ENALIA/S/A
Banyak peristiwa dalam sejarah nasional yang tercatat dan merupakan ingatan kolektif bangsa, tetapi tidak begitu banyak dari peristiwa itu yang diperlakukan sebagai simbol atau bagian dari mitos bangsa, karena peristiwa itu dinilai sebagai suatu titik awal dari suatu babak baru bagi bangsa kita. Misalnya peristiwa G-30-S/PKI tahun 1965. Peristiwa itu telah mengundang banyak polemik sejak tahun 1966, terutama tentang kebenaran, siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Namun dari kalangan yang berpolemik yang berpaling itu, hampir sepakat bahwa peristiwa itu merupakan sebuah tragedi nasional, suatu tragedi yang dapat dikatakan sebagai suatu "keharusan sejarah" untuk memasuki babak baru bagi bangsa Indonesia.
A. Pemberontakan G-30-S/PKI
Setelah gagal dalam pemberontakan di Madiun pada tahun 1948, PKI mulai menyusun kekuatan untuk melakukan kudeta terhadap pemerintah yang sah. PKI berusaha menggantikan Pancasila dengan ideologi komunis yang sangat bertentangan dengan nurani dan kepribadian Pancasila.
Pada tahun 1950 kebangkitan PKI di Indonesia mulai terlihat. PKI berusaha melakukan provokasi dan menghasut rakyat dengan janji-janji muluk sehingga rakyat Indonesia yang tergelincir menjadi anggota PKI. Apalagi setelah berhasil dalam pemilu 1955 dengan menduduki peringkat empat. Hal tersebut memberikan suntikan untuk melakukan tindakan yang keluar dari konstitusi yang berlaku di dalam negara, yaitu kudeta dengan Gestapu-nya.
B. Penghianatan G-30-S/PKI (Gestapu)
Pada bulan Mei 1965 diisukan bahwa Presiden Soekarno sakit. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter dari Cina, apabila tidak meninggal kemungkinan besar Presiden Soekarno akan lumpuh. Ketika Presiden Soekarno dalam keaadaan sakit inilah, D.N. Aidit memanfaatkan kesempatan itu untuk melakukan perebutan kekuasaan (kudeta).
Aidit menegaskan kepada Kamaruzaman (alias Syam) sebagai Ketua Biro Khusus PKI untuk merancang dan mempersiapkan perebutan kekuasaan. Kemudian Biro Khusus melakukan pembinaan terhadap perwira-perwira ABRI, di antaranya adalah Brigjen Supardjo dan Letkol Untung dari TNI Angkatan Darat, Kolonel Sunardi dari TNI Angkatan Laut, dan Letkol Anwas dari kepolisian.
PKI menyadari bahwa hambatan untuk mencapai tujuannya adalah TNI-AD. Oleh karena itu, yang menjadi sasaran gerakan ini adalah para perwira TNI-AD. PKI melalui Biro Khusus melontarkan fitnah tentang pembentukan Dewan Jenderal oleh perwira tinggi TNI-AD yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Isu tentang pembentukan Dewan Jenderal itu sebenarnya dilontarkan oleh PKI untuk mendapat simpati dari rakyat Indonesia, tetapi bukti menunjukkan bahwa yang melakukan kudeta itu adalah PKI dengan G-30-S/PKI pada tahun 1965. [1]
C. Gerakan 30 September (G-30-S/PKI)
Gerakan 30 September 1965 atau Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu) juga disebut Gerakan Satu Oktober (Gestok). Pada masa Orde Baru lebih dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965 (G-30-S)/PKI. Gerakan ini adalah satu peristiwa yang terjadi di Jakarta pada hari Jumat dini hari, tanggal 1 Oktober 1965. Berdasarkan sumber yang telah terbuka, nama "Gerakan 30 September" itu sendiri diketahui berasal dari pernyataan Letnan Kolonel Untung, yang dibacakan melalui corong RRI Jakarta pukul 11.00 pada tanggal yang sama.
Sebelum peristiwa terjadi, telah tersiar desas-desus yang cukup membuat suhu politik Indonesia di pertengahan tahun 1965 semakin meningkat. Desas-desus itu antara lain: "Dewan Jenderal", yaitu kelompok perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang dikabarkan akan mengadakan kudeta. Namun kabar burung itu dibantah secara tegas oleh pihak TNI-AD. Sebaliknya pihak TNI-AD mencurigai PKI yang menghembus-hembuskan isu Dewan Jenderal itu, dalam rangka perang urat syaraf dan mempersiapkan diri untuk melakukan kudeta. Hal ini Nampak jelas jika dikaitkan dengan rencana PKI yang ingin membentuk Angkatan ke-V yang mendapat tantangan keras dari pihak TNI-AD.
