PERJUANGAN TEUKU UMAR

Mestika Sari/ B / SI3



Teuku Umar dilahirkan di Meulaboh Aceh Barat pada tahun 1854, adalah anak seorang Uleebalang bernama Teuku Achmad Mahmud dari perkawinan dengan adik perempuan Raja Meulaboh. Umar mempunyai dua orang saudara perempuan dan tiga saudara laki-laki.


Nenek moyang Umar Datuk Makudum Sati berasal dari Minangkabau. Salah seorang keturunan Datuk Makudum Sati pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada waktu itu terancam oleh seorang Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat jasanya tersebut, orang itu diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh. Teuku Nan Ranceh mempunyai dua orang putra yaitu Nanta Setia dan Ahmad Mahmud. Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Nanta Setia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Uleebalang VI Mukim. la mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak Dhien.
Teuku Umar dari kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas , dan pemberani.
ü  Awal Perjuangan Teuku Umar
            Belanda mendapat informasi bahwa yang memimpin perlawanan Aceh dan yang menonjol sejak itu adalah Teuku Umar. Selama tiga hari berturut-turut sejak 16 Agustus 1878, Teuku Umar memimpin penyerangan. Dihubungkan dengan rencana penyerangan Belanda terhadap Kampung Darat pada tahun 1877, Umar sudah memimpin perjuangan dan menjadi panglima pertahanan rakyat setempat sejak tahun itu pada usia 18 tahun.
            Teuku Umar datang ke Monasik, Aceh Besar, pada pertengahan Juli 1878, belum sebulan Ibrahim lamnga (suami pertama Cut Nya' Din) meninggal dunia dalam pertempuran melawan Belanda di Sla Gletaron. Umar mempunyai hubungan keluarga yang luas. Dia bukan asing lagi tapi sudah merupakan anggota keluarga bagi penduduk Aceh Besar, terutama bagi penduduk XXV Mukim. Daerah pertahanannya selama di Aceh Besar adalah di XXV Mukim itu. Setelah perkawinannya dengan Cut Nya'Din, Teuku Umar kembali ke Aceh Barat. Dia dan istrinya sama-sama aktif terus memimpin perang. Umar berusaha merintangi Belanda menerik raja-raja di daerah itu untuk menyeleweng.
            Dalam bulan Maret 1879, raja Meulaboh, Teuku Chi', meninggal dunia. Kerena semua anaknya menjadi pejuang, Belanda mengakali agar seorang yang bernama Teuku Itam Abaih dapat menggantikan Teuku Chi'. Karena itu keadaan menjadi panas. Dalam usaha merintangi perembesan Belanda ke Patih (pate), sebuah pelabuhan di utara Meulaboh, Teuku Umar pergi kesana untuk menggembleng perlawanan rakyat. Tahun 1881, Belanda mencoba mendaratkan tentaranya di Patih sesudah menembaki pelabuhan ini dengan meriam kapal. Berkat keutuhan perlawanan Teuku Umar, pendaratan Belanda dapat digagalkan. Sesudah itu Teuku Umar pergi ke Ruejaih, pelabuhan lain di bagian Aceh Barat. Disinipun Teuku Umar dapat menggalangkan kekuatan rakyat, sehingga pengaruh Belanda terhadap raja Rigas, yang sebelumnya terlanjur mengakui kedaulatan Belanda, dapat dilumpuhkan. 
            Dalam tahun 1882, Teuku Umar berada di medan perang Aceh Besar, khususnya di XXV Mukim. Dia mengusir belanda dari Krueng Raba dan bermarkas disana. Pasukannya sangat aktif melakukan pengacauan terhadap dalam pos-pos Belanda di bagian ini. Akibat serangan-serangan pejuang antara Uleulhue dengan Bukit Sibun, jumlah pos-pos Belanda di mukim-mukim disitu merosot. Pada akhirnya Belanda hanya dapat bertahan dalam "lini konsentrasi" Banda Aceh-Uleulhue saja. Dengan cara ini Belanda berharap dapat menyelamatkan serdadunya. Disamping tiu, mereka bertahan disekitar Banda Aceh dan beberapa pos lain yang masih dapat dikuasai sekedar untuk menjamin lalu lintas bagi keperluan sendiri. Teuku Umar meyadari dampak blokade Belanda terhadap perjuangan Aceh. Maka dia menyiasati agar perhubungan dagang antara Aceh Barat dan Semenanjung Melayu dapat terus berlangsung sambil ikut membiayai perang sabil.
            Menurut sumber Belanda, dalam tahun 1884 Teuku Umar secara formal (diatas kertas) telah takluk kepada Belanda. Penjelasan selanjutnya mengenai soal ini belum diperoleh. Tapi, tidak lama sesudah itu dalam satu peristiwa, Teuku Umar dan panglimanya diantar dengan kapal Belanda Benkulen menuju Lambeusoe (Lambusi), suatu wilayah kecil dibagian Aceh Besar yang terletak antara Kruang dan Kluet. Maksud kunjungan ini untuk menyelesaikan soal Nisero. Selam dalam perjalanan Teuku Umar memperhatikan kelakuan Belanda yang sombong terhadap bangsanya: dia sendiripun tidak luput dari perlakuan Belanda yang menyakitkan hati. Setiba di Lambeusoe, dia turun kepantai menumpang sekoci besar dengan pengawalan serdadu laut Belanda. Dalam suatu kesempatan ketika serdadu-serdadu itu meleng, Umar memberi isyarat kepada pengikutnya supaya menyerang mereka. Semua serdadu Belanda tewas dan senjata mereka berhasil dirampas.
            Perjuangan Teuku Umar semakin menarik dimata pejuang Aceh. Dia aktif bertempur, kadang-kadang di Aceh Besar dan pada satu saat sudah pula berada di Aceh Barat. Dalam tahun 1886 dia berada di Ruegaih. Pada 14 juni 1886, Teuku Umar dan para panglimanya menaiki kapal Hok Canton yang sedang berlabuh di Ruegaih untuk menangkap kapten yang bertanggung jawab dan menyita kapal itu. Kasus tersebut menyangkut du hal : (1) kapten kapal, seorang asal Denmark bernama Hansen, ingkar membayar pasok lada yang sudah dimuat ke kapal dan (2) kapten dan anak buahnya bermaksud menculik Teuku Umar untuk dibawa ke Uleulhue dan diserahkan kepada Belanda. Jika berhasil, sang kapten akan menerima hadiah bagi Belanda sebesar $25.000 tunai. 
            Setiba diatas kapal, kapten dan awak kapl mengadakan perlawanan. Pertempuran terjadi. Kapten Hansen tewas. Juri mudi kepala orang jerman, Lanbke, yang melawan keras, tewas. Masinis kepala, Robert Mc Gulloch, seorang Skot, tewas. Sisanya masinis kedua bernama John Fay, jurumudi kedua orang Denmark, Nyonya Hansen, yang memberi perlawanan, dan enam awak Melayu serta Tionghoa, ditahan didarat. Beberapa kelasi ditugaskan menjaga kapal. Dalam bentrokan ini, pihak aceh menyita dua meriam, yang akan digunakn Kapten Hansen untuk menyerang Umar, enam bedil model Snider dan lima pistol bersama uang tunai sebanyak $5000. Latar belakang kasus Hansen adalah demikian: sejak akhir tahun 1885, Belanda mengumumkan akan memberi hadiah $25.000 tunai kepada siapa saja yang sanggup menculik Teuku Umar dan membawanya ke Banda Aceh hudup atau mati. Efek pengumuman ini dikalangan rakyat tidak ada sama sekali karena tidak ada yang berani berbuat demikain kerena telah diperhitungkan tidak akan berhasil. Tapi, dalam masa perang dan keadaan tidak menentu, ada saja petualang yang ingin menangkuk di air keruh. Mereka terdiri dari orang asing, diantaranya para kapten kapal yang bisa bermandi uang apabila pandi memainkan parean. Seorang diantaranya adalah Hansen, kapten Hok Canton.
