Hubungan TNI dan Pemerintah di Era Gus Dur

Erlina Suryani s/b
Salah satu isu politik yang belakangan mencuat  ke permukaan adalah hubungan sipil-militer. Baik dari kalangan dalam TNI sendiri  maupun kelompok non-militer, sama-sama menggangap bahwa di era reformasi ini, penilaian kritis terhadap kedudukan TNI dalam proses perubahan istilah alternatif untuk konsep  "pembangunan" yang di masa orde baru dianggap sebagai sumber legimitasi politik pemerintah perlu dilakukan. Bukan soal "suka" atau "tidak suka", tetapi karena kesadaran kolektif, TNI di era keterbukaan ini
harus di bicarakan secara proporsional. Jika di masa-masa sebelumnya ia merupakan sebuah kekuatan penentu pembangunan, sekarang pelu dikaji lagi peranya. Sehubungan dengan kian kuatnya kehendak publik untuk lebih mengembangkan asas partisipasi ketimbang dominan dalam wacana bernegara, maka semua kekuatan yang dominan dalam wacana bernegara, maka semua kekuatan yang dominan  dan cenderung hegemonik di masa lalu, harus  ditata ulang posisinya. Satu di antaranya adalah TNI.
Di masa pemeintahan B.J. Habibie, persoalan ini belum terlihat secara berarti. Memang awal perubahan waktu itu sudah di mulai. Tapi disadari oleh banyak pihak, ia belum menyentuh  pada substansi. Karena pro dan kontra terhadap legimitasi pemerintah kala itu, keinginan untuk meninjau kembali pean kelompok "new profesional" ini cenderung lambat, untuk tidak mengatakan jalan di tempat.
Dalam konteks indonesia, selain ada kehendak yang bersifat retorik dan verbalistik, perubahan akan di anggap bermakna bila sudah menyangkut "siapa mendapat apa". Dilihat dari perspektif inilah, seratus hari usia pemerintah K.H. Abdurrahman Wahid, telah menunjukan "tanda-tanda zaman" ke arah reformasi substansial dari peran non-militer TNI. Sebagaimana akan di bahas berikut, selain akan di soroti apa dan bagaimana proses tersebut terjadi, yang tidak kalah penting adalah kemungkinan konsekuensi seta implikasinya di masa depan.
Pemerataan Peran
Bila  di tinjau lebih rinci lagi, perwira-perwira TNI AD pula yang mendapat kesempatan paling banyak untuk menduduki jabatan eksekutif, baik anggota kabinet, duta besar dan gubernur serta pimpinan birokrasi sipil di bawahnya. Bila publik menerima kehadiran mereka, tentu akan baik pula dampaknya terhadap TNI secara keseluruhan. Sayang sekali tidak demikian adanya. Sebagaimana sering digugat belakangan, TNI dianggap telah menyimpang dari posisi historik dan ideologinya. Perang yang diembanya di masa lalu, lebih banyak di tunjukan  untuk melindungi kepentingan penguasa ketimbang kepentingan negara secara luas. Sebagai akibatnya, hujatan terhadap TNI kian menguat. Pada situasi seperti ini, generalisasi terjadi. Seolah-olah semua anggota TNI demikian. Padahal, karena tidak adanya pemerataan tersebut, maka tidak adil bila kita mengencam politik TNI secara umum.
Barangkali kepedulian semacam inilah yang hendak dilakukan oleh Presiden Gus Dur. Sebagaimana sering di sampaikan, hujatan terhadap TNI sebagai lembaga tidak tepat. Untuk itulah dia mencoba melakukan sejumblah kebijakan yang belum pernah dilakukan oleh para pendahulunya.
Pertama, pada eranya seorang perwira tinggi AL mendapat kesempatan untuk memimpin TNI. Di masa Presiden Soeharto, diangkatnya Laksamana Sudomo, semata-mata karena pertimbangan probadi. Hubungan dekat antara keduanya dalam episode pembebasan Irian Jaya  telah membawa pertemanan yang lebih abadi. Laksamana Sudomo senantiasa mendapat posisi penting dalam pemerintah Soeharto. Belum pasti apakah ada hubungan prbadi antara presiden Gus Dur dengan Laksamana Widodo AS. Yang pasti, baru sekaranglah terjadi kesempatan bagi perwira non-AD untuk memasuki posisi puncak di organisasi TNI.
