PERJANJIAN ROEM ROYEN

MUHAMAT ALI

 

Latar belakang Perjanjian Roem-Royen

Delegasi resmi RI untuk mendapatkan pengakuan dunia sejak proklamasi Kemerdekaan diketuai oleh H.A. Salim, Wakil Menteri Luar Negeri. Kunjungan ini menghasilkan perjanjian persahabatan RI dan Mesir (Juni, 1947). Bagi RI perjanjian ini adalah suatu dukungan moral yang tinggi, karena dengan perjanjian ini kehadiran RI diakui secara resmi dalam pergaulan internasional. Mesir akan selalu dikenang sebagai negara yang pertama kali mengakui kedaulatan RI. Setelah itu menyusul perjanjian persahabatan dengan Suriah (3 Juli 1947) dan Lebanon (9 Juli).

Untuk menengahi persengketaan tersebut KTN mengajak kedua belah pihak untuk berunding di "wilayah netral" yakni di kapal perang milik Amerika Serikat US Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi RI dipimpin langsung oleh PM Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi Belanda diketuai oleh KNIL R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo. Hasil perundingan tidak jauh dari hal-hal yang telah disetujui dalam Persetujuan Linggar Jati, kecuali dua hal yang penting, Pertama, "negara boneka" Belanda telah bertambah jumlahnya mencakup wilayah Sumatra, Jawa dan Madura, dan tidak akan berusaha untuk memperluas lebih dari yang secara de fakto diakui Belanda. Kedua, "Garis Van Mook" diterima sebagai garis demarkasi, sehingga kantong-kantong TNI yang berada di belakang "garis" tersebut harus dikosongkan. Dari hasil ini tampak bahwa Amir Syarifuddin telah memberikan konsesi yang lebih besar dari Syahrir yang telah dijatuhkannya. Akibatnya, partai pendukungnya juga meninggalkannya. Pada tanggal 23 Januari 1948, Kabinet Amir Syarifuddin mengembalikan mandatnya. Atas desakan Parta Masyumi, pada tanggal 29 Januari 1948 Presiden Soekarno menunjukkan Wakil Presiden M. Hatta sebagai Perdana Menteri dari kabinet persidentil.

Pada tanggal 24 Januari 1948, Konferensi Asia di New Delhi mengirimkan resolusi kepada Dewan Keamanan PBB, yang antara lain menuntut dipulihkannya Pemerintah Republik ke Yogyakarta; dibentuknya Pemerintahan Interim; ditariknya tentara Belanda dari seluruh Indonesia; dan diserahkannya kedaulatan kepada Pemerintah Indonesia Serikat, pada tanggal 1 Januari 1950.Atas usul Amerika Serikat, Tiongkok, Kuba, dan Norwegia, pada tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang mengharuskan kedua belah pihak menghentikan permusuhan, dipulihkannya pemerintah pusat Republik Indonesia ke Yogyakarta; dilanjutkannya perundingan; dan diserahkannya kedaulatan kepada Indonesia pada waktu yang disepakati.

Resolusi Dewan Keamanan PBB ini memberikan peluang baru bagi KTN untuk kembali aktif menangani Indonesia - Belanda. KTN mendesak Belanda agar para tawanan dibebaskan. Anggota KTN juga datang ke Bangka mengunjungi pemimpin Republik yang ditahan di sana.

Atas desakan Internasional itu pemerintah Belanda mulai melaksanakan move baru dengan mengunjungi Soekarno - Hatta di Bangka dan menawarkan undangan agar Republik bersedia ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Soekarno - Hatta berpendirian bahwa perundingan baru bisa diadakan setelah Pemerintah Republik dikembalikan ke Yogyakarta.

Sementara itu tanggal 23 Maret 1949 KTN yang diminta Dewan Keamanan PBB agar membantu kedua belah pihak untuk melakukan perundingan berdasarkan resolusi tanggal 28 Januari 1949, telah tiba di Jakarta. Dua hari kemudian delegasi Republik yang dipimpin Mr. Mohammad Roem bertemu dengan delegasi Belanda dibawah Van Royen di Hotel Des Indes, Jakarta. Merle Cochran dari KTN bertindak sebagai penengah.Perundingan berjalan alot, sehingga memerlukan kehadiran Mohammad Hatta dari Bangka dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta.

Setelah hampir tiga minggu berunding, maka pada tanggal 7 Mei 1949 kedua delegasi sepakat untuk mengeluarkan pernyataan masing-masing pihak, yang kemudian dikenal sebagai Pernyataan Roem-Royen (Roem-Royen Statement). Masalah terpenting dari penyataan itu adalah kesediaan Belanda untuk mengembalikan Pemerintah Republik ke Yogyakarta.

Tanggal 4 Agustus 1949 Presiden Soekarno mengangkat delegasi Republik Indonesia untuk Konferensi Meja Bundar yang dipimpin oleh Mohammad Hatta. Delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid dari Pontianak, dan Delegasi Belanda dipimpin oleh Mr. J.H. van Maarseveen. Konferensi yang berlangsung dari tanggal 23 Agustus 1949 hingga 2 November 1949 ini diikuti pula oleh UNCI.Pada hakekatnya KMB menghasilkan tiga isu utama persetujuan, yakni:

a.       Piagam Penyerahan Kedaulatan

b.      Piagam Uni-Nederland dengan lampiran persetujuan Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia Serikat

c.       Persetujuan Peralihan/Perpindahan yang memuat peraturan-peraturan yang bertalian dengan penyerahan kedaulatan.