Isu Dewan Jenderal sendiri bersumber dari suatu surat yang kemudian dikenal dengan nama "Dokumen Gilchrist". Sebagian dari paragraf itu seolah-olah menyatakan adanya kerja sama antara TNI-AD dengan Inggris yang waktu itu dikategorikan sebagai kekuatan Nekolim (Neo Kolomalisme dan Imperialisme). [2]
D. Peristiwa G-30-S/PKI di Jakarta
Peristiwa G-30-S/PKI diawali dengan diculiknya tujuh perwira tinggi (Pati) TNI-AD dari rumahnya masing-masing oleh beberapa kesatuan TNI-AD. Kemudian diketahui bahwa kesatuan-kesatuan itu berasal dari Batalyon Kawal Kehormatan I Resimen Cakrabirawa, Batalyon Para 454, Batalyon Para 530. Brigade Infantri I, Kesatuan Pasukan Para Angkatan Udara, dan Kesatuan Kavaleri. Semua Kesatuan itu, yang diberi sandi cengko (Central Komando) Pasopati , berada dibawah komando Letnan Kolonel Untung Sutopo, Komandan Batalyon I Cakrabirawa. Ketujuh Pati TNI-AD yang menjadi sasaran penculikan itu adalah:
a. Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab) Jenderal A.H. Nasution,
b. Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal TNI Ahmad Yani,
c. Deputi II Pangad Mayjen R. Soeprapto,
d. Deputi III Pangad Mayjen Harjono M. Tirtodarmo,
e. Asisten I Pangad Mayjen S. Parman,
f. Asisten IV Pangad Brigadir Jenderal (Brigjen) D.I. Pandjaitan, dan
g. Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat Brigjen Soetojo siswomihardjo.
Dalam aksi tersebut, pasukan Letnan Kolonel Untung berhasil menculik enam dari tujuh sasarannya. Adapun sasaran yang lolos adalah Jenderal Nasution. Namun para penculik menewaskan putrinya yang bernama Ade Irma Suryani Nasution dan membawa paksa ajudannya, Letnan Satu Pierre A. Tendean, yang dikira sebagai sang Jenderal. Selain itu, para penculik juga membunuh seorang polisi bernama K.S. Tubun yang bertugas di dekat rumah Nasution.
Gerakan yang dilancarkan oleh kekuatan G-30-S/PKI itu untuk sementara waktu cukup membingungkan masyarakat. Namun pada hari itu juga, Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad), Mayor Jenderal (Mayjen) TNI Soeharto, yang telah menerima laporan dari tetangga dan rekannya, yaitu Mashuri, SH tentang adanya penculikan terhadap beberapa Pati ABRI tersebut, segera bertindak untuk menguasai keadaan. Tindakannya itu sesuai dengan standing order (ketentuan – kesepakatan) yang berlaku di lingkungan Angkatan Darat, yaitu: jika Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) berhalangan, maka Pangkostrad yang akan mengambil alih pimpinan atas nama Menpangad. Dengan wewenangnya itu, Pangkostrad Mayjen Soeharto mengambil langkah-langkah koordinasi di antara kesatuan-kesatuan ABRI, khususnya yang ada di Jakarta, termasuk menghubungi Menteri/Panglima Angkatan Udara (Menpangau) Laksamana Madya Udara Omar Dhani. Namun yang disebutkan yang terakhir ini tidak berhasil dihubungi.
Setelah menilai keadaan,pangkostrad berkesimpulan bahwa penculikan terhadap Pati TNI-AD dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya Gerakan 30 September, merupakan usaha perebutan kekuasaan pemerintahan, dan PKI dianggap berada di belakangnya. Kesimpulan diambil setelah mendengar siaran RRI pada pukul 13.00, tentang pembentukan "Dewan Revolusi" yang diketahui oleh Letko Untung yang mengambil alih kekuasaan, setelah Kabinet Dwikora dinyatakan demisioner. Pangkostrad juga menyadari bahwa Batalyon 459/Diponegoro dan Batalyon 530/Brawijaya yang berada di sekitar Medan Merdeka merupakan pasukan-pasukan yang disalahgunakan oleh kekuatan G-30-S/PKI. Sebagai catatan, kedua Batalyon itu didatangkan ke Jakarta dalam rangka memperingati Hari Angkatan Bersenjata tanggal 5 Oktober 1965.
Hubungan dengan Presiden tidak dapat dilakukan karena Presiden tidak ada di Istana Negara melainkan di Pangkalan Udara Utama (Lanuma) Halim Perdanakusuma, yang dinilai Mayjen Soeharto telah dikuasai oleh kekuatan G-30-S/PKI. Kepastian ahwa Presiden Soekarno berada di Halim dipertegas dengan munculnya utusan Presiden Soekarno ke Makostrad, yaitu Ajudan Presiden, Kolonel (KKO) Bambang Widjanarko yang bertugas memanggil Mayjen Pranoto Reksosamodra untuk menghadap Presiden karena telah dianggap sebagai care taker Menpangad. Dalam kesempatan itu Pangkostrad (didampingi Jenderal Nasution yang telah datang bergabung ke Makostrad sekitar pikul 17.30) tidak menanggapi pengangkatan Mayjen Pranoto. Sebaliknya kedua Pati iti meminta Kolonel Widjanarko untuk menyampaikan pesan kepada Presiden agar segera meninggalkan (Lanuma) Halim Perdanakusuma, karena daerah itu akan diserang. Sikap menentang kedua Perwira Tinggi (Peti) itu, khususnya Mayjen Soeharto semakin terlihat sewaktu dia mengumumkan dirinya telah mengambil alih pimpinan TNI-AD. Kemudian dengan strateginya berhasil memaksa Presiden Soekarno untuk melantiknya menjadi Menteri Panglima TNI-AD.
