INTEGRASI ABRI PADA MASA ORDE BARU

FITRIANI / SI V/ A

1.      Integrasi Mental Sebagai Titik tolak
Pada masa awal Orde Baru, pimpinan ABRI berusaha menghilangkan divergensi dan persaingan melalui tiga pendekatan yaitu pendekatan pendidikan, pendekatan doktrin, dan pendekatan organisasi. Kahusus pendekatan pendidikan, penekanan diletakan pada bidang pendidikan yang terintergrasi dan gabungan secara fisik.pendidikan yang terintegrasi dimulai pada tingkat pembenukan perwira dan diteruskan pada tingkat lanjutan perwira.

Pendidikan yang terintegrasi secara mental dan fisik pada tingkat pembentukan perwira adalah dasar untuk membentuk kader penurus ABRI. Untuk pelaksanaan itu, pada tahun 1966 dibentuk wadah pendidikan baru yakni Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI).
Pada upacara Hari Ulang Tahun ABRI 5 Oktober 1965 di lapangan Parkir Timur Senayan, Jakarta. Presiden Soekarno menyatakan dengan resmi berdirinya AKABRI dan melantik Komandan Jenderal AKABRI yang pertama Laksamana Muda (L) Rahmat Sumengkar dan wakil Komandan Jenderal AKABRI Laksamana Muda (U) atau Marsekal Muda TNI Suharnoko Harbani. Presiden menganugrahkan panji-panji AKABRI yang memuat semboyan Bhinneka Eka Bhakti. Pada tanggal 29 Januari 1967 di resmikan AKABRI bagia umum dengan mengambil tempat di AKABRI bagian Darat, Megelang. Peresmian ini merupakan permulaan tahun akademi dan sekaligus merupakan integrasi pendidikan pembenukan perwira. AKABRI sebagai lembaga pendidikan mempunyai bagian-bagiannya yakni AKABRI bagian Umum berpusat di Magelang, AKABRI bagian Darat di Magelang, AKABRI bagian Laut di Surabaya, AKABRI bagian Udara di Yogyakarta, dan AKABRI bagian Kepolisian di Sukabumi.[1]
Pada pendidikan lanjutan perwira, integrasi dimulai pada tanggal 28 Desember 1963 dalam taraf Afiliasi Antar Sekolah Staf dan Komando (Sesko) yang kemudian menjadi Dewan Antar Sesko, dan di ketahui oleh Mayor Jendral Suwarto. Sebelum secara resmi, Sesko-Sesko Angkatan / Polri diintegrasikan ke dalam wadah Sesko ABRI pada bulan Mei1974. Pada dasarnya tiap-tiap Sesko Angkatan/Polri berdiri sendiri langsung di bawah kendali masing-masing Angkatan/Polri. Kemudian berdasarkan Surat Perintah Menhankam/Pangab No.Sprin/B/92/III/1974 tanggal 28 Maret 1974 wewenang kendali pendidikan Sesko-Sesko Angkatan/Kapolri di serahterimakan oleh para Kepala Staf Angkatan/Polri kepada Komandan Jendral Sesko ABRI.
Nilai hakiki yang di gunakan untuk mengembangkan pendidikan Sesko ABRI bersumber pada sasaran pendidikan, yaitu mendidik calon pemimpin-pemimpin ABRI yang tangguh, terampil dan memiliki sikap mental yang baik, serta di landasi falsafah ''Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang cinta damai, akan tetapi lebih cinta kemerdekaan''.[2]
2.      Integrasi dalam Dokterin dan Organisasi
Pendekatan kedua yang di tempuh dalam mencapai integrasi ABRI ialah pendekatan dokterin, melalui penyusunan dan penyempurnaan dokterin-dokterin dasar Angkatan dan Polisi menjadi satu dokterin ABRI. Sejak seminar pertama TNI AD yang di selenggarakan enam bulan sebelum melutusnya pemberontakan G-30-S/PKI menghasilkan dokterin ''Tri Ubaya Cakti'' (Tiga Tekad Sakti). Berbeda saat kemudian menyusul dokterin-dokterin dari Angkatan-angkatan dan Polri. TNI AL menyusun dokterin dengan nama ''Eka Casana Jaya'' (Satu Dokterin yang Menang), TNI AU dengan dokterin ''Swa Bhuana Paksa'' (Sayap Tanah Air), dan Polri dengan dokterin ''Tata Tentrem Kerta Rahadja''. Dengan dokterin-dokterin itu, TNI AD menonjolkan wawasan dirgantara, dan Polri pada wawasan ketenteraman masyarakat.
Dokterin yang berdiri sendiri dengan wawasan yang berbeda dan bersaing satu dengan yang lainnya itu dilemparkan ke tengah-tangah masyarakat dan diindokterinasikan kepada jajaran masing-masing, hal ini sangat membahayakan keutuhan ABRI dan kesatuan bangsa, sebab pada hakikatnya wawasan adalah aspek dari falsafah hidup suatu angkatan yang berisi dorongan dan rangsangan untuk mencari jalan dan cara guna mencapai tujuan hidup.[3] Oleh karena itu, setelah pemberontakan G-30-S/PKI, Pimpinan Angkatan Bersenjata menyadari masalah dokterin dan di usahakan untuk mengintegrasikannya melalui seminar.
Atas prakarsa pimpinan Hankam, pada tanggal 21 September sampai 17 Oktober 1966 diadakan pra seminar Hankam sebagai langkah persiapan menuju ke seminar Hankam. Seminar Hankam diselenggarakan dari tanggal 12 hingga 21 November 1966 dipimpin oleh Kepala Staf Hankam Mayor Jendral M.M. Rachmat Kartakusuma sebagai ketua seminar dan Laksamana Muda Subijakto, Deputi Strategi Hankam, sebagai wakil ketua.
Berkat jiwa integrasi di kalangan ABRI, seminar berhasil merumuskan Doktrin pertahanan Keamanan Nasional dan Doktrin Perjuangan ABRI yang bernama Tjatur Darma Eka Karma serta Wawasan Nusantara Bahari. Doktrin Tjatur Darma Eka Karma (Tjadek) merupakan hasil penelitian dan penyempurnaan hasil diskusi pada pra seminar Hankam, diskusi pada integrasi konsepsi dan Doktrin dari Departemen Veteran, Lemhanas, Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Dengan keberhasilan seminar Hankam menyusun Doktrin Tjadek ini, perbedaan-perbedaan yang tajam antara Dokterin-dokterin Angkatan berasil ditumpulkan, khususnya mengenai perbedaan wawasan.
