SEJARAH ASAL USUL NAMA SIAK

Nurlina/S.R

 

Siak adalah sebuah kabupaten di Provinsi Riau yang dulunya merupakan pusat kesultanan Islam terbesar di Riau, yaitu Siak Sri Indrapura. Warisan kebesarannya pun hingga kini masih nampak di berbagai sudut kota. Sejarahnya yang panjang telah meninggalkan warisan peradaban Melayu yang mengangumkan dan pantas dibanggakan Indonesia.

 

Wilayah Geografis

Kabupaten Siak mempunyai luas 8.556,09 km persegi, dengan batas wilayah sebagai berikut:

1.        Sebelah Utara dengan Kabupaten Bengkalis

2.        Sebelah Selatan dengan Kabupaten Pelalawan

3.        Sebelah Timur dengan Kabupaten Meranti

4.        Sebelah Barat dengan Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru

Secara geografis, kabupaten Siak terletak pada koordinat 10 16' 30" sampai 00 20' 49" Lintang Selatan dan 100 54' 21" sampai 102 10' 59" Bujur Timur. Secara fisik geografis memiliki kawasanpesisir pantai yang berhampiran dengan sejumlah negara tetangga dan masuk kedalam daerah segitiga pertumbuhan (Growth Triangle), yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura. [1]

Bentang alam kabupaten Siak sebagian besar terdiri dari daratan rendah di bagian Timur dan sebagian daratan tinggi di bagian Barat. Pada umumnya, struktur tanah terdiri dari tanah podsolik merah kuning dan batuan, dan aluvial serta tanah organosol dan gley humus dalam bentuk rawa-rawa atau tanah basah. Lahan semacam ini subur untuk pengembangan pertanian, perkebunan, dan perikanan. Daerah ini beriklim tropis dengan suhu udara antara 25-32 Derajat Celcius, dengan kelembaban dan curah hujan yang cukup tinggi.

Selain dikenal dengan Sungai Siak yang membelah wilayah Kabupaten Siak, daerah ini juga terdapat banyak tasik atau danau yang tersebar dibeberapa wilayah kecamatan. Sungai Siak sendiri terkenal sebagai sungai terdalam di tanah air, sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi, terutama sebagai sarana transportasi dan perhubungan. Namun, potensi banjir diperkirakan juga terdapat pada daerah sepanjang Sungai Siak, karena morfologinya relatif datar.

Selain Sungai Siak, daerah ini juga dialiri sungai-sungai lain, diantaranya Sungai Mandau, Sungai Gasib, Sungai Apit, Sungai Tengah, Sungai Rawa, Sungai Buantan, Sungai Limau, dan Sungai Bayam. Sedangkan danau-danau yang tersebar didaerah ini adalah Danau Ketialau, Danau Air Hitam, Danau Besi, Danau Tembatu Songsang, Danau Pulau Besar, Danau Zamrud, Danau Pulau Bawah, Danau Pulau Atas, dan Tasik Rawa.

Berdasarkan perhitungan siklus hidrologi, 15% surplus air dan curah hujan rata-rata bulanan menjadi aliran permukaan, maka memungkinkan terjadinya banjir musiman pada bulan-bulan basah. Dan analisi data curah hujan diketahui bahwa bulan basah berlangsung pada bulan Oktober hingga Desember. Sedangkan bulan kering pada bulan Juni hingga Agustus. Distribusi curah hujan semakin meninggi kearah Pegunungan Bukit Barisan di bagian wilayah Provinsi Riau.

Kabupaten Siak memiliki potensi daya mineral berupa minyak dan gas bumi. Lapangan minyak dan gas bumi pada cekungan Sumatera Tengah umumnya terperangkap dalam struktur lipatan antiklin. Formasi Sihapas yang umumnya tersusun atas batu pasir deltaic, merupakan reservoir utama dan tertutup oelh lapisan lempung dan serpih serta formasi Telisa. Diyakini minyak bumi tersebut merupakan migrasi dan formasi Bangko. Selain minyak bumi, gas juga ditemukan pada formasi Sihapas dan dalam jumlah yang besar ditemukan pada lapangan Libo dan Talas.

Lapangan minyak utama pada cekungan Sumatera Tengah ini adalah lapangan Minas, yang ditemukan pada tahun 1944 oleh tentara Jepang dan berproduksi pertama kali pada tahun 1952 dengan total cadangan diperkirakan mencapai 2 Milyar Barrel. Zona produksi ini diperkirakan 28 km x 10 km dengan kedalaman 2000 ft sampai 2600 ft. Jumlah sumur produksi sekitar 345 sumur, termasuk 8 sumur kering dan 47 sumur injeksi air. Total produksi lapangan ini mencapai 350.000 barrel per hari.

