BENIH-BENIH KEDIKTATORAN SOEHARTO DI AWAL ORDE BARU

Pahma Herawati/S/A

            Orde Baru lahir sebagai koreksi dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan  Orde lama. Tonggak kelahiran Orde Baru ditandai dengan keluarnya suratbperintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno kepada Mayor Jenderal Soeharto. Supersemar tersebut memberikan kekuasaan penuh kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban negara. Pemberian kekuasaan penuh itu ternyata membawa rezim Soekarno pada kejatuhannya, dan sebaliknya membuka kesempatan bagi Soeharto untuk membangun rezim baru.

            A. Menjelang Kejatuhan Orde lama
Peristiwa G30S/PKI yang berlanjut dengan penangkapan para pengikut PKI membawa bencana bagi pemerintahan Orde Lama. Ketidaktegasan sikap pemerintah terhadap peristiwa G30S/PKI dan keberadaan PKI mengundang ketidakpuasan dalam masyarakat. Ketidakpuasan rakyat semakin meningkat karena ekonomi tidak kunjung membaik, bahkan semakin memburuk.[1]
1. Aksi Tritura
            Ketidakpuasan rakyat diungkapkan dalam bentuk demonstrasi. Unjuk rasa itu dipelopori oleh kalangan mahasiswa dan pelajar. Demi terkoordinasinya demonstrasi, kalangan mahasiswa membentuk organisasi bernama KAMI (kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Sedangkan kalangan pelajar membentuk KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Pada tanggal 10 januari 1996, KAMI dan KAPPI menggelar demonstrasi di DPR-GR. Mereka menyampaikan tuntutan rakyat yang dipadatkan dalam slogan Tri Tuntutan Rakyat atau Tritura. Sejak saat itu, Tritura terus-menerus didengungkan sampai saat dikeluarkannya Supersemar.[2]
Isi Tritura
·         Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya
·         Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI
·         Turunkan harga-harga barang
2. Pemerintahan vs Mahasiswa
            Pemerintah cenderung tidak mau mendengarkan tuntutan mahasiswa. Kecenderungan itu tampak dari tindakan me-reshuffle kabinet Dwikora menjadi kabinet Dwikora yang disempurnakan (dijuluki sebagai kabinet 100 Menteri). Kabinet yang dibentuk pada bulan Februari 1996 itu memperbesar ketidakpuasan mahasiswa terhadap presiden. Mengapa demikian? Kabinet itu ternyata memasukkan para tokoh yang diduga kuat pro-PKI. Berarti, Tritura sama sekali diabaikan pemerintah.
            Dalam rangka memprotes pembentukan kabinet Dwikora yang Disempurnakan, KAMI mengadakan aksi menghalangi upacara pelantikan menteri-menteri baru. Mereka memblokir jalan-jalan dan berdemonstrasi di depan istana merdeka, seorang mahasiswa bernama Arief Rachman Hakim gugur terkena tembaka. Sehari setelah insiden itu, pemerintah membubarkan KAMI.
            Pembubaran KAMI ternyata tidak memulihkan kewibawaan pemerintah, tidak juga  menghentikan aksi-aksi Tritura. kalangan mahasiswa membentuk Laskar Arief Rachman Hakim. Mereka mengadakan aksi bersama dengan kesatuqn-kesatuan aksi lainnya. Pada tanggal 8 dan 9 Maret 1996, mereka menggelar demonstrasi besar-besaran ke kantor Waperdam I /Menlu, Departemen Pendidikan dasar dan kebudayaan, dan kedubes RRC. Ketiga tempat itu dianggap sebagai sumber dukungan terhadap PKI.