Kedua, sudah lama diharapkan oleh kalangan sipil agar jabatan  menteri pertahanan dan keamanan diberikan kepada tokoh sipil. Karena posisinya sebagai anggota kabinet, maka tidak berlebihan jika Menhan RI tidak lagi dipandang sebagai monopolinya TNI. Pengangkatan Prof. Juwono Soedarsono yang mantan wakil gubernur Lemhanas dan Mendikbud di masa pemerintahan B.J. Habibie menjadi bukti konkret dari itikad baru Gus Dur dalam membenahi hubungan siipil dan militer di Indonesia.
Ketiga, dalam sebulan terakhir ini, langkah reformasi TNI secara substansial juga di lakukan oleh Presiden RI IV. Jabatan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) yang selama ini di dominasi oleh perwira tinggi AD diserahka kepada rekanya dari Angkatan Udara. Kehadiran Mersekal Muda Grainto Husodo yang di percaya untuk memimpin "humas"nya TNI, yakni Kapuspen TNI. Walaupun hanya jabatan untuk perwira berbintang dua, dalam sejarahnya posisi tersebut relatif penting, dan karenanya selalu di pegang  oleh seorang perwira Angkatan Darat berppangkat Mayor Jendral.
Keempat, di era Gus Dur pula, panitia Ad-Hoc ll BP MPR mulai membahas secara mendasar ihwal peran sosial politik TNI di masa depan, khususnya kemungkinan ditiadakanya kursi bagi anggota DPR dan DPRD yang diangkat. Bila hal ini di tindak lanjuti, maka pro dan kontra terhadap demokratisasi di lembaga perwakilan rakyat kita akan ssegera berakhir. Karena tidak adanya lagi hak-hak istimewa bagi sesama warga negara dalam politik, maka proses konsolidasi demokrasi sudah mulai berjalan dengan baik. Sebagai konsekuensinya, harus di pikirkan, bagaimana hak politik anggota TNI selanjutnya. Apakah seperti sebagian besar negara lain, bebas untuk mengikuti pemilu atau sebaliknya.
Konsekuensi
Fenomena di atas tentu mempunyai biaya-biaya yang harus di bayar. Secara institusi, TNI tidak akan mempersoalkan langkah-langkah tersebut. "bukankah yang terbaik untuk rakyat terbaik juga untuk TNI"  harus tetap di operasionalkan? Dengan demikian, seperti yang di sampaikan oleh panglima TNI Laksamana Widodo AS belum lama ini, loyalitas TNI terhadap pemerintah tidak akan berubah.
Mengapa dia harus bicara soal loyalitas? Nampaknya pernyataan tersebut di pandang perlu di sampaikan untuk menetralisir ebuah sekenario "konspiratorial" yang belakangan sangat menentang dan menjadi komoditas politik di berbagai media nasional. Satu di antaranya adalah konstatasi  Duta Besar AS untuk PBB, Richard Holbrooke tentang kemungkinan bagi TNI untuk melakukan kudeta jika perkembangan politik di indonesia sekarang ini tidak di sikapi secra tegas  oleh Presiden Gus Dur.
Ada sejumlah indikasi yang memperkuat asumsi di atas. Pertama, sudah hampir seratus hari dari usia pemerintahanya, Presiden Gus Dur masih belum juga mampu mengatasi persoalan kerusuhan di daerah yang mengancam integrasi nasional. Mulai dari gerakan rakyat bersenjata di Aceh sampai pertikaian horisontal di Maluku, semuuanya mengindikasikan intervensi tentara di dalamnya. Bila elemen TNI tidak terlibat di dalamnya, mengapa masing-masing kekuatan yang terlibat di sejumblah daerah itu memiliki senjata. Bukankah pengaasan pemilikan senjata dan apalagi di Indonesia selama ini sangat ketat. Agak mustahil jika prakek jual beli senjata dilakukan oleh sekelompok sipil, tanpa intervensi militer di dalamnya. Kedua, dalam berbagai kesempatan, seolah-olah terjadi kesenjangan untuk tidak mengatakan konflik antara Presiden Gus Dur dengan TNI dalam mengapai sebuah perkembangan. Sebagai humasnya TNI, Mayjen Sudrajat sering membuat pernyataan bertentangan dengan apa yang di katakan Presiden Gus Dur. Misalnya, soal referendum Gerakan Aceh Merdeka sebagaimana di janjikan presiden, di pandang sebagai pernyataan pribadi. Kemudian Kapuspen ini pula yang menegaskan bahwa Presiden bukanlah Pangti TNI yang dapat melakukan campur tangan dalam berbagai hal di tubuh TNI. Terakhir, perbedaan terlihat pula antara keduanya di dalam memandang persoalan Maluku. Bila Gus Dur cenderung "demokratis" di dalam mencari solusi, jika upaya-upaya yang di ambil selama ini tidak efektif, tidak ada salahnya bila darurat militer di berlakukan di kawasan seribu pulau tersebut.