Data lahan yang ada di Kabupaten Siak pada tahun 2004 menunjukkan bahwa penggunaan lahan yang terbesar di Kabupaten Siak adalah penggunaan lain-lain seluas 231.152,45 hektar atau sekitar 33,7% dari seluruh lahan yang ada. Selanjutnya seluas 158.339,08 hektar atau sekitar 23,1% berupa hutan negara, seluas 143.375,85 hektar atau sekitar 20,9% untuk perkebunan, dan seluas 133.022,95 hektar atau sekitar 19,4% sementara tidak diusahakan.

Potensi gambut di Kabupaten Siak ini mempunyai wilayah yang cukup luas daerah penyebarannya. Penyebaran lahan gambut ini menempati satuan morfologi daratan rendah. Daerah kawasan gambut terletak di sekitar daerah Libo kearah utara dan barat, daerah sekitar Lubuk Dalam kedaerah timur hingga daerah Zamrud, daerah Kecamatan Sungai Apit dan daerah Perawang.

Dengan melihat tata guna lahan ini perhatian perlu diberikan terhadap adanya Rawa seluas 5.133 hektar (0,7%), Tambak seluas 13.787 hektar (2%) dan Kolam/Empang seluas 499,83 hektar (0,1%). Melihat luasnya lahan gambut maupun pengaruh air asin yang ada, tidak semua wilayah yang ada dapat dimanfaatkan bagi kegiatan pembangunan.

Saat ini kawasan hutan produksi di Kabupaten Siak termasuk kedalam pengelolaan KPH Kabupaten Siak dan dimanfaatkan untuk kegiatan HPH seluas 495.000 hektar. Bila dipandang dari sisi penataan ruang, wilayah keberadaan perusahaan HPH dapat menimbulkan dampak pada pertumbuhan ekonomi. Namun, proses penebangan kayu oleh perusahaan HPH sering kurang memperhatikan aspek konservasi, sehingga pada tempat-tempat tertentu telah terjadi kerusakan lingkungan hutan, diantaranya berupa hutan kritis. [2]

Asal Usul Nama Siak

Penyebutan kata Siak sudah terdapat diberbagai sunber sejarah nasional Indonesia. Baik ditulis oleh pujangga-pujangga zaman Hindu Budha dahulu, maupun oleh para sejarawan modern Indonesia dan asing. Adapun sekarang, kata Siak tersebut menjadi nama dari sebuah sungai, yaitu Sungai Siak dimana didapati bekas-bekas kerajaan Siak disepanjang aliran sungai tersebut. Mengenai arti kata Siak terdapat bermacam-macam pendapat, seperti:

1.        Kata Siak menurut bahasa Tapanuli Selatan berarti "Pedas"

2.        Kata Siak ada yang mengatakan berasal dari kata "Suak"

3.        Kata Siak ada yang menyatakan berasal dari suatu nama panggilan yang      diberikan kepada orang yang menjaga Mesjid

4.        Kata Siak ada yang mengatakan berasal dari nama tumbuh-tumbuhan sejenis perdu yang bernama "Siak-Siak". [3]

Dari beberapa arti kata tersebut, timbul beberapa kemungkinan yaitu:

1.        Apabila diartikan "Pedas" (bahasa Tapanuli Selatan), pastilah mempunyai latar belakang hubungan dengan Tapanuli. Sedangkan kenyataannya tidak ada fakta-fakta menunjukkan bahwa dalam Kerajaan Siak ada unsur-unsur Tapanuli yang bersifat monumental.

2.        Kalau yang dimaksud dari arti kata "Suak", tentulah perkataan Suak mempunyai arti keseragaman. Kenyataannya sampai sekarang kata Suak dan kata Siak dalam arti yang berdiri sendiri, seperti kata Sungai Siak, Kota Siak. Sedangkan Suak diartikan nama suatu tempat atau kampung yang dialiri oleh anak sungai yang kecil sebagaimana banyak terdapat di sepanjang Sungai Siak, misalnya Suak gelanggang, Suak Rengas, Suak Lanjut, Suak Santai, Suak Djil, dan sebagainya. Dalam hal ini tidak dipakai kata Siak. Dengan demikian, jelaslah bahwa kata Siak bukanlah kata yang diturunkan atau perubahan morphologis dari kata Suak.

3.        Kalau kata Siak diartikan seorang penjaga masjid, tentulah dahulunya daerah Siak ini merupakan kerajaan Islam dan kalau kita pelajari ketika Siak dibawah pengaruh Melaka dan Johor merupakan kerajaan yang beragama Islam. Akan tetapi, jauh sebelum ini kerajaan Siak sudah ada, sebagaimana disebutkan dalam Kertagama pupuh 13/1-2 menyebutkan: "Minangkabau, Siak, Rokan, dan Kampar di bawah kekuasaan Majapahit". Dalam perkembangan sejarah Indonesia tidak pernah ada sumber yang menyebutkan kerajaan beragama Islam yang tunduk dibawah kekuasaan Majapahit (Hindu/Budha).

