PERANG SOMALIA

TURISNO/PIS

Perang Sipil erat kaitannya dengan konflik internal.Pada umumnya pertikaian dan kontak senjata antar-warga terjadi dalam wilayah yurisdiksi suatu negara dan menjadi konflik internal. Hugh Miall, Oliver Ramsbotham dan Tom Woodhouse menggunakan contemporary conflict untuk mengacu secara spesifik konflik-konflik yang terjadi setelah Perang Dingin berakhirM. Kaldor dan Vashee B menggunakan istilah "perang baru" untuk membedakannya dari perang konvensional model Clausewitzian dimana cirri-cirinya dilihat dari tujuan politik, ideologi dan mobilisasi, pembiayaan perang, dukungan eksternal dan bentuk peperangan yang terjadi. Perang Sipil sering juga dikategorikan intra-state conflict
Lalu mengapa konflik internal yang umumnya merupakan Perang Sipil perlu dibahas dan diamati dalam studi Hubungan Internasional terutama dalam kajian studi perang dan damai?
Michael E Brown dalam bukunya yang berjudul The International Dimension of Internal Conflict menyebutkan beberapa faktor.Pertama, konflik internal telah merebak ke banyak negara dan menimbulkan kekerasan dimana-mana.Kedua, konflik internal telah menyengsarakan masyarakat yang menjadi korban yang tidak berdaya akibat konflik.Pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, pengusiran merupakan metode yang banyak dipakai untuk mengalahkan pihak musuh. Jutaan manusia terbunuh atau terpaksa menjadi pengungsi merupakan pemandangan yang biasa ditemukan dalam daerah-daerah konflik
Ketiga, konflik internal penting karena sering melibatkan negara-negara tetangga sehingga bisa menimbulkan konflik perbatasan.Pengungsi yang menyeberang ke wilayah negara tetangga atau pemberontak yang mencari perlindungan ke negara yang berbatasan langsung menimbulkan masalah baru yang tidak mudah diselesaikan karena tidak hanya bernuansa politik tetapi juga ekonomi, etnis, budaya, dan keagamaan.Bahkan masalah perbatasan menimbulkan konflik bersenjata antara negara yang bertetangga.Keempat, konflik internal juga penting karena sering mengundang perhatian dan campur tangan dari negara-negara besar yang terancam kepentingannya dan organisasi internasional.Kelima, komunitas internasional terus berusaha menggalang kerjasama guna menyelesaikan konflik-konflik internal agar menjadi lebih efektif demi keamanan internasional.
Perang sipil merupakan perang yang terjadi antara kelompok yang terorganisasi dalam sebuah wilayah negara-bangsa, atau secara umum, antara dua negara yang awalnya merupakan sebuah negara-bangsa.Tujuan di satu sisi adalah negara atau kawasan, menerima kemerdekaan atas kawasan, atau mengubah kebijakan pemerintah.Merupakan sebuah konflik dengan intensitas tinggi, sering melibatkan satuan pasukan keamanan, yang berlangsung dan terorganisasi dalam skala yang besar.Perang sipil menimbulkan korban dalam skala yang besar dan konsumsi sumber daya yang signifikan.
Perang Sipil yang terjadi setelah Perang Dunia II meningkat, setidaknya ada lima Perang Sipil yang terjadi di awal hingga pertengahan abad-20, lebih dari 20 Perang Sipil terjadi di akhir Perang Dingin, sebelum penurunan signifikan konflik yang dihubungkan dengan kekuatan superpower berakhir. Sejak tahun 1945, Perang Sipil menimbulkan kematian lebih dari 25 juta penduduk, kerusakan infrastruktur, dan economic collapse.Setidaknya ada dua teori yang dapat menjelaskan penyebab utama Perang Sipil, Ketamakan Vs keluhan.Roughly stated/ failed state, dimana konflik ditimbulkan oleh orang-orang dalam definisi etnisitas, agama, aatau status sosial lainnya, atau konflik dimulai oleh kepentingan ekonomi dari kelompok atau individu yang memulainya.
