KONSEPSI DWIFUNGSI ABRI PADA ERA PRESIDEN SOEHARTO

Pahma Herawati/S/A

            Kontribusi tentara bagi bangsa dan negara Indonesia sejak zaman kemerdekaan Indonesia tidak dapat terhitung besarnya, mengingat tentara ini merupakan salah satu ujung tombak dari kemerdekaan dan kedaulatan Indonesian pada masa penjajahan dahulu. Seiring berjalannya waktu, didukung oleh pergantian pemerintahan Soekarno menjadi Soeharto dengan ditandai oleh sistem pemerintahan Orde Baru di Indonesia, peran tentara Indonesia yang kemudian disebut dengan ABRI semakin besar. Dahulu, ABRI yang
hanya bergerak di bidang keamanan dan pertahanan di Indonesia, namun pada era pemerintahan Soeharto, Peranan ABRI merangkap kearah bidang sosial dan politik. Fungsi ganda ABRI ini kerap dikenal dengan konsep Dwifungsi ABRI.
A. Sejarah Dwifungsi ABRI
            Konsep Dwifungsi ABRI pertama kali muncul dalam bentuk konsep "Jalan Tengah" yang diusulkan pada tahun 1958 oleh Jendral A. H. Nasution, pimpinan TNI-AD pada saat itu, kepada Presiden Sukarno untuk memberikan peluang bagi peranan terbatas ABRI di dalam pemerintahan sipil, dalam arti: memberikan cukup saluran pada tentara kita bukan sebagai organisasi, tetapi sebagai perorangan-perorangan yang menjadi eksponen daripada organisasi kita, untuk turut serta menentukan, kebijaksanaan negara kita pada tingkat-tingkat yang tinggi[1]

B. Pengertian Dwifungsi ABRI
            Dwifungsi ABRI adalah suatu dokrin di lingkungan Militer Indonesia yang menyebutkan bahwa TNI memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dengan peran ganda ini, militer diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan.

C. Dwifungsi pada masa pemerintahan Orde Baru
            Dwifungsi pada masa pemerintahan orde baru lebih disempurnakan lagi,yang awalnya pada masa pemerintahan orde lama Dwifungsi ABRI itu prakteknya hanya sebatas perorangan tetapi pada masa pemerintahan orde baru dibuat lebih terorganisir. Terdapatnya peran ganda ABRI pada masa pemerintahan orde baru yaitu ABRI tidak hanya berfungsi sebagai alat kekuatan sosial dan politik. Sehingga pada masa pemerintahan orde baru hampir seluruh pejabat di pemerintahan pusat maupun di didaerah lebih banyak didominasi oleh militer.[2]
            Pada masa reformasi ini ternyata banyak pro-kontra tentang Dwifungsi ABRI, karena memang terdapatnya penyimpangan yang dilakukan oleh militer pada masa orde baru, banyak personil militer yang terlibat dalam urusan bisnis, menyimpang dari peran sebelumnya yaitu hanya sebagai alat pertahanan negara. Namun terlepas dari penyimpangan yang dilakukan militer pada masa orde baru, pada akhirnya kita tidak bisa menutup mata bahwa peran Dwifungsi ABRI pada masa pemerintahan orde baru itu terbukti telah membuat stabilitas keamanan negeri ini cukup kondusif dan ABRI pada masa itu sangat disegani di lingkungan negara-negara ASEAN.
            Justru di masa Demokrasi ini yang menghapuskan peran ABRI di dalam urusan pemerintahan, hanya membuat bangsa ini berpecah belah, maraknya kerusuhan dan stabilitas keamanan yang tidak kondusif, membuat kita sadar ternyata Dwifungsi ABRI itu peranannya sangat penting dalam meredam konflik yang rentan terjadi di negara yang penuh perbedaan ini.
      
