AKSI - AKSI PERJUANGAN GAPI (GABUNGAN POLITIK INDONESIA)

OKTAVIA SESMITA/ 14A/ SI IV

GAPI (Gabungan Politik Indonesia) lahir ketika perjuangan pergerakan nasional Indonesia mengalami kebuntuan akibat ditolaknya petisi Sutardjo. Mereka yang masuk di dalam Volkstraad atau DPR (kala itu) merasa perjuangan mereka menjadi tiada arti. Apa yang mereka hasilkan, ternyata tidak membuahkan hasil yang berarti penolakan dan upaya mempertahankan status quo di Indonesia.

Disebut fase bertahan, karena pemerintah Belanda mulai bersikap keras menghadapi organisasi pergerakan. "Perjuangan radikal yang hendak berkonfrontasi dengan penguasa kolonial pasti menemui kegagalan oleh karena pihak yang terakhir memiliki prasarana kekerasan."[1] Hal ini dimungkinkan dengan adanya Koninklijk Bestuit yang bertanggal; 1 September 1919 (yang memperbarui pasal 111 RR), dimana organisasi pergerakan yang bertentangan dengan law and order dapat dibekukan tanpa proses peradilan. Jadi pergerakan non-koperasi akan dipastikan dibekukan, jadi upaya radikal dalam perjuangan memperoleh kebuntuan. Hanya pergerakan koperasi dan moderat yang bisa tetap terus bertahan.
Penangkapan berbagai tokoh perjuangan yang dilakukan Belanda terhadap Soekarno, Hatta, dan Syahrir ini membuat pergerakan menjadi lunak dan koorperatif terhadap pemerintah Belanda. Hal dilakukan agar organisasi pergerakan dapat terus menunjukkan eksistensinya, di samping itu mereka tetap mampu berjuang untuk mewujudkan sebuah negara yang bebas di kemudian hari.
            Kebijakan ini pun tidak lepas dari perkembangan dunia yang baru saja normal dari krisis, dan terhadap ancaman terhadap ekspansi Jepang ke selatan. Demokrasi yang setelah berakhirnya perang dunia I, membuat Belanda lebih berkompromi dan memberikan izin terhadap perkembangan partai politik yang moderat.
Perjuangan walau sudah modern kala itu, namun masih berpusat pada-pada tokoh tertentu. Ini ditunjukkan, ketika sebuah federasi yang di sebut dengan PPPKI yang mengalami kemunduran setelah pemimpin-pemimpin PNI di tangkap dipenjara, dan diasingkan. Jadi, ini ada sebuah kegagalan membangun sebuah organisasi yang menjadi pusat kegiatan, seperti di India dengan Partai Kongresnya. Jadi perjuangan bisa dilakukan secara terpadu, tidak terpisah dengan determinasi ideologi kelompoknya, namun mereka memiliki tujuan yaitu negara kebangsaan yang bebas.

1.    Penolakan Petisi Sutardjo
Pada 15 Juli 1936, Soetardjo Kartohadikoesoemo yang mewakili PPBB (Persatuan Pegawai Bestuur/Pamongpraja Bumpiputra) di Volkstraad yang pada bersidang. Diajukan kepada Ratu dan serta Staten Generaal (Parlemen) Belanda.
Petisi ini diusulkan di luar tanggung jawab PPBB. Landasan usul adalah 1 Undang-undang Dasar Kerajaan Belanda yang berbunyi bahwa kerajaan Nederland meliputi wilayah Nederland, Hindia Belanda, Suriname, dan Caracao; dan yan menurut Sutardjo ke empat wilayah itu dalam kerajaan Nederland mempunyai derajat yang sama. Isi petisi Sutadjo ialah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan Negeri Belanda dimana anggota-anggotanya mempunyai hak yang sama.
Petisi ini memiliki tujuan adalah untuk menyusun suatu rencana yang isinya pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri dalam batas pasal 1 Undang-undang Dasar Kerajaan Belanda. Diselenggarakan secara berangsur-angsur selama 10 tahun atau dalam waktu yang ditentukan dalam sidang permusyawaratan tersebut.
Penolakan petisi ini menimbulkan kekecewaan bagi yang mengusungnya, sehingga usaha mewujudkan petisi tersebut tidaklah patah begitu saja. Maka dibentuklah CPS (Comitte Petisi Sutradjo) pada bulan Mei 1937, untuk memperkuat tujuan itu maka pada bulan Juli 1937 dilakukan, agar pemerintah Belada tahu apa yang sebaiknya dilakukannya.
Pada 4 Oktober 1937 dibentuklah CCPS (Central Comitte Petisi Sutardjo). Pembentukan ini lalu diikuti oleh daerah-daerah dengan membentuk cabang-cabangnya. Organisasi baru ini disokong oleh PNI dan orang-orang Indo-Belanda.
Petisi ini kemudian ditolak oleh pemerintah Belanda, karena dinilai Indonesia masih prematur untuk menjadi negara yang menyelenggarakan pemerintahannya sendiri. Menolak petisi yang diajukan itu pun mendapatkan penolakan oleh anggota Volkstraad (Dewan Rakyat). Sebab, apa yang mereka usulkan itu, sesuai dengan peraturan yang ada.
Penolakan terhadap petisi itu pun juga dilakukan sebelum dan ketika diajukan. Penolakan sebelum diajukan, nampak pada kekecewaan kaum pergerakan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan jerih payah sendiri, dan bukan dengan permintaan. Pengajuan dengan cara menengadahkan tangan ketika diserahkan (diajukan), semakin mendapatkan penolakan. Pembentukan CPS, juga ditolak oleh beberapa kalangan. Sebabnya, ide yang datang justru dari atas ke bawah, bukan dari bawah ke atas. Ini tentu menyalahi dari apa yang seharusnya.


2.    Penyatuan Dalam GAPI
Kemunduran PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Partai-Partai Kebangsaan Indonesia) yang dipelopori oleh oleh-oleh Parindra tersebut. Terutama ketika para tokohnya ditangkap dan di asingkan. PPPKI pun mengalami kemunduran, sebagai organisasi yang menyatukan kaum perjuangan, PPPKI dinilai gagal.
Kegagalan dari Petisi Sutardjo, dan kemunduran dari PPPKI menjadi alasan langsung untuk membentuk sebuah organisasi yang menyatukan semua organasisasi nasional ini dalam sebuah wadah. Sebelum di bentuk GAPI, ada sebuah badan yang dikenal dengan BAPEPI (Badan Perantara Partai-Partai Politik Indonesia) yang bertujuan untuk memberi wadah bagi kerja sama partai-partai politik Indonesia memberi wadah bagi kerja sama partai-partai politik Indonesia yang mempunyai cita-cita memajukan Indonesia. Namun, nasib badan ini kurang beruntung, berdasarkan pendiriannya saja sudah mengalami kontroversi, dan banyak alasan untuk organisasi lainnya untuk tidak masuk. Lalu, datang inisiatif dari Thamrin, tokoh Parindra untuk membentuk suatu badan konsentrasi nasional. Hal ini didukung oleh keadaan dunia ketika itu yang semakin genting, serta kemungkinan Indonesia terlibat langsung dalam perang.
19 Maret 1939 usul Thamrin ini disetujui  dan secara umum mendapatkan persetujuan dari organisasi lainnya. Dua bulan kemudian pada 21 Mei 1939, panitia persiapan menyelenggarakan persiapan menyelenggarakan rapat umum di Gedung Permufakatan. Di sini Thamrin menerangkan bahwa, tujuannya adalah membentuk suatu badan persatuan yang akan mempelajari dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam pelaksanaan tiap-tiap organisasi tetap bebas untuk melakukan programnya sendiri.
Pada hari itu, pendirian GAPI disetujui dan diresmikan. Dalam anggaran dasarnya, tujuan pendirian GAPI ialah mengusahakan kerja sama antara partai-partai politik Indonesia serta menjalankan aksi bersama. Asas yang digunakan ialah penentuan nasib sendiri, kesatuan, dan persatuan nasional serta demokrasi dalam segi politik, sosial dan ekonomi. Di sini juga disetujui untuk mengadakan Kongres Rakyat, di kemudian waktu. Dalam pengurusan sehari-hari dibentuklah kesekretariatan bersama yang diketuai oleh Abikusno (PSII) dan di bantu M.H Thamrin (Parindra) dan Amir Syarifudin (Gerindo). Di dalam anggaran dasarnya GAPI berdasarkan pada:
a)            Hak untuk menentukan nasib diri sendiri.
b)            Persatuan nasional dari seluruh bangsa Indonesia, dengan berdasarkan kerakyatan dalam Paham politik, ekonomi, dan sosial.

c)            persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia.