Benua Afrika merupakan benua dengan kompleksitas masalah paling rumit di dunia.Kemiskinan, kesehatan, ekonomi, kelaparan bahkan peperangan antar suku mewarnai benua hitam itu selama berabad-abad.Intervensi eksternal dan konflik internal menjadikan benua itu diliputi neverending war sejak zaman dahulu.Salah satu negara yang masih diliputi konflik dan perang sipil hingga saat ini adalah Somalia.Somalia dilanda perang sipil sejak tahun 1991 hingga saat ini.
Encarta mencatat hampir 50.000 terbunuh dalam peperangan dan 300.000 meninggal karena kelaparan dalam waktu 23 bulan sejak Januari 1991. Washington post mencatat kematian mencapai 350.000 di bulan Februari 1993, CDI mencatat 350.000 kematian dalam periode 1978-1997, Ploughshares mencatat 350.000 kematian di tahun 2000, data war annual 8 di tahun 1997 mencatat kematian mencapai 500.000, sementara tanggal 14 Desember 1998 Vancouver Sun memaparkan jika 400.000 kematian disebabkan perang, kelaparan dan penyakit sejak tahun 1991, dan sebanyak 300.000 di periode 1991-1992. Tanggal 23 mei 1999 Denver Rocky Mtn News memaparkan jika kematian mencapai 350.000 di penghujung tahun 1992 dan mencapai 1 juta di tahun 1999. IRIN dan unit informasi kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat hampir 300.000 terbunuh selama perang 14 tahun.
Penderitaan di Somalia merupakan salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia, hampir 1.5 juta penduduk kehilangan tempat tinggal dan lebih dari 560.000 penduduk menjadi pengungsi di negara tetangga, terutama di Kenya (309.000), Yaman (163.000) dan Ethiopia (59.000).
Kontrol Negara dan Failed State
Di bulan Agustus 2004, Parlemen Federal Transisional Somalia dibentuk.Masing-masing menduduki 61 kursi di parlemen yang dibentuk oleh 4 suku mayoritas, sementara suku minoritas mendapatkan 31 kursi.Akan tetapi, tensi meningkat dalam lingkungan internal pemerintahan yang saling bersaing dalam kedudukan administrative di tahun 2005, masing-masing pihak terlibat dalam sengketa. Kedua kelompok adalah:
  1. Jowar- yang dipimpin oleh Presiden Abdullahi yusuf dan didukung oleh kelompok lainnya
  2. Mogadishu- yang dipimpin oleh pembicara parlementer Sharif Hassan Sheikh A dan didukung oleh aliansi Mogadishu termasuk Mohammed Qanyare Affra, Osman Ali Atto, Muse Sudi Yalahow dan secara terpisah Baidoa warlord Mohammed Habsade
Januari 2006, kedua kelompok sepakat untuk tergabung membentuk pemerintahan dengan mengumpulkan 275 anggota suku dalam parlemen.Februari 2006, TFP bergerak dari Baidoa dan melaksanakan sesi pertamanya. Sepanjang tahun 2007 dan 2008, TFP berada di Baidoa ketika Pemerintah Federal Transisional (TFG), cabang eksekutid dari negara termasuk kepresidenan, dilokasikan di Mogadishu. Dua kelompok lain (termasuk TFP) mendirikan negara baru: deklarasi reepublik Tanah Somalia di baratdaya; dan wilayah semi-otonom dari Puntland di timurlaut
Mereka beraliansi dengan sekelompok menteri dari TFG dan kelompok pemimin yang terdiri dari Alliance forRestoration of Peace and Counter-Terrorism (ARPCT) untuk memerangi terorisme dan menjaga stabilitas negara di bulan februari. Kelompok ini dikatakan satu kubu dengan Amerika Serikat dan pemerintahan Ethiopia yang mengerahkan pasukan di Mogadishu di akhir tahun 2006 untuk menggantikan kekuatan Supreme Council of Islamic Courts (SCIC) dan mendukung Transitional Federal Government. Kelompok yang menjadi lawan adalah berbagai macam kelompok oposisi Islam terutama Supreme Council of Islamic Courts (SCIC) yang dibentuk dari Islamic Courts Union (ICU), Joint Islamic Courts, Union of Islamic Courts (UIC), atau the Supreme Islamic Courts Council (SICC), sebuah kelompok dengan hukum Islam fundamental yang menekankan maslah administrative dan pengawasan pemerintah harus berdasarkan sistem Shari' a, mereka berniat untuk mngembalikan situasi kawasan yang chaos akibat perang sejak tahun 1991, dalam kelompok ini juga ada golongan radikal bernama -al Shabab, yang dalam bahasa Somali berarti "anak laki-laki" yang dikatakan terhubung dengan Al-Qaeda.
