Hindu Budha di Yogyakarta

Hamidin / e / s

Pada abad ke-19 , pertumbuhan dan perkembangan aliran fikiran dan kepercayaan di daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat antara lain pada timbul berkembangnya keagamaan dan aliran kepercayaan. Sebagaimana kita ketahui , pada waktu itu dalam masyarakat di daerah Istimewa Yogyakarta telah hidup dan berkembang berbagai agama seperti islam, Hindu Budha, Katholik, Kristen Protestan dan juga aliran kepercayaan. Kesemuanya tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisinya masing-masing. Ada yang dapat tumbuh dan bekembang dengan subur, tetapi ada pula yang mengalami kelambatan dalam pertumbuhannya.

Pada mulanya masyarakat Jawa, termasuk pula masyarakat di daerah Istimewa Yogyakarta telah mengenal suatu kepercayaan yang bersumber pada animisme dan dinamisme. Kedua macam kepercayaan ini menjadi dasar alam pikiran masyrakat Jawa pada waktu itu. Dalam perkembangannya, dengan masuknya Hindu Budha yang berasak dari India, di kalangan masyarakat Jawa , maka ternyata dapat memperkaya alam pikiran dan kepercayaan masyarakat. Masuknya agam Hindu Budha juga disertai dengan masuknya seni budaya India. Terjadilah perpaduan antara seni budaya India denga seni budaya asli  yang terdapat dalam masyarakat, sehinggamenyebabkan seni budaya asli makin bertambah kaya.
Demikian pula keadaan alam pikiran dan kepercayaannya. Bermacam-macam hasil karya yang merupakan buah pikiran pada masa itu yang berujud seni sastra dan seni budaya lainnya, adalah suatu bukti adanya pertumbuhan dan perkembangan alam pikiran. Juga adanya kehidupan agama yang berkembang dengan pesat dengan bukti banyaknya bangunan suci dan tempat pemujaan membuktikan bahwa pada masa itu agama dan kepercayaan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pula.  
Dalam piagam tertua yang terdapat di daerah Jawa Tengah, kita ketahui bahwa agama Siwa telah da pada waktu itu, Piagam Canggal menunjukkan bahwa yang dianut oleh Rake Mataram sang  Ratu Sanjaya adalah memuja kepada Dewa-Dewa Siwa, Brahma, dam Wisnu, hanya Dewa Siwa na,paknya menduduki tempat yang terpenting . seperi kita ketahui Dewa Siwa pada piagam itu  dipuja dengan syair pujaan yang terdiri  atas dua bait, sedangkan Brahma dan Wisnu hanya terdiri atas bait.Selain dari Piagam Canggal, terlihat pula gambar-gambar pada Percandian Dieng dan percandian Lara Jonggrang.
Untuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, agama yang berkembang pada jaman kuno, khususnya pada  jaman kekuasaan Sanjayawangsa, sumber utamanya adalah peninggalan Percandian Lara Jonggrang, dan hasil kesusutaraan: Kakawin Ramayana. Disini dapat diketahui, bahwa kepercayaan asli bangsa Indonesia, ialah: pemujaan kepada roh nenek moyang, telah di perpadukan dengan pemujaan terhadap Trimurti, ialah Siwa, Brahma, damn Wisnu.
Dewa Siwa dalam perwujudannya ada beberapa macam ialah: Siwa Mahadewa, sebagai dewa tertinggi, merajai semua dewa Siwa Mahaguru, atau Agatya, yang dalam perwayangannya sebagai Narada, guru umat manusia. Siwa Mahakala, sebagai dewa pemusnah segala sesuatau yang didalam perwayangannya  diwujudkan sebagai Batar Kala. Siwa Nandiswara, sebagai dewa raja ternak. Sedangkan Dewa Wisnu adalah  sebagai dewa pembina ketenteraman dunia, tempat berlindung umat manusia, dan yang selalu menjelma menjadi manusia untuk memberantas kekacauan dunia. Adapun dewa Brahma adalah sebagai pencipta dunia, tepatlah seperi sejarah asal usul terjadinya Dewa Brahma.
Peninggalan kitab suci agam Hindu barulah kita jumpai dari jaman kekuasaan Raja Sindok, yang bernama Brahmanapurana. Kitab ini berbahasa Jawa Kuno dan berbentuk prosa. Kemudian pada abad XIII, terdapatlah pula Brahmanapurana dalam bentuk kakawin. Kitanb Brahmanapurana ini tidak berbeda dengan kitab purana yang lain.
Sebagai tujuan hidup manusia pada masa itu adalah untuk tercapainya apa yang disebut Triwarga atau tiga golongan yaitu, Dharma, Artha, dan Karna. Dari ketiga tujuan hidup ini, berdasar kitab-kitab berbahasa Jawa Kuno, maka Dharma yang menduduki tempat yang pertama, dan barulah menyusul Artha dan Karna. Untuk ini ada kutipan dari Ramayan kakawin, pada bagian permulaan ajaran Rama yang ditujukan kepada Baratha mengenai kewajiban  raja yang berupa ringkasan arti Triwarga untuk raja yang jujur.
