PERMULAAN POLITIK KOLONIAL LIBERAL (1850-1870)


SITI ARDIANTARI/B/SI3

   Priode antara tahun 1850 dan 1870 ditandai oleh pesatnya kemajuan perdagangan Eropa, dan negeri Belanda mendapat keuntungan dari perkembangan ini.Masa dua puluh tahun itu bagi negeri belanda merupakan periode transisi dari keadaan praindustri ke industri. Ekspansi perdagangan internasional belanda terutama disebabkan oleh berkembangnya impor hasil-hasil dari Indonesia dan meningkatnya perdagangan transito. Kesejahteraan ekonomi dalam pertengahan abad ke-19 tercermin dalam keuangan Negara. Kesejahteraan didapatnya dari hasilhasil financial Cultuurstelsel. Menurut pendapat umum, daerah-daerah jajahan memang seharusnya member keuntungan kepada negeri induk, dan pendapatan dari Cultuurstelsel memang dipergunakan untuk kerajaan. Tiap-tiap reform atau campur tangan dalam system tersebut akan mengancam surplus, sebabitu orang lebih suka menghindarkan diri dari politik positif yang ditujukan kepada reform. Apa yang dikehendaki oleh golongan liberal hanyalah penghasilan dan pengeluaran dari daerah-daerah jajahan yang harus diatur dalam undang-undang.
   Tahun 1848 memang merupakan titik balik. Tahun ini setidak-tidaknya merupakan permulaan adanya kesempatan untuk mengadakan reform dalam politik colonial melalui saluran parlementer. Pada tahun 1854 Regeerings Reglement (RR) meletakkan dasar bagi pemerintah colonial. Prinsip liberal tentang kebebasan individu, keamanan hak-hak dan usaha-usaha di dalam PR itu adalah esensial. Dengan adanya PR-Konstitusi- Kolonial- mulailah standar baru bagi pemerintahan di Indonesia dan dipaksakanlah politik yang lebih liberal. Sejak itu menyusul lah beberapa peraturan baru yang menghilangkan beberapa penyelewengan. Akhirnya tanaman-tanaman pemerintah yang kurang penting seperti indigo, tembakau, the, di hapus. Pelaksanaan prinsip-prinsip liberal tidak hanya berarti terbaginya kekuasaan pemerintah dengan perwakilan rakyat, tetapi juga berarti dilancarkannya kritik mengenai segala persoalan colonial. Usaha-usah kaum liberal untuk mengadakan sejumlah reform didasarkan pada doktrin ekonomi politik klasik dan ditujukan untuk melawan monopoli dan pemaksaan. Tujuan-tujuan ini diperjuangkannya dengan sungguh-sungguh dan tidak terbatas pada persoalan-persoalan colonial.
   Politik ekonomi kaum liberal adalah kebalikan dari politik yang dijalankan oleh Willem I. Prinsip yang dianut sekarang adalah prinsip "tidak campur tangan"' berhubung dengan itu kerajaan harus menarik diri dari segala campur tangan; segala rintangan terhadap inisiatif individu dan kebebasan harus dihapuskan, dan segala bantuan pemerintah kepada usaha swasta harus dihentikan. Semuanya ini berarti runtuhnya politik merkantilisme dan proteksionisme. Konsekuensinya, banyak undang-undang yang melindungi hak-hak istimewa perusahaan-perusahaan nasional dihapus. Tindakan-tindakan ini sebagian disebabkan karena kepatuhan ideologis golongan liberal dan sebagian juga karena tekanan-tekanan politik dari pihak inggris. Kecenderungan umum di eropa yang menuju ke perdagangan bebas menyebabkan belanda menghapus peraturan-peraturan proteksinya.
   Gejala yang menyertai industrialisasi dan perdagangan bebas adalah berkembangnya dan bergeraknya modal. Perkembangan bank-bank yang cepat antara tahun-tahun 1850 dan 1870 menunjukkan adanya konsentrasi dan modal.
