Politik Kolonial Belanda Abad ke XIX

Rinta Yuliana Mandasari/B/SI3
A.  Pandangan singkat politik imperialisme
Belanda melakukan politik imperialisme di Indonesia pada tahun 1850-1900. Imperialisme itu sendiri di artikan sebagai perluasan kontrol politik ke daerah sebrang dan sinonim dengan ekspansi kolonial. Pada abad ke 19 politik kolonial yang di jalankan sangat berbeda pada politik kolonial yang di jalankan pada periode sebelumnya. Kepentingan-kepentingan Belanda semulanya hanya terbatas pada perdagangan, maka pada periode ini Belanda mengutamakan kepentingan-kepentingan politik. Belanda merebut kekuasaan perdagangan dari orang-orang portugis teristimewa rempah-rempah. Pada awalnya kepentingan agama yang membawa orang-orang Portugis ke dunia Timur, namun tak lama kemudian kepentingan perdagangan yang lebih penting dari pada agama. Sampai pertengahan abad ke-19 imperialisme Belanda memang masih menganggap bahwa perdagangan (rempah-rempah) sebagai kepentingan fundamental, sedangkan kepentingan politik dianggap kurang esensial.
B.  Politik kolonial konservatif (1800-1848)
Pada abad ke-18 Belanda mengalami kemunduran politik yang sangat besar. Dalam tahun delapan puluhan perang dengan Inggris menyebabkan rendahnya pada perdagangan VOC, di tambah lagi korupsi yang di lakukan VOC dikarenakan kurangnya pengawasan. Pada tahun 1800 kekayaan VOC di ambil alih oleh kerajaan (pemerintahan Bataafse Republiek). Sementara itu pusat kedudukan VOC di ambil alih oleh Inggris. Pemerintah Belanda melanjutkan politik tradisional kumpeni dengan tujuan agar memperoleh penghasilan sebagai laba perdagangan untuk keuntungan bagi kerajaan. Seperti politik dan administrasi kumpeni dijalankanlah suatu sistem pemerintahan secara tidak langsung., pemerintah pribumi hanya bertugas mengurus masalah-masalah pribumi sedangkan agen-agen Belanda mengawasi tanam wajib untuk pasaran Eropa. Pengaruh besar dari pergolakan politik Eropa adalah perubahan politik kolonial yang dijiwai oleh ideologi Revolusi Prancis dan liberalisme. Sejak semula politik koloni konservatif ini sudah mendapat kritikan pedas dari golongan liberal, yang menganjurkan suatu sistem pemerintahan secara langsung berdasarkan prinsip-prinsip liberal dan perdagangan serta inisiatif partikelir. Sistem ini pertama kalinya di lakukan pada zaman Raffles (sebelum pemerintahan Daendels) selama masa Interregnum Inggris (1811-1816) ketika Belanda takluk kepada Inggris pada tahun 1811 dan pulau Jawa dikembalikan Inggris pada tahun 1816. Raffles mejalankan suatu sistem administrasi yang sesuai dengan doktrin liberal, yaitu persamaan hukum dan kebebasan ekonomi terutama pada hal pajak tanah. Raffles lebih mengutamakan tentang kesejahteraan rakyat sebagai tujuan pokok pemerintahannya. Meskipun Raffles menganut ide liberal, tetapi ia tetap mempertahankan tanam wajib, karena hasilnya memang sangat diperlukan untuk mengisi kas Belanda.
Setelah John Fendall menggantikan Raffles beberapa lamanya, sebagian besar daerah jajahan dikembalikan kepada Belanda. Dengan jatuhnya Napoleon dan datangnya masa Restorasi Raja Willem II mengangkat tiga orang kominsaris jendral yaitu C.T.Elout, van der Capellen, dan Muntinghe untuk mengambil alih pemerintahan dari tangan Inggris di Indonesia.
Van der Capellen (1819-1826) menjalankan politik kolonial sejak pengambilan VOC sampai penyelenggaraan Sistem Tanam Paksa yang mencerminkan suatu ekonomi politik yang berlandaskan pada ideologi liberalisme dan konsep kolonial yang memberi fungsi daerah jajahan selaku wingewest, yaitu daerah yang memberi keuntungan kepada negeri induk. Yang membuat sistem politik ini lebih kompleks keadaan politiknya pada masa transisi itu adalah bahwa sistem pemerintahan akan di pisahkan sepenuhnya dari sistem perdagangan, sehingga harus dicari sumber keungan bagi penyelenggaraan administrasi pemerintahan. Demi memperbaiki sumber keuangan bangsanya Daendels maupun Raffles, meskipun tidak konsekuen pada prinsipnya, untuk tidak menjual dan menyewakan desa kepada bangsa Eropa, Cina, dan Arab. Di daerah kerajaan, para bangsawan dan pejabat mendapat kebebasan untuk menyewakan tanahnya kepada bangsa Eropa.  Van Der Capellen menentang sistem ini, karena selain menyewa desa dan tanah, penyewa juga dapat menggunakan tenaga rakyat. Akibatnya eksploitasi rakyat oleh penyewa dapat merajalela. Sejak tahun 1817 di keluarkan larangan kepada Eropa untuk tidak berusaha di daerah kerajaan dan Cina tidak berusaha di daerah Priangan. Tindakan ini akhirnya menyebabkan terjadinya perang Diponegoro (1825-1830). Politik perlindungan Van Der Capellen itu dimaksudkan untuk lebih menjamin kebebasan dan hak hukum pribumi agar terbukanya luang usaha sendiri bagi orang-orang pribumi. Pada tahun 1827 Van Der Capellen menyatakan bahwa "posisi Bupati harus lebih diperkuat, diteruskan sistem pewaris pangkat" (dikutip dari buku pengantar sejarah Indonesia baru 1500-1900. hlm.341)