3. Sikap Angkatan Darat
            Semasa Demokrasi Terpimpin, angkatan darat merupakan saingan utama PKI. Pada peristiwa G30S/PKI, angkatan daratlah yang menjadi korban. Maka, sejak awal angkatan darat mendukung aksi Tritura. Sikap itu juga merupakan reaksi terhadap ketidaktegasan pemerintah mengutuk pristiwa G30S/PKI dan mengambil tindakan terhadap PKI.[3]
            Bentuk dukungan itu antara lain:
·         Kodam-kodam melarang pembentukan Barisan Soekarno di wilayah masing-masing
·         Kodam Jaya melindungi mahasiswa mantan KAMI saat membentuk Laskar Arief Rachman Hakim
            B. Menuju Pemerintahan Orde Baru
Sejak Supersemar dilaksanakan, kehidupan berbangsa dan bernegara ditata kembali sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Penataan tersebut terutama dilakukan dalam lingkungan lembaga tertinggi negara dan pemerintahan. Pada gilirannya, penataan Soekarno dan naiknya Soeharto sebagai pemegang kuasa pemerintahan.[4]
1. Penataan MPRS
            Pada masa Demokrasi Terpimpin, MPRS tidak dapat melaksanakan kedaulatan rakyat karena cenderung mngikuti kebijakan pemerintah. Sejak supersemar, MPRS berupaya memulihkan kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara sekaligus pelaksana kedaulatan rakyat. Upaya itu dilkukan dengan reorganisasi. Kemudian, untuk menciptakan stabilitas politik, pada tanggal 20 juni sampai 5 juli 1966, MPRS mengadakan Sidang Umum yang ke-6 di Jakarta.
            Keputusan penting yang dihasilkan dalam sidang umum tersebut antara lain sebagai berikut:
§  Mengukuhkan Supersemar sebagai ketetapan MPR.
§  Mempertegas kedudukan semua lembaga negara baik pusat maupun daerah pada posisi yang diatur dalam UUD 1945.
§  Menetapkan penyelenggaraan pemilu, paling lambat tanggal 5 juli 1968
§  Mencabut ketetapan MPRS yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
§  Mengukuhkan pembubaran PKI dan ormas-ormasnya disertai larangan penyebaran ajaran marxisme dan komunisme di Indonesia.
2. Pembentukan Kabinet Ampera
            Kabinet Amper (Amanat Penderitaan Rakyat ) dibentuk dalam rangka melaksanakan tritura dibidang politik, ekonomi, dan sosial. Kabinet itu diresmikan pada tanggal 28 juli 1966, dengan masa kerja dua tahun. Kabinet itu memiliki program kerja yang dikenal sebagai Catur Karya.
            Adapun program Catur Karya Kabinet Ampera adalah:
§  Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan
§  Melaksanakan sidang umum selambat-lambatnya tanggal 5 juli 1968
§  Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional
§  Melanjutkan perjuangan anti-imperialisme dan kolonialisme dalam segala  bentuk dan manifestasinya
3. Pembentukan Kabinet Ampera
            Supersemar dan Kabinet Ampera membuka jalan bagi Soeharto untuk memegang kuasa pemerintahan. Berkat Supersemar, kepercayaan rakyat terhadapnya menjadi besar karena keberhasilannya memulihkan keamanan dan memberangus PKI. Dalam Kabinet Ampera, ia berkedudukan sebagai pelaksana pemerintahan karena selain sebagai menteri utama ia juga menjabat sebagai ketua presidium kabinet.
            Jalan Soeharto menuju puncak kekuasaan semakin lapang ketika timbul konflik dualisme pimpinan nasional. Disatu pihak, Soekarno masih berkuasa sebagai pimpinan pemerintahan, dilain pihak Soeharto menjadi pelaksana pemerintaha. Konflik itu berakhir setelah timbul desakan dan tekanan yang semakin kuat kepada Soekarno untuk mengundurkan diri. Akhirnya, pada tanggal 20 Februari 1967, Soekarno mengumumkan penyerahan kekuasaan pemerintahan kepada Soeharto.
            Pada bulan Maret tahun 1967, MPRS menyelenggarakan sidang istimewa dalam rangka mengukuhkan pengunduran diri Presiden Soekarno, sekaligus mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden RI. Kemudian, dalam sidang umum pada bulan maret 1968, MPRS mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI. Peristiwa itu mengawali kekuasaan panjang Soeharto di Indonesia selama lebih dari 30 tahun.