   Sistem ekonomi liberal mempermudah bank ekspor maupun impor modal. Penanaman modal di Indonesia terutama terjadi pada industry gula, timah, dan tembakau yang mulai berkembang sejak tahun 1885. Dengan dihapuskannya Cultuurstelsel secara berangsuir-angsur, maka tanaman wajib pemerintah diganti dengan perkebunan-perkebunanyang diusahakan oleh pengusaha-pengusaha swasta. Kalau di satu pihak modal belanda diekspor maka dilain pihak modal asing, khususnya jerman, ditanam di beberapa cabang industry di negeri belanda. Singkatnya, liberalisasi politik perdagangan belanda berarti pembukaan negeri belanda bagi perdagangan internasional. Sebagai Negara kecil diantara Negara-negara besar dengan industry-industrinya sudah maju, maka sudah selayaknya kalau negeri belanda mengarahkan dirinya ke konstelasi ekonomi umum.
   Bukan hanya suatu kebetulan, kalau timbulnya partai liberal terjadi pada periode revolusi industry di negeri belanda. Seperti di Negara-negara lainnya, liberialisme di negeri belanda sebagian besar mendapat pengikut dikalangan kaum borjuis yang mengalami emansipasi politik sejajar dengan posisinya yang kuat didalam ekonomi politik. Sebetulnya masa dua puluh tahun ini (1850-1870) dapat dianggap juga sebagai masa konsolidasi kenegara liberal. Dalam hal ini kita membatasi diri pada akibatnya atas politik colonial belanda.
   Sejak persoalan-persoalan colonial tidak lagi menjadi rahasia di Staten Generaal, maka parlemen selalu menaruh perhatian terhadap soal-soal tersebut. Banyak diantara anggota-anggotanya memperluas pengetahuan mereka tentang tanah jajahan, maka sudah selayaknya kalau mereka lebih menjadi sensitive akan kekurangan-kekurangan mereka. Akibat-akibat dari perubahan opini tentang tentang politik colonial ini berproses sangat dipercepat. Dalam periode ini gerakan yang ditujukan terhadap reform menjadi makin kuat. Sesungguhnya politik golongan colonial golongan liberal harus sesuai dengan politik liberal negeri induk. 
DARI POLITIK KOLONIAL LIBERAL KE POLITIK ETHIS (1870-1900)
   Kurang lebih tahun 1870 belanda memasuki periode kapitalisme modern. Hasil revolusi industry selama masa dua puluh tahun sebelumnya terwujud  dalam perkembangan industry, perkapalan, perbankan, dan komunikasi yang modern. Modal tersebut diatas terutama berupa uang, dan terdiri dari modal pinjaman (rentier capital) yang dipusatkan di bank-bank. Kondisi-kondisi yang menyenangkan bagi penanaman modal dijamin oleh pemerintah colonial, seperti tenaga kerja dan tanah yang murah.
Hingga kini kita mengetahui, bahwa perkembangan politik colonial belanda itu ada hubungannya dengan evolusi kondisi ekonomi dan system politik di negeri belanda. Tetapi tidak dapat diabaikan, bahwa di hindia belanda kita melihat suatu perkembangan yang lebih lambat. Periode antara tahun-tahun 1850-1870 adalah masa jaya bagi liberialisme di negeri belanda, sedangkan di hindia belanda periode itu merupakan peride transisi dari politik colonial konservatif ke politik colonial liberal.
   Banyak sifat imperialisme terdapat didalam kegiatan orang belanda di Indonesia. kita melihat suatu surplus modal yang tak dapat ditanam secara menguntungkan didalam negerinya sendiri. Maka modal ini ditanam dalam perusahaan-perusahaan pertanian, pertambangan, dan pengangkutan, baik dijawa yang tenaga kerjanya sebagai factor produksi. Alat-alat kekuasaan nasional dipergunakan untuk menjamin modal yang telah ditanam. Meskipun demikian berbeda dengan kekuasaan colonial lainnya, negeri belanda menjalankan politik "pintu terbuka" yang mengizinkan masuknya modal dan barang produksi industry asing dengan syarat-syarat yang sama seperti modal dan produksi belanda sendiri.