Setelah Van Der Capellen di gantikan Du Bus de Gisignies (1826-1830), seorang kapitalis Belgia terkemuka. Konsep Du Bus tentang politik kolonial sama atau sejalan dengan konsep Willem I yang memberikan kebebasan penanaman bersama dengan peningkatan produksi untuk ekspor sebagai dasar guna memejukan perdagangan dan pajak tanah. Politik Du Bus memerlukan tanah dan tenaga  rakyat ditambah modal kaum Eropa, ketiga faktor itu akan membuat produksi ekspor. Tanah yang di maksud adalah tanah yang belum dipergunakan pribumi dan terletak di perdesaan guna menarik tenaga kerja yang bebas di luar musim tanam dan panen baik pemilik, penggarap tanah, ataupun buruh tani. Perencanaan pilotik Du Bus bernada sangat optimis terutama mengenai mentalitas pribumi yang akan meningkatkan taraf hidupnya setelah di beri dorongan berproduksi lebih besar. Dalam politik du Bus ini, terjadi kemerosotan dari pemasukan pajak tanah pada suatu pihak serta kurangnya kemajuan hasil ekspor seperti kopi dan gula.
C.   Cultuursteksel (1830-1870)
Sampai tahun 1830 politik kolonial Belanda berdasar pada prinsip dan praktek yang satu sama lain saling bertentangan, tetapi sejak tahun 1830 itu politik kolonial Belanda memperoleh satu sistem yang pasti dan konsekuen, yang kemudian dikenal dengan nama cultuurstelsel. Sistem yang menjunjung tinggi kebebasan ekonomi dan perusahaan-perusahaan barat yang kapitalistis, dan yang dapat memberikan keuntungan disingkirkan karena sistem tersebut memberi keuntungan kepada Inggris untuk memonopoli perdagangan di Indonesia, sedangkan Belandalah yang memikul biaya pemerintahan. Melihat penyelewengan-penyelewengan itu Vand den Bosch mengajukan suatu sistem yang dapat memberikan keuntungan dengan cara yang sesuai dengan adat kebiasaan tradisional lokal yang kita kenal dengan cultuurstelsel. Hakikat dari culturstelsel adalah bahwa penduduk, sebagai ganti membayar pajak tanah sekaligus harus menyediakan sejumlah hasil bumi yang nilainya sama dengan nilai pajak tanah itu.
Dengan menjalankan sisten cultuurstelsel ini, kita telah memasuki periode baru dalam politik kolonial. Seperti telah diterangkan diatas, sistem tersebut lebih disesuaikan dengan adat kebiasaan pribumi yang telah ada. Kalau dalam pusat pemerintahan, kolonial dianggap perlu menghormati sistem pemerintahan, maka pada lain pihak di dalam cultuurstelsel mereka itu tidak lebih adalah pelaksana-pelaksana yang diperintahkan diatas. Mereka menjadi "pengawas-pengawas perkebunan" (dikutip dari B.J.O. Schrieke pada buku Indonesia Sociological Studies jilid 1, hlm. 190).
Hasil-hasil finansialCultuurstelselini bagi Belanda sangat besar. Antara tahun 1831 dan 1877 negara menerima hasil dari daerah jajahan-jajahan kekeyaan sebesar 823 juta gulden. Sistem ini tidak hanya memberi keuntungan bagi pemerintahan namun juga memejukan perdagangan dan pelayaran Belanda.  Sistem ini juga memperkaya pengusaha-pengusaha pabrik, pedagang-pedagang, yang memberikan modal perdagangan dan modal industri partikelir. Fakta ini mempunyai akibat-akibat yang jauh dalam politik kolonial sebelum 1850.
D.  Permulaan Politik Kolonial Liberal (1850-1870)
Periode di tahun ini ditandai dengan pesatnya perdagangan di Eropa dan Belanda mendapat keuntungan dari perkembangan ini. Kesejahteraan ekonomi dalam pertenganhan abad ke-19 tercermin  dalam keungan negara. Kesejahteraan didapat dari hasil-hasil finansial culturstelsel. Politik ekonomi kaum liberal adalah kebalikan dari politik yang dijalankan oleh Willem 1. Prinsip yang dianut sekarang adalah "tidak campur tangan", kerajaan harus menarik diri dari segala campur tangan termasuk bantuan pemerintah kepada perusahaan swasta harus dihentikan.  Sistem ekonomi liberal mempermudah bank ekspor maupun impor modal. Penanaman modal di Indonesia terutama terjadi pada gula, timah, dan tembakau yang mulai berkembang sejak tahun 1885. Dengan dihapusnya cultuuestelsel secara bengasur-angsur maka tanaman wajib diganti dengan perkebunan-perkebunan yang di usahakan oleh pengusaha-pengusaha swasta.

DAFTAR PUSTAKA
Kartodidjo, sartono.Pengantar Sejarah Indonesia baru 1500-1900 dari  Emporium sampai Imporium jilid 1.Jakarta:PT Gramedia 1987.
Kartodidjo, sartono.Pengantar Sejarah Indonesia baru:Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme jilid 2. Jakarta:PT Gramedia.1992.

1 comment:

  1. Intip dulu yok ke judi slot yang biasanya dimainkan melalui mesin slot yang terdapat dikasino kini bisa dimainkan dimana saja dan kapan saja diinginkan.
    Di Indonesia sendiri, salah satu situs judi online yang telah melakukan kerja sama dengan berbagai provider slot online adalah ZEUSBOLA.

    DAFTAR DAN MENANGKAN HADIAH JUTAAN RUPIAH YA!

    INFO SELANJUTNYA SEGERA HUBUNGI KAMI DI :
    WHATSAPP :+62 822-7710-4607


    ReplyDelete