Pemerintahan Parlementer Terpimpin

Apriandi Arifwan/S/A

Pemilu pertama kali pada tanggal 15 desember 1955, berhasil memilih anggota DPR dan Kontituante (Dewan Penyusun UUD). Konstituante dilantik pada tanggal 10 November 1956 dengan tugas terutama merumuskan UUD yang Baru sebagai peganti UUDS 1950. Pada tanggal 20 november 1956 Konstituante mulai bersidang dengan pidato pembukaannya dari presiden untuk menyusun dan menetapkan UUD Republik Indonesia tanpa ada pembatasan waktu. Namun, ketika itu situasi dalam negeri goncang karena adanya pergolakan di daerah-daerah yang memuncak menjadi pemberontakan PRRI (pemerintah
revolusioner republic Indonesia) dan Permesta (piagam perjuangan semesta alam). Sehubungan dengan itu dengan itu, sampai dengan awal tahun 1957 konstituante belum juga berhasil merampungkan tugasnya. Oleh karena itu, pada tanggal 21 februari 1957 Presiden Soekarno mengajukan gagasan yang dikenal sebagai konsepsi presiden. Isi pokok dari konsepsi presiden tersebut adalah sebagai berikut :
a) Sistem demokrasi liberal-parlementer perlu diganti dengan demokrasi terpimpin.
b)      Perlu dibentuk Kabinet gotong royong yang merupakan Kabinet  kaki empat, yakni: PNI,Masyumi,Nu dan PKI.
c)  Perlu dibentuk Dewan Nasional yang anggotanya terdiri dari golongan fungsional dalam masyarakat. [1]
Di awali dari maklumat Hatta sebagai wakil presiden waktu itu, di mana dalam maklumat tersebut menganjurkan perlunya pembentukan partai-partai, yang ternyata mendapat sambutan luas hingga pada waktu itu lebih kurang 40 partai telah lahir di Indonesia, tetapi pada kenyataannya dalam kondisi yang sedemikian, bukannya menambah suburnya sistem Demokrasi di Indonesia. Buktinya kabinet-kabinet yang ada pada waktu itu tidak pernah bertahan sampai 2 tahun penuh dan terjadi perombakan-perombakan dengan kabinet yang baru, dan bahkan menurut penilaian Presiden Soekarno banyaknya partai hanya memperunyam masalah dan hanya menjadi penyebab gotok-gotokan, penyebab perpecahan bahkan dalam nada pidatonya dia menilai partai itu adalah semacam pertunjukan adu kambing yang tidak bakalan berpengaruh baik bagi Bangsa dan negara. Menurut pengamatan Soekarno Demokrasi Liberal tidak semakin mendorong Indonesia mendekati tujuan revolusi yang dicita-citakan, yakni berupa masrakat adil dan makmur, sehingga pada gilirannya pembangunan ekonomi sulit untuk di majukan, karena setiap pihak baik pegawai negeri dan parpol juga militer saling berebut keuntungan dengan mengorbankan yang lain. Keinginan Presiden Soekarno untuk mengubur partai-partai yang ada pada waktu itu tidak jadi dilakukan, namun pembatasan terhadap partai di berlakukan, dengan membiarkan partai politik sebanyak 10 partai tetap bertahan. Yang akhirnya menambah besarnya gejolak baik dari internal partai yang di bubarkan maupun para tokoh-tokoh yang memperjuangkan "Demokrasi liberal" dan juga didaerah-daerah tidak ketinggalan. [2]
Sementara itu, soekarno masih tetap merahasiakan rincian dari konsepsinya. Pada awal tahun 1957 terungkap jelas bahwa penghapusan partai politik tidak wajib, dan oleh karenanya PKI mendukung sepenuhnya soekarno. Aidit ingin mempertahankan bentuk sistem parlementer di mana PKI telah berhasil dengan baik, tetapi demi mempertahankan partai  maka dia tetap dekat dengan soekarno. Soekarno sendiri kini lebih senang dengan PKI daripada PNI, karena kaum komunis bersih dari skandal-skandal korupsi (karena tidak pernah memerintah dan oleh karenannya  tidak punya akses ke sarana korupsi) dan juga bersikap revolusioner yang disukai oleh soekarno. Karena kaum komunis dimusuhi oleh pihak tentara dan partai-partai lainnya, maka soekarno memperhitungkan bahwa PKI akan bergantung pada perlindungannya dan oleh karenanya merupakan alat yang dapat dipercaya untuk mengorganisasikan dukungan rakyat yang dianggap soekarno sewajarnya menjadi miliknya.