            Walaupun pengawasan Belanda keras, Hansen pandai menyelundupkan senjata. Menutur catatan seorang laksamana Belanda, sebetulnya sudah ada laporan bahawa Hok Canton suka berlayar saat malam di pantai tanpa lampu. Karena sudah biasa di perairan Aceh, Hensen selalu berhasil mencapai pelabuhan yang dituju. Kepadanya sering diperingatkan, demikian catatan itu, bahwa jika izin pelayarannya tidak ingin dicabut maka kapalnya harus memakai lampu. Walaupun ia acap berjanji memenuhi syarat yang ditentukan namun Hansen tidaj dapat ditindak kerena tidak dapat tertangkap. Menuurt laporan, Hansen dengancerdik menyembunyikan senjata selundupan tersebut. Demikianlah cara dia menarik untung dari dua belah pihak. Sebenarnya, hampir semua kapten kapal dagang asing, yang mendapat kesempatan keluar masuk pelabuhan Aceh, harus memainkan peranan yang sama.
            Sejak sebelum agresi Belanda tahun 1873, kapten kapal E. Roura sudah amat dikenal di Aceh Barat sebagai pelaku imbal-beli (barter), mengangkut hasil bumi keluar dan memasukkan barang-barang impot termasuk senjata-senjata. Mula-mula ia membawa kapal dagang Perancis bernama Patty. Kemudian, sejak agresi Belanda, dia diperkenankan keluar-masuk pantai Aceh Barat dengan kapal sewaan, The Eagle. Roura bukan orang baik, dia seorang boros yanh selalu haus unag. Teuku Umar cukup mengenalnya. Sebagaimana Belanda memperlakukannya untuk kepentingan mereka, demikian pula Teuku Umar dapat memperalatnya untuk memberi laporan tentang kegiatan rahasia Belanda di Banda Aceh.
            Hok Canton berangkat membawa penumpang kapten Roura, yang mengatakan akan mengambil kapal The Eagle di Ruegaih. Jelas, Hensen berniat menjebak Teuku Umar naik ke kapalnya dipelabuhan Ruegaih, menahannya dan seterusnya, tanpa membayar lada yang akan bakal dimuat, membawanya ke Uleulhue unt uk diserahkan kepada Belanda dengan imbalan uang tunai sebanyak $25.000. Apakah kali ini Hansen terpaksa menjebak dan menculik Teuki Umar kerena Belanda mengancam kan mencabut izin masuk kapalnya, saying dugaan ini tidak dapat dapat dibuktikan. Tapi, Hansen membawa isterinya seorang warga Amerika, tentu untuk memudahkan jebakannya.
            Setibanya di Ruegaih pada 13 Juni pagi-pagi, Roura turun kedarat lebih dahulu. Dia berjumpa dengan Teuku Umar dan membeberkan apa yang didengarnya. Teuku Umar tidak memperhatikan reaksi terhadap laporan Roura dan Hansen, dua orang yang saling bersaing keras, bandit dan buaya. Namun, ketika dalam perundingan transaksi pembeliaan lada, Hansen mengemukakan bahwa pembayaran harga lada dilangsungkan diatas kapal sesudah lada dimuat seluruhnya, maka  Teuku Umar mulai was-was.
            Selesai memuat lada ke kapal, Teuku Umar mengutus orangnya untuk menerima pembayaran namun diberitahu bahwa Hansen ingin dia datang sendiri ke kapal. Teuku Umar tidak langsung menyetujui, namun Hansen tetap berkeras Teuku Umar harus datang.disinilah Teuku Umar menyimpulkan bahwa Hansen memang berniat menjebaknya. Malam itu juga Teuku Umar melakukan siasat. Pagi berikutnya seorang panglima bersama 40 prajurit, dengan menggunakan empat buah perahu, telah naik ke kapal, kapten Hansen, yang sedang berada dikamarnya bersama isterinya, segera dikepung.  Berikutnya kapal The Eagle bergerak mendekati Hok Canton. Teuku Umar meminjam kapal ini dari Roura dengan alasan memnuhi undagan Hansen, menuntut pelunasan harga lada sebanyak 5000 dolar, sambil menandaskan setipa keingkaran akan ditindak dan setiap perlawanan akan sia-sia. Tapi, ia tetapi ingkar, menghina Teuku Umar dan menantangnya.