4.        Jika kata Siak diambil dari nama tumbuh-tumbuhan yang bernama Siak-Siak, maka harus ada hubungan antara kerajaan Siak dengan tumbuh-tumbuhan tersebut.

Dalam hal ini dapat dihubungkan teori yang diketengahkan oleh J. Kern, Prof. Pubotjoroko dan Prof. Muhammad Yamin tentang pemberian nama kerajaan atau raja berdasarkan flora dan fauna, dimana nama-nama kerajaan lazim diambil dari nama tumbuh-tumbuhan (flora) dan nama raja diambil dari nama-nama hewan (fauna), seperti halnya nama kerajaan dan raja berikut ini:

1.        Majapahit, dari nama pohon "Maja" yang buahnya pahit

2.        Tarumanegara, dari nama pohon "Tarum"

3.        Galih Pakuan, dari nama tumbuh-tumbuhan "Paku-Pakuan atau Pakis"

4.        Malaka, dari nama pohon "Malaka"

5.        Johor, dari nama pohon "Johar"

Sedangkan nama-nama raja yaitu:

1.        Hayam Wuruk, dari kata "Hayam atau Ayam"

2.        Gajah Mada, dari kata "Gajah"

3.        Sisingamangaraja, dari kata "Singa"

4.        Munding Wangi, dari kata yang bermakna "Kerbau"

5.        Sawunggaling, dari kata yang bermakna "Ayam Jantan"

Berdasarkan hal tersebut, berkemungkinan sekali bahwa sebutan kata "Siak" diambil dari nama tumbuh-tumbuhan (flora). Dan memang di sekitar aliran sungai Siak maupun disekitar bekas kerajaan Siak banyak sekali terdapat tumbuhan jenis perdu yang bernama "siak-siak". Oleh masyarakat setempat, tumbuh-tumbuhan itu biasa dipergunakan sebagai bahan obat-obatan dan wangi-wangian.

Sedangkan pendapat lain menyatakan bahwa kata "Siak" dalam anggapan masyarakat Melayu sangat bertalian erat dengan agama Islam, Orang Siak adalah orang-orang yang ahli agama Islam, kalau seseorang hidupnya tekun beragama dapat dikatakan sebagai Orang Siak.

Selanjutnya nama "Siak", dapat merujuk kepada klan di kawasan antara Pakistan dan India. Sihag atau Asihag yang bermaksud Pedang. Masyarakat ini dikaitkan dengan bangsa Asii, masyarakat nomaden yang disebut oleh masyarakat Romawi, dan diidentifikasikan sebagai Sakai oleh Strabo seorang penulis geografi dari Yunan. Berkaitan dengan ini pada sehiliran Sungai Siak sampai hari ini masih dijumpai masyarakat terasing yang dinamakan sebagai Orang Sakai.

Menginggat kerajaan Siak pada abad ke-13 dan 14 M masih ada dalam kekuasaan Melayu dan Singosari-Majapahit, yang mendekati kepastian kerajaan-kerajaan tersebut tumbuh menjadi kerajaan bercorak Islam sejak abad ke-15 M. Pengaruh Islam yang sampai ke daerah itu sebagai akibat perkembangan kerajaan Islam Malaka. Didasarkan pada berita Tome Pires, kerajaan Siak (juga Kampar dan Indragiri) senantiasa melakukan perdagangan dengan Malaka, bahkan memberikan upeti kepada kerajaan Malaka. Kerajaan di Pesisir Timur Sumatera ini dikuasai kerajaan Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (wafat 1477 M).

Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin memerintah dari tahun 1784-1810 M, yang kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Mempura ke Kota Tinggi atau kota Siak Sri Indrapura sekarang ini. Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin menghidupkan kembali nama "Siak Sri Indrapura" yang pernah diberikan oleh seorang panglima kerajaan Singosari, yaitu Panglima Indrawarman yang menjadi panglima pada ekspedisi Pamalayu tahun 1275-1289 M. [4]

Jika pada masa Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah, ketika pemindahan pusat kerajaan ke Mempura, sejak itu kerajaan diberi nama Siak Sri Indrapura. Sedangkan pada masa Sultan Assyaidis Syarif Ali Ali Abdul Jalil Syaifuddin memerintah, maka kerajaan Siak Sri Indrapura dilengkapi menjadi Siak Sri Indrapura Dar al-Salam al-Qiyam. Dan sejak saat itu pula pusat kerajaan Siak tetap di Siak sampai Sultan Syarif Kasim II, sultan Siak yang terakhir.

 

 

Daftar Pustaka

[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Siak

[2] Muhammad, H.T.S.U. Effendy, T. Jaafar, T.R. 1988. Silsilah keturunan raja-raja Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Kerajaan Pelalawan.s.n.

[3] http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/14/name/riau/detail/1408/siak

[4] Asril, M.Pd. 2015. Sejarah Riau, Jati Diri Anak Melayu. FKIP UR. Pekanbaru.

 

No comments:

Post a Comment