Pada tanggal 21 februari 1957, soekarno membongkar kabut rahasia tersebut. Dia mengusulkan bahwa "Demokrasi Terpimpin" yang baru akan merupakan suatu bentuk pemerintahan yang lebih cocok dengan kepribadian nasional. Pemerintahan itu akan didasarkan pada "Kabinet Gotong-royong" yang terdiri atas partai-partai besar, termasuk PKI, dengan penasihat sebuah dewan Nasional yang terdiri atas golongan-golongan fungsional dan bukannya partai-partai politik. Akan tetapi, dia tidak mengusulkan penghapusan parlemen. Gagasan tentang kabinet hatta, satu-satunya langkah yang mungkin akan meredakan gerakan-gerakan protes daerah, nyata-nyata tidak terpikirkan oleh soekarno. PNI,PKI,Murba, dan beberapa partai kecil lainnya menyetujui usulan-usulan itu. Masyumi dan partai katholik tidak menyetujuinya. NU,PSI, dan partai-partai lainnya tanpaknya juga tidak mendukungnya, sejauh yang dapat dilihat dari keterbatasan dan ketidakjelasan tanggapan mereka.[3]
Sementara itu demonstrasi-demonstrasi masa mendesak suatu gagasan-gagasan baru untuk memastikan dasar Negara yang dipakai, krisis daerah semakin bertambah serius. Di tengah-tengah kirisis tahun 1957, diambillah langkah-langkah pertama menuju suatu bentuk pemerintahan yang oleh soekarno dinamakan Demokrasi Terpimpin. Demokrasi terpimpin ditafsirkan dari sila ke-4 pancasila, yaitu "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan." Kata dipimpin kemudian ditafsirkan bahwa demokrasi harus dipimpin oleh seorang presiden. Permasalah lain yang menyebabkan demokrasi terpimpin ini dilaksanakan dikarenakan banyaknya kabinet-kabinet yang tidak bisa menjalankan program kerjanya, terjadinya perpecahan antara pni dan masyumi serta 4 tahun tanpa ada dasar Negara.
ketidak sanggupan dalam kabinet wilopo untuk melaksanakan program kerjanya terutama ditunjuk pada persiapan pemilihan umum, kemakmuran pendidikan  rakyat, dan keamanan. Sementara itu program luar negeri terutama ditunjukan pada penyelesaian masalah hubungan Indonesia-belanda, pengembalian irian barat ke pangkuan ibu pertiwi, serta menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif. Akan tetapi, pemerintah kabinet ini dihadapkan pada kondisi ekonomi yang kritis. Hal ini disebabkan oleh jatuhnya harga barang-barang ekspor Indonesia sedangkan kecenderungan impor terus meningkat. Oleh karena itu, kabinet melakukan penghematan yangb drastis, kedudukan kabinet semakin goyang setelah terjadinya  persoalan tanah di sumatera timur yang dikenal sebagai peristiwa tanjung morawa.  Pada tanggal 16 Maret 1953, polisi dengan kekerasan mengusir para pengarap tanah tanpa izin tersebut. Para petani yang sudah terhasut oleh PKI menolak pergi, maka terjadilah bentrokan yang mana terbunuhnya 5 orang petani. Peristiwa itu mendapat sorotan tajam dari baik pers maupun parlemen. Akibatnya pada tanggal 2 juni 1953, wilopo mengembalikan mandatnya kepada presiden.
Setelah mengalami krisi pemerintahan selama 58 hari, kabinet baru terbentuk dengan Mr. Ali Sastromijoyo sebagai perdana menterinya. Kabinet Ali I didukung oleh PNI dan NU yang muncul sebagai kekuatan politik baru. Sedangakan Masyumi memosisikan diri sebagai oposisi.kabinet Ali-Wongso ini diresmikan pada tanggal 31 juli 1953. Kabinet Ali I masih harus menghadapi persolan keamanan yang mana marak terjadi pemberontakan dibeberapa daerah. kabinet ini juga terus berupaya untuk melaksanakan pemilihan umum yang mana telah dirintis oleh kabinet wilopo. Walaupun demikian kabinet Ali I merupakan  kabinet yang paling lama memerintah selama masa liberal, namun pada akhirnya pada tanggal 24 juli 1955. Ali sastromijoyo menyerahkan mandatnya kepada presiden. Sebab terutama adalah TNI-AD sebagai kelanjutan pada peristiwa 17 oktober 1952. Selain itu keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala membhayakan, mengakibatkan kepercayaan rakyat semakin merosot. Masalah lain terjadi keretakan dengan kubu NU yang mana telah menarik menteri-menterinya dalam kabinet.