            C. Stabilitas Keamanan
Segera setelah dirinya diangkat Sidang MPRS menjadi pejabat presiden pada bulan Maret 1967, Soeharto mulai memantapkan rencana ke depan bagi negara yang dipimpinnya. Perhatian utama Soeharto adalah pemulihan ekonomi yang terbengkalai dimasa pemerintahan Soekarno. Pengamat sejarah, Asvi Warman Adam menulis, "Soeharto berprinsip bahwa pembangunan ekonomi memerlukan stabilitas keamanan, baik secara nasionanl maupun regional"[5]. Maka tak heran bila langkah-langkah yang diambil Soeharto kemudian lebih difokuskan pada penguatan faktor politik dan militer pemerintah.
D. Mensakralkan Cita-cita Orde Baru
            Mencoba menanam lebih dalam akar-akar kekuasaannya, Soeharto mulai menggaungkan cita-cita luhur "Orde Baru", sebuah sebutan bagi masa pemerintahannya yang dilahirkan pada seminar II Angkatan Darat di Bandung pada bulan Agustus 1966. Tampaknya, sebutan orde baru ini juga merupakan cara Soeharo membuat dikotomi pemisahan yang tegas dengan era pemerintahan Soekarno, yang disebutnya sebagai Orde Lama.
            Penegasan visi Orde baru yang berniat menjalankan pemerintahan dengan berlandaskan Pancasila dan UUD 45, adalah salah satu cara Soeharto dalam upayanya menjaga kestabilan pemerintahan yang dipimpinnya. "Orde Baru tidak menolak kepemimpinan dan pemerintahan yang kuat, malahan menghendaki ciri-ciri demikian dalam masa peralihan dan pembangunan. Orde Baru menghendaki pelaksanaan yang sungguh-sungguh dar cita-cita demokrasi ekonomi, terang Soeharto. Maka siapa yang berperilaku bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 akan berhadapan dengan ABRI.
dekat dengannya sejak menjadi Pangdam Diponegoro dulu. Ali Moertopo dan Sudjono Humardani adalah duet yang dipercaya Soeharto untuk menjadi penggerak Aspri dan Opsus. Sementara untuk keseimbangan, Soemitro, seorang militaris profesional, dipercaya mengisi pos Pangkopkamtib. Mengenai keberadaan lembaga-lembaga informal ini dalam pemerintahan Orde Baru, Soemitro mengakui perannya sangat besar dalam mengembangkan Orde Baru dengan segala manuvernya meskipun terkadang terlalu vulgar dalam mencapai tujuannya. Tak jarang kebijakan yang mereka rumuskan berlawanan dengan kebijakan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga resmi milik pemerintah. Dualisme di tubuh pemerintahan pun tak dapat terhindarkan.
dengan segera melakukan perbaikan ekonomi. Soeharo mencatat, inflasi di tahun 1965 mencapai 500% dan harga beras naik 900% sementara defisit anggaan belanja tahun itu mencapai 300% dari pemasukan. Hal ini belum lagi ditambah utang luar negeri yang menumpuk dan harus dibayarkan pada tahun 1966.
            Solusi (atau satu-satunya solusi) menurut Soeharto adalah "harus cepat mendapakan bantuan dari luar negeri". Langkah pertama adalah menegosiasikan ulang waktu pembayaran dan langkah kedua, memperoleh pinjaman baru. Saat itu, Soeharto dianggap sebagai penyelamat Indonesia dari komunisme sehingga tidak sulit baginya untuk memperoleh bantuan dari negara-negara Barat. Negara-negara Timur, macam jepang pun tak ragu untuk menginvestasikan dananya di Indonesia.