Kelompok Anti-pemerintah dan organisasi ekstrimis seperti Al-Shabab, yang dikatakan beberapa anggotanya tergabung dengan al-Qaeda, bertanggung jawab atas sejumlah kekerasan kemanusiaan, termasuk pembunuhan anggota TFG dan masyarakat sipil, penculikan dan penghilangan, pembatasan kebebasan bergerak, pembunuhan aktivis kemanusiaan
Militan Eritre, yang juga diketahui memainkan peranan dalam konflik yang terjadi di Somalia.
Eskalasi Konflik 1998-2008
Di tahun 1998, pertikaian antar kelompok etnis terjadi di beberapa wilayah negara.Di tahun 1999, pertikaian antar kelompok etnis berlanjut, dimana serangan dan serangan balik berpusat di wilayah pusat dan selatan negara.Lebih dari 100 penduduk dibunuh dalam berbagai macam benturan.
Di tahun 2000, pertikaian antar etnis berlanjut ke silayah pusat dan selatan Somalia, terutama di Mogadishu sehingga dibentuk pemerintahan darurat di negara Djibouti.Sedikitnya 200 penduduk, termasuk pekerja kemanusiaan, terbunuh di akhir September, meningkat dari kematian di tahun 1999.
Di tahun 2001, konflik antar suku berlanjut di Somalia, dimana hampir seluruh pertikaian yang terjadi terletak di Mogadishu.Sebanyak 400 penduduk terbunuh di tahun ini, kebanyakan adalah penduduk sipil yang terlibat dalam kontak senjata.Di bulan Januari, PBB setuju untuk mengirimkan pasukan perdamaian dan mengakui adanya pemerintahan di Somalia.
Di tahun 2002, pertikaian antara kelompok berseberangan dan pemerintahan transisional terjadi hampir si seluruh wilayah Somalia. Konferensi Rekonsiliasi Nasional Somalia yang berlangsung di Kenya diadakan di Bulan Oktober dengan perwakilan dari sejumlah suku yang berseberangan, Pemerintahan Transisi Nasional (TNG) dan berbagai komunitas mengikuti diskusi perdamaian ini untuk membicarakan isu perdamaian dan stabilitas pemerintahan.
Di tahun 2003, terjadi konflik antar suku dan benturan antar kelompok militer, yang mengakibatkan kematian dalam jumlah yang besar di wilayah Mogadishu. Walaupun banyak pertikaian yang terjadi, Konferensi Rekonsiliasi Nasional Somalia di Kenya menghasilkan sebuah piagam transisional yang menitikberatkan pembentukan struktur Somalia di masa yang akan datang. Di bulan Mei, Uni Afrika membuat inisiatif militer dalam rangka misi pengamatan ke Somalia.
Di tahun 2004, Konferensi Rekonsiliasi Nasional Somalia membuat langkah yang signifikan untuk mempersiapkan perdamaian yang komprehensif dengan membentuk sebuah parlemen transisional dan pemilihan Presiden.Akan tetapi, di luar perkembangan ini, pertikaian masih terus berlanjut.Pemerintahan yang baru menerima pengakuan internasional dan mendapatkan bantuan finasial serta pasukan perdamaian untuk merekonstruksi dan menjaga keamanan Somalia.
Di tahun 2005, federasi pemerintahan transisional dihadapkan pada dua golongan lawan yang mengancam dan akan menimbulkan perang satu sama lain dalam meningkatkan sprektum kekerasan dalam skala besar. Konflik antar-etnis dan pertikaian berlanjut pada pembajakan yang terjadi di antai Somalia yang mengancam pelayaran internasional.
