Soeharto dan Kawan-Kawan, Dalang Supersemar

MEGA VERONIKA TAMBA/ SI5
 LATAR BELAKANG
Pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto. Surat perintah itu memberi wewenang untuk "mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban". Letjen Soeharto menggunakan surat perintah itu sebagai dasar untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak berkenan bagi Presiden Soekarno,yaitu membubarkan PKI (Partai Komunis Indonesia ) dan mengamankan 15 orang menteri Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Kemudian,Supersemar ditingkatkan status hukumnya menjadi ketetapan MPRS,sehingga tidak bisa lagi dicabut oleh Presiden Soekarno. Setahun setelah Supersemar lahir, Presiden Soekarno pun tersingkir dari kekuasaannya, dan terisolasi secara politik.  Yang menjadi kontroversi sampai sekarang adalah bagaimana sebenarnya bentuk penugasan Supersemar  dari  Presiden kepada Men/Pangad? Apakah Supersemar merupakan pelimpahan kekuasaan, atau instruksi yang bersifat teknis? Mengapa Letjen Soeharto menggunakan Supersemar untuk menggembosi kabinet? Tepatkah bila Supersemar dianggap sebagai "kudeta terselubung"? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat orang semakin penasaran, karena hingga detik ini naskah asli Supersemar tidak ketahuan rimbanya. Beberapa orang mengaku pernah melihat naskah asli Supersemar, tapi sebagian besar orang hanya mendengar ceritanya. Konon kabarnya, naskah Supersemar memang ada dan memberikan kewenangan kepada Letjen Soeharto untuk "mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban". Kebanyakan orang mengakui bahwa Supersemar memang ada. Tetapi, tidak semua orang bisa menunjukkan sumber dokumen yang jelas. Semua itu telah berlalu. Segala implikasi politik dari Supersemar, telah menjadi fakta yang tidak dapat diubah lagi. Sejarah telah terukir, dan kenyataan apa pun yang dapat diungkap mengenai kebenaran kasus Supersemar, tidak akan mengubah fakta bahwa Soeharto telah berkuasa 32 tahun dalam pemerintahan yang "berpura-pura demokratis, tetapi otoriter". Akan tetapi, pengungkapan fakta baru akan mengubah penulisan sejarah mengenai Supersemar. Itulah yang harus digali oleh para sejarawan. Sejarawan tidak mengubah sejarah, tetapi menganalisis fakta-fakta dan data baru untuk merekonstruksi apa sebenarnya yang terjadi di masa silam.

Soeharto dan Kawan-Kawan, Dalang Supersemar
GERAKAN 30 SEPTEMBER adalah salah satu babak dalam drama politik Indonesia 1965-1967,sedangkan Supersemar merupakan babak yang lain.memang Supersemar merupakan kelanjutan dari G 30 S,karena ada kontuinitas diantara keduanya.namun,perencanaannya dilakukan secara berbeda,dan mungkin oleh pihak yang berbeda.Kalau dalang G 30 S masih sangat simpang siur, maka dalang Supersemar sudah begitu jelas, yaitu Angkatan Darat yang dikendalikan Letjen Soeharto dengan Jenderal Nasution sebagai penasihat sekaligus simbol penting. Sejak 1 Oktober 1965, di kubu mereka telah membara semangat untuk menghancurkan PKI yang dituding sebagai pelaku konspirasi Gerakan 30 September. Mereka menerapkan strategi "tumpas habis" untuk memastikan komunisme tidak bangkit lagi.[1]
Setelah 1 oktober 1965, kendali mutlak berada di tangan Mayjen Soeharto. Ini memudahkan baginya untuk melaksanakan operasi pembersihan terhadap Gerakan 30 September, menemukan lokasi jenazah jenderal-jenderal yang di culik,memanipulasi penggalian jenazah untuk membentuk opini publik, dan kemudian menciptakan prakondisi untuk melakukan aksi balas dendam terhadap PKI hingga ke akar-akarnya. Komunis langsung lumpuh.Tetapi semua itu baru tahap pertama.tahap berikutnya, yang sebetulnya lebih penting lagi, Menteri/Pangad Mayjend Soeharto berusaha mengintervensi kebijakan politik Presiden Soekarno. Angkatan Darat sangat berkepentingan terhadap pembubaran PKI, karena pembubaran itu akan menjadi jaminan terhadap dua hal : (a) AD menjadi satu-satunya kekuatan politik yang menentukan jalannya pemerintahan, dan (b) menjatuhkan wibawa Bung Karno yang dikenal sangat fanatik dengan konsep persatuan bangsa berporos Nasakom.
Supersemar merupakan bagian dari suatu skenario besar yang teah dirancang secara rapi. Secara perlahan tetapi pasti, Soeharto dan kawan-kawan menggunakan Supersemar sebagai basis legitimasi politiknya. Diawali dengan membuat kebijakan-kebijakan yang menurut perhitungan mereka tidak mungkin dicabut kembali oleh presiden (seperti membubarkan PKI dan mengamankan sejumlah menteri Kabinet Dwikora ).Langkah berikutnya, Soeharto berusaha mengamankan posisinya. Supersemar perlu dinaikkan status hukumnya dari executive order ke tingkatan yang lebih tinggi. Maka,mereka berupaya agar Supersemar menjadi Tap MPRS. Dengan demikian,Soekarno tidak mungkin lagi mencabutnya.
Namun,walaupun ketuanya (merangkap Waperdam III, Chairul Saleh) telah diamankan oleh tentara atas perintah Soeharto,MPRS masih didominasi kalangan Soekarnois. Karena itu,MPRS pun perlu dirombak.Maka, Soeharto menempatkan Nasution sebagai ketua MPRS menyingkirkan kandidat yang didukung Soekarno,yaitu Wilujo Puspojudo. Maka, sukseslah Jenderal Soeharto menyingkirkan Presiden Soekarno dari kedudukannya, dengan langkah-langkah yang "konstitusional".Literatur sejarah versi resmi pemerintah Orde Baru menganggap bahwa Supersemar adalah suatu proses yang wajar dan tanpa penyimpangan. Sebagai sesuatu yang taken for granted dan tidak perlu dipersoalkan latar belakangnya. Raibnya naskah asli Supersemar pun dianggap wajar tanpa ada upaya pengusutan secara intensif. Upaya memperoleh jawaban pun kian sulit karena selama puluhan tahun,pelaku sejarah atau setidak-tidaknya saksi mata memilih bungkam,mungkin karena takut. Mereka hanya memberikan kesaksian sepotong-sepotong (pada umumnya mengandung unsur penonjolan terhadap perannya sendiri), sehingga diperlukan ketelitian ekstra untuk melakukan cross-check dengan kesaksian dari sumber-sumber lain.
Dengan memperhatikan beberapa hal berikut :
1.kesaksian Kemal Idris yang mengarahkan "pasukan liar" untuk menangkap menteri-menteri Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, yang dicurigai terlibat Gerakan 30 September .
2.Kesaksian Hasjim Ning yang mengaku, ia bersama pengusaha Dasaad pernah diutus Letjen Soeharto melalui Mayjen Alamsjah untuk meminta Presiden bersedia mengalihkan kekuasaan kepada Letjen Soeharto.
3.Kesaksian tiga jenderal (Basuki Rachmat M.Jusuf Amirmachmud ) bahwa sebelum berangkat ke Istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966,mereka lebih dulu mengahadap Menteri/panglima AD Letjen Soeharto.[2]
4.Letjen Soeharto kemudian menggunakan Supersemar untuk mengambil langkah-langkah yang tidak semuanya disetujui oleh Presiden Soekarno, bahkan cenderung menentang dan menantang Presiden. Membubarkan PKI adalah langkah yang secara substantif tidak perlu dipersoalkan, karena memang rakyat menghendaki demikian. Namun menahan menteri-menteri Kabinet Dwikora yang disempurnakan, pada prinsipnya menimbulkan efek yang sangat mengikis kewibawaan dan kekuasaan Presiden. Tindakan itu sama halnya dengan mendemisionerkan kabinet, seperti yang dilakukan Untung dengan Dewan Revolusinya pada tanggal 1 Oktober 1965. 

KESIMPULAN
Maka dapat disimpulkan bahwa Letjen Soeharto dan kawan-kawan adalah dalang atau otak yang merancang keluarnya Supersemar. Supersemar bukanlah sesuatu yang "datang dari langit",atau taken for granted, melainkan sebuah hasil dari rancangan yang sistematik dan sangat memperdulikan detail,termasuk memperhitungkan kondisi psikologis Presiden Soekarno yang merasa tidak aman (terancam) atau terteror akibat adanya "pasukan liar" di sekitar Istana.Meski demikian, tetaplah menarik dan perlu untuk mencermati bagaimana cara mereka menyusun langkah-langkah secara bertahap untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno.kemungkinan memang Soeharto adalah satu-satunya orang yang mengetahui keberadaan naskah asli Supersemar pada saat ini. Jenderal besar A.H.Nasution pernah ditanya wartawan tentang naskah asli Supersemar sebenarnya berapa lembar dan dimana kini berada. Sang jenderal besar menjawab,'' Sebenarnya hanya ketiga jenderal yang diutus ke Bogor dan pengemban Supersemar yang tahu.'' Jenderal Nasution memang tidak tahu –menahu perkembangan pada tanggal 11 Maret 1966. Sayangnya,berbagai buku tentang Soeharto, sama sekali tidak menyebutkan apakah sang Jenderal Besar kini menyimpan naskah asli Supersemar atau tidak. Tampaknya, polemik atau kontrovesi mengenai Supersemar masih terus akan berlanjut. Sebab masih selalu terbuka kemungkinan munculnya sumber baru. Terutama sumber informasi akurat yang berasal dari pelaku sejarah itu sendiri; di satu sisi adalah Soekarno selaku pemberi mandate Supersemar, dan Soeharto sebagai pihak yang menerima mandat.

DAFTAR PUSTAKA
A.Pambudi.2006.Supersemar Palsu Kesaksian Tiga Jenderal.Yogyakarta ;Media Pressindo
Badrika, I wayan.2006.sejarah SMA kelas XI.Jakarta : Erlangga

[1] Dalam latar belakang kultural Jawa yang amat dihayati dan diamalkan oleh Soeharto, penumpasan habis seperti itu terkenal dengan istilah tumpes-kelor. Istilah ini diindonesiakan dengan istilah "tumpas habis sampai ke akar-akarnya". Celakanya, oleh rezim orde baru, istilah itu diterjemahkan ke tataran praksis sebagai penghapusan hak-hak politik anak dan cucu PKI atau orang yang diduga PKI.
[2] Tidak ada yang menuturkan secara rinci dialog yang mereka lakukan di rumah Soeharto. Namun Kemal Idris dalam biografinya menyebutkan bahwa mereka membawa pesan tertulis Soeharto untuk Presiden Soekarno (lihat Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi, 1987).

No comments:

Post a Comment