Ketiga, Presuden Gus Dur tidak bereaksi sama sekali ketika anggota kabinetnya Jendral Wiranto diperiksa KPP HAM. Seperti yang kita ketahui selama ini, mantan Panglima TNI yang sekarang menjabat Menko Polkam, oleh lembaga bentukan Komnas HAM tersebut diduga mempunyai peran penting dalam pembumihanguskan Timtim pasca jajak pendapat. Fenomena semacam ini di masa Preesiden Soeharto, biasanya di ambil alih Kepala Negara, atau dinyatakan sebagai "kesalahan bersama". Oleh karena itu, banyak anggota masyarakat yang mempertanyakan, mengapa Gus Dur tidak mengintervensi langkah KPP HAM di atas. Bahkan, kita pun belum mendengar reaksi Presiden atas judul berita media masa yang seolah-olah telah memvonis Wiranto serta sejumblah TNI lainya.
Prospek
            Bagi siapa pun yang berharap agar proses konsolidasi demokrasi terjadi di republik ini, nampaknya perlu bersikap adil dalam masalah ini. Masalahnya bukan soal suka atau tidak, melainkan seberapa jauh dampaknya bagi penguatan hak-hak politik rakyat dan penegakan hukum di republik ini.
            Samuel Huntington pernah mengatakan bahwa di samping ada problem kontekstual dan sistematik, proses konsolidassi demokrasi di negara berkembang juga menghadapi masalah transisional (transisional problems).
            Salah satu ukuran yang terpenting adalah seberapa jauh kita dapat dengan arif menerima transformasi di tubuh tentara, dari yang semula cenderung dominan dan otoriter menjadi lebih demokratis. Artinya, kemugkinan untuk membangun demokrasi akan terjadi bila semua pihak akan terkait menerima konsekuensi politiknya. Janganlah anggota TNI tersingung atau marah, bila ada anggotanya siapapun dia yang di anggap melakukan kesalahan dan karenanya dikenai sanksi.
Jangan seperti yang terjadi sekarang ini, hanya karena alasan "semangat kelompok" yang berlebihan, mereka cenderung menutupi kesalahan anggotanya. Apalagi jika yang bersangkutan memiliki posisi menentukan, jangan harap di buka untuk publik. Dalam konteks inilah,apa yang di katakan oleh Mayjen Agus Wirahadikusumah menemukan konteksnya "bahwa prajurit TNI bukanlah hulubalang jendralnya".
            Apa yang di lakukan Presiden Gus Dur, barulah awal, kendati sudah sanggat substansial. Tapi yang lebih penting lagi adalah konsistensinya. Dalam hal yang satu ini, banyak orang masih menerimanya dengan skeptis. Misalnya, dia mengangkat Let. Jen. Susilo Bambang Yudhoyono di samping beberapa perwira tinggi lain sebagai salah satu anggota kabinetnya dengan alasan bahwa jendral yang satu ini, sangat sadar politik dan karenanya akan lebih baik bila diberi peran sebagai politisi. Tetapi ada satu hal lagi yang harus dijawab Presiden Gus Dur, apakah dengan demikian persoalan pangkat tidak lagi relevan diperbincangkan? Soalnya, bila kita mengacu pada paradigma baru TNI, yang disosialisasikan oleh Jendral Yudhoyono sendiri, konsekuensi dirinya adalah keharusan bagi setiap prajurit TNI untuk memilih dalam berkarir. Bila dia memilih pada jabatan sipil, sudah dengan sendirinya jika harus melepas bintangnya. Sebaliknya, bila sayang dengan pangkatnya, dia harus kembali ke Cilangkap. Nah, barangkali persoalan inilah yang masih di tunggu masyarakat.