            Amerika dan jepang merupakan dua negara yang memiliki nilai-nilai investasi terbesar di Indonesia saat itu. Nilai proyek amerika di Indonesia pada tahun 1973 mencapai US$ 935 juta untuk 115 proyek sementara Jepang dengan jumlah proyek terbanyak, 135 proyek, mencatat nilai US $ 534 juta. Dengan sokongan dana yang sedemikian besar, Soeharto pun mulai menggulirkan Rencana Pembngunan Lima Tahun (Repelita) yang diharapkannya akan mampu menjadi tangga bagi Indonesia menuju perbaikan ekonomi.
            Sayangnya, dana asing yang melimpah justru memunculkan potensi masalah yang tidak disadari oleh Soeharto. Ketergantungan yang cukup besar kepada modal asing rupa-rupanya menyimpan efek negatif  bagi masyarakat Indonesia. Pemerataan ekonomi dan kesejahteraan yang dijanjikan oleh Repelita ternyata tak kunjung dirasakan golongan masyarakat kecil. Disisi lain, para pengusaha luar seperti dimanjakan oleh fasilitas yang mereka terima dari pemerintah Indonesia. Akibatnya, kesejahteraan menjadi milik segelintir golongan saja. Bibit-bibit kecemburuan sosial pun mulai menyeruak.
            E. Penataan kehidupan politik dan ekonomi
            dalam rangka melaksanakan Pancasila dan UUD 1945, pemerintah Orde Baru bermaksud menciptakan suatu demokrasi Pancasila. Upaya itu dimulai dengan melaksanakan pemilu secara teratur, dilanjutkan dengan penataan lembaga-lembaga negara. Di permukaan, tampak adanya perkembangan kehidupan demokrasi di Indonesia. Namun, dibalik semua itu, demokrasi yang diupayakan tetap diabdikan bagi kepentingan pemerintah, tidak jauh berbeda dengan masa Demokrasi Terpimpin. Trias Politica yang seharusnya menjadi acuan demokrasi Pancasila tidak diindahkan.
            a. Pemilihan Umum
Selama 32 tahun berkuasa, pemerintah Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilu sebanyak enam kali. Pemilu yang pertama dilaksanakan pada tahun 1971, disusul kelima pemilu berikutnya yang dilaksanakan tiap lima tahun. Pemilu tahun 1971 diikuti oleh 10 peserta, sedangkan kelima pemilu berikutnya hanya diikuti oleh tiga peserta.
Peserta Pemilu 1971
·         Partai Sarekat Islam Indonesia
·         Nahdatul Ulama
·         Partai Katolik
·         Partai Muslim Indonesia
·         Partai IPKI
·         Partai Kristen Indonesia
·         Partai Nasional Indonesia
·         Golongan karya
·         Partai Murba
·         Partai Islam PERTI
Peserta Pemilu 1977-1997
·         Partai Persatuan Pembangunan
·         Golongan Karya
·         Partai Demokrasi Indonesia
            Penyelenggaraan pemiluyang teratur semasa Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia). Akan tetapi, yang sebetulya terjadi, pemilu agaknya sudah diarahkan pada kemenangan peserta tertentu, yaitu Golongan Karya. Fakta hasil pemilu memperlihatkan kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak pemilu 1971-1997.
            Kemenangan Golkar yang selalu mencolok itu menguntungkan pemerintah. Alasannya, dengan kemenangan itu, Golkar menguasai perimbangan suara baik di MPR maupun DPR. Perimbangan suara seperti itulah yang memungkinkan selalu terpilihnya Soeharto sebagai Presiden RI selama 6 kali periode pemilihan dalam sidang umum MPR. Perimbangan suara itu pula yang menyebabkan pertanggungjawaban, rancangan undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan baik dari MPR maupun DPR tanpa catatan.
            b. Penyederhanaan Partai-partai
kendala yang dapat mengganjal kelanggengan kekuasaan pemerintah adalah keberadaan partai-partai. Hal ini disadari oleh pemerintah Orde Baru. Untuk itu, pemerintah melakukan tindakan penyederhanaan jumlah partai-partai, yang tidak jauh berbeda dengan semasa Demokrasi Terpimpin. Perbedaannya, pemerintah Orde Baru tidak menghapuskan partai-partai tertentu, melainkan melakukan penggabungan (fusi) sejumlah partai.