Menurut Mangil Martowidjojo, mantan komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP), Presiden Soekarno berada di Lanuma Halim Perdanakusuma karena dibawa oleh para pengawalnya, atas perintah Wakil Komandan Cakrabirawa Kolonel Maulwi Saelan. Perintah itu dikeluarkan setelah mendapat laporan bahwa di sekitar Medan Merdeka banyak pasukan militer yang tidak dikenal. Presiden menerima laporan itu pada waktu berada dalam perjalanan menuju Istana Negara. Kepergiannya ke Halim sesuai dengan "operating standing procedure" (ketentuan prosedur operasi) Cakrabirawa, yaitu apabila situasi gawat, Presiden harus diselamatkan dengan cara:
a. Membawa ke Lanuma Halim Perdanakusuma dan menerbangkannya ke tempat yang aman dengan menggunakan "jet star",
b. Membawanya ke Tanjung Priok dan membawanya dengan kapal laut kepresidenan, "R.I. Baruna",
c. Sedangkan jika di ddarat menggunakan kendaraan berlapis baja anti peluru.
Menurut Maulwi Saelan, setelah manaerima pesan Mayjen Soeharto, sekitar pukul 22.30, Presiden Soekarno meninggalkan Lanima Halim Perdanakusuma menuju Bogor. Keberangkatan ini kemudian dilaorkan kepada Mayjen Soeharto.
Dengan menggunakan unsur-unsur Kostrad yang sedang berada di Jakarta dalam rangka Parade Hari Ulang Tahun ABRI, Pangkostrad mulai menggerakkan pasukannya pada 1 Oktober itu juga. Kekuatan yang berhasil dihimpun Pangkostrad untuk melakukan operasinya itu adalah Batalyon 328 Kujang/Siliwangi, Batalyon 2 Kavaleri dan Batalyon 1 Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Langkah pertamanya adalah berupaya menetralisir pasukan-pasukan yang berada di sekitar Medan Merdeka yang dipergunakan oleh pihak G-30-S/PKI. Anggota pasukan Batalyon 530/Brawijaya minus satu kompi, berhasil ditarik ke Markas Kostrad di Merdeka Timur, sedangkan Batalyon 545/Diponegoro sektar pukul 17.00 berhasil ditarik mundur oleh pihak G-30-S/PKI ke Lanuma Hlim Perdanakusuma.
Sekitar pukul 19.15, tanpa kontak senjata, pasukan RPKAD merebut RRI Pusat dan Gedung Telekomunikasi serta mengamankan seluruh Medan Merdeka. Batalyon 328 Kujang/Siliwangi berhasil menguasai lapangan Banten untuk mengamankan Markas Komdan V/Jaya dan sekitarnya. Sementara itu Batalyon 2 Kavaleri berhasil mengamankan Bank Negara Indonesia Unit I (Bank Sentral) dan percetakan Uang Negara Kebayoran. Dengan dikuasainya kembali daerah-daerah strategis di kota Jakarta oleh pasukan-pasukan yang dikendalikan Pangkostrad maka situasi berangsur-angsur dapat dikuasai.
Setelah pasukannya menguasai Medan Merdeka Barat, pada pukul 20.00, melalui corong RRI, Pangkostrad (selaku pelaksana Panglima AD) Mayjen Soeharto mengumumkan tentang adanya perebutan kekuasaan oleh pihak yang menamakan dirinya Gerakan 30 September.
Pada pukul 06.10, tanggal 2 Oktober 1965, daerah Lanuma Halim Perdanakusuma sudah dapat dikuasai. Operasi pembersihan kemudian dilanjutkan ke daerah Lubang Buaya, yang sebelumnya disinyalir menjadi tempat latihan militer bagi Pemuda Rakyat dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Di daerah itu, terjadi perlawanan kecil dari pasukan Batalyon 454/Diponegoro. Tokoh-tokoh utama G-30-S/PKI, seperti Letkol Untung dan Brigjen Supardjo ternyata tidak ditemukan di Halim Perdanakusuma, karena telah meninggalkan anak buahnya. Demikian pula D.N.Aidit telah pergi ke Jawa Tengah yang merupakan basis PKI yang cukup kuat. Di Lubang Buaya, ditemukan sebuah sumur tua berlubang sempit yang berisi jenazah para Perwira TNI-AD yang diculik pihak G-30-S/PKI. Sumur tua itu ditemukan pada tanggal 3 Oktober, atas petunjuk seorang anggota Polisi Ajun Brigadir Polisi (Kopral satu) B. Harada Sukitman. Anggota polisi itu sebenarnya adalah tawanan pihak G-30-S. Namun berhasil meloloskan diri.