            Terakhir, kita harus memikirkan masa depan TNI dalam bidang-bidang non-militer. Presiden Gus Dur menjadi salah seorang tokoh yang menyetujui agar terjadi penggurangan secara bertahap dari keterlibatan anggota TNI dan politik. Lewat Deklarasi Ciganjur, diharapkan pasca 2004 kelak, tidak ada lagi anggota DPR dan DPRD yang diangkat.
            Masalahnya, bagaimana Gus Dur hendak menyelesaikan persoalan ini. Pihak TNI sendiri selalu mempertanyakan, kalau tidak mendapat hak istimewa tersebut, lantas apa hak politik mereka. Bukankah sesama warga negara sama-sama memiliki hak ini? Apakah tidak boleh bila seseorang tentara berpolitik?
            Sejauh ini, kita belum mendapat berita mengenai hal tersebut. Jangan-jangan seperti biasa, karena menghadapi "real politik" Presiden Gus Dur berkilah perlunya pendekatan kultural dalam mengatasi setiap persoalan yang pelik. Demi berlangsungnya proses konsolidasi demokrasi.
Kesimpulan
Salah satu isu politik yang belakangan mencuat  ke permukaan adalah hubungan sipil-militer. Baik dari kalangan dalam TNI sendiri  maupun kelompok non-militer, sama-sama menggangap bahwa di era reformasi ini, penilaian kritis terhadap kedudukan TNI dalam proses perubahan istilah alternatif untuk konsep  "pembangunan" yang di masa orde baru dianggap sebagai sumber legimitasi politik pemerintah perlu dilakukan. Bukan soal "suka" atau "tidak suka", tetapi karena kesadaran kolektif, TNI di era keterbukaan ini harus di bicarakan secara proporsional. Jika di masa-masa sebelumnya ia merupakan sebuah kekuatan penentu pembangunan, sekarang pelu dikaji lagi peranya. Sehubungan dengan kian kuatnya kehendak publik untuk lebih mengembangkan asas partisipasi ketimbang dominan dalam wacana bernegara, maka semua kekuatan yang dominan dalam wacana bernegara, maka semua kekuatan yang dominan  dan cenderung hegemonik di masa lalu, harus  ditata ulang posisinya. Satu di antaranya adalah TNI.
Pada masa pemerintahan B.J. Habibie, persoalan ini belum terlihat sangat berarti. Dalam konteks indonesia, selain ada kehendak yang bersifat retorik dan verbalistik, perubahan akan di anggap bermakna bila sudah menyangkut "siapa mendapat apa". Dilihat dari perspektif inilah, seratus hari usia pemerintah K.H. Abdurrahman Wahid, telah menunjukan "tanda-tanda zaman" ke arah reformasi substansial dari peran non-militer TNI.
Pada jaman pemerintahan Gus Dur adanya pemerataan peran Pertama, pada eranya seorang perwira tinggi AL mendapat kesempatan untuk memimpin TNI. Kedua, sudah lama diharapkan oleh kalangan sipil agar jabatan  menteri pertahanan dan keamanan diberikan kepada tokoh sipil. Ketiga, dalam sebulan terakhir ini, langkah reformasi TNI secara substansial juga di lakukan oleh Presiden RI IV. Jabatan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) yang selama ini di dominasi oleh perwira tinggi AD diserahka kepada rekanya dari Angkatan Udara. Keempat, di era Gus Dur pula, panitia Ad-Hoc ll BP MPR mulai membahas secara mendasar ihwal peran sosial politik TNI di masa depan, khususnya kemungkinan ditiadakanya kursi bagi anggota DPR dan DPRD yang diangkat. Bila hal ini di tindak lanjuti, maka pro dan kontra terhadap demokratisasi di lembaga perwakilan rakyat kita akan segera berakhir.
Daftar pustaka :
Janowitz, Morris. Hubungan-hubungan Sipil Militer: Perspektif Regional. Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Soebijono dkk., Dwifungsi ABRI: Perkembangan dan Perananya dalam Kehidupan Politik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992
Samego, Indria. TNI di Era Perubahan. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2000

No comments:

Post a Comment