Dampak Peperangan
Media independen melaporkan sebanyak 410.000 penduduk Somalia meninggal dalam konflik bersenjata.Di tahun 2008, 3500 penduduk sipil terbunuh dalam konflik di Somalia, dan jutaan lainnya kehilangn tempat tinggal.Perhitungan ini tidak termasuk jumlah kematian militer dan sipil yang menderita penyakit epidemic dan kelaparan.
Di tahun 2007, lebih dari 6500 penduduk sipil meninggal dalam konflik di Mogadishu dan lebih dari 8500 penduduk terluka.Jumlah ini tidak termasuk kematian militer yang meningkat secara signifikan. Setidaknya 1000 orang meninggal, 4000 terluka di akhir perkelahian, dan 40% diantaranya adalah anak-anak yang masih berada dalam usia sekolah. Di tahun 2006, 300 penduduk sipil dibunuh dan hampir 1700 terluka dalam pertikaian yang terjadi di ibukota negara Mogadishu dan akhirnya menyebar di seluruh negara. Termasuk pembunuhan atas presiden TFG Abdullahi Yusuf dan pembunuhan atas Menteri Federal dan Konstitusi Abdallah Issaq Deerow.Di tahun 2005 sedikitnya 200 orang terbunuh dalam bentrokan antar etnis terkait dengan sumber daya alam dan ekonomi.Jumlah kematian yang sesungguhnya lebih besar. Di tahun 2004, lebih dari 520 manusia terbunuh dalam konflik, di tahun 2003, setidaknya 150 orang meninggal dan banyak anggota sipil yang terlibat dalam kontak senjata, tahun 2002, setidaknya 500 penduduk dibunuh dan kebanyakan di antaranya adalah penduduk sipil. Di tahun 2001 hampir 400 orang meninggal sebagai hasil dari pertikaian, dimana mayoritas diantaranya adalah penduduk sipil.Di tahun 2000, sedikitnya 200 orang meninggal, termasuk pekerja kemanusiaan.Di tahun 1999 lebih dari 100 penduduk terbunuh dalam beberapa bentrokan sepanjang tahun.Di tahun 1998, jumlah kematian mencapai 230 orang, terdiri dari penduduk sipil yang terlibat dalam konflik antar suku.
Selain pemberontakan berdarah, pemerintah Somalia juga menghadapi rangkaian perompakan di lepas pantai negara itu.Pemerintah transisi lemah Somalia tidak mampu menghentikan aksi perompak yang membajak kapal-kapal dan menuntut uang tebusan bagi pembebasan kapal-kapal itu dan awak mereka.
Perompak, yang bersenjatakan granat roket dan senapan otomatis, menggunakan kapal-kapal cepat untuk memburu sasaran mereka. Perairan di lepas pantai Somalia merupakan tempat paling rawan pembajakan di dunia, dan Biro Maritim Internasional melaporkan 24 serangan di kawasan itu antara April dan Juni.
Analisis
Jika dilihat dari faktor penyebab Perang sipil yang terjadi di Somalia, setidaknya, ada beberapa hal yang menyebabkan perang sipil dalam suatu negara terjadi, terutama untuk negara-negara berkembang khususnya Afrika, yang pertama adalah proses pembentukan negara dan bangsa (state formation and national building), bangkitnya etnisitas dan nasionalisme, faktor sosial ekonomi dan keterkaitan antara perlombaan senjata dan konflik.
Negara Somalia merupakan sebuah failed state yang bahkan tidak mampu melakukan fungsi keamanan dan pertahanan bagi negaranya. Kudeta dan pemberontakan militer tidak mampu diredam, justru mnimbulkan konflik internasional yang merambah di ranah sipil. Kebanyakan korban yang jatuh adalah kalangan sipil yang bahkan tidak tahu apa tujuan dari perang yang sebenarnya "if we win then for what, if we lose then by whom?" di saat dunia internasional memulai perbaikan atas perang dan ancaman perang nuklir, negara-negara failed masih harus menghadapi ancaman dan bahkan mengancam warga negaranya sendiri, awal mula konflik adalah krisis terhadap otoritas seluruh pengorganisasian kekuasaan, masing-masing pihak baik negara dan masyarakat berada dalam sebuah lingkaran "ketakukan" dan 'kepentingan".