            Dalam penggabungan tersebut, sistem kepartaian tidak lagi didasarkan atas ideologi, melainkan atas persamaan program. Akhirnya, penggabungan itu menghasilkan tiga kekuatan sosial politik berikut ini:
·         Partai persatuan Pembangunan (PPP). Partai ini merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan partai islam PERTI yang dilakukan pada tanggal 5 januari 1973.
·         Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai ini merupakan fusi dari PNI, partai katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo.
·         Golongan Karya
            Dalam kebijakan penyederhanaan partai itu, tampak bahwa Golkar tidak terkena fusi. kenyataan itu membuktikan bahwa kebijakan penyederhanaan partai tersebut tiada lain untuk memberi jalan yang lapang bagi golkar untuk selalu meraih suara mayoritas dalam pemilu. Kemenangan golkar itu akan menjadi jaminan bagi kelanggengan kekuasaan pemerintahan Orde Baru.
            c. Pemasyarakatan P4
Pada tanggal 12 april 1976, Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan pancasila. Gagaan itu disebut Ekaprasetia Pancakarsa. Gagasan itu kemudian diajukan untuk menjadi ketetapan MPR. Dalam sidang umum tahun 1978, MPR mengukuhkan gagasan itu dalam ketetapan mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, atau yang biasa dikenal sebagai P4.
            Sejak saat ditetapkannya, berlangsung penataran P4 secara luas dan sistematis keseluruh lapisan masyarakat. Kegiatan tersebut sebetulnya  memiliki tujuan yang luhur, yakni untuk membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila. Dengan pemahaman yang sama, persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Akan tetapi, pemasyarakatan P4 ternyata merupakan cara pemerintah Orde Bau untuk mengendalikan opini rakyat. Hal itu tampak dari berbagai penegasan bahwa orde baru adalah pelaksana amanat Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Melalui penegasan seperti itu, opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintahan Orde Baru.[6]
            Pemasyarakatan P4 itu menunjukkan bahwa pancasila dimanfaatkan untuk kepentingan kelanggengan kekuasaan pemerintah Orde baru. Pemanfaatan Pancasila itu semakin tampak pada himbauan pemerintah kepada semua organisasi untuk menempatkan Pancasila sebagai asas tunggal.
            F. Perkembangan Ekonomi pada Masa Orde Baru
Sistem ekonomi Terpimpin yang diterapkan selama masa Demokrasi Terpimpin membawa akibat kerusakan ekonomi yang luar biasa. Pada masa demokrasi terpimpin, negara beserta aparat ekonominya mendominasi penuh kegiatan ekonomi sehingga mematikan potensi dan daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sektor negara. Sedangkan pemerintahan Orde Baru menempuh kebijakan memberi kebebasan yang lebih besar kepada unit-unit ekonomi di luar sektor negara.
            1. Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
Pada awal orde baru, program pemerintah diarahkan pada usaha penyelamatan ekonomi nasional. Terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Stabilisasi berarti pengendalian inflasi, agar harga barang-barang tidak melonjak terus secara cepat. Sedangkan rehabilitasi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana baik ekspor maupun sarana alat-alat produksi yang banyak mengalami kerusakan.[7]
            Dalam tahun 1950 ekspor indonesia di luar minyak bumi  sebesar 500 juta dollar sampai satu milyar dollar. Pada tahun 1966 kurang dari 500 juta dollar tanpa miyak bumi. Adanya kemerosotan ekspor tersebut memerlukan rehabilitasi, mengingat bertambahnya penduduk dan kebutuhan impor. Sementara itu, hutang Indonesia kepada luar negeri mencapai 2,3 milyar dollar. Pemerintah wajib membayar hutang tersebut pada tahun 1967, ditambah dengan tunggakan dari tahun-tahun sebelumnya. Jumlahnya diperkirakan mencapai 500 juta dollar.