Pengangkatan jenazah para perwira TNI-AD baru dapat dilakukan pada 4 Oktober 1965. Seluruh jenazah diangkut ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat untuk dibersihkan. Keesokan harinya, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ABRI, jenazah para perwira itu dimakamkan di Taman Makam pahlawan Kalibata dan kemudian dianugrahi gelar Pahlawan Revolusi dan diberi kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi secara anumerta.
Dalam sidang paripurna Kabinet Dwikora 6 Oktober 1965, Presiden Sokarno secara resmi mengutuk pembunuhan yang dilakukan oleh pihak kontra revolusi yang menamakan dirinya "Gerakan 30 September". Dalam masalah penyelesaian G-30-S/PKI digariskan kebijakan bahwa aspek-aspek politik akan diselesaikan sendiri oleh Presiden, aspek militer-administratif diserahkan kepada Mayjen Pranoto, dan penyelesaian aspek militer-teknis, keamanan dan ketertiban diserahkan kepada Mayjen Soeharto. Penugasan kepada Soeharto sebenarnya sudah diumumkan Presiden melalui RRI Pusat pada 3 Oktober 1965, pukul 01.30. Tanggal penugasan itu, menurut beberapa sumber, dianggap sebagai awal kehadiran Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).
E. G-30-S/PKI DI JAWA TENGAH DAN YOGYAKARTA
Reaksi terhadap aksi G-30-S/PKI 1 Oktober 1965 di tiap daerah berbeda-beda bentuknya. Tetapi dapat dikatakan bahwa dukungan "yang cukup kuat" terhadap kekuatan G-30-S/PKI, selain di Jakarta, hanya terlihat di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Pada hari itu juga, pukul 13.00, melalui RRI Semarang, Asisten I Kodam VII/Diponegoro, Kolonel Sahirman mengumumkan dukungannya terhadap G-30-S/PKI. Pihak yang pro-G-30-S/PKI berhasil menguasai Markas Kodam VII/Diponegoro yang kemudian dijadikan pusat gerakannya. Waktu itu, Panglima Kodam VII/Diponegoro Brigadir Jenderal Surjosumpena sedang berada di luar kota. Di samping Markas Kodam, juga beberapa Markas Komando Resort Militer (Makorem) berhasil mereka kuasai, seperti Makorem Purwekerto, Makorem Yogyakarta, dan Makorem Salatiga.
Dewan Revolusi di Yogyakarta diketuai oleh Mayor Mulyono. Dengan menggunakan kekuatan Batalyon I, mereka menculik kepala Staf Korem 072 Yogyakarta, Letkol TNI Sugijono. Selanjutnya mereka mengeluarkan perintah kepada segenap Komando Distrik Militer (Kodim) supaya mendukung G-30-S/PKI dan membagi-bagikan senjata kepada anggota Legiun Veteran setempat. Keesokan harinya, 2 Oktober 1965 terjadi demonstrasi para anggota PKI dan ormas-ormasnya di depan Makorem 072 untuk menyatakan dukungannya kepada G-30-S/PKI. Pada hari itu juga Komandan Korem 072 Kolonel Katamso diculik dari rumahnya dan dibawa ke komplek Batalyon I di desa Kentung. Selanjutnya ia bersama dengan Letkol Sugijono dibunuh. Di kota Solo pada 1 Oktober, Dewan Revolusi setempat telah menggunakan Batalyon M untuk melakukan penculikan terhadap Komandan Brigade 6 Kolonel Azahari, Kepala Staf Brigade 6 Letkol Prawoto, Komandan Kodim 0735 Letkol Ezi Soeharto, Kepala Staf Kodim 735 Mayor Soeparjan, Komandan Polisi Militer Detasemen Surakarta Kapten Prawoto, dan Komandan Batalyon M Mayor Darso. Kekuatan Dewan Revolusi juga menduduki gedung RRI, Telekomunikasi, dan Bank Negara Indonesia Unit I. Keesokan harinya Walikota Solo, Oetomo melalui RRI dengan mencatut nama Front Nasional cabang Surakarta mengumumkan dukungannya kepada G-30-S/PKI.
Sementara itu, Pangdam Diponegoro Brigjen Surjosumpeno yang telah mendengar siaran RRI tentang adanya G-30-S/PKI dan Dewan Revolusi, secepatnya menghubungi para perwira stafnya di Jawa Tengah untuk mengadakan briefing. Kemudian ia menerima pula informasi tentang pengambilalihan Markas Kodam dan beberapa Makorem di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Oleh karena itu secara hati-hati dia menghubungi pasukan-pasukan yang dinilai tidak dipengaruhi kekuatan G-30-S/PKI dan Dewan Revolusinya. Setelah berhasil melakukan konsolidasi, maka diputuskan untuk menggerakkan pasukan guna menumpas kekuatan G-30-S/PKI tersebut.