Pertikaian antar etnis juga muncul sebagai sebuah gerakan dan perlawanan akan marginalisasi dan stigmatisasi yang ditimbulkan oleh suku mayoritas. Mereka, suku minoritas, dalam taraf tertentu akan bangkit melawan dan menjadi musuh satu sama lain. Hal ini muncul dari diskriminasi budaya, sejarah dan penghinaan, serta propaganda. Kompleksitas antar etnis muncul sebagai hasil dari "kepentingan" dan "penghargaan"
Kemiskinan dan penderitaan berkepanjangan menjadi sebuah bentuk klasik akan adanya perang. Ketika perut lapar, orang tidak akan segan- segan membunuh orang lain untuk mendapatkan makanan dan memperoleh kepuasaan. Manusia tidak akan bisa berpikir rasional dan logis jika perut kosong. Sistem ekonomi yang diskriminatif dan masalah ekonomi yang kian parah menambah kompleksitas dan eskalasi ketegangan dalam setiap aspek kehidupan dalam bentuk "kepentingan" dan "ketakutan".
Pasca Perang Dingin, eskalasi politik internasional berada kembali di level state dan sub-state, senjata dan perlengkapan perang yang diproduksi selama Perang Dingin tidak dapat digunakan. Propaganda dan "penciptaan perang" atas paying "intervensi kemanusiaan" yang kadang-kadang menjadi ajang penyaluran senjata dan militer kembali dipraktekkan di negara-negara yang "notabene" adalah negara tidak demokratis. Ketika asing memasuki sebuah negara karena adanya isu kemanusiaan dan konflik bersenjata internal, yang akhirnya diketahui senjata itu juga berasal dari mereka, menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan, sekali lagi atas nama demokrasi, akhirnya, akan menjadikan wilayah itu sebagai sebuah ajang permainan senjata dan militer untuk menyalurkan senjata-senjata yang tidak dipakai di masa Perang Dingin.
Akan tetapi, berbagai kompleksitas yang terjadi di dalamnya tidak membuat kita harus melupakan bagaiman solusi yang dapat ditwarkan untuk meredam atau bahkan mencari jalan keluar atas perang sipil.Ada beberapa hal yang harus diupayakan. Pertama, civil society hendaknya mengakui dan memajukan hak-hak kaum minoritas, kedua, cara terbaik untuk melindungi hak-hak kelompok adalah dengan menggunakan lembaga-lembaga elit dalam pembagian kekuasaan. Ketiga, konflik dan perang yang menyangkut penentuan nasib sendiri harus diselesaikan di meja perundingan, keempat, aktor internasional harus berusaha dengan itikad baik, tanpa sejumlah kepentingan untuk melindungi hak-hak kaum minoritas,, termasuk jika mereka tidak diperkenankan melakukan campur tangan, jika hal tersebut tidak dapat menyelesaikan konflik diplomacy coercive dapat digunakan atas nama perdamaian. Terkesan utopis, akan tetapi hal itu lebih baik daripada sekedar analisis pragmatis yang akhirnya hanya menimbulkan ketegangan yang lebih besar dikalangan sipil.
Akhirnya, perang baik dalam taraf internasional dan internal umumnya selalu dikaitkan atas kontiniutas dengan mitos "fear, honor, interest" yang menjadikan perang itu akan tetap ada, akan tetapi memiliki pola bahkan wajah yang berbeda. Setelah 17 tahun Perang Sipil, kekerasan di Somalia tidak hanya merupakan sebuah kebencian antar etnis, ideologi, agama, ekonomi akan tetapi oleh sesuatu yang lebih sederhana: survival.

Sumber:
Buzan, Barry. (1991). People, States and Fear. New York: Harvester Wheatsheaf
Miall, Hugh, Oliver Ramsbotham dan Tom Woodhouse (1999). Contemporary Conflict Resolution. London: Polity Press
Van Notten Michael. (2002) From Nation-State to Stateless Nation: The Somali Experience. http://www.liberalia.com/htm/mvn_stateless_somalis.htm

No comments:

Post a Comment