            Untuk melaksanakan stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi tersebut. Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara mengeluarkan ketetapan MPRS No. XXII tahun 1966, tentang Pembaharuan kebijakan Landasan Ekonomi keuangan dan pembangunan. Hakekat pokok dari landasan idiil kebijaksanaan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah terwujudny masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
            Sistem demokrasi ekonomi adalah produksi yang dikerjakan oleh semua di bawah pimpinan dan penilaian anggota masyarakat. Ekonomi disusun atas dasar kekeluargaan yang tidak mengenal pertentangan kelas. Konsekuensinya adalah adanya pengawasan rakyat terhadap penggunaan keuangan negara.
            MPRS menyadari bahwa kemerosotan ekonomi yang berturut-turut harus ditanggulangi dengan segera. Terdapat tiga program yang harus diselesaikan secara bertahap oleh pemerintah yaitu:
·         Program Penyelamatan
·         Program stabilisasi dan Rehabilitasi
·         Program pembangunan
2. Kerja sama luar negeri
            Keadaan ekonomi pasca Orde Lama sangat parah. Utang indonesia mencapai antara US$ 2,2-2,7 milyar. Untuk itu pemerintah indonesia berusaha meminta negara-negara kreditor agar dapat menunda pembayaran kembali utang-utangnya (rescheduling).
            Atas prakarsa jepang, pada tanggal 19-20 September 1966 diadakan perundingan di Tokyo (jepang). Pada saat itu pemerintah Indonesia mengemukakan bahwa devisa ekspor untuk pembayaran utang dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku spare part dan sebagainya sehingga keadaan ekonomi menjadi lebih baik. Negara-negara kreditor seperti jepang, perancis, inggris, italia, jerman barat, belanda dan amerika serikat menanggapi dengan baik apa yang dikemukakan oleh pemerintah Indonesia.
            Setelah pertemuan di Tokyo, kemudian dilanjutkan dengan perundingan di Paris (Perancis). Dalam perundingan ini  dicapai kesepakatan sebagai berikut:
1.      Utang-utang indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1968 ditunda pembayarannya hingga tahun 1972-1978
2.      Utang-utang Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1969 dan 1970 dipertimbangkan untuk di tunda juga pembayarannya.
            Perundingan dengan beberapa negara maju dilanjutkan di Amsterdam (Belanda) pada tanggal 23-24 Februari 1967. Perundingan itu bertujuan membicarakan kebutuhan indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan pemberian bantuan dengan syarat lunak. Pertemuan tersebut dikenal dengan nama Inter Governmental Group for Indonesia (IGGI).
            Melalui pertemuan-pertemuan itu pemerintah indonesia telah berhasil mengusahakan bantuan luar negeri. Indonesia juga mendapat penangguhan dan keringanan syarat-syarat pembayaran utangnya. Bantuan kredit pinjaman yang diterima indonesia dari tahun 1967-1969 mengalami peningkatan.
3. Pembangunan Nasional
Semasa Orde Baru, pembangunan nasional ditujukan pada terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Pemerintahan orde baru mengambil kebijakan pembangunan nasional berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman itu adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil.
            Dalam Pelaksanaannya, pembangunan nasional dilakukan secara bertahap, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Pembangunan jangka panjang mencakup periode 25 sampai 30 tahun, sedangkan pembangunan jangka pendek mencakup periode lima tahun.
            G. Kejatuhan Pemerintahan Orde Baru
Orde baru yang muncul sebagai koreksi total terhadap Orde Lama ternyata hanya dalam ucapan. Pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan Orde Lama. Berbagai bentuk penyimpangan tetap terjadi.
            1. Krisis Pembangunan Nasional
Selama Pemerintahan Orde Baru, rakyat terperdaya dengan gambaran fisik yang menampakkan seolah-olah indonesia berhasil dalam pembangunan nasional. Misalnya, data statistik menunjukkan pendapatqn perkapita indonesia tahun 1960-1970-an sekitar 70 dollar AS, sampai juni 1997 telah menjadi 1.185 dollar AS. Peningkatan itu merupakan pertumbuhan yang luar biasa. Akan tetapi, peningkatan itu dibangun di atas fondasi ekonomi yang keropos. Pertumbuhan yang dicapai semu belaka karena berasal dari utang luar negeri.