            Ketika disergap Hansen berteriak dan memerintahkan anak buahnya untuk melawan. Perlawanan mereka dapat dipatahkan. Ketika kapten dan istrinya hendak dibawa ke darat, keduanya melarikan diri dengan meloncat kelaut. Dengan susah paya mereka dikejar dan diancam akan ditembak. Tapi, Hansen tidak peduli, sehingga dia ditembak dan tewas akibat luka-lukanya. Istrinya, yang nyaris tenggelam ditawan. 
            Seyogyanya, kapal Hoc Canton akan disita juga, tapi bagi Teuku Umar pekerjaan itu sia-sia. Dia juga tidak mau menenggelamkannya. Teuku Umar hanya memerintahkan awak kapal yang tinggal supaya menjaga kapal itu sembari menunggu perintah. Tapi, petualang Roura, mengetahui peristiwa ini didarat, menaiki sebuah perahu menuju Hoc Canton dan melarikannya ke Uleulhue. Anak buahnya menyusul dengan kapal The Eagle. setiba di Uleulhue, Roura melapor kepada penguasa Belanda di Banda Aceh. Pada 15 Juni, Kontrolir Kamp ditugaskan oleh gubernut militer Belanda, van Teijn, berangkat dengan kapal perang ke Rigas, disusul besoknya oleh Asisten Residen van Langen. 
            Sementara itu Teuku Umar dan para panglima telah bersiap-siap mengepung pecan Rigas menanti setiap kemungkinan. Sebagaiman telah diceritakan raja Ruegaih adalah salah seorang raja-raja Aceh yang bersedia menandatangani pengakuan kepada Belanda secara terpaksa. Berdasar kedudukannya kepada Belanda, Kontrolir Kamp meminta laporan dan pertanggungjawaban raja Rigas. Raja tidak dapat memberi pertanggungjawaban itu, karena dia tidak dapat berbuat apa-apa berhubung seluruh Rigas berdiri dibelakang Teuku Umar. Besoknya, Langen muncul dan menyatakan keinginan untuk berjumpa dengan Teuku Umar dan para tawanan. Tapi, permintaannya itu ditolak. Teuku Umar hanya memberi izin pada salah seorang tokoh Aceh yang turut dalam rombongan Belanda, Nya' Periang, untuk berjumpa dengan Ny. Hansen. Ketika itu para tawanan menumpang dirumah Teuku Haji Dawi di Rigas. Mereka diawasi ketat. Ny. Hansen mendapat luka kecil yang tidak berarti sama sekali, tapi dalam pertemuan itu dia menasdaskan bahwa dia dilayani dengan baik dan terhormat walaupun dia merasa sangat pilu atas kematian suaminya.
            Karena tidak dapat berbuat apa-apa, pada 18 Juni Langen dan Kam pulang ke Banda Aceh, sambil membawa raja Rigas untuk mempertanggung jawabkan kejadian ditempatnya. Turut ke Banda Aceh enam awak kapal Hoc Canton yang dibebaskan. Tetap dalam tawanan di Rigas adalah Ny. Hansen dan awak kapal asal inggris, John Fay. Laporan pegawai Belanda sekembalinya ke Banda Aceh menyimpulkan kepada Gubernur van Teijn bahwa kekerasan harus dijalankan terhadap yang " bertanggung jawab" yaitu Teuku Umar. Segera juga kabar peristiwa tersebut tiba ke Penang dan merupakan berita yang menggegerkan ketika tersiar dalam Penang Gazatte. 
