yang dapat merupakan sumbangan bagi perdamaian dan kemakmuran umat manusia. Bagaimanapun juga peranan negara-negara besar masih tetap menentukan walaupun mutasi-mutasi kekuatan yang menandai pergolakan politik sesudah Perang Dunia Kedua, memang telah membatasi kekuasaan negara-negara besar itu.
Usul Indonesia dalam "Membangun Dunia Kembali" agar Pancasila diterima dan dicantumkan di dalam Piagam PBB, agar Markas Besar PBB dipindahkan ke tempat yang bebas dari suasana perang dingin, agar pembagian kursi dalam Dewan Keamanan dan badan-badan serta lembaga-lembaga lainnya dirobah dan agar Sekretaris di bawah pimpinan Sekretaris Jenderal ditinjau kembali, walaupun masih merupakan garis-garis besar saja, pada umumnya tidak mendapatkan sambutan yang selayaknya dari para anggota PBB.[3]
"Manipol", "Djarek" dan "Membangun Dunia Kembali" merupakan embrio kelahiran suatu doktrin politik baru, yaitu bahwa dunia tidak terbagi dalam Blok Barat dan Blok Timur, tidak pula dalam Tiga Blok di mana Asia-Afrika merupakan blok yang ketiga, akan tetapi terbagi menjadi Dua Blok, yaitu "Nefos" dan "Oldefos". Doktrin politik baru tersebut telah memberikan angin yang baikpada negara-negara komunis dalam rangka usaha mereka memenangkan strategi sendiri menghadapi Blok Barat. Pengaruhnya di bidang strategi pertahanan Indonesia yalah bahwa dengan doktrin politik baru itu, maka doktrin Hankam harus melepaskan kewaspadaan terhadap potensi musuh yang datang dari Utara dan lebih banyak melihat kepada bahaya dari apa yang di namakan negara-negara Oldefos.
Notes
[1]Duapuluh Lima Tahun Departemen Luar Negeri 1945—1970, 1971, hal. 258. Bagian ini sangat bertumpu padabuku ini
[2]Drs. Subandrio, Indonesia on the March, Vol. II,Departemen of Foreign Affairs, Republic of Indonesia,tanpa tahun, hal. 154—155
[3]Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho Notosusanto(1984). Sejarah Nasional Indonesia. PN Balai Pustaka.Jakarta. Hal 344
STAKA
Marwati Djoened Poespenegoro Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta 1984.
No comments:
Post a Comment