Dengan mudah dapat diperlihatkan, bahwa imperialism itu senapas dengan usaha mencari kesempatan untuk memperoleh keuntungan uang, seperti pasaran atau kesempatan penanaman modal.
IDEOLOGI KOLONIAL BELANDA
   Di dalam sejarah colonial belanda dapat di cari dengan mudah. Di dalam sejarah colonial belanda, motif-motif itu telah berubah-ubah menurut perputaran waktu dan amat menarik sekali untuk mengadakan pergantian sebuah formula bagi imperialism belanda, terutama pada periode PD 1 dan PD II. Di dalam usaha untuk mengatasi situasi yang makin gawat di hindia belanda, negarawan-negarawan belanda dari berbagai aliran politik mempunyai satu jawaban, yaitu tetap untuk menempatkan Indonesia di dalam hubungan colonial dengan negeri belanda. Ideology colonial itu selaras dengan golongan-golongan, baik yang menyebarluaskan cita-cita itu maupun yang menciptakannya.
Penulis-penulis tentang pergerakan Nasional dan dari sejarawan-sejarawan (lihat antara lain kuliah-kuliah Drs. A. Surjomihardjo tahun 1962) menyatakan bahwa dalam perang dunia  1 industri di Indonesia berkembang dan karena itu jumlah buruh makin banyak yang mengakibatkan dapat bergeloranya pergerakan nasional sesudah Perang Dunia I selesai.
   Lawan-lawan politik asosiasi dari pihak Indonesia menyatakan bahwa didalam kerangka itu supremasi belanda mendapat garansi yang kuat dan dapat dipertahankan. Para kritikus belanda yang konservatif menyatakan bahwa yang dimaksud dengan asosiasi adalah suatu penyeleksian pada segolongan kecil individu untuk ditingkatkan pada taraf cultural dari peradaban barat. Karena alasan itulah politik asosiasi disebut juga politik aristokratis dan tidak akan berhasil. Karena ia mengasingkan masyarakat Indonesia sebagai suatu keseluruhan.
   Sebagai reaksi, baik terhadap propaganda yang bersifat revolusioner maupun terhadap pernyataan gubernur jenderal van limburg stirum (1916-1921). Dan didirikan lah sebuah partai asosiasi belanda, yang diberi nama politiek economische bond (PEB). Tujuannya adalah untuk mewujudkan suatu bangsa hindia dengan jalan kooperasi dengan rakyat pribumi dibawah pimpinan belanda. Jadi PEB menentang gerakan "BEBAS Dari Holland", maupun nonkoperasi.
   Sebagai protes dari gabungan partai-partai terhadap politik itu, maka didirikanlah vaderlandsche club (VC), Yang merupakan front kulit putih. Perlu diterangkan disini, bahwa vederlandsche club di tuduh oleh lawan-lawannya telah ditunggangi oleh kaum kapitalis dan selalu siap untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka. Tuduhan itu mempunyai dasar yang kuat dengan adanya isu tentang didirikannya fakultas indology di Utrecht, yang seluruhnya dibiayai oleh ondernemersbond dan oleh perusahaan-perusahaan besar. Berdasarkan pebedaan-perbedaan yang esensial antara timur dan barat, colijn mengingatkan, bahwa sifat timur asli akan dipertahankan, terutama ia menekankan bahwa rakyat timur tidak mempunyai kecakapan untuk melaksanakan otonomi.
   Telah kita ketahua bahwa ideology colonial makin dipandang sebagai masalah hubungan timur-barat yang paling luas. Hubungan itu di tinjau berdasarkan anggapan bahwa peradaban barat itu lebih tinggi dan berbeda sekali dengan kebudayaan timur.
   Ideology colonial didalam segala manifestasinya terbukti dipengaruhi oleh pola pemikiran yang besifat eropa sentries, yang didalm terminology politik colonial dinyatakan sebagai kepemimpinan barat, potik kewajiban moral, politik ethis, politik perlindungan, dan seterusnya.
