POLA-POLA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM

AINUN SYARIFATUL ALFIAH/PIS

1.      Pola pembaharuan yang berorientasi pada pola pendidikan modern barat

Golongan yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Barat pada dasarnya mereka berpandangan bahwa sumber kekuatan dan kesejahteraan hidup yang dialami oleh Barat adalah sebagai hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang mereka capai. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dicapai oleh bangsa-bangsa Barat sekarang, tidak lain adalah merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang pernah berkembang di dunia Islam. maka untuk mengembalikan kekuatan dan kejayaan umat Islam. Sumber kekuatan dan kesejahteraan tersebut harus dikuasai kembali. Penguasaan tersebul harus dicapai melalui proses pendidikan, untuk itu harus meniru pola pendidikan yang dikembangkan oleh dunia Barat, sebagaimana dulu dunia Barat pernah meniru dan mengembangkan sistem pendidikan dunia Islam.Pembaharuan pendidikan dengan pola Barat ini, mulanya timbul di Turki Usmani pada akhir abad ke 11 H/17 M setelah mengalami kalah perang dengan berbagai negara Eropa Timur pada masa itu, yang merupakan benih bagi timbulnya usaha sekularisasi Turki yang berkembang kemudian dan membentuk Turki modern. Sultan Mahmud II (yang memcrintah di Turki Usmani I807 - 1839 M), adalah pelopor pembaharuan pendidikan di Turki.
Usaha pembahaman pendidikan Islam yang dilaksanakan oleh Sultan Mahmud II, tersebut diuraikan oleh Harun sebagai berikut:
Perubahan penting yang diadakan oleh Sultan Mahmud II dan kemudian mempunyai pengaruh besar pada perkembangan pembaharuan di Kerajaan Usmani ialah perubahan dalam bidang pendidikan. Sebagaimana di dunia Islam lain di zaman itu, madrasah merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang ada di Kerajaan Usmani. Di madrasah hanya diajarkan agama. Pengetahuan umum tidak diajarkan. Sultan Mahmud II sadar bahwa pendidikan madrash tradisional ini tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman abad ke sembilan belas. Di masa pemerintahannya orang juga telah kurang giat memasukkan anak-anak mereka ke madrasah dan mengutamakan mereka belajar keterampilan secara praktis di perusahaan-perusahaan industri tangan. Kebiasaan ini membuat bertambah meningkatnya jumlah buta huruf di Kerajaan Usmani. Untuk mengatasi problema ini, Sultan Mahmud II mengeluarkan perintah supaya anak sampai umur dewasa jangan dihalangai masuk madrasah.
Mengadakan perubahan dalam kurikulum madrasah dengan menambahkan pengetahuan-pengetahuan umum ke dalamnya sebagai halnya di dunia Islam lain pada waktu itu memang sulit. Madrasah tradisional telap berjalan, telapi di sampingnya Sultan Mahmud II mendirikan dua sekolah pengetahuan umum, Mekteb-i Ma'arif (Sekolah Pengetahuan Umum).
Mekteb-i Ulum (Sekolah Pengelahuan Umum) dan Mekteb-i Ulum-i Edebiye (Sekolah Sastra). Siswa untuk kedua sekolah ilu dipilih dari lulusan madrasah yang bermutu tinggi. Di kedua sekolah itu diajarkan bahasa Perancis, Ilmu Bumi, Ilmu Ukur, Sejarah, dan Ilmu Politik di samping Bahasa Arab. Sekolah pengetahuan umum mendidik siswa untuk menjadi pegawai-pegawai administrasi, sedang sekolah yang kedua menyediakan panerjemah-penerjemah untuk keperluan pemerintah.
2.      Pola Pembaharuan Pendidikan Islam yang Berorientasi Pada Sumber Islam Murni
Pola ini berpandangan bahwa sesungguhnya Islam sendiri merupakan sumber bagi kemajuan dan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan modem. Islam sendiri sudah penuh dengan ajaran-ajaran dan pada hakikatnya mengandung potensi untuk membawa kemajuan dan kesejahteraan serta kekuatan bagi umat manusia. Dalam hal ini Islam telah membuktikannya, pada masa-masa kejayaannya.Menurut analisa mereka, di antara sebab-sebab kelemahan umat Islam, adalah karena mereka tidak lagi melaksanakan ajaran agama Islam secara semestinya. Ajaran-ajaran Islam yang menjadi sumber kemajuan dan kekuatan ditinggalkan, dan menerima ajaran-ajaran Islam yang sudah tidak murni lagi. Hal tersebut terjadi setelah mandegnya perkembangan filsafat Islam, ditinggalkannya pola pemikiran rasional dan kehidupan umat Islam telah diwarnai oleh pola hidup yang bersifat pasif. Di samping itu, dengan mandegnya perkembangan fiqh yang ditandai dengan penutupan pintu ijtihad, umat Islam telah kekurangan daya mampunya untuk mengatasi problematika hidup yang menantangnya sebagai akibat dari perubahan dan perkembangan zaman.
Pola pembaharuan ini telah dirintis oleh Muhammad bin Abd al-Wahab, kemudian dicanangkan kembali oleh Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh (akhir abad 19 M). Menurut Jamaluddin Al-Afgani, pemumian ajaran Islam dengan kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis dalam arti yang sebenamya, tidaklah mungkin. Ia berkeyakinan bahwa Islam adalah sesuai dengan untuk semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan. Kalau kelihatan ada penentangan antara ajaran-ajaran Islam dengan kondisi yang dibawa perobahan zaman dan perubahan kondisi, penyesuaian dapat diperoleh dengan mengadakan interpretasi baru tentang ajaran-ajaran Islam, seperti yang tercantum dalam Al-Qur'an dan Hadis. Untuk interpretasi itu diperlukan ijtihad, dan karenanya pintu ijtihad harus dibuka.
Keharusan pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid, selanjutnya memerlukan kekuatan akal. Di sini diperlukan pendidikan intelektual. Menurut Muhammad Abduh, Al-Qur'an bukan semata berbicara kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya. Islam menurutnya, adalah agama rasional, dan dalam Islam, akal mempunyai kedudukan yang tinggi. Kepercayaan kepada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. dan akallah yang menimbulkan kemajuan dan ilmu pengetahuan. Menurut Muhammad Abdul pula, bahwa ilmu pengelahuan modern dan Islam adalah sejalan dan sesuai, karena dasar ilmu pengetahuan modern adalah Sunnatullah, sedangkan dasar Islam adalah wahyu Allah, kedua-duanya berasal dari Allah. Oleh karena itu umat Islam harus menguasai keduanya. Umat Islam harus mempelajari dan mementingkan ilmu pengetahuan modern di samping ilmu pengetahuan keagamaan. Sekolah-sekolah modern harus dibuka, di mana ilmu-ilmu pengetahuan modern diajarkan di samping pengetahuan agama.
Harun Nasution, dalam menjelaskan pemikiran Muhammad Abduh dalam pembaharuan pendidikan di Mesir menyatakan sebagai berikut :
Ia juga memikirkan sekolah-sekolah pemerintah yang telah didirikan untuk mendidik tenaga-tenaga yang perlu bagi Mesir dalam lapangan administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, pendidikan dan sebagainya. Ke dalam sekolah-sekolah ini, ia berpendapat, perlu dimasukkan didikan agama yang lebih kuat, termasuk di dalamnya sejarah Islam dan sejarah kebudayaan Islam.Atas usahanya didirikanlah Majlis Pendidikan Tinggi. Muhammad Abduh melihat bahaya yang akan timbul dan sistem dualisme dalam pendidikan. Sistem madrasah lama akan mengeluarkan ulama-ulama yang tak ada pengetahuannya tentang ilmu-ilmu modern, sedang sekolah-sekolah pemerintah akan mengeluarkan ahli-ahli yang sedikit pengetahuannya tentang agama. Dengan memasukkan ilmu pengelahuan modern ke dalam Al-Azhar dan dengan memperkuat didikan agama di sekolah-sekolah pemerintah, jurang yang memisah golongan ulama dari golongan ahli ilmu modern akan dapat diperkecil.
3.      Pola Pembaharuan Pendidikan yang Berorientasi Nasionalisme
Rasa nasionalisme timbul bersamaan dengan berkembangnya pola kehidupan modern, dan mulai dari Barat. Bangsa-bangsa Barat mengalami kemajuan rasa nasionalisme yang kemudian menimbulkan kekuatan-kekuatan politik yang berdiri sendiri. Keadaan tersebut mendorong pada umumnya bangsa-bangsa Timur dan bangsa terjajah lainnya untuk mengembangkan nasionalisme masing-masing.
Umat Islam mendapati kenyataan bahwa mereka terdiri dari berbagai bangsa yang berbeda latar belakang dan sejarah perkembangan kebudayaannya. Merekapun hidup bersama dengan orang-orang yang beragama lain tapi sebangsa. Inilah yang juga mendorong perkembangannya rasa nasionalisme di dunia Islam.
Di samping itu, adanya keyakinan di kalangan pemikir-pemikir pembaharuan di kalangan umat Islam, bahwa pada hakikatnya ajaran Islam bisa diterapkan dan sesuai dengan segala zaman dan tempat. Oleh karena itu, ide pembaharuan yang berorientasi pada nasionalisme inipun bersesuaian dengan ajaran Islam.
Golongan nasionalis ini, berusaha untuk memperbaiki kehidupan umat Islam dengan memperhatikan situasi dan kondisi obyektif umat Islam yang bersangkutan. Dalam usaha tersebut, bukan semata-mata mengambil unsur-unsur budaya Barat yang sudah maju, tetapi juga mengambil unsur-unsur yang berasal dari budaya warisan bangsa yang bersangkutan.
Ide kebangsaan atau nasionalisme inilah yang pada tahap perkembangan berikutnya mendorong timbulnya usaha-usaha merebut kemerdekaan dan mendirikan pemerintahan sendiri dikalangan bangsa-bangsa pemeluk Islam. Dalam bidang pendidikan, umat Islam yang telah membentuk pemerintahan nasional tersebut, mengembangkan sistem dan pola pendidikan nasionalnya sendiri-sendiri.

Daftar pustaka
Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam.jakarta:PT.Gramedia utama pustaka

No comments:

Post a Comment