Operasi penumpasan dimulai pada tanggal 2 Oktober 1965 pada pukul 05.00. Ternyata setalah ada siaran RRI Jakarta yang menyebutkan bahwa Jakarta telah dikuasai kembali oleh ABRI, maka pasukan-pasukan yang dipergunakan oleh kekuatan G-30-S/PKI mulai tidak kompak. Oleh karena itu, pasukan yang digerakkan surjosumpeno tidak menemui perlawanan ketika merebut kembali kota Semarang. Kolonel Sahirman dan perwira lainnya telah melarikan diri ke luar kota dikawal oleh 2 kompi anggota Batalyon X pimpinan Mayor Kadri. Sebagian lagi dari Batalyon K itu dapat disadarkan kembali ats keterlibatannya dengan G-30-S/PKI. Pada pukul 10.00 hari itu juga, Pangdam VII/Diponegoro mengumumkan melalui RRI setempat bahwa Pangdam Brigjen Surjosumpeno telah mengambil alih kembali pimpinan Kodam VII/Diponegoro.
Dalam operasi Merapi itu, beberapaa pimpinan militer G-30-S/PKI dan Dewan Revolusi Jawa Tengah berhasil ditembak mati, seperti Kolonel Sahirman, Kolonel Maryono, Letnan Kolonel Usman, Mayor Sumadi, Mayor R. W. Sakirno, dan Kapten Sukarno. Menurut pernyataan resmi ABRI, dalam operasi pembersihan itulah, pada 2 Oktober 1965, tokoh nomor satu PKI D.N.Aidit berhasil ditangkap di tempat persembunyiannya di Solo. Menurut pihak ABRI, Aidit terpaksa ditembak mati karena berusaha melarikan diri. Setelah kekuatan militernya cerai berai dan gembong-gembongnya tertangkap atau tertembak mati, maka secara militer kekuatan G-30-S/PKI di Jawa Tengah dinilai telah hancur. [3]
F. DAMPAK PERISTIWA G-30-S/PKI
1. Sikap Presiden Soekarno
Dalam siding paripurna Kabinet Dwikora tanggal 6 Oktober 1965 di Istana Bogor, Presiden Soekarno mengeluarkan satu pernyataan sebagai berikut:
"Presiden/Panglima tertinggi ABRI/Pimpinan Besar Revolusi Bung Karno menandaskanbahwa ia mengutuk pembunuhan-pembunuhan buas yang dilakukan oleh petualang-petualang kontra revolusi dari apa yang menamakan dirinya 'Gerakan 30 September'. Presiden juga tidak membenarkan pembentukan apa yang dinamakan 'Dewan Revolusi'. Hanya saya yang dapat mendemisionerkan Kabinet bukan orang lain".
Pernyataan Presiden Soekarno itu awalnya sangat membesarkan hati masyarakat. Akan tetapi, pernyataan itu tidak diikuti oleh tindakan nyata yang dapat dinilai sebagai suatu "kutukan" yang nyata terhadap para petualang kontra revolusioner tersebut. Padahal, waktu itu di kalangan masyarakat luas telah muncul desas-desus, yang kemudian dipercayainya bahwa yang menjadi dalang peristiwa G-30-S itu adalah PKI. Kekuatan ormas dan orpol yang sebelumnya bersebrangan dengan PKI atau dirugikan oleh PKI, kini tampil melakukan aksi-aksi menuntut pembubaran PKI.
Sementara itu, di kalangan ormas dan orpol, termasuk di kalangan pelajar dan mahasiswa, ketidaksukaan terhadap PKI dalam beberapa bulan setelah peristiwa G-30-S/PKI juga nampak semakin meningkat. Oleh karena itu muncullah kesatuan-kesatuan aksi yang dipelopori oleh para mahasiswa dan pelajar di antaranya:
Ø Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI)
Ø Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI)
Ø Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI)
Ø Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI)
Ø Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI)
Ø Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI)
Ø Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI)
Pada tanggal 23 Oktober 1965 berbagai partai seperti NU, Muhammadiyah, IPKI, Partai Katholik, Parkindo, PSII, dan kekuatan anti komunis lainnya membentuk dan bergabung dalam satu front, yaitu Front Pancasila.
Akibatnya, beberapa Pangdam yang semula sangat setia kepada Bung Karno menjadi jengkel dan membekukan PKI beserta ormas-ormasnya di wilayah kekuasaannya. [4]
2. Aksi-aksi Tritura
Pada tanggal 10 Januari 1966, dengan dipelopori Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), masyarakat mulai turun ke jalan menyuarakan tuntutannya, yang dikenal dengan nama Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat), yang berisi:
· Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya
· Bersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI, dan
· Turunkan harga/perbaikan ekonomi
Aksi diawali apel bersama di halaman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba 6, Jakarta Pusat.