KONFLIK KOLONIAL (1940-1941)
Dunia pergerakan Nasional (1940-1941)
   Orang pribumi dapat hidup dengan dua setengah sen sehari" adalah salah satu ucapan statistic colonial yang paling menyakitkan golongan nasionalis. Tanpa suatu konsekuensi pun pemerintah colonial dapat menolak dan mengabaikan petisi-petisi sutardjo, wiwoho, yamin, thamrin, maupun GAPI dan lain-lain yang disuarakan di Volksraad mengenai "perkembangan-perkembangan politik di Indonesia". prinsip non kooperasi dengan pemerintah kebanyakan ditinggalkan, tetapi justru Karena hal itu pergerakan terutam terpusat di Volksraad dan dewan-dewan lain serta pada pers Indonesia. tetapi bagaimanapun juga ada perbedaan antara sifat pergerakan 1930 an, 1940 an dengan pergerakan tahun 1920 an. Pertama-pertama pergerakan ini meninggalkan prinnsip non kooperasi. Sifat kepemimpinannya berubah, tidak ada lagi demagogen rakyat atau tokoh-tokoh yang dapat berpidato agitatoris didepan rakyat seperti tjokroaminoto dan soekarno dalam tahun-tahun yang lalu.
   Sebab-sebab dari keadaan pergerakan nasional seperti dilukiskan diatas, lebih dibicarakan oleh berbagai penulis. Biasanya dua hal yang dilihat yaitu krisi ekonomi dan depresi yang mengikutinya serta kenyataan bahwa persiapan-persiapan dan peralatan hindia-belanda menjadi lebih baik dan lengkap dalam menghadapi pergerakan nasional. Di dalam konflik colonial, masih ada orang-orang yang melakukan  melalui hokum, hal yang demikian menjelaska bahwa "penetrasi jiwa barat" ke dalam masyarakat Indonesia. buku R.A kartini juga diterbitkan dalam bahas belanda.
   Pada akhir –akhir pemerintah hindia-belanda ini ada unsure lain yang tidak kurang kuatnya yaitu sumpah pemuda dan cita-citanya dari tahun 1928.
   Hal ini jangan sampai dilebih lebihkan sebab tidak pernah antara "pemimpin Indonesia modern" dan rakyat terjadi jurang seperti antara Binnenlandsh Bestuur belanda dan rakyat Indonesia. pemimpin golongan Indonesia dikelilingi oleh golongan suatu golongan Indonesia yang menjadi perantara (scahkel personen) dengan masyarakatnya yang ditilik dari pendidikan dan funsinya mempunyai tali dengan masyarakat. Kebiasaab "pikawanisme" bagi pemimpin-pemimpin Indonesia( tokoh yang dikelilingi oleh orang-orang yang lebih dari padanya.
   Pergerakan Indonesia dari semula sangat sadar akan hal ini dan dari semula memberikan tempat yang penting dalam kehidupan emosional pergerakan nasional. Tokoh-tokoh lain seperti mangkunegoro, kesultanan, atau kesunanan memberikan tempat yang layak pada golongan pemuda ini, dan juga golongan-golongan islam.
   Dan pada waktu itu terdapat "politici elite" golongan-golongan yang budayanya berorientasi ke barat yang kebanyakan terdiri dari tokoh-tokoh pergerakan dan yang aktif dalam pergerakan, yang dapat dibagi kedalam dua golongan yaitu yang "cooperatoren dengan pemerintah " dan yang kiri atau pembagian lain yang "tengah" dan yang " kiri". Untuk pembagian-pembagian ini yang diambil sebagai ukuran adalah sikap terhadap pemerintah hindia-belanda dan tata susunan colonial, kesedian untuk bkerja sama denga yang lain-lain
DAFTAR PUSTAKA
Onghokham.1987.Runtuhnya HindiaBelanda.Jakarta:PT Gramedia.
Kartodirdjo, Sartono.1992, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme jilid 2.Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.

No comments:

Post a Comment