Pada tanggal 3 agustus 1955 ketiga formatur yang telah dibentuk oleh Moh. Hatta menunjuk dirinya sebagai perdana menteri baru sekaligus menteri pertahana, tetapi timbul kesulitan karena Moh. Hatta duduk sebagai Wakil Presiden. Akhirnya, ketiga formatur itu gagal membentuk susunan kabinet. Kemudian Moh. Hatta menunjuk Mr. Burhanuddin  Harahap (masyumi) yang mana dalam kabinetnya tanpa adanya orang-orang PNI yang mana dalam pembentukan kabinet terjadi perselisian anatara Masyumi dan PNI. Program kabinet burhanuddin yang harus segera dilaksanakan secepatnya. Panitia pemilihan umum pusat telah menetapkan bahwa pemilu untuk parlemen akan dilaksanakan pada tanggal 29 september 1955. Dengan berakhirnya pemilihan umum, tugas kabinet burhanuddin dianggap selesai. Selanjutnya perlu dibentuk kabinet baru yang bertanggung jawab terhadao parlemen yang baru. Selain itu, banyak mutasi dalam lingkungan pemerintahan juga di permasalhkan karena dianggap menimbulkan ketidaktenangan. Hal-hal tersebut diatas adalah penyebab desakan agar perdana menteri mengembalikan mandatnya. Pada tanggal 3 maret 1956, kabinet burhanuddin jatuh.
pada tanggal 20 maret 1956 Presiden Soekarno menunjuk Ali Sastromijoyo untuk membentuk kabinet baru. Kabinet Ali II merupakan koalisi antara 3 partai besar, yaitu PNI,Masyumi, dan NU disamping beberapa partai kecil lainnya. Pengumuman resmi pembentukaan kabinet diumumkan pada tanggal 20 Maret 1956. PSI dan PKI melakukan oposisi karena kedua partai itu tidak dilibatkan dalam kabinet. Program kabinet ini disebut rencana pembangunan lima tahun (PELITA). Kabinet baru ini mulanya mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat dan presiden. Namun, dalam hal ini kabinet Ali II harus menghadapi kesulitan, diantaranya yang terpenting adalah berkobarnya semangat anti-cina dimasyarakat dan adanya kekacauan dibeberapa daerah. Sementara itu, pembatalan hasil KMB oleh presidenn pada tanggal 3 mei 1956, menimbulkan permasalahan baru, khususnya tentang nasib modal pengusaha belanda di Indonesia. Masalah lain yang dihadapi oleh pemerintahan Kabinet Ali II adalah memuncaknya krisis diberbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap mengabaikan pembangunan daerah. Gerakan diberbagai daerah ini didukung oleh panglima-panglima didaerahnya serta mendapat simpati dari partai msyumi,PSI, dan partai lainnya. Sementara itu didalam kabinet timbul perpecahan antara Masyumi dan PNI. Pada bulan januari 1957, Masyumi menarik menteri-menterinya dari kabinet sehingga semakin melemahkan kabinet dan pada tanggal 14 Maret 1957, Ali Sastroamijoyo terpaksa menyerahkan mandatnya kembali kepada presiden.
Konstituante tang telah melakukan persidangan selama lebih satu tahun, belum juga berhasil menyusun Undang-Undang Dasar baru peganti UUDS 1950. Hal ini menambah hangat krisis politik dalam negeri. Terbentuknya dewan-dewan militer didaerah yang menentang pemerintah pusat, membuat situasi semakin gawat. Oleh karena itu, presiden menyatakan Negara dalam keadaan bahaya. Setelah kabinet Ali jatuh, partai politik melakukan politik untuk merebut kekuasaan. Akhirnya Presiden Soekarno menunjuk Ir. Djuanda yang non partai untuk membentuk kabinet baru. Kabinet Djuanda resmi terbentuk pada tanggal 9 April 1957 dalam keadaan yang tidak mengembirakan. Kabinet ini memiliki tugas berat terutama dalam menghadapi pergolakan didaerah-daerah,perjuangan mengembalikan irian barat, dan menghadapi keadaan ekonomi dan keuangan yang buruk. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, kabinet djuanda menyusun program yang terdiri dari 5 pasal yang disebut pancakarya. Presiden ketika mengutarakan konsepsi presiden sebagai langkah awal dari terbentuknya Demokrasi terpimpin. Namun kesulitan-kesulitan yang dihadapi malah semakin meningkat.
Untuk meredahkan pergolakan tersebut pergolakan diberbagai daerah, pada tanggal 14 September 1957 Musywarah Nasional (Munas). Musyawarah Nasional ini berlangsung di Gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur 56 dan dihadiri oleh tokoh-tokoh dari pusat dan derah. Musyawarah ini membahas beberapa masalah terutama masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilaayah RI. Munas kemudian dilanjutkan dengan musyawarah nasional pembangunan(munap) pada bulan November 1957. Usaha pemerintah untuk mengatasi krisi dalam negeri itu tampaknya tidak berhasil dengan baik. Bahkan, tidak lama kemudian terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno yang dikenal sebagai Peristiwa Cikini. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 November 1957 didepan perguruan Cikini. Setelah peristiwa tersebut keadaan Negara semakin memburuk. Daerah-daerah semakin terang-terangan menentang kebijakan pemerintah pusat yang berkembang menjadi pemberontak PRRI/Pemesta.
Pemilu 1955 dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi harapan dan keinginan masyarakat, bahkan mengkibatkan ketidakstabilan pada bidang poitik, ekonomi, social maupun hankam. Kegagalan konstituante melaksanakan tugasnya serta rentetan peristiwa politik dan keamanan yang mengguncangkan persatuan dan kesatuan bangsa mencapai puncaknya pada bulan juni 1959. Akhirnya demi keselamatan Negara berdasarkan Staatsnoodrecht (hukum keadaan bahaya bagi Negara) pada hari minggu tanggal 5 juli 1959 pukul 17.00, dalam suatu upacara resmi di Istana Merdeka Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya sebagai berikut :
a)        Pembubaran konstituante.
b)        Tidak berlakunya UUDS 1950 dan Berlakunya kembali UUD 1945.
c)        Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dekrit Presiden ini mendapatkan sambutan baik dari masyarakat luas yang selama hamper 10 tahun berada dalam kegoyahan masa liberal dan mendambakan stabitas politik. Bahkan dekrit ini juga dibenarkan oleh Mahkamah Agung dan didukung oleh KSAD seabagai salah seorang konseptornya. Dalam perintah hariannya ia menginstruksikan kepada seluruh jajaran TNI-AD untuk melaksanakan dan mengamankan dekrit tersebut. Selain itu, pada tanggal 22 Juli 1959 maka  DPR secara aklamasi menyatakan kesediannya untuk melaksanakan        UUD 1945. Dengan dikelurakannya Dekrit Presiden, maka pada tanggal 9 Juli 1959 Kbinet Djuanda dibubarkan dan diganti dengan Kabinet Kerja. Dalam kabinet itu Presiden Soekarno bertindak sebagai perdana menteri, sedangkan Ir. Djuanda menjadi menteri pertama. Kabinet ini dilantik pada tanggal 10 Juli 1959, dengan programnya yang disebut Tri Program Kabinet Kerja yang meliputi masalah-masalah sandang, pangan, keamanan dalam negeri, dan pengembalian Irian Barat.
Faktor yang paling menentukan adanya Dekrit Presiden adalah karena Konstituante yang bertugas membentuk UUD yang tetap bagi Negara RI, ternyata gagal, walaupun telah bersidang selama dua setengah tahun. Bahkan separuh anggota siding menyatakan tidak akan hadir dalam pertemuan-pertemuan konstituante. Hal ini disebabkan Konstituante yang seharusnya bertugas untuk membuat UUD Negara RI ternyata membahas kembali dasar Negara. Atas dasar hal-hal tersebut maka presiden sebagai badan yang harus bertanggungjawab menyatakan bahwa hal-hal yang demikian ini mengakibatkan keaedaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan kesatuan serta keselamatan Negara, nusa dan bangsa. Atas dasar inilah maka Presiden akhirnya mengeluarkan Dekrit atau pernyataan pada tanggal 5 Juli 1959.

Daftar Pustaka
1. Mustopa, M.Habib. 2011. Sejarah untuk Kelas XII SMA Program IPS. Jakarta: Yudhistira.

3. Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
4.  Kaelan, H. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.



No comments:

Post a Comment