Disamping itu juga dibahas masalah-masalah bilateral dan domestik yang serius. Semua hutang bekas Hindia Belanda menjadi tanggung jawab nagara Indonesia Serikat. De Javaansche Bank tetap diakui sebagai Bank Sentral. Intergrasi KNIL ke dalam TNI. Masalah Irian Barat akan dibiarkan untuk sementra, yakni "satu tahun".Pelaksanaan KMB terus dipantau oleh Badan Pekerja KNIP. Pada tanggal 23 Oktober 1949 Badan Pekerja KNIP telah menerima keterangan pemerintah mengenai pembicaraan dalam sidang-sidang KMB yang disampaikan oleh Wakil Perdana Menteri Sri Sultan Hamengkubuono IX.Hal lengkap KMB disampaikan Perdana Menteri Mohammad Hatta pada Sidang Pleno KNIP tanggal 6 hingga 15 Desember 1949. KNIP menerima hasil KMB dengan 226 setuju, 62 tidak setuju, dan 31 suara blangko. PErsetujuan KNIP itu diberikan dalam dua bentuk, yakni sebuah maklumat dan dua buah undang-undang. Maklumat KNIP diumumkan Presiden RI pada tanggal 14 Desember 1949, berisi tentang negara Repbulik Indonesia Serikat memegang kedaulatan atas seluruh wilayah; dan bahwa alat perlengkapan RI disumbangkan kepada RIS untuk menegakkan kedaulatannya.

Dua undang-undang yang disetujui KNIP adalah Undang-Undang No. 10 yang berisi mengenai Induk Persetujuan KMB dan masalah kedaulatan dari Belanda kepada RIS. SEdangkan Undang-Undang No. 11 berisi mengenai draf final Konstitusi Republik Indonesia Serikat.

Situasi Politik setelah Perjanjian Roem-Royen

Pada tanggal 7 Mei disepakati bahwa Sukarno dan Hatta akan memerintahkan genjatan senjata sekembalinya mereka ke Yogyakarta. Bahwa Belanda akan menerima pihak Republik pada Konferensi Meja Bundar yang akan digelar, dan bahwa mereka tidak akan mendirikan negara-negara federal baru.

Pada tanggal 6 Juli 1949, pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta, yang sudah ditinggalkan oleh pasukan-pasukan Belanda pada akhir bulan juni. Soedirman dan pimpinan-pimpinan tentara lainnya enggan mengakui kekuasaan sipil yang mereka anggap telah meninggalkan Republik. Akan tetapi, pihak militer akirnya mengakui ketika Sukarno mengancam akan mengundurkan diri kalau mereka tidak melakukannya. Suatu konferensi diselenggarakan di  Yogyakarta dan Jakarta pada bulan Juli. Di dalam konferensi itu, negara-negara federal ternyata mempunyai banyak kepentingan yang sama dengan Republik, sebagian besar dikarenakan rasa hormat mereka atas perlawanan Republik dan kekecewaan mereka atas kelalaian Belanda untuk menyerahkan kekuasaan yang penting kepada mereka. Konferensi tersebut bersepakat bahwa tentara republik akan menjadi inti kekuatan militer bagi Republik Indonesia Serikat yang baru dan bahwa Sukarno serta Hatta akan menjadi presiden dan wakil presiden negara itu.

Pada tanggal 1 Agustus, diumumkanlah genjatan senjata yang akan mulai berlaku di Jawa pada tanggal 11 Agustus dan Sumatera pada tanggal 15 agustus. Justru sebelum genjatan senjata itu dilaksanakan, pasukan-pasukan Republik berhasil merebut kembali sebagian besar Surakarta dan mempertahankannya selama dua hari. Bentrokan-bentrokan berikutnya yang berdiri sendiri berlanjut sampai bulan Oktober. Akan tetapi, sedikit demi sedikit, penyerahan kekuasaan militer yang terintegrasi bagi RIS diurus oleh Hamengkubawana IX selaku koordinator keamanan. Akan tetapi, ada beberapa wilayah yang bergolak seperti Sulawesi Selatan, Sumatera Timur, Kalimantan Selatan dan Jawa Barat, dimana proses ini mengahdapi perlawanan dari pasukan-pasukan liar setempat.

Dengan disepakatinya prinsip-prinsip Roem-Royen tersebut, pemerintah darurat RI di Sumatra memerintahkan kepada Sultan Hamengkubowono IX untuk mengambilalih pemerintahan di Yogyakarta apabila Belanda mulai mundur dari Yogyakarta. Partai politik yang pertama kali menyatakan setuju dan menerima baik tercapainya persetujuan Roem-Royen adalah Masyumi. Dr. Sukiman selaku ketua umum Masyumi menyatakan bahwa sikap yang diambil oleh delegasi RI adalah dengan melihat posisi RI di dunia internasional dan di dalam negeri sendiri, apalagi dengan adanya sikap BFO yang semakin menyatakan hasratnya untuk bekerjasama dengan RI. Sedangkan Mr. Surjono Hadinoto, ketua umum PNI menyatakan bahwa Persetujuan Roem-Royen merupakan satu langkah ke arah tercapainya penyelesaian dari masalah-masalah Indonesia. Akhirnya kedua partai ini mengeluarkan pernyataan bersama bahwa Persetujuan Roem-Royen sekalipun masih kurang memuaskan, namun beberpa langkah ke arah penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda.

 

DAFTAR PUSTAKA

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. (1993). Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka

Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta

 

Zailani, Dahlan. (2010). Perjanjian Roem-Royen 7 Mei 1949. [Online]. Tersedia: http://gogoleak.wordpress.com/2010/08/13/perjanjian-roem-royen-7-mei-1949/ [4 Agustus 2012]

 

No comments:

Post a Comment