            Kegemasan memuncak diantara pengurus perkumpulan Penang Association yang mengadakan seidang kilat dan mengeluarkan resolusi berisi (a) mendesak pemerintahan Belanda, unutk mengambil langkah cepat dan tegas guna membebaskan John Fay, dan (b) mendesak pemerintah Inggris agar secepatnya menyelesaikan kasus kapten Hansen dan istrinya secara memuaskan. Keputusan tersebut diambil setelah dipahami oleh rapat bahwa Belanda tidak mampu menguasai keadaan di Aceh.
            Dampak resolusi tersebut sebetulnya tidak ada selain untuk meramaikan. Berlainan dengan kasus Nisero, kapal Hoc Canton berbendera Belanda, bukan bendera Inggris. Hansen adalah orang Denmark. Isi kapal bukan milik Inggris . kebangsaan Ny. Hansen sama dengan suaminya. John Fay, meski seorang Inggris tidak dianiaya, melainkan ditahan secara terhormat. Begitupun, bagi Belanda kegusaran Inggris itu mengundang efek merugikan. Tidak mengherankan jika Belanda segera mengambil tindakan keras. 19 Juni, kapal Palembang diberangkatkan ke Rigas bersama kapal Westboot, membawa tentara Belanda untuk dikerahkan dan menghancurkan kampong. Pada 20 Juni, tiba lagi kapal-kapal Devonhurst, Merapi, Sambas, dan Zeemeeuw, mengangkut seluruhnya lebih dari 500 orang tentara. Kali ini ekspedisi militer Belanda dipimpin langsung oleh Gubernur Militer van Tijn.   
Tanggal 25 Juni tiba lagi di Uleulhue kapal yang membawa pulang sejumlah perwira-perwira Belanda yang tewas dan luka. Hasil pertemuran dengan korban besar dari pihak Belanda. Akhirnya mereka memutuskan unutk menghancurkan Ruegaih dengan bombardemen kapal perang. Tapi, ketika Teuku Umar mengirim peringatan bahwa perbuatan demikian akan sia-sia dan akan dibalas dengan hukuman mati bagi para tawanan (Ny. Hansen dan Jhon Fay). Maka belanda tidak jadi membom, melainkan memerintahkan kapal-kapalnya kembali ke Uleulhue.
            Bagaimanapun rupanya Belanda tidak mau pulang dengan hampa tangan, Teijn menculik bebrapa perempuan diantaranya, menurut sumber Belanda, nenek Teuku Umar. Teuku Umar memberi pemberitahuan supaya perempuan-perempuan yang diculik Belanda dibebaskan karena mereka tidak berdosa. Tapi, Teijn menjawab jika Umar ingin Hansen ditebus, dia harus juga menebus orang-orang yang duculik Belanda. Teuku umar memerintahkan kepada seorang panglimanya untuk membawa tawanan (Ny. Hansen dan John Fay) kepedalaman supaya mereka tidak ingin lari ataupun diculik.  Hansen diberi kesempatan menulis surat kepada Belanda bahwa dia bisa dibebaskan jika ditebus sebanyak $40.000 dengan ketentuan bahwa persoalannya tidak berekor lagi. Ny. Hansen dijaga dengan baik, Cut Nya' Dien sendiri turut berusaha mengasuh Ny. Hansen. Pada 6 September 1886, Ny. Hansen dan John sudah berada kembali ke Banda Aceh, dengan berpakaian sarung dan lancer berbahasa Aceh. Mengenai kecurigaanya terhadap dirinya bahwa dia mungkin diganggu oleh Teuku Umar     atau bawahannya, Ny. Hansen membantah dengan menegaskan bahwa hal itu sama sekali tidak benar. Pada seorang temannya sesame orang Denmark, bernama Christiaansen, dia menulis panjang lebar menjelaskan kesatriaan dan kemuliaan pribadi Teuku Umar dan istrinya Cut Nya' Dien.
            Sejak peristiwa Hoc Canton gengsi Teuku Umar semakin naik. Dia ditakuti oleh Belanda, lebih-lebih sesudah terdengar dia sudah berada di Aceh Besar. Mungkin saja karena fakta-fakta yang sudah terbikti itu, pihak Belanda sendiripun turut mengakui kesatriannya. Seorang Mayor Belanda, L.W.A. Kessier, tanpa ragu-ragu menilai Teuku Umar dengan menyatakan : bahwa dia seorang "intellegente en zeer baschaafde Atjeher" (Orang Aceh yang paling cerdas dan paling sopan).