            Keroposnya perekonomian semakin diperparah oleh tindakan para konglomerat yang menyalahgunakan posisi mereka sebagai aktor pembangunan ekonomi. Mereka mengeruk banyak utang tanpa ada kontrol dari pemerintah dan masyarakat. Semua ini terjadi dengan leluasa karena kolusi, korupsi dan nepotisme krisis moneter, nilai rupiah terhadap dollar merosot tajam dan bahkan hampir menyentuh level Rp 15.000,00 per dollar AS.
2. Gerakan Reformasi
            Untuk menanggulangi krisis moneter dan mengurangi beban anggaran negara, pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Tindakan itu sudah tentu mengakibatkan kenaikan harga barang-barang lainnya. Akibatnya, muncul  aksi protes dimana-mana, baik yang dilkukan oleh mahasiswa maupun oleh masyarakat. Aksi mahasiswa dan masyarakat ini kemudian berubah menjadi aksi yang menuntut perubahan fundamental dalam pemerintahan negara. Sejak saat itulah muncul gerakan reformasi.
3. Pengunduran diri Presiden Soeharto
            Melihat situasi yang tidak menentu di tanah air, Presiden Soeharto mempersingkat kunjungannya di kairo, mesir. Sementara itu, gerakan reformasi semakin meningkat. Sejak tanggal 19 Mei 1998, ribuan mahasiswa dari puluhan perguruan tinggi menduduki gedung DPR/MPR. Mereka menuntut agar Soeharto mundur dari kursi kepresidenan. Menghadapi tuntutan tersebut Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan sembilan tokoh masyarakat dan menyatakan akan me-reshuffle Kabinet pembangunan VII menjadi kabinet Refirmasi serta membentuk komite Reformasi. Namun, tuntutan pengunduran diri Soeharto tetap tidak surut.
            Ketidaksediaan sejumlah tokoh menjadi anggota kabinet reformasi mengakibatkan pembentukan kabinet itu mengalami kegagalan. Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden dan menyerahkan jabatan presiden kepada wakil presiden B.j. Habibie. Pengambilan sumpah jabatan presiden baru dilaksanakan di istana merdeka pada saat itu juga. Peristiwa pengunduran diri Soeharto itu menandai berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru yang berlangsung selama 32 tahun.

Kesimpulan
            Orde Baru lahir sebagai koreksi dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan  Orde lama. Tonggak kelahiran Orde Baru ditandai dengan keluarnya suratbperintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno kepada Mayor Jenderal Soeharto. Supersemar tersebut memberikan kekuasaan penuh kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban negara. Pemberian kekuasaan penuh itu ternyata membawa rezim Soekarno pada kejatuhannya, dan sebaliknya membuka kesempatan bagi Soeharto untuk membangun rezim baru.
            Orde Baru memerintah lebih dari 30 tahun. Banyak perkembangan yang terjadi pada masa rezim Orde  Baru ini. Orde baru lahir sebagai koreksi total terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama. Orde Baru bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Akan tetapi, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru ternyata hanya sebatas ucapan dan slogan. Praktiknya tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya.

Kutipan
[1] Matroji, Sejarah SMP jilid 3, jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2006
[2] Wikipedia, Online Encyclopaedia. http:// en.wikipedia.org
[3] Zen, kivlan. Konflik dan integrasi TNI AD, jakarta: Institute for policy Studies (IPS), 2004
[4] Rickleffs, M.C.2005. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi
[5] Adam, Asvi Warman, Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004
[6]  Prof. Dr. M. Mustofa habib,dkk. Sejarah program ips, jakarta: yudistira
[7] Sutama Drs,umiatsi Tri, S.pd,dkk,2006.lks sejarah, jakarta :setia aji


No comments:

Post a Comment