Menanggapi aksi-aksi mahasiswa dan pelajar di Jakarta, Presiden Soekarno mengundang para wakil mahasiswa untuk mengikuti siding paripurna Kabinet Dwikora pada 15 Januari 1966. Namun setelah itu mahasiswa menjadi kecewa, karena dalam siding itu Presiden bukannya mengambil langkah yang dapat menenangkan situasi, tetapi sebaliknya menuduh aksi-aksi mahasiswa dan pelajar didalangi kaum Nakolim, khususnya Central Intelegency Agency (CIA).
Akibat sikap Presiden itu, aksi-aksi mahasiswa yang mendapat dukungan Front Pancasila dan masyarakat, menjadi semakin meningkat dan sering turun ke jalan. Banyak yang menilai bahwa TNI AD telah memanfaatkan situasi semacam itu untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang PKI dan para simpatisannya, sekaligus melakukan konsolidasi ke dalam.
Tanggal 21 Februari 1966, Presiden Soekarno mengumumkan perubahan Kabinet Dwikora. Akan tetapi perubahan ini tidak memuaskan hati rakyat karena banyak tokoh yang diduga terlibat G-30-S/PKI diangkat dan didudukkan sebagai menteri. Kabinet ini disebut "Kabinet Seratus Menteri".
Pada tanggal 24 Februari 1966, sewaktu Presiden hendak melantik para anggota Kabinet barunya, para demonstran melakukan aksi serentak mengempeskan ban-ban mobil dan menutup jalan-jalan raya di Ibukota sehingga lalu lintas jalan menjadi macet total. Namun mereka harus berhadapan dengan Pasukan Cakrabirawa. Dalam peristiwa ini gugur seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI) bernama Arif Rachman Hakim, yang terkena peluru pasukan Cakrabirawa. Yang kemudian diangkat menjadi "Pahlawan Ampera" (Amanat Penderitaan Rakyat). Keesokan harinya Presiden Soekarno membubarkan KAMI yang dituding sebagai penyebab terjadinya insiden tersebut.
Setelah KAMI dibubarkan demonstrasi dilakukan oleh Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), dan Kesatuan-kesatuan Aksi lainnya, serta Laskar Arif Rachman Hakim. Lascar Arif ranchman Hakim dibentuk pada 4 Maret 1966, sehari setelah UI ditutup. Laskar Arif Rachman Hakim dibentuk di Universitas Indonesia dengan komandannya Fahmi Idris, seorang aktivis Militan dari HMI. Melihat kondisi seperti itu, Presiden Soekarno menyatakan ketidakpuasannya akan pelaksanaan pembubaran KAMI. Dalam rapat KOGAM 7 Maret 1966, Presiden memerintahkan agar Papelrada lebih meningkatkan pelaksanaan pembubaran KAMI.
Sebaliknya Front Pancasila meminta kepada pemerintah agar pembubaran KAMI ditinjau kembali. Dalam kondisi seperti itu Departemen Luar Negeri yang dipimpin Dr. Soebandrio diserbu dan diobrak-abrik oleh kelompok pelajar dan mahasiswa. Pada tanggal 9 Maret 1966, para mahasiswa dari KAPPI dan laskar Arif Rachman Hakim menduduki sebuah gedung Departemen P dan K, dan dalam waktu bersamaan menyerbu kantor berita RRC Hsin Hua. Keesokan harinya giliran kantor Konsulat RRC dan gedung kebudayaan Cina diserbu dan dirusak. Peristiwa itu menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno. Pada hari itu juga ia mengeluarkan perintah harian yang ditujukan kepada seluruh jajaran ABRI, Orsospol dan seluruh rakyat "progresif revolusioner" agar waspada terhadap pihak-pihak yang berupaya "membelokkan jalannya revolusi kita ke kanan". Selain itu Presiden kemudian memanggil Front Pancasila, PNI-Asu, dan Partindo. Dalam pertemuan itu Presiden, PNI-Asu dan partindo menekankan agar mengutuk aksi-aksi Tritura. Namun Front Pancasila menolaknya, sebab tuntutan pokoknya adalah pembubaran PKI. [5]
3. Tekanan Angkatan Darat Terhadap Presiden
Pada tanggal 21 Februari 1966, dengan dalih "meningkatkan perjuangan revolusi", Presiden Soekarno melakukan perombakan Kabinet yang dinamakan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan. Hasil perombakan itu cukup mengecewakan rakyat. Sebab, tokoh yang dikenal sangat gigih menentang PKI, seperti Jenderal A.H. Nasution, justru disingkirkan dari Kabinet. Sebaliknya orang-orang yang dicurigai terlibat dalam gerakan itu justru masih dipertahankan, misalnya Dr. Subandrio dan Oei Tjoe Tat, SH. Tingkah laku Presiden itu sekaligus semakin merenggangkan hubungan baiknya dengan sejumlah pendukung dan simpatisannya di kalangan Militer khususnya TNI AD.
Selama tiga minggu setelah pengumuman perubahan kabinet, sekelompok kecil perwira TNI-AD yang anti Seokarno di Jakarta mengambil peranan menentukan. Di antara mereka yang paling terkenal adalah Brigjen Kemal Idris. Sebagai Panglima baru menggantikan Mayjen Umar Wirahadikusuma, Kemal Idris bertindak lebih tegas. Mayoritas kekuatan Kostrad berasal dari RPKAD yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhie, yang sepenuhnya menyetujui pandangan Kemal Idris bahwa tindakan atau tekanan lebih keras harus diberikan kepada Presiden. Puncak tekanan dirasakan oleh Presiden Soekarno, sewaktu dia sedang memimpin siding kabinet di Istana Merdeka, jalan Merdeka Barat, tanggal 11 Maret 1966. Pada waktu siding sedang berjalan, Presiden Soekarno menerima laporan dari Ajudan Presiden/Komandan Pasukan Pengawal Cakrabirawa Brigjen TNI Sabur, bahwa di sekitar Istana terdapat pasukan-pasukan yang tidak dikenal. Menurut beberapa sumber, mereka terdiri dari tiga kompi RPKAD yang sengaja digelar di sekitar Istana tanpa menggunakan tanda pengenal kesatuannya atas perintah Pangkostrad Kemal Idris, dengan tujuan memberi tekanan mental kepada Presiden Soekarno dan kalau ada kesempatan untuk menagkap Dr. Soebandrio dan beberapa menteri lainnya, serta melindungi para mahasiswa dan pelajar yang berdemonstrasi. Presiden soekarno kemudian memutuskan untuk meninggalkan Jakarta , dan menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr. Leimena. Setelah itu ia pergi ke Bogor dengan menggunakan pesawat helikopter didampingi oleh Waperdam I Dr. Soebandrio dan Waperdam III Chairul Saleh.
Menurut sumber TNI AD, setelah sidang Kabinet ditutup oleh Leimena, tiga perwira tinggi TNI AD yang menghadiri sidang tersebut, yaitu : Mayjen TNI Basoeki Rachmat (Menteri Veteran), Bigjen TNI M. Jusuf (Menteri Perindustrian Dasar), dan Brigjen TNI Amir Machmud (Pangdam V/Jaya), langsung menghadap Menpangad Letjen TNI Soeharto di tempat kediamannya, Jl. Haji Agus Salim. Sebagai catatan, Letjen Soeharto tidak ikut bersidang dengan alasan sakit. Tujuan ketiga Jenderal itu datang kerumah Soeharto antara lain untuk melaporkan situasi sidang yang baru lalu. Pada kesempatan itu ketiga perwira tinggi meminta izin untuk pergi ke Bogor guna melaporkan situasi yang sebenarnya kepada Presiden Soekarno berkaitan dengan berita tentara liar yang berkeliaran di sekitar Istana Merdeka, yang ternyata tidak benar. Selain itu kepergian mereka ke Bogor juga untuk meyakinkan Presiden Soekarno bahwa TNI AD masih tetap setia dan taat kepada Presiden Soekarno. [6]
G. LAHIRNYA SURAT PERINTAH 11 MARET (SUPERSEMAR)
Tiga perwira tinggi TNI AD yaitu : Mayjen TNI Basoeki Rachmat, Bigjen TNI M. Jusuf, dan Brigjen TNI Amir Machmud, yang pergi ke Bogor untuk mengadakan pembicaraan dengan Presiden Soekarno yang didampingi oleh Waperdam I Dr. Soebandrio, Waperdam II Leimena dan Waperdam III Chairul Saleh di Istana Bogor. Dan akhirnya Presiden Soekarno memutuskan untuk mengeluarkan sebuah surat perintah kepada Letjen TNI Soeharto untuk mengambil langkah-langkah yang perlu untuk mengatasi keadaan. Surat perintah tersebut kemudian terkenal dengan nama surat perintah 11 Maret atau Supersemar.
Polemik tentang Supersemar seperti halnya juga "dalang G-30-S" secara akademik sebenarnya bukan hal yang luar biasa. Hal itu sesuatu yang wajar, selain karena masih banyak sumber sejarah yang belum terungkap, terutama karena sang Supersemar sendiri sangat misterius. Kecuali para pelaku, yaitu : Soeharto, M Yusuf, Basoeki Rachmat, dan Amir Mahmud, barangkali tidak ada yang tahu persis bentuk dan isi, serta keberadaan Supersemar itu. Selebihnya baik kalangan akademis maupun awam hanya bisa melihat dan membaca salinannya (tembusannya) saja yang tersimpan dalam Khasanah Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dengan satu catatan, ada berbagai versi. Meskipun demikian dari versi-versi yang ada itu, isi perintahnya relatife sama, yaitu sebagai berikut (dikutip dari versi yang dua halamaan) :
III. Memutuskan/Memerintahksn:
Kepada : LETNAN DJENDERAL SUHARTO, MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT
Untuk : Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pimpinan Besar Revolusi
1. Mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pemimpin Presiden/Panglima Tertinggi/Pimpinan Besar Revolusi/Mandataris M.P.R.S. demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi.
