Nama : zurika mitra / B / S I 3
Pelaksanaan taman paksa jadinya terbatas di mana pembesar bumiputra segera dpat dipengaruhi, yakni di Jawa( minus Surakarta dan yogjakarta), Sumatra Barat, dan Sulawesi Utara. Tanah partikelir tak dapat dijamahnya. Karena bergantung pada kekuasaan peranta itu, maka yang segera memetik keuntungan adalah penguasa tanah. Mereka terdiri dari pemerintah jajahan, pejabat Bumiputra yang diberi tanah jabatan ( ambtsvelden ), bangsawan, priyai lain, dan masyarakat China.
Selain menyewaka tanah, pejabat dan karyawan yang terlibat dalam Tanam paksa diberi pula komisi berupa persentase hasil bumi yang dikumpulkan. Insentif inilah yang banyak mengakibatkan penyimpangan tersebut diatas. Rencana meminta rakyat menyisihkan seperlima tanahnya untuk tenaman ekspor, misalnya sering berubah menjadi sepertiga, bahkan setengah. Rencana meminta 66 hari kerja dari petani utnuk tanaman ekspor, molor sesuka hati pemerintah. Panen jelek yang bukan karena kesalahan petani di tanggung oleh petani juga. Paajak tanah yang mestinya dikurangkan dari hasil tanaman ekspor tetap saja harus dibayar khusus oleh petani. Seringg suatu keresidenan dipaksa memenuhi kuota yang hanya diperkirakan secara umum, sehingga banyak petani yang tetap harus membayar kendati panen mereka gagal.
Hampir semua petugas tanam paksa belum mengenal tanaman yang akan di kembangkan. Di antara para petugas itu terdapat calon-calon pegawai muda lulusan sekolah Bahasa Jawa ( Instituut voor de javaansche Taal) di Surakarta.lulusan ini tentu tak di andalkan dalam urusan tanam paksa. Selain itu , peminatnya kebanyakan dari kalangan indo, yang semangat kerjanya sering dinilai lebih rendah dari pada bumipura.
Mudah diduga, kesulitan harus ditanggung petani semakin bertambah karena mereka tidak mendapat bantuan secara teknologis yang diperlukan. Betapa tidak. Tanam paksa memperkenalkan jenis baru tanaman ekspor di berbagai daerah. Kopi, misalnya, yang terpusat di jawa Barat sejak pertengahan abad ke 18, dipaksakan juga di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Barat dan Sulawesi Utara. Demikian pula tebu, nila, the, tembakau, kulit manis, lada, sutra dan kapas. Kegagaln pasti terjadi apabila lahan yang di Tanami tidak sesuai. Dalam hal itu petani lah yang membayar kegagalan, bukan pemerintah, dan bukan pula pemilik tanah.
Yang lebih parah lagi petani adalah persaingan antara penanaman padi dan tanaman ekspor, terutama tebu, di sawah mereka. Keduanya memerlukan banyak air sehingga susah mangaliri tanamannya. Tidak jarang pabrik gula main paksa menanami seluruh lahan petani dengan tebu. Menyimpang dari ketentuan, rakyat melakukan kerja paksa lebih daripada 66 hari setahun, dan menyerahkan lahan sperlima lebih. Akibatnya, petani kelaparan. Pada 1843, Cirebon kelaparan, wabah melanda Jawa Tengah selama 1846-1849, di susul kelaparan pada 1850. Kendati demikan, tanam paksa telah mampu membuat impas anggaran belanja pemerintah jajahan pada 1831. Beberaapa tahun kemudian, seluruh utang VOC lunas pulas terbayar. Memalui berbagai tindakan kejam, akhirnya Belanda berhasil menyehatkan keungan negeri keungan Belanda dengan menerapkan system tanam paksa ini. Selama perang, Belanda haru smengeluarkan baiya f. 20.000.000 ( dua puluh juta gulden ). Keuntungan pemerintah Hinda Belanda antara 1831-1871 tidak hanya bisa untuk membiayai pemerintahan Batavia, tetapi juga memiliki laba bersih sebesar f.823.000.000 ( delapan ratus dua puluh tiga juta gulden ) untuk kas negeri Belanda di Den Haag.dapat dilihat betapa pentingnya Batavia bagi Belanda, karena secara langsung atau tidak langsung Batavia merupakan sumber modal bagi Belanda. Dapat dibedakan, antara kedatangan pihak kompeni dengan etnis Tionghoa ke Nusantara. Kedatangan pihak kompeni dan inventasinya di Nusantara sarat dengan misi ekonomi. Dengan maksud membangun kekuatan jaringan ekonomi, pemerintah Hindia Belanda melakukan pemerasan atas koloni yang dikuasainya untuk mendapatkan berbagai keuntungan. Berbeda dengan maksud kedatangan etnis Tionghoa di Batavia ataupun kepulauan Nusantara lainnya, yang datang mencari nafkah akibat berkecamuknya perang di negri asal mereka. Di Batavia, mereka tidak hanya berpangku tangan melainkan berusaha keras, giat, dan ulet sehingga mereka sangat produktif dalam berbagai bidang. Bahkan tak jarang mereka juga mengajarkan pengetahuan yang mereka miliki kepada masyarakat setempat, sehingga tidak ada bentuk penjajahan terhadap warga bumiputra oleh warga etnis Tionghoa.
Kecakapn warga etnis tionghoa yang mau membaur dengan masyarakat setempat di anggap VOC sebagai buah ancaman ekonomi. Hal ini disebabkan keuletan dan kerja keras mereka yang tak kenal lelah dalam bersabar dan mencari nafkah. Terbukti, pabrik gula yang diusahakan oleh etnis Tionghoa mengalami kemajuan sehingga pihak VOC berhasil mengumpulkan pajak yang banyak dari mereka dibandingkan dari wargabumiputra. Ironisnya, pajak yang dibebankan teus mengalami peningkatan jika pihak penyetor pajak dinilai mengalami kemajuan dalam usaha. Penekanan demi penekanan dilakukan untuk mengatasi ruang gerak mereka. Penindasan lainnya berupa pengusiran-pengusiran secara kasar juga dilakukan terhadap warga etnis Tionghoa yang tidak bisa memnuhi pembebebaman pajak yang ditetapkan oleh VOC. Wrga Tionghoa yang terusir banyak yang kembali ketanah leluhurnya. Terhadap bumiputra, VOC melakukan penindasan berupa menetapkan ketentuan untuk menanam tanaman yang menguntungkan dan pengerahan tanaga rakyat secar paksa, yang membuat bumiputra kehilangan mata pencaharian karena tidak mempunyai kesempatan untuk mengurus pekerjaan mereka dalam bercocok tanam. Voc juga meracuri warga etnis Tionghoa dan bumiputra secara diam-diam dengan melegalkan opium. Diberbagai pelosok, dengan mudahnya dapat ditemukan penduduk tua maupun muda, warga bumiputra atau wrga etnis Tionghoa, yang sedang mengisap opium melalui sebuah pipa panjang.. sebagai akibat dari opium, penduduk nehjadi bermalas-malasan dalam berusaha, sedangkan kebutuhan hidup tetap harus dipenuhi. Oleh karena itu, banyak warga yang melakukan tindakan criminal seperti merampok, demi tatp menghasilkan uang bagi pemenuhan kebutuhan hidup dan kebiasaan mengisap opium.
Selain itu , melihat maraknya perdagangan di Batavia, VOC kemudian berencana untuk membangunnya hingga menjadi sentra perdagangan dan permukiman bagi pejabat VOC. Untuk merealisasikan hal itu, VOC banyak memerlukan budak. Sebagian besar budak diambil dari Bengali, Arrakan, Malabar, Koromandel, bahkan Tiongkok. Para budak ini, umumnya memiliki keterampilan seperti koki,tukang konde, dan sebagainya. Kehidupan mereka sangat memprihatinkan karena mereka kerap dianiaya. Oleh karena itu, banyuak budak yang melarikan diri ke hutan.
Pada saat itu VOC membngun kota Batavia di tas tanah rawa, maka untuk mencegah banjir, kompeni VOC banyak membuat kanal. Proyek borongan pembangunan kanal itu banyak dipegang oleh orang Tionghoa. Bersinergi dengan meningkatnya jumlah proyek kebutuhan kompeni. Jumlah kuli pun meningkat, termasuk kuli etnis Tionghoa. Hal ini sebenarnya lebih banyak menguntungkan pihak VOC, karena kebutuhan akan tenaga kerja kasar terpenuhi. Dan pendapatan pajak kepala yang juga dibebankan kepada kuli etnis Tionghoa pun jadi meningkat.
Banyaknya jumlah kanal yang dibangun, membuat kanal-kanal menjadi tempat pembuangan sampah, bangkai hewan, dan tempat bersarangnya nyamuk malaria. Penduduk Batavia akhirnya terkena wabah penyakit malaria, tifus, kolera, dan disentri yang kian meluas sehingga menyebabkan kematian, salah satunya yaitu Gubernur jendral Dirk Van Cloon yang berkuasa di tahun 1732-1735.warga etnis Tiongjoa yang meninggal akibat wabah ini lebih sedikit di bandingkan dengan warga bumiputra. Hal ini dikarenakan warga Tionghoa memiliki kebiasaan yang baik, yaiut mengkonsumsi air hangat dan the hangat. Kematian warga Batavia akibat wabah penyakit itu buakn hanya karena kotorannya air kanal, tetapi juga karena sumber air untuk dikonsumsi sehari-hari belum tersedia, sehingga penduduk ataupun kompeni VOC masi mengandalkan air kanal yang kotor. Dengan adanya peristiwa ini, kemudian dibangun sumber air itu dapat ditemukan ditengah-tengah taman Fatahillah, depan museum Sejarah Jakarta.
Pada saat itu selain berhasil mengumpulkan pajak kepada kuli Tinghoa, VOC juga berhasil mengumpulkan pasokan paksa dari warga bumiputra. Diman setiap penduduk di daerah yang berlainan dipaksa untuk memasok barang yang berlainan pula, misalnya penduduk di Mataram dipaksa memasok beras, penduduk Banten di paksa memasok lad, penduduk priangan di paksa memasok kayu, beras, lada, belau dan kapas, penduduk Cirebon dipaksa memasok belau, gula, tebu, kayu dan kapas. Kala itu, darah setempat, berikut urusan pengirimnannya ke Batavia. Dalam menjalankan politik monopoli perniagaannya, VOC kerap menghalalkan segala macam cara, termasuk berbuat sewenang-wenang seperti melakukan penindasan yang tidak berperikemanusiaan. Sebagai contoh, ditahun 1621 VOC telah melakukan npembantaian atas penduduk Pulau Banda akibat menentang kebijakan VOC, untuk emnjual hasil buminya kepada mereka. Sebagian besar penduduk Pulau Banda meninggal, dan mereka masi hidup di tawan untuk dijadikan budak Batavia.
Mengetahui bahwa upaya pengadaan kuli atau budak sama menguntungkannya dengan upaya perdagangan rempah-rempah, maka pada saat itu banyak pejabat VOC yang mempunyai mata pencaharian dengan cara menjualbelikan budak. Untuk memenuhi permintaan akan budak yang terus meningkat dari para puan tanah, VOC banyak mendatangkan budak dari Bali dan Sulawesi Selatan. Budak –budak dalam jumlah kecil banyak di datangkan dari pantai Kalimantan Selatan, Timor, dan Nias, serta daerah lainnya. Perdagangan budak semakin ramai sejak masa pemerintahan Gubernur Jendral Van den Parra, diman dalam setiap tahun sejumlah 4.000 budak diperdagangkan. Tak hanya itu, VOC bahkan melakukan penculikan penduduk di daerah pantai tenggara Tiongkok dan India.
Awalnya upaya penculikan di Tiongkok berkedok perdagangan. Oleh karena upaya perdagangan tidak berhasil, maka dilakukanlah upaya penculikan penduduk ditahun 1622 untuk di jadikan budak. Dibawah perintah Komandan Cornelis Reyerz, VOC mulai melakukan penculikan di berbagai kepulauan Tiongkok, salah satunya di Pulau Peng HU di culik untuik dipekerjakan sebagai budak di Batavia dan Kepulauan Nusantara lainnya. Mereka sering mendapat perlakuan yang sangat menyedihkan dan tidak berperikemanusiaan, sehingga mengakibatkan lebih dari setengah jumlah mereka meninggal dunia dan hanya tersisa 571 oranng. Dalam perjalanan menuju Batavia, 473 orang meniggal dunia dan hanya sedikit saja yang sampai ke Batavia yang pada akhirnya hanya tersisa 33 orang.
Tampak jelas sekali kekejaman VOC dalam menerapkan berbagai cara demi keuntungan pribadi dan negaranya. Sementara, kondisi ekonomi penduduk Nusantara kian terpuruk. Dampaknya meluas pada buruknya kondisi sumber daya manusia dengan kesehatan dan kesejahteraan yang sangat rendah.
Pada abad ke 17 yaitu tahun1674, dibangun sebuah tembok kota. Tembok ini sekaranng terletak dibawah jemabtan layang kereta api, jalan Pintu Air Raya. Dari tembok ini, tenak yang merumput di lapangan tembok diawasi. Tembok kota di bangun karena daerah di beberapa kilometer di luar Batavia dirasakn belum aman dari kemungkinan serbuan pihak asing lainnya. Hal ini pun berdampak pada kegiatan petani-petani Tinghoa yang saat itu telah mananam sayuran dan tebu di ladang basah dekat Ciliwung. Batavia lambat laun menjadi kot aramai terus dan berkembang. Luasnya kekuasaan VOC membuat tanah yang ada di Batavia saat itu seakan milik mereka. Tak segan, mereka memeberika tanah kepada orang yang dianggap berjasa kepada merek, bahkan menjual tanah kepada orang-orang yang bermaksud membelinya. Hal ini tidak di sia-siakan oleh warga etnis Tionghoa. Banyak warga etnis Tionghoa yang meminta tanah untuk membuka areal perkebunan, salah satu perkebunan tebu. Mengingat saat itu pangsa pasar gula di Eropa cukup bagus, VOC melihat permintaan warga etnis Tionghoa untuk membuka areal perkebunan, khususnya perkebunan tebu kepada para penggarap tanah, VOC memberikan bukti penyerahan atas tanah yang disebut donatie brief. Kepada warga etnis Tionghoa, VOC memberikan areal hutan untuk perkembunan yang sebagian besar terletak di tepi Kali Ciliwung. Kali Ciliwung di anggap sebagai tempat yang baik untuk sampah atau ampas tebu.
Warga etnis Tionghoa mulai mengusahakan pendirian pabrik-pabrik penggilingan tebu untuk pembuatan gula. Banyaknya pabrik penggilingan tebu yang berdiri di sepanjang daerah Batavia telah memberikan keuntungan, bukan hanya bagi warga Tionghoa saja tetapi juga bagi pihak VOC. Majunya industry gula tebu di Batavia membuat VOC menghentikan impor gula dari Tiongkok, yang saat itu dianggap memiliki harga yang relative lebih tinggi. Pada tahan awal, jumlah pekerja rata-rata di setiap pabrik gula mencapai 112 orang tenaga kerja, 40% adalah tenaga kerja dari warga etnis Tionghoa yang bertanggung jawab memasak gula, dan 60% adalah tenaga kerja dari warga bumiputra, yang bertanggung jawab menanam, menebang, dan menggiling tebu, serta mengangkut bahan dan barang jadi.
Melihat maju pesatnya usaha perkebunan tebu dan penggilingannya tebu yang dimiliki warga etnis Tinghoa, tindakan monopoli VOC semakin meningkat. Pemerintah VOC mengharuskan pemilik pabrik penggillingan tebu untuk menjual gulanya kepada VOC dengan harga yang relative rendah. Selain itu pujungutan bead an pajak kepala terhadap mereka terus dinaikkan, tanpa mengenal perikemanusiaan.
Pada tahun 1702, di hari jadi VOC yang ke 100, Heren 17 merayakan kegembiraan ini dengan membuat medali Loffelycke Compagne ( kompeni yang Berjaya ). Emas dan perak untuk dibagikan kepada para pengurus dan pejabat senior VOC. Pada bagian depan medali Loffelycke Compagne tanpak patung ratu yang sedang bertahta dan di bagian belakangnya tampak kapal dagang VOC.
DAFTAR PUSTAKA
Simbolon, Parakitri T. 2007. Menjadi Indonesia. Jakarta : Buku Kompas
Wijayakusuma, Hembing H.M. 2005. Pembantaian missal 1740 tragedi berdarah angke. Jakarta : Pustaka Populer Obor
No comments:
Post a Comment