Teuku Umar Mendekati Belanda
Secara kebetulan Teuku Umar mengajukan penyerahan diri. Dia menyatakan bersedia membantu Belanda mengamankan Aceh Besar menurut kebijakannya. Selama beberapa Waktu Deijkkerhoff meneliti kesungguhan Teuku Umar. Dalam bulan Agustus 1893 Teuku Umar menggunakan kebijaksanaan dapat mengamankan Mukmin XXV dan atas jaminannya menyerahkan kepada Belanda kampong yang perlu diduduki mereka. Deijkerhoff merasa puas atas bukti dari Teuku Umar, lalu menyatakan bersedia menerima penyerahan dirinya. Gubernur Deykerhoff (1890) berusaha untuk mendekati kaum bangsawan atau Ulebalang karena mereka dan para pedagang dipandangnya sebagai pemberi dana bagi perang. Siasat ini antara lain berhasil untuk mendorong Teuku Umar berpihak kepada Belanda. Ia dengan pasukannya membantu Belanda dalam "mempasifikasikan" Aceh Besar dengan menundukkan Mukmin XXII,XXV,XXVI. Dengan demikian ia mendapat kepercayaan sangat besar dari Deykerhoff. Hal itu dipergunakannya untuk kembali kepihak Aceh dengan membawa peralatan perang yang cukup lengkap (1896). Dengan membaliknya Teuku Umar seluruh daerah Aceh Besar mulai bergolak lagi, maka Belanda terpaksa mengirim ekspedisi lagi untuk menundukkan seluruh daerah lembah sungai Aceh sampai ke hulunya.
Sejak tahun 1890 Snouck Hurgronje mempelajari masyarakat Aceh dan berdasarkan studi itu ia memberikan saran-saran kepada pemerintah, yaitu menggempur semua pemimpin Aceh yang mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Untuk menjaga keamanan Aceh Besar disetiap Segi ditempatkan pasukan mobil. Ekspedisi di Aceh Besar dipimpin oleh van der Heyden dibantu oleh van Heutz. Ofensif yang dilakukannya memaksa para pemimpin Aceh menyelamatkan diri ke Pidie, antara lain Sultan Panglima Polim, Teuku Umar, dan rombongannya. Strategi onfensif itu diteruskan waktu van Heutz diangkat sebagai gubernur Aceh. Strategi itu sesuai dengan apa yang disarankan oleh Snouck Hurgronje dan bertahun-tahun mereka perjuangkan.
Waktu diadakan operasi di Pidie, di daerah pantai Timur muncul gerakan T.Tapa, seorang dari Gayo yang bertindak sebagai orang keramat dan berhasil menarik pengikut besar-basaran. Dicanangkannya pula perang sabil. Pada bulan Juni 1898 diadakan rapat para pemimpin perang dimana Teuku Umar diserahi pimpinan umumnya. Operasi van Heutz memaksa pihak Aceh lebih bersikap defensive dengan menghindari konfrontasi. Dalam perang gerilya itu Teuku Umar gugur. Banyak ulebalang didaerah Pase mel (menyerah)(1899). Barisan aceh terdesak terus, Meureudo, Samalangan, Pensangan, Batu merah, dan akhirnya Batu-Ilie jatuh ketangan musuh.
Daftar Pustaka
·         H. MOHAMMAD SAID ACEH SEPANJANG ABAD. Penerbit Harian Waspada Medan.2007 (halaman 255-) Said, H Muhammad, 2007, Aceh Sepanjang Abad, Harian Waspada Medan. (halaman 265-277)
·         Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengatar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporim sampai Imperium. Jakarta; PT.Gramedia Pustaka Utama.(halaman 389-390)
·         Wikipedia, sejarah Teuku Umar
             

No comments:

Post a Comment