Terjemahannya:
Gedung-gedung dewa, biara-biara dan yayasan-yayasan untuk pekerjaan baik peliharakan juga olehmu.
Kumpulkan emas yang banyak dan simpan itu denga seksama untuk diabadikan kepada pekerjaan baik.
Nikmati kesenangan dengan memberi kesempatan untuk bersenang-senang kepada rakyatmu,
Itulah yang disebut orang Dharma, Artha, dan Karma.
Dharma bagi raja itu berarti memberi kesempatan pada rakyatnya untuk dapat mwmnuhi kewajban ibadat dan susila mereka, dengan jalan kebaktian dan melakukan hidup kebatinan
            Kekayaan ( artha ) bagi raja hendaknya dipergunakan untuk menjaga kehidupan orang lain hingga lupat dari kesukaran. Dan kenikmatan ( karna ) bagi rajanya hendaknya diperoleh dengan jalan memberi kesempatan kepada orang lain untuk dapat merasakan  kenikmatan. Semangat menguntungkan diri-sendiri yang biasanya terletak dalam perjuangan untuk memperoleh harta-benda dan kenikmatan, harus dijauhkan. Raja harus menjaga dan memberi orang lain kesempatan untuk menjaminnya. Triwarga untuk raja yang bijaksana memungkinkan rayatnya untuk mencapai  Triwarga.
            Demikianlah perkembangan agam Siwa di Jawa Tengah pada masa Sanjayawangsa yang tentunya berpengaruh juga pada masyarakat Daerah Istimewa Yogakarta.
            Pada masa Sailendrawangsa di Jawa Tengah yang ternyata peninggalannya sebagian besar terletak di daerah Jawa Tengah sebelah barat, termasuk juga wilayah daerah Istimewa Yogyakarta , berkembanglah agama Budha aliran Mahayana. Seperi kita ketahui berdasar berita Cina , pada abad VI di Jawa Tengah pernah tersebut luas kepercayaan agama Budha Hinayan, dengan nama pendeta besarnya Jnanabhadra. Dan dikatakan pula bahwa kisah sang Budha Gautama dalam cerita Buddhacarita telah tersiar luas pada masyarakat Jawa Tengah pada masa itu.
            Kemudian datanglah pengaruh budaya baru, yang diperkirakan datang dari India Utara yang bercorak agama Budha Mahayana, pada masa kekuasaan Sailendra.
            Tentang agama Budha Mahayan yang berkembang pada masa itu, dapat kita lihat pada corak, bentuk, dan relief serta arca-arcanya  dari peninggalan bangunan yang terdapat pada masa itu, seperti Candi    Borobudur, Mendut, Kalasan, Sari, Plausan, Sewu, Banyuniba, dan lain-laninnya. Sedang kitab agama Budha Mahayana dari jaman itu, barulah kita jumpai dari jaman Raja Sindok, yang bernama Sang Hyang Kamahayanikan, yang disusun oleh Sri Sambharasuryawarana. Kitab Sang Hyang Kamahiyanikan ini termasuk ajaran Tantrayana, yang menguraikan tentang mandala, samadhi, latihan pernapasan, perbandingan antara bermacam-macam Budha dan Dwinya, nama-nama aliran dan ajarannya serta perwatakan, tempat, warna, dan sikap tangan Dewa agam Budha yang tertentu. Kitab ini juga berisikan lima pokok landasan Agama Budha, ialah:
a.       Mengakui sang Tri Ratna (Budha, Dharma, Sanggha)
b.      Mengakui empat Kasunyataan Mulia (Aryasatyani) dan dalam Arya Beruas Delapan (Astanyhikamarga)
c.       Mengakui tiga corak universal.
d.      Menagakui Prasetya Samutpada ( hukum kejadian yang saling bergantungan), dan
e.       Mengakui karma (parwakarma dan karmapala) dan Tumimbal Laksi.

Kelima landasan agama Budha ini dalam Kitab Sang Hyang Kamhayanikan diterangkan dengan jelas cara pengamalannya, semuanya sesuai denga relief yang terdapat di candi Borobudur. Agama Budha yang berkembang pada masa itu telah mendapat pengaruh aliran  Sahtisme. Dengan terjadinya perkawinan antara Pramodhawardbani dan keluarga Sailendra dengan Sang Ratu Pikata dari keluarga Sanjaya terjadi pula saling mempengaruhi antara agama Budha Mahayan dengan agama Siwa.

DAFTAR PUSTAKA

Dimyanti, Muhammad. 1951. Sejarah Perjuangan Indonesia. Jakarta: Wijaya
                                                . Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jasmin, S. Saduran. 1971. Kitab Suci Sang Hyang Kamahayanikan. UPD Perbuddhi: Jawa Tengah
Sutjipto, Wirjosuparto. 1957. Sejarah Bangunan Kuno Dieng. Kalimosodo: Djakarta.
Zoetmulder. P.J. 1955. Triwarga dalam Kesusastraan Jawa Kuno. Majalah "Sana Budaya" Tahun ke 1 nomor 1: Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment