DI SEKITAR PDRI (PEMERINTAHAN DARURAT REPUBLIK INDONESIA), IBU KOTA KE-2 RI


ANDRES PRANSISKA
A.    Pendahuluan
Fakta sejarah tentang keberadaan PDRI tidak diragukan lagi keabsahannya. Namun pengakuan pihak pemerintah terhadap PDRI dalam sejarah nasional selama ini belum kompeherensif.  Belakangan kita dikejutkan oleh pemberitaan pada waktu lalu tentang pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY) meminta momentum peringatan 50 tahun atau ulang tahun emas Universitas Andalas (Unand) dapat mengungkapkan secara lebih rinci dan jelas Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) sebagai bagian dari keberadaan NKRI, adalah sangat menggembirakan kita semua.
Betapa tidak, hal ini diungkapkan kembali oleh Rektor Universitas Andalas Musliar Kasim saat pertemuan dengan alumni Unand di Jakarta baru-baru ini, "Presiden minta itu (PDRI) diungkap secara rinci. Presiden akan dudukkan PDRI sesuai porsinya bagian dari sejarah Indonesia" (Padang Ekspres, 26/5/2006)
Ada hal menarik dari pernyataan Presiden tersebut yakni tentang belum proporsionalnya pengungkapan fakta sejarah PDRI tersebut. Kita mengetahui bahwa beberapa daerah di Sumatera Barat pernah menjadi pusat dari pemerintahan PDRI tersebut.
Sebutlah Bidar Alam, Sumpur Kudus, Bukittinggi, Halaban. Karena pemerintahan bersifat mobil maka pusat pemerintahannya juga berpindah-pindah melewati hutan belantara. Sehingga dijuluki PDRI sebagai Pemerintahan Dalam Rimba Indonesia, karena Belanda yang ingin bercokol kembali telah menyatakan Indonesia telah dikuasainya. Padahal di bawah pimpinan, Ketuanya (Presiden) Syafrudin Prawiranegara, RI tetap eksis baik secara hukum ketatanegaraan maupun hukum internasional. Sehingga tersebutlah PDRI sebagai penyelamat Republik Indonesia, sementara Soekarno dan Hatta ditawan Belanda.
Namun apa yang terjadi selama ini ? Dalam sejarah kontemporer Indonesia, sejarah PDRI seakan-akan dilupakan. PDRI tidak dimasukkan ke dalam buku sejarah terutama di sekolah-sekolah.
B.     Pemerintahan Mobile - PDRI
Dalam Era Millenium III, globalisasi dan perdagangan bebas serta otonomi daerah, menuntut paradigma baru dalam berpikir dan bertindak mandiri dalam berbagai hal untuk menuju Indonesia Baru.
Otonomi Daerah yang menuntut kemandirian (zelfstandigheid) dan kebebasan yang merupakan wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Salah satu prinsip pemberian otonomi adalah dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah. Potensi Daerah tidak saja Sumber Daya Alam (natural resources) dan Sumber Daya Manusia (human resources) melainkan juga potensi sejarah (history).
Berangkat dari hal ini, potensi sejarah Sumatera umumnya dan Kabupaten Solok Selatan khususnya dengan keberadaan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) adalah tidak sedikit dan penting sekali dalam rangka menghadapi era otonomi daerah ini.
Betapa tidak, dengan nilai-nilai dan semangat sejarah perjuangan rakyat  Solok Selatan adalah modal dasar untuk membangun Daerah di masa datang.
Maka dalam perspektif sejarah kontemporer Indonesia, PDRI yang berlangsung dari tanggal 22 Desember 1948 – 13 Juli 1949, punya peran yang cukup menentukan bagi kelangsungan eksistensi Republik Indonesia pada saat-saat kritis.
C.    Sejarah Terbentuknya PDRI
Peristiwa terbentuknya PDRI sekitar 42 tahun yang lalu berawal dengan jatuhnya ibukota RI Yogyakarta ke tangan Belanda. Di mana Presiden Soekarno dan Wakilnya Mohammad Hatta beserta para menteri lainnya ditawan oleh musuh. Peristiwa tragis ini terjadi pada tanggal 19 Desember 1948, ketika itu para pemimpin Indonesia tidak menduga sama sekali bahwa Agresi Militer (Clash) II Belanda terjadi begitu tiba-tiba sehingga terjadilah ujian bagi kemerdekaan bangsa kita.
Adapun tujuan Belanda mengadakan agresi yaitu ingin menunjukkan kepada dunia luar bahwa Republik Indonesia telah hancur lebur, dengan didudukinya Ibukota Yogyakarta dan para pemimpin negara ditawan. Namun perhitungan itu keliru dan perlawanan rakyat tetap berlanjut. Maka dalam situasi gawat demikian Wakil Presiden/PM Mohammad Hatta sempat mengadakan sidang Kabinet di Kepresidenan pada pukul 10.00 WIB yang dihadiri Presiden para menteri lainnya. Sidang tersebut menghasilkan tiga keputusan penting, yaitu:
1.Presiden dan Wakil Presiden akan tetap tinggal di dalam kota (sebelumnya telah direncanakan untuk terus berjuang bergerilya di luar kota) dengan pertimbangan keamanan keduanya tidak terjamin lagi untuk pergi ke luar kota karena pasukan pengawal yang dibutuhkan sebanyak satu batalyon tidak tersedia.
2.Wakil Presiden/PM menganjurkan supaya tentara dan rakyat melaksanakan perang gerilya terhadap tentara Belanda.
3.Presiden dan Wakil Presiden mengirimkan kawat kepada Mr. Syafruddin  Prawiranegara, Menteri Kemakmuran di Bukittinggi bahwa dia diangkat sementara untuk membentuk kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat.
Keputusan bagian ketiga ini adalah sebagai isyarat dari Hatta seperti dituliskan dalam bukunya, "Memoir" terbitan Tintamas tahun 1982 bahwa Syafruddin akan menjadi Perdana Menteri sementara apabila terjadi Aksi Militer II Belanda. Hal ini dikatakan Hatta ketika dia berada di Bukittingi bersama Syafruddin.
Kemudian Hatta kembali ke Yogya dan Syafruddin tinggal di Bukittinggi mengurus keuangan. Sebelum ditawan, Presiden dan Wakil Presiden sempat mengirim dua kawat (telegram). Salah satu kawat tersebut ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, bunyinya:
Kami Presiden Republik Indonesia memberitahukan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 pagi Belanda telah mulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintah Republik Indonesia Darurat di Sumatera.
Jogjakarta, 19 Desember 1948
Presiden SOEKARNO
Wakil Presiden MOHAMMAD HATTA
Seperti diketahui bahwasanya mandat di atas tidak pernah sampai ke tangan Syafruddin. Tetapi setelah mengetahui bahwa Presiden dan Wakil Presiden tertawan hal yang membuat Syafruddin kecewa yang dipantau melalui siaran radio akhirnya Syafruddin berinisiatif membentuk PDRI. Jadi pedoman satu-satunya bagi Syafruddin membentuk PDRI adalah mandat samar-samar yang ditinggalkan Hatta kepadanya.
Pertemuan di Halaban, 15 kilometer sebelah Selatan Payakumbuh, membicarakan tentang pembentukan PDRI, setelah mendengar laporan Residen Sutan Muhammad Rasyid tentang keadaan Bukittinggi, yang juga dibombardir Belanda dan Sumatera pada umumnya. Setelah kesepakatan didapat maka diumumkanlah berdirinya PDRI tanggal 22 Desember 1948 jam 04.30. Berdirinya PDRI segera disiarkan ke luar negeri dan dijelaskan bahwa Pemerintahan RI tetap ada dan bersifat mobil atau berpindah-pindah.
D.    PDRI di Sumatera Barat
Sepanjang sejarahnya PDRI hanya tiga hari berada di tempat kelahirannya di Halaban yang selanjutnya melakukan perjalanan gerilya. Pemerintahan yang bersifat mobil atau berpindah-pindah tersebut beranjak dari satu kampung ke kampung yang lain, menuruni ngarai dan mendaki bukit, berjalan kaki, kadangkala bersampan mengaliri sungai menempuh hutan belantara diantaranya ada yang sempat dihanyutkan air. Entah berapa ratus kilometer sudah hutan belantara yang dijalani Syafruddin dalam memimpin pemerintahan darurat ini. Sehingga pihak Belanda mengejek mereka lewat siaran radionya, bahwa PDRI kata radio itu adalah "Pemerintah Dalam Rimba Indonesia". Mau dengan apa lagi membalas kalau bukan dengan radio juga. Perang siaranpun terjadi.
PDRI dari Bidar Alam Menuju Sumpur Kudus
Salah seorang tokoh PDRI Mr. Rasyid dalam bukunya "Di Sekitar PDRI" yang diterbitkan oleh Bulan Bintang pada Bab 19 tentang Pertemuan Sumpur Kudus, mengatakan :
" Karena PDRI mobil, tidak lama berada di satu tempat untuk menghindarkan sergapan dan serangan Belanda, maka pada perundingan yang akan diadakan di Jakarta antara Mr. Roem, pimpinan PDRI sedang berada di Bidar Alam, satu dusun kecil, hampir dekat batas Sumatera Barat-Jambi, anggota-anggota PDRI Rasyid dan Sitompul berada di Koto Tinggi dan dengan sender hampir setiap hari dapat berhubungan satu sama lain. Jarak antara tempat Syafruddin dan Rasyid kira-kira 14 hari perjalanan. Di ambillah jalan tengah untuk mereka bertemu, yaitu di Sumpur Kudus, dekat Sijunjung sehingga masing-masing anggota PDRI harus mengadakan perjalanan kira-kira enam atau tujuh hari."
Setelah meninggalkan Bidar Alam dan melalui Sungai Dareh rombongan berpindah terus melalui/melintasi daerah Kabupaten Sijunjung, maka Syafuddin pukul 17.00 (sore) telah sampai di Sungai Dareh yang disambut oleh Kolonel Dahlan Ibrahim, Komandan Teritorium Sumatera Tengah yang sengaja datang dari Koto Tinggi, sedangkan rombongan selanjutnya berangkat pada hari berikutnya yang dipimpin oleh Kepala Polisi Umar Said dan Mr. T. Moh. Hasan.
Kemudian setelah saling melakukan tukar pikiran di Sungai Dareh, maka mereka bersama-sama meneruskan perjalanannya ke Sumpur Kudus yang jaraknya dari Sungai Dareh kira-kira sejauh 110 km yang ditempuh dengan berjalan kaki melalui Kiliran Jao, Kamang, Malaro, Sungai Batang, Pintu, Padang Tarok Tapus.
PDRI di Sumpur Kudus
Salah satu daerah dalam Kabupaten Sijunjung yang dilalui oleh Syafruddin dan kawan-kawan sebagai lintasan perjuangan PDRI adalah Kecamatan Sumpur Kudus.
Dari Padang Tarok Tapus rombongan PDRI kemudian memasuki beberapa Nagari atau Dusun di Kecamatan Sumpur Kudus yang jadi rute selanjutnya, mulai dari Sisawah, Mengganti, Ambacang Labuah, Calau, hingga ke ke Sumpur Kudus dan juga Silantai sampai akhirnya di Unggan. Rombongan sampai di Sumpur Kudus pada tanggal 4 Mei 1949  dengan selamat dan menetap di sana dan Silantai untuk beberapa waktu.
Lima kenagarian yang jadi lintasan perjuangan PDRI, dua diantaranya Sumpur Kudus dan Silantai di kecamatan Sumpur Kudus mempunyai peranan penting dalam mempertahankan eksistensinya yang selalu berpindah-pindah atau mobile.
Namun berdasarkan penelitian literatur/pustaka yang penulis lakukan, terdapatnya kesimpangsiuran peranan antara kedua kenagarian tersebut. Seperti di mana sebenarnya para tokoh PDRI menetap (lama) atau di desa mana rapat-rapat atau pertemuan resmi diadakan. Ada yang menulis Silantai.
 Ada pula yang menulis/mengatakan satu desa yang lebih berperan atau sebaliknya. Hal ini dilakukan oleh beberapa tokoh PDRI sendiri dan saksi sejarahnya maupun oleh penulis/pakar sejarah. Keadaan ini sempat menghangat tatkala adanya niat atau rencana dari Pemerintah Kabupaten Sijunjung untuk membangun Tugu/Monumen PDRI di salah satu desa/kenagarian tersebut. Jadi adanya versi yang kontroversial antara Sumpur Kudus dan Silantai.
Untuk melihat bagaimana aneka versi tersebut dapat penulis kutip dari beberapa tulisan yang terdapat dalam buku dan majalah serta surat kabar. Sekurangnya ada empat macam majalah yang menulis khusus tentang PDRI sebagai laporan utamanya, yakni TEMPO, Panji Masyarakat, RISALAH, dan TITIAN Persahabatan (yang diterbitkan oleh Corps Tentara Pelajar). Selebihnya berupa berita, tajuk rencana, artikel baik berupa kolom maupun bersambung, serta resensi buku.
Untuk lebih jelasnya sejauh mana peranan/peran serta antara dua desa Sumpur Kudus dan Silantai, dapat kita ikuti kedua versi yang berbeda tersebut dari beberapa tulisan di bawah ini.

1.    Rapat Paripurna Kabinet PDRI di Sumpur Kudus
Mr. SM. Rasyid, salah seorang tokoh PDRI yang pada waktu peristiwa tersebut selaku Gubernur Militer Sumatera Barat dan Tengah, Menteri Keamanan, Pembangunan, Pemuda, Sosial, dan Perburuhan PDRI, dalam bukunya yang kita sebutkan sebelumnya, menulis:
Pertemuan di Sumpur Kudus diadakan secara resmi tanggal 14 sampai dengan 17 Mei 1949, walaupun sebelumnya anggota-anggota sudah banyak yang hadir. Tetapi karena mereka masih lelah dalam perjalanan (masing-masing 6 atau 7 hari menuju Sumpur Kudus), mereka beristirahat dulu beberapa hari lamanya. (Rasyid, hlm. 45)
Hasil-hasil Pertemuan Sumpur Kudus lainnya
Di dalam pertemuan di Sumpur Kudus yang dihadiri oleh segenap anggota-anggota PDRI se-Sumatera berikut semua Penasehat dan Kepala-Kepala Staf, juga dibicarakan kedudukan masing-masing Gubernur Militer.
RAPAT LENGKAP DI SUMPUR KUDUS DIADAKAN DARI TANGGAL 14 MEI SAMPAI DENGAN 17 MEI 1949, tetapi belum sempat membicarakan hasil-hasil PERUNDINGAN ROEM/ROYEN SECARA MENDALAM, KARENA PERUNDINGAN ITU BARU SAJA SELESAI TANGGAL 14 MEI 1949. Yang lebih hebat perjalanan Kolonel Hidayat, Panglima Tentara Teritorial Sumatera (PTTS) dari Bukittinggi ke Kota Raja (sekarang Banda Aceh), lebih dari 1500 km, jadi hampir sama jaraknya dari Jakarta ke Surabaya pulang pergi!!!(Jangan lupa, SUMATERA TENGAH SAJA SAMA LUASNYA DENGAN PULAU JAWA).(hlm 47)
Majalah Berita Mingguan TEMPO (4 Maret 1989) dalam rubrik khusus (selingan) dengan judul : "Presiden yang Terlupakan", dalam salah satu paragrafnya (hal 47) :
"PDRI tak bisa tidak harus menanggapi perjanjian yang disebut-sebut 'mengecewakan' itu. Tanggal 14 Juni 1949 berlangsung sidang kabinet di Sumpur Kudus. Ketika itu mereka itu (terpaksa) bersepakat mendukung perjanjian Roem/Royen, dengan sejumlah persyaratan. Tetapi hubungan PDRI dengan Bung Karno/Hatta  terlanjur tak enak."
2.    Konferensi Besar PDRI di Silantai
Salah seorang saksi sejarah PDRI yang berasal dari Silantai, Tamar Syukur, Wakil Kepala Penerangan Pemerintahan Militer Kabupaten Sijunjung pada waktu itu dan pernah menjadi Ketua DPRD Tingkat II Kabupaten Sijunjung periode 1956-1962, dalam suatu wawancaranya dengan penulis menjelaskan bukti otentik yang beliau kutip dari buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI Minangkabau, yang ditulis antara lain Mr. SM. Rasyid, Dahlan Ibrahim, Abd. Halim, dan Ahmad Hosen menyebutkan :
Tujuan utama dari rombongan berangkat ke Sumpur Kudus itu adalah untuk mengadakan Konferensi Besar PDRI dengan alat-alat negara lainnya, wakil-wakil partai politik ikut diundang, sehingga mereka berdatangan dari pelosok Sumatera.
Konferensi Besar PDRI itu berlangsung di dusun Silantai dekat Sumpur Kudus dan Unggan yang dibuka langsung oleh Ketua PDRI Mr. Syafruddin Prawiranegara pada hari Sabtu tanggal 14 Mei 1949, yang diikuti oleh semua anggota PDRI bersama staf, kepolisian, angkatan perang, kepala-kepala jawatan, Gubernur Militer Sumatera Tengah beserta staf, pemimpin partai politik terbesar di seluruh Sumatera.
Dalam rapat itu Ketua PDRI terlebih dahulu membacakan kawat-kawat yang masuk dari Jawa yakni dari Panglima Besar Sudirman, Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Kolonel Simatupang, Panglima Tentara Teritorium Djawa (PTTD) Kolonel AH. Nasution, Kepala Perwakilan PDRI di New Delhi Dr. Sudarsono dan Menteri Luar Negeri Mr. AA. Maramis. Semua kawat itu menyatakan optimis dan berdiri di belakang PDRI. Konferensi Besar PDRI ini sebenarnya adalah dalam rangka mempertahankan kemerdekaan RI (termasuk Kabinet PDRI dan Aparat Pemerintah Mobile PDRI) yang berlangsung hingga tanggal 14 Mei 1949.
Bantuan dan kerja sama rakyat Sumpur Kudus dan sekitarnya terhadap konferensi besar yang berlangsung di dusun Silantai tidak dapat dilupakan begitu saja. Musyawarah berlangsung pada saat keadaan darurat perang (SOB). Rakyat pada waktu itu hidupnya dalam keadaan serba kekurangan dan sulit. Namun, mereka masih mampu menyiapkan segala sesuatunya untuk sejumlah besar tamu Negara yang akan bersidang untuk kepentingan rakyat banyak. Suasana begini tak  dapat dilupakan jasa dari kebijaksanaan Bupati Militer Kabupaten Sijunjung, Tan Tuah Bagindo Ratu.
Satu lagi putra Silantai yang dalam kesaksiannya sebagai pelaku sejarah Konferensi Besar PDRI adalah Hasan Basri Dt. Bandaro Putih (75 tahun).  Dalam suatu wawancaranya dengan wartawan surat kabar daerah ini, Hasan Basri yang pada waktu itu menjabat sebagai Wali Nagari Perang Silantai bertindak atas nama Pemerintah bertugas untuk menyelenggarakan perencanaan dan sebagai penanggung jawab pelaksanaan Konferensi Besar PDRI di Silantai yang dibantu oleh Badan Pembantu Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang diketuai oleh istri Hasan Basri tersebut dan juga bantuan rakyat Silantai.
Pelaksanaan Konferensi Besar PDRI bertempat di Rumah Hasan Basri sendiri sebagai kantor Kabinet PDRI dan mendapat bantuan dan restu dari seluruh pihak keluarga. Sedangkan istana bagi Ketua PDRI (Syafruddin) dan stafnya adalah surau tua yang bernama Surau Tamar Syukur (saksi/pelaku sejarah yang telah kita sebutkan sebelum ini-pen). Beberapa ibu-ibu yang tergabung dalam BPKKP ikut terlibat memberikan bantuan tenaga (memasak makanan) seperti Nurlela Tamar Syukur (alm), Jamariah Syukur (Ibunda dari Prof. Dr. Ir. Novirman Jamarun, MSc, Direktur Pascasarjana Unand dan Prof. Drs. Novesar Jamarun,MS., Pembantu Rektor I Unand). Sedangkan ayah penulis H. Yunas Mahmud, yang juga berasal dari Silantai, dalam keterangannya kepada penulis bahwa beliau bertugas sebagai tukang catat atau sekretaris sidang-sidang yang berlangsung selama konferensi besar PDRI yang kabarnya pembicaraan dilakukan dalam bahasa Belanda, untuk menjaga kerahasiaan persidangan.
Di samping keterangan yang diberikan oleh para saksi pelaku sejarah di atas, juga kita dapat kita lihat pada berbagai literatur, diantaranya :
a.Buku "Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau 1945- 1950" jilid II tahun 1981 yang diterbitkan oleh Badan Pemurnian Sejarah Indonesia Minangkabau (BPSIM) Jakarta, halaman 348 menyimpulkan bahwa Konferensi Besar PDRI dilangsungkan di Dusun Silantai dekat Sumpur Kudus dan Unggan di buka pada hari Sabtu, 14 Mei 1949 yang dipimpin oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara bertempat di rumah Wali Nagari Perang Silantai. Pada 7 Mei 1949 di Jakarta sementara itu telah tercapai persetujuan Roem/Royen. Pada buku yang sama halaman 350 dan 379 diceritakan tentang bantuan rakyat untuk konferensi besar tersebut.
b.Buku "Islam Dalam Pergolakan Dunia" yang dikarang oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara selama beliau berada di Silantai. Keterangan dari buku ini dapat kita baca penjelasan pengarang di antaranya : ....buat sementara sudah kenyang akan jalan-jalan yang sempit dan berbelit-belit, penuh dengan pacet, lintah, dan agas yang semuanya perlu dilalui untuk sampai pada tempat yang indah permai, di tengah-tengah sawah kuning mengemas, dikelilingi bukit yang membiru, di pusat alam Andalas....di tengah-tengah rakyat Silantai yang sangat sederhana.

Pada penutup penjelasan tersebut pengarang, mencantumkan nama Silantai, Sumpur Kudus 31 Mei 1949. Dan pada bagian kulit dalam ada tulisan dan tanda tangan pengarang (asli) Mr. Syafrudin Prawiranegara kepada Wali Nagari Perang (Hasan Basri) sebagai kenang-kenangan selama bermukim di Silantai. Buku ini diserahkannya langsung oleh Mr. Syafrudin Prawiranegara di Sawahlunto tahun 1950. Pada mulanya Ketua PDRI tersebut bermaksud untuk datang ke Silantai, tapi karena keadaan jalan yang juga belum menguntungkan, maka rencana ke Silantai jadi batal.
Keputusan Politik di Desa
Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, MA seorang cendekiawan dan mantan Ketua PP Muhammadyah yang juga putra Sumpur Kudus dalam tulisannya di majalah Panji Masyarakat (10 Maret 1989) dengan judul : "Sumpur Kudus dan PDRI" mengungkapkan secara tuntas bagaimana sebenarnya kedudukan dan peran serta antara Silantai dan Sumpur Kudus dalam perjuangan menegakkan PDRI. Syafii Maarif yang pernah dosen IKIP Yogyakarta dan  sebagai dosen tamu di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) Kuala Lumpur menjelaskan keputusan politik yang telah diambil dalam rapat-rapat PDRI di Sumpur Kudus , seperti kita salin di bawah ini:
"Di antara desa yang pernah dijadikan pusat pemerintahan darurat itu tersebutlah desa Sumpur Kudus di wilayah Kabupaten Sawahluno/Sijunjung, sekitar 165 km timur laut kota Padang. Desa ini sangat tersuruk, tapi bukan yang tidak dikenal dalam Sejarah Minangkabau karena disanalah dahulunya bermukim Raja Ibadat, disisi Raja Adat di Buo, dalam wilayah Kabupaten Tanah Datar. Saya tidak tahu pasti berapa lama Pak Syaf dengan PDRI-nya tinggal di desa ini".
Tapi dalam suratnya kepada Pengurus Yayasan Rajo Ibadat Sumpur Kudus, tertanggal 23 Agustus 1988, Syafruddin telah merekamkan suatu keputusan politik yang pernah diambil PDRI di desa ini. Kita kutip bagian dari surat Pak Syaf itu :
"Di Sumpur Kudus, dalam rapat PDRI tanggal 16 Mei 1949 telah dibahas Roem-van Royen Statement dan diputuskan oleh rapat PDRI yang dihadiri oleh semua anggotanya, bahwa PDRI tidak dapat setuju dengan beleid (kebijakan) pemimpin-pmimpin di Bangka, tetapi kami tidak akan membangkang, melainkan akan mengembalikan mandat pembentukan PDRI yang telah dibuat oleh Presiden Soekarno (dan Hatta) pada tanggal 19 Desember 1949 – sebelum Soekarno-Hatta ditawan Belanda – kembali kepada Presiden. Dengan demikian maka terpelihara persatuan dan kesatuan pimpinan dan tanggung jawab pemerintahan kembali kepada Soekarno Hatta".
Itulah diantara keputusan politik pemerintah yang pernah dibuat di Sumpur Kudus. Sebuah keputusan yang lahir dari jiwa besar sebagai pemimpin negara. Pada bagian lain tulisannya, Syafii Maarif yang alumnus Universitas Chicago, Amerika Serikat, menjelaskan keterlibatan dua desa yang berperan penting tersebut : bahwa Silantai desa tetangga, yang dulu pernah pula sebagai tempat tinggal Pak Syaf tapi bukan sebagai pusat pemerintahan PDRI. Pak Syaf tinggal di sana untuk menyelesaikan bukunya : Islam Dalam Pergolakan Dunia. Demikian kita baca pada bagian lain surat dalam surat Pak Syaf di atas.
Demikian beberapa sumber tertulis dan saksi hidup yang memberi bukti akan keberadaan Kecamatan Sumpur Kudus sebagai daerah lintasan sejarah perjuangan PDRI. Apalagi 2 desanya Sumpur Kudus dan Silantai mempunyai peran penting dalam mempertahankan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia luar.
Kiranya kita semua berharap agar tempat-tempat bersejarah bagi perjuangan PDRI yang di setiap nagarinya yang punya peran penting supaya:
1.Memugar secara monumental rumah atau tempat-tempat rapat-rapat dan konferensi serta tempat tinggal tokoh-tokoh PDRI yang kini masih ada.
2.Menggali informasi sejarah terhadap saksi/pelaku sejarah PDRI yang masih hidup.
3.Diadakan penelitian, penulisan sejarah dan akhirnya seminar khusus tentang PDRI di Sumatera dan Sumbar khususnya.
  
  Semua ini demi menjaga kemurnian sejarahnya.
Presiden Republik Indonesia pernah mengatakan bahwa pengenalan serta pengakuan terhadap perjuangan rakyat di berbagai daerah mengenai peranan pendahulu-pendahulu mereka, orang tua-orang tua mereka, nenek moyang mereka memberi makna mengenai arti kemerdekaan, sekaligus memperlihatkan rasa kesatuan dan persatuan antara semua daerah diantara semua golongan dan kalangan masyarakat kita yang majemuk ini. Karena itu dianjurkan agar semua pihak membantu upaya melengkapi sejarah ini (PDRI-pen).  Agar kita jangan sampai melupakan sejarah dan menjadi bangsa yang kerdil.
Pernyataan Kepala Negara, Soeharto (waktu itu) di atas adalah sambutan tertulisnya dibacakan oleh Mensesneg, ketika membuka Seminar tentang " Sejarah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)  di Jakarta.
Sengaja kita kutip pesan Presiden pada awal makalah ini adalah sangat penting untuk dikemukakan. Karena setelah lebih dari beberapa dasawarsa dari peristiwa itu berlalu barulah sekarang menarik untuk dibicarakan. Tak ketinggalan Bapak Presiden dengan kearifan wawasannya, telah menempatkan peristiwa sejarah pada proporsi sebenarnya.
Sebagai seorang generasi muda yang tidak ikut mengalami kejadian sejarah tersebut merasa terpanggil dengan ajakan Presiden di atas untuk tidak melupakan sejarah. Apalagi pesan beliau yang lain: "Sejarah dibuat untuk generasi muda. Merekalah pewaris sejarah yang akan memanfaatkan sejarah, pemetik kearifan sejarah."
E.     Kabinet PDRI dan Aparat Pemerintahannya
Sebenarnya pembentukan PDRI berdasar atas petunjuk dan keridaan Allah Swt. Dimana 22 Desember 1949 setelah ada kepastian Soekarno-Hatta ditawan Belanda maka diproklamirkan PDRI yang diiringi dengan pembentukan Kabinet PDRI.
Namun dalam perjalanan waktu kabinet ini dimekarkan dengan  susunannya sebagai berikut :
1.Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI merangkap Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman
2.Mr. Susanto Tirtoprojo, Wakil Ketua PDRI merangkap Menteri Kehakiman
3.Mr. AA. Maramis, Menteri Luar Negeri
4.Dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri
5.Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan
6.I.J. Kasimo, Menteri Kemakmuran, Pengawasan Makanan Rakyat
7.K.H. Masykur, Menteri Agama
8.Mr. Teuk Mohd. Hasan, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan
9.Ir. Indracahya, Menteri Perhubungan
10.Ir. Mananti Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum
11.Mr. Sutan Mohd. Rasyid, Menteri Perburuan dan Sosial
Di samping itu Menteri-menteri yang ada di Jawa melakukan pekerjaan Komisariat Pemerintah Pusat yang dapat memutuskan segala urusan yang khusus mengenai Jawa.
                                                                                    Sumatera, 31 Maret 1949
                                                                                                Ketua PDRI,
                                                                               Mr. Syafruddin Prawiranegara
Sedangkan perobahan penting lain ialah, sejak tanggal 1 April 1949, Kedudukan Wakil Ketua PDRI dari Mr. T.M. Hasan pindah ke tangan Mr. Susanto Tirtoprodjo, Kementerian Keamanan dihapuskan. Waktu pengumuman itu, belum diketahui saudara Supeno gugur, jadi di Jawa kedudukan Menteri Pembangunan dan Pemuda telah diambil de facto oleh Mr. Susanto yang disetujui oleh PDRI.
Penunjukan menteri Luar Negeri Mr. A.A. Maramis
            Ketua PDRI mengirim telegram penunjukan Mr. A.A. Maramis sebagai Menteri Luar Negeri. Kepadanya diperintah agar berhubungan terus menerus dan mengirim informasi kepada Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera.
            Sebagai Menteri Luar Negeri Mr. A.A. Maramis diminta agar berhubungan dengan Dewan Keamanan serta berusaha mengundang peninjau PBB untuk mengunjungi daerah Republik yang berada di bawah kekuasaan Belanda.
            Pada kesempatan berbicara di corong Radio All India, Maramis menyampaikan terima kasih Pemerintah Darurat Republik Indonesia kepada Perdana Menteri India Nehru.
F.     Gubernur Militer di Sumatera
            Sumatera menjadi Daerah Militer dengan dipimpin Gubernur Militer
            Sesudah berdirinya PDRI maka Panglima Tentara Teritorial Sumatera (PTTS) Kolonel Hidayat, bersama-sama Letkol A. Tahir da Ajudan Kapten Islam Salim, datang di Kototinggi pada tanggal 29 dan 30 Desember 1948 menemui residen Mr. SM. Rasyid juga merangkap Menteri Keamanan dalam PDRI.
Pada tanggal 2 Januari 1949, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera Kolonel Hidayat, menetapkan para residen di Sumatera sebagai Gubernur Militer mendahului keputusan Pemerintah Darurat Republik Indonesia.
            Di Sumatera keadaan berlainan dengan di Jawa. Kebetulan residen-residen di Sumatera berpendidikan cukup dan berpengalaman selama 3 ½ tahun berevolusi, dan cukup berwibawa menghadapi Rakyat dan Tentara. Berlainan dengan di Jawa, maka diangkatlah Gubernur-gubernur Militer yang semuanya terdiri dari Orang-orang sipil, hampir semuanya adalah residen-residen di daerah mereka masing-masing, sehingga susunan Pemerintahan Militer di Sumater adalah sebagai berikut :
1.    Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Tengku Daud Beureuh
2.    Gubernur Militer daerah Sumatera Timur dan Tapanuli, Dr. Ferdinand Lumban Tobing
3.    Gubernur Militer Sumatera Barat, Mr. Sutan Mohd. Rasyid
4.    Gubernur Militer daerah Riau, R.M. Utoyo
5.    Gubernur Militer daerah Sumatera Selatan dan Jambi, Dr. Adnan Kapau Gani
mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1949, sementara menunggu persetujuan dari PDRI. Karena Pemancar-pemancar Radio Kototinggi terus menerus berhubungan dengan tempat PDRI, maka persetujuan tersebut segera diperdapat.
            Gubernur-gubernur di 3 Propinsi di Sumatera, diangkat menjadi Komisaris  Pemerintah sebagai berikut :
1.Komisaris Pemerintah untuk Daerah Sumatera Utara : Mr. SM Amin,
1.Komisaris Pemerintah untuk Daerah Sumatera Tengah : Mr. M. Nasrun,
1.Komisaris Pemerintah untuk Daerah Sumatera Selatan : Dr. M. Isa.
Wakil-wakil Gubernur Militer waktu itu diangkat Panglima-panglima Tentara di daerah masing-masing, seperti : di Tapanuli Letkol Kawilarang, di Sumatera Barat LetkolDahlan Ibrahim, di Riau Letkol Hasan Basri da Mayor Akil  dan di Sumatera Selatan Kolonel M. Simbolon.
Panglima-panglima Tentara di daerah masing-masing diangkat sebagai Wakil Gubernur Militer. Dalam melaksanakan tugas pemerintahan, Gubernur Militer bertanggung jawab kepada Komisariat Pemerintah Pusat. Di bidang militer, bertanggung jawab kepada Markas Besar Komando Sumatera.
            Dalam pemerintahan militer, para Bupati Militer berpangkat Mayor Tituler, Wedana Militer berpangkat Kapten Tituler, Camat Militer berpangkat Letnan 1 Tituler, dan Wali Nagari sebagai Wali Perang.
Maka berjalanlah Pemerintahan Militer di Sumatera selama setahun, dari 1 Januari 1949 s/d 31 Desember 1949 dengan segala suka dan dukanya.
Perjalanan sejarah selanjutnya telah sama kita ketahui mandat yang dipegang oleh Syafrudin Prawiranegara selaku Ketua PDRI dikembalikan kepada Presiden Soekarno di Yogyakarta 13 Juli 1949. Presiden mengucapkan terima kasih atas segala usaha PDRI guna kepentingan perjuangan mempertahankan RI. Dengan demikian kekuasaan Pemerintah kembali pada Kabinet Hatta sebagaimana sebelum tanggal 19 Desember 1948.

DAFTAR PUSTAKA :

1.        ......., "Sumpur Kudus dan PDRI", Panji Masyarakat, No. 604, Th. xxx,1-10 Maret 1989.
2.      Didi Nazmi Yunas, "PDRI yang Pernah Menyelamatkan RI, Sejarahnya Seakan-akan Dilupakan" dalam Skh. HALUAN, 9 September 1988, hlm. 6.
3.      S.M. Rasjid, Di Sekitar PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia), Jakarta, Bulan
Bintang, 1984.

1 comment:

  1. Intip dulu yok ke judi slot yang biasanya dimainkan melalui mesin slot yang terdapat dikasino kini bisa dimainkan dimana saja dan kapan saja diinginkan.
    Di Indonesia sendiri, salah satu situs judi online yang telah melakukan kerja sama dengan berbagai provider slot online adalah ZEUSBOLA.

    DAFTAR DAN MENANGKAN HADIAH JUTAAN RUPIAH YA!

    INFO SELANJUTNYA SEGERA HUBUNGI KAMI DI :
    WHATSAPP :+62 822-7710-4607


    ReplyDelete