Rumusan tentang wawasan asil seminar disempurnakan dalam Rapat Kerja Hankam pada bulan November1967. Rapat Kerja menentukan bahwa kita menganut wawasan Nusantara sebagai wawasan Nasional. Dengan wawasan Nusantara tidak di tonjolkan kepentingan salah satu matra.satu sama lain saling berhubungan, yang satu tidak dapat di hapuskan untuk kepentingan yang lain. Yamg perlu adalah kepentingan prioritas, penentuan titik berat sesuai dengan situasi dan kondisi dalam suatu jangka waktu tertentu.
Pendekatan ketiga ialah pendekatan organisasi. Organisasi adalah suatu alat, suatu wahana untuk melaksanakan tugas pokok yang telah ditentukan. Organisasi meliputi unsur fungsi, faktor fisik personel, dan hubungan-hubungan yang setepat-tepatnya antara ketiga unsur tersebut.
Landasan pengorganisasian dan  penstrukturan Departemen Hankam pada awal Orde Baru berdasarkan pada surat Keputusan Presiden No.132 tahun 1967. Sejak tahun 1963 angkatan-angkatan berkembang menjadi departemen-departemen dan kepala-kepala staf angkatan menjadi panglima-panglima angkatan yang kemudian menjadi menteri/panglima angkatan. Akibatnya, pembagian dan penentuan fungsi-fungsi, baik vertikal maupun horizontal menjadi racun. Terdapat enam badan Hankam yang masing-masing menjalankan fungsi serupa atau hampir serupa  seingga pikiran, tenaga, dana, dan daya yang ada dihamburkan secara percuma. Fungsi-fungsi yang serupa dilaksanakan oleh beberapa pihak menimbulkan kesimpangsiuran, kekacaauan, dan kemelut yang luar biasa, sehingga semakin lama semakin banyak pimpinan nasional memutuskan kebijakan-kebijakan yang keliru. Keenam badan-badan itu adalah Komando Operasi Tertinggi (KOTI), Kompartemen Hankam, Departemen Angkatan Darat, Depertemen Angkatan Laut, Departemen Angkatan Udara, dan Departemen Angkatan Kepolisian. Karena fungsi-fungsi ini dikarenakan secra melebar, tidak secara mendalam, semakin lama nilai-nilai kemiliteran, nilai-nilai keahlian, dan keterampilan kemiliteran semakin merosot. Kompensasi pengembangan kekuatan Hankam beralih menjadi kekuatan politik.[4]
Dikeluarkannya Keputusan Presiden No.132 tahun 1967 adalah untuk menertibkan pembagian fungsional angkatan. Pemegang kekuasaan tertinggi ABRI dan pucuk pimpinan Hankamnas adalah Presiden dibantu ole Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata. Rantai Komando berjalan dari Presiden dengan melalui Menhankam/Pangab. Tiap-tiap angkatan mempunyai tugas penyelenggaraan dan pembinaan Hankamnas, menurut matranya masing-masing. Setiap Angkatan adalah bagian organik dari Departemen Hankam, serta bertanggung jawab untuk memberikan bantuannya dalam penyelenggaraan dan pengamanan kebijakan dalam bidang Hankam.
Sesuai dengan keputusan Presiden No.132/1967, ABRI terdiri atas;
a.    Angkatan Darat disingkat AD,
b.   Angkatan Laut disingkat AL,
c.    Angkatan Udara disingkat AU, dan
d.   Angkatan Kepolisian disingkat AK.
Tiap-tiap angkatan dipimpin oleh Panglima Angkatan, yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Kecuali angkatan, Menhankam/Pangab juga membawahi komando-komando utama operasional Hankam/ABRI. Motivasi pembentukan komando utama (Kontama) ini didasarkan atas asas bahwa untuk memperoleh kekuatan Hankam /ABRI secara efektif diperlukan pemikiran dan tindakan sungguh-sungguh untuk merealisasikan integrasi antara angkatan serta integrasi ABRI dan rakyat. Fungsi komando utama operasional adalah melaksanakan operasi ofensif strategis dan operasi defensif strategis sebagai cara menghadapi agresi dan invasi lawan.
Di dalam struktur ini Mentri Hankam adalah seorang perwira tinggi ABRI yang karena kedudukannya merangkap sebagai Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab), dan staf itu di jabat oleh Jendral Soeharto. Sementara itu, Panglima Angkatan Laut di jabat oleh Laksamana Laut Mulyadi, Panglima Angkatan Udara di jabat oleh Laksamana Muda Udara Rusmin Nuryadin, dan Panglima A.K. oleh Jenderal Polisi Soetjipto Joedodihardjo. Pangab adalah pembantu Presiden dalam menyelenggarakan kekuasaan Presiden mengenai pimpinan dan pembinaan tertinggi AERI dan bidang Hankam serta menentukan kebijakan Hankam dan melakukan pengendalian atas ABRI.[5]
Keputusan Presiden No.132/1967 ini kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 79 Tahun 1969. Tujuan penyempurnaan ini adalah agar pada akhir Repelita tahun 1973 telah di dapat landasan dan pangkal tolak pembangunan suatu sistem Hankamnas yang modern, baik doktrin maupun aparaturnya.
Dengan tercapainya kemantapan integrasi antara fungsi-fungsi pertahanan keamanan, baik dalam segi organisasi maupun segi prosedur kerjanya, diadakan penyempurnaan kembali Keputusan Presiden No. 79/1969 dengan Keputusan Presiden No.7 tahun 1974 tanggal 18 Februari 1974. Penyempurnaan di lakukan terutama pada ingkat departemental, eselon, pimpinan yang terdiri dari pimpinan dan pembantu pimpinan, serta beberapa badan pada eleson pelaksanaan pusat.[6]

NOTES :
[1] Saleh As'ad Djamhari, Ichtisar Sejarah Prjuangan ABRI, 1971, hlm. 128-129
[2] Mako Akabri, Sejarah Akademi Angkatan Bersenjata RI, 1972, hlm. 302-305
[3] John A. Mac Dougall, Himpunan Amanat Menhankam/Pangab dan Wapangab, 1970, hlm. 81
[4] Mawati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia V, 1975, hlm. 591-592
[5] Wahano, Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Departemen Pertahanan Keamanan (Keppres No. 132/1967) 1967
[6] Yulianto Dwi Pratomo, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974, hlm. 50

DAFTAR PUSTAKA
John A. Mac Dougall, Himpunan Amanat Menhankam/Pangab dan Wapangap, 1970. Jakarta : Departemen Pertahanan Keamanan
Mako Akabri, Sejarah Akademi Angkatan Bersenjata RI, 1972. Jakarta : Gramedia
Mawati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia V, 1975. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Saleh As'ad Djamhari, Ichtisar Sejarah Prjuangan ABRI, 1971. Bandung : Angkasa
Yulianto Dwi Pratomo, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974, 2005. Yogyakarta : Narasi
Wahano, Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Departemen Pertahanan Keamanan No 132/1967, 2005. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

No comments:

Post a Comment