3.    Aksi GAPI: "Indonesia Berparlemen"
Progam konkret yang dilakukan GAPI terwujud pada rapat 4 Juli 1939, di sini GAPI memutuskan untuk mengadakan Kongres Rakyat Indonesia yang akan memperjuangkan penentuan nasib bangsa Indonesia sendiri serta kesatuan dan persatuan Indonesia. Dalam aksi GAPI ini memiliki semboyan "Indonesia berparlemen."
Saat Jerman melakukan penyerbuan ke Polandia pada 20 September 1939, GAPI mengeluarkan suatu pernyataan yang dikenal dengan Manifest GAPI. Isinya mengajaknya rakyat Indonesia dan Negeri Belanda untuk bekerjasama menghadapi bahaya fasisme di mana kerja sama itu akan lebih berhasil apabila kepada rakyat Indonesia diberikan hak-hak baru dalam urusan pemerintahan.
Dalam usaha mencapai tujuannya tersebut, GAPI disokong oleh pers Indonesia yang memberitakan dengan panjang dan lebar, dan sikap beberapa negara di Asia dalam menghadapi bahaya fasisme. Gapi juga mengadakan rapat umum yang mencapai puncak pada 12 Desember 1939 dimana tidak kurang 100 tempat di Indonesia mengadakan propoganda tujuan GAPI. Jadi, saat itu Indonesia seakan bergemuruh dengan seruan Indonesia Berparlemen.
Kongres Rakyat Indonesia (KRI) pertama, 25 Desember 1939 di Jakarta. Tujuannya yaitu Indonesia Raya, bertemakan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dan kesempurnaan cita-citanya dan sasaran pertama yang ingin dicapai adalah Indonesia Berparlemen penuh. KRI  ditetapkan sebagai sebuah badan tetap dengan GAPI sebagai badan eksekutifnya. Keputusan lainnya dari kongres ialah penetapan bendara Merah Putih, dan lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu persatuan Indonesia serta peningkatan pemakaian bahasa Indonesia bagi rakyat Indonesia.
Pada awal Januari datang jawaban dari Menteri Jajahan Welter selaku menteri jajahan mengenai masalah aksi "Indonesia Berparlemen." "Tidak dapat dipenuhi keinginan rakyat Indonesia akan Indonesia Berparlemen, karena rakyat Indonesia umumnya tidak mempunyai kekuatan ekonomi yang cukup dan perkumpulan-perkumpulan politik hanya mewakili sebagian kecil dari rakyat Indonesia."
23 Februari 1940 GAPI menganjurkan untuk mendirikan pendirian Panitia Perlemen Indonesia untuk meneruskan aksi "Indonesia Berparlemen." Kesempatan bergerak bagi GAPI ternyata tidak ada lagi, sebab Belanda diduduki Jerman pada perang dunia II. Sebab dengan alasan keadaan sedang perang, maka perubahan ketatanegaraan harus ditunda sampai perang selesai. Namun sebuah tuntutan GAPI pada bulan Agustus 1940, "Meminta pemerintah Belanda mempergunakan hukum tatanegara dalam masa genting untuk melangsungkan perubahan-perubahan ketatanegaraan dan diadakan perlemen penuh menggantikan Volkstraad yang ada."
Tuntutan ini dijawab oleh Dr. H.J. Levetl pada 23 Agustus 1940, "Bahwa belum waktunya mengadakan suatu rancangan perubahan ketatanegaraan Indonesia, namun pemerintah akan membentuk suatu komisi untuk peninjauan dan pengumpulan alasan-alasan yang terdiri dari cerdik pandai bangsa Indonesia."

4.    Terbentuknya Komisi Vishment dan Menyerahnya Belanda ke Jepang
14 September 1940 dibentuk komisi Visman. Tugas panitia adalah mengungkapkan keinginan, cita-cita, serta harapan-harapan politik yang hidup di pelbagai golongan dan lapisan masyarakat mengenai perubahan ketatanegaraan yang menyangkur posisi mereka. Pada umumnya partai politik di Dewan Rakyat, tidak menyetujui pendirian komisi ini. Laporan panitia baru diumumkan lebih dari satu tahun kemudian (Desember 1941) serta kesimpulan yang pokok ialah rakyat ada umumnya puas dengan pemerintahan Belanda.
Keadaan yang semakin genting menuntut kaum pergerakan menginginkan perubahan ketatanegaraan yang cepat dan jelas, pembentukan komisi Visman ini tentunya akan memperlambat sebab akan membutuhkan pembahasan dan perdebatan. Belum banyak yang dilakukan oleh komisi Vissman, keluar pernyataan dari Ratu Wilhelmina pada 10 Mei 1941 dan diperjelas lagi dengan pidato Gubernur Jendral dalam pembukaan sidang Volkstraad, yang intinya mengadakan larangan dan pembatasan tentang rapat-rapat dan konsultasi komite-komite parlemen. 14 Juni 1941 dikeluarkan peraturan pelarangan untuk kegiatan politik dan rapat tertutup, rapat lebih 25 orang dilarang. Pada bulan Juni dan Juli pemerintah HB mengeluarkan peraturan milisi orang-orang bumi putera (inhemse militie) walau tak mendapatkan sambutan oleh kaum pergerakan.
Ini dimanfaatkan oleh R.P. Suroso untuk menyatukan semua kalangan yang ada di dalam dan di luar Volkstraad, dalam rangka menuju Indonesia Merdeka. Untuk itu perlu dibentuk badan baru yang merupakan tandingan dari Volkstraad.
Usaha itu menuai hasil ketika terjadi Kongres Rakyat Indonesia pada 13-14 September 1941. badan baru itu dikenal dengan nama Majelis Rakyat Indonesia (MARI), yang menggantikan KRI. 16 November 1941 berhasil memilih pemimpin yaitu Ketua (Mr. Sartono), Penulis (Sukardji Wirjopranoto), dan Bendahara (Atik Suardi).
Tidak lama setelah terbentuknya badan baru tersebut, tanggal 7 Desember 1941 Jepang menyerang pakalan militer Aerika Serikat di Pearl Harbour. Mengetahui kejadian ini Mr. Sartono dan Sukardjo Wirjopranoto mengeluarkan anjuran agar rakyat Indonesia berdiri di belakang Belanda untuk mempertahankan Hindia Belanda. Anjuran ini menimbulkan perselisihan, yang menyebabkan Abikusno keluar dari MARI dan GAPI, sebab anjuran itu dikeluarkan tanpa persetujuan dari anggota-anggotanya.
Perselisihan ini kemudian tertutup dengan keberhasilan Jepang dalam mengalahkan pasukan sekutu. Kekalahan pasukan A-B-C-D (Amerika, British, China Deutch), hanya menunggu waktu bagi Jepang masuk ke Hindia Belanda. Jepang mampu menghancurkan pertahanan Belanda di Indonesia, lalu pada 8 Maret 1942 Belanda menyerah kalah.
Penyerahan tanpa syarat itu dilakukan oleh Jendral Ter Poorten (Belanda) kepada Jendral Hitoshi Imamura (Jepang) di lapangan terbang dekat Bandung. Sejak saat itu, pergantian kekuasaan dari Belanda ke Jepang. Di mulailah babak baru, pemerintahan Jepang di nusantara.

DAFTAR PUSTAKA

-          G. Moedjanto. 1988. Indonesia Abad ke-20 edisi I. Jakarta: Penerbit Kanisius.
-          Sartono Kartodirdjo.  1993. Pengantar  Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal: 180.
-          Sartono Kartodirdjo. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
-          Sudiyo. 2004. Pergerakan Nasional: Mencapa dan Mempertahankan Kemerdekaan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

No comments:

Post a Comment