2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima/Panglima Angkatan-Angkatan lain sebaik-baiknja.
3. Supaya melaporkan segala sesuatu jang bersangkut-paut dalam tugas dan bertanggung-djawabnja seperti tersebut di atas. [7]
H. KESIMPULAN
Pada masa Orde Lama ada tiga kekuatan yang saling bersaing dalam kancah perpolitikan nasional. Ketiga kekuatan itu adalah, Presiden Soekarno, PKI, dan TNI AD. Soekarno sendiri menjalankan politik perimbangan kekuatan (balance of power) antara PKI dan TNI AD. Sehingga, ia bisa mengontrol keduanya. Walaupun, realitasnya Soekarno lebih dekat dengan PKI. Sementara, PKI yang menganggap TNI AD sebagai penghalang utamanya dalam merebut kekuasaan berusaha untuk menjatuhkan kekuatan itu. Cara yang mereka pakai antara lain menyusupkan kader-kadernya ke tubuh TNI AD dan menuduh adanya suatu Dewan Jenderal yang berusaha merebut kekuasaan dari tangan Soekarno.
PKI sebenarnya juga ingin merebut kekuasaan, sehingga mereka melancarkan kudeta terlebih dahulu. Dengan dipimpin oleh Kolonel Untung, mereka melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap perwira tinggi Angkatan Darat. Kemudian mereka juga merebut sarana vital, seperti RRI dan kantor Besar Telkom. Gerakan ini kemudian menamakan dirinya sebagai Dewan Revolusi. Selain di Jakarta, PKI juga melancarkan gerakan di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Kudeta ini gagal karena tidak mendapatkan dukungan rakyat dan tidak terkoordinasi dengan baik. Pangkostrad pada masa itu, Mayjen Soeharto berhasil memulihkan keadaan. Keadaan politik Indonesia pada masa kudeta sangat kacau, sementara kondisi keamanan tidak terkendali. Presiden Soekarno sendiri tidak tegas dalam menyelesaikan permasalahan ini. Sehingga, demonstran merembak di mana-mana. KAMI menjadi pelopor aksi dengan Slogan Trituranya. Dalam aksi ini mahasiswa Universitas Indonesia, yaitu Arif Rachman Hakim gugur ditembak aparat. Demonstrasi pun semakin membesar dan tidak terkendali.
Suasana ini dimanfaatkaan Soeharto untuk meminta surat perintah untuk mengendalikan keamanan pada tanggal 11 Maret 1966. Surat ini kemudian dikenal sebagai Supersemar. Soeharto memanfaatkan surat ini menuju tampuk kekuasaan kepresidenan. Ia menjadi Presiden yang ke-2 menggantikan Soekarno.
Notes :
[1]. Odih, Enjang dan sukadi. 1997. Ilmu Pengetahuan Sosial Sejarah (Nasional dan Umum) untuk SLTP Kelas III. Bandung. Ganeca Exact Bandung.
[3]. Iskandar, Muhammad. Linda Sunarti dan Abdurahman. 2013. Sejarah Indonesia dalam Perkembangan Zaman untuk SMA program IPS. Jakarta. Bumi Aksara.
[4]. M. Mustopo, Habib. 2011. Sejarah 3 untuk Kelas XII SMA Program IPS. Jakarta yudistira.
[5]. Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta. Paradigma.
[6]. Matroji. 2001. Sejarah SMA/MA Kelas XI Program IPS. Jakarta. Bumi Aksara.
[7]. Agung, Leo dan Dwi Ari Listiyani. 2009. Sejarah untuk SMA/MA Kelas XII Program Ilmu Alam. Surakarta. Penerbit Erlangga.
DAFTAR KUTIPAN
Agung, Leo dan Dwi Ari Listiyani. 2009. Sejarah untuk SMA/MA Kelas XII Program Ilmu Alam. Surakarta. Penerbit Erlangga.
Iskandar, Muhammad. Linda Sunarti dan Abdurahman. 2013. Sejarah Indonesia dalam Perkembangan Zaman untuk SMA program IPS. Jakarta. Bumi Aksara.
Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta. Paradigma.
Matroji. 2001. Sejarah SMA/MA Kelas XI Program IPS. Jakarta. Bumi Aksara.
M. Mustopo, Habib. 2011. Sejarah 3 untuk Kelas XII SMA Program IPS. Jakarta yudistira.
Odih, Enjang dan sukadi. 1997. Ilmu Pengetahuan Sosial Sejarah (Nasional dan Umum) untuk SLTP Kelas III. Bandung. Ganeca Exact Bandung.
No comments:
Post a Comment