D. Konsep dwifungsi ABRI
            Pada dasarnya, konsep dwifungsi ABRI tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sistem ketatanegaraan dan sistem politik di Indonesia. Keberadaan ABRI sebagai kekuatan sosial dan politik yang telah melekat sejak kelahirannya, secara nyata memang telah diterima oleh rakyat, karena peranannya memang secara nyata diperlukan bagi kelangsungan sistem kenegaraan dan sistem politik indonesia yang berlandaskan UUD 1945. Hal tersebut ditunjukkan oleh berbagai peranan ABRI dalam menghadapai situasi-situasi genting, mulai dari perang mempertahankan kemerdekaan hingga penumpasan G30S/PKI. Dalam menghadapi situasi-situasi genting itu, ABRI telah memainkan peranannya dalam bidang politik. Sebagai contoh ialah instruksi bekerja pemerintah militer seluruh jawa No. I/MBKD/1948 dari kolonel Nasution. [3]
            Konsep Dwifungsi ABRI sendiri dipahami sebagai "Jiwa, tekad dan semangat pengabdian ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa indonesia, baik dibidang Hankam negara maupun dibidang kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan pancasila dan UUD 1945." Berangkat dari pemahaman tersebut, ABRI memiliki keyakinan bahwa tugas mereka tidak hanya dalam bidang hankam namun juga non hankam. Sebagai kekuatan hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam lingkungan aparatur pemerintah yang bertugas di bidang kegiatan "melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia." Sebagai kekuatan social, ABRI adalah suatu unsur dalam kehidupan politik di lingkungan masyarakat yang bersama-sama dengan kekuatan social lainnya secara aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan nasional.
            Lebih lanjut mengenai ABRI sebagai kekuatan social, setidaknya ada dua fungsi yang dimiliki oleh ABRI. Fungsi tersebut ialah fungsi stabilisator dan fungsi dinamisator. Identitas ABRI sebagai pejuang dan kemanunggalannya dengan rakyat secara otomatis mendorong serta menjadikan ABRI sebagai dinamisator dan stabilisator dalam kehidupan bangsa dan negara kita. Sejarah mencatat bahwa ABRI telah membuktikan kedua fungsinya dalam tindakan-tindakan berikut ini :
a)      ABRI sebagai dinamisator:
            1. Kemampuan ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika masyarakat, dan untuk memahami serta merasakan aspirasi serta kebutuhan-kebutuhan rakyat, memungkinkan ABRI untuk secara nyata membimbing, menggugah dan mendorong masyarakat untuk lebih giat melakukan partisipasi dalam pembangunan.
            2. Kemampuan tersebut dapat mengarah kepada dua jurusan. Disatu pihak hal tersebut merupakan potensi nyata ABRI untuk membantu masyarakat menegakkan asas-asas serta tata cara kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk juga rencana-rencana serta proyek-proyek pembanagunan. Di lain pihak hal itu menyebabkan ABRI dapat berfungsi sebagai penyalur aspirasi-aspirasi dan pendapat-pendapat rakyat.
            3. Untuk dapat lebih menigkatkan kesadaran nasional dan untuk dapat mensukseskan pembangunan, diperlukan suatu disiplin social dan disiplin nasional yang mantap. Oleh karen disiplin ABRI bersumber pada Saptamarga dan Sumpah prajurit, sehingga secara masyarakat, maka ABRI dapat berbuat banyak dalam rangka pembinaan serta peningkatan disiplin nasional tersebut.
            4. Sifat ABRI yang modern serta penguasaan ilmu dan teknologi serta peralatan yang maju, memberikan kemampuan kepada ABRI untuk juga mempelopori usaha-usaha modernisasi.
b) ABRI sebagai stabilisator:
            1. Kemampuan ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika masyarakat dan untuk memahami aspirasi-aspirasi yang hidup dalam masyarakat, membuat ABRI menjadi salah satu jalur penting dalam rangka pengawasan social.
            2. Kesadaran nasional yang tinggi yang dimiliki oleh setiap prajurit ABRI merupakan suatu penangkal yang efektif terhadap pengaruh social yang bersifat negatif dari budaya serta nilai-nilai asing yang kini membanjiri masyarakat Indonesia.
            3. Sifat ABRI yang realistis dan pragmatis dapat mendorong masyarakat agar dalam menanggulangi masalah-masalah berlandaskan tata pilir yang nyata dan berpijak pada kenyataan situasi serta kondisi yang dihadapi, dengan mengutamakan nilai kemanfaatan bagi kepentingan nasional. Kemudian rakyat akan dapat secara tepat waktu menentukan prioritas permasalahan dan sasaran-sasaran yang diutamakan.
            4. Dengan demikian akan dapat dinetralisasikan atau dikurangi ketegangan, gejolak-gejolak dan keresahan-keresahan yang pasti akan melanda masyarakat yang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan dan karenanya mengalami perubahan social yang sangat cepat.        
            Satu aspek yang sangat esensial dalam memahami dwifungsi ABRI adalah pemahaman kita mengenai profesionalisme militer (ABRI). Dalam hal ini, terdapat dua aliran profesionalisme militer, yaitu profesionalisme lama dan profesionalisme baru. Profesionalisme lama sendiri berpijak pada keyakinan bahwa militer hanyalah berperan dalam urusan hankam. Disisi lain, profesionalisme baru menawarkan sebuah pemahaman baru dimana militer tidak hanya berperan dalam bidang hankam, namun juga non-hankam.
            Konsep profesionalismebaru pada dasarnya menganggap negara-negara berada dalam keadaan perang semesta. Perang semesta sendiri dipahami sebagai keadaan dimana negara tidak hanya menghadapi ancaman yang datang dari luar, namun juga dari dalam. Permasalahan social dan politik adalah contoh ancaman dari dalam negeri. Untuk memenangkan perang tersebut, diperlukan sebuah strategi dimana seluruh potensi yang ada dalam sebuah negara bisa dimaksimalkan. Kunci dari strategi itu adalah bersatu padunya dan interaksi yang dinamis antara keamanan nasional dengan pembangunan nasional, atau tidak terpisahnya dimensi hankam dan dimensi non-hankam dalam pengelolaan negara. Berdasarkan pada kunci dan strategi tersebut, militer ABRI menjadi kelompok yang diyakini mampu mengemban tugas untuk membeikan kemenangan dalam perang semesta karena kecakapannya baik dalam bidang hankam maupun non-hankam. Ketika kita melihat strategi dari ABRI sendiri, kita akan menemui bahwa mereka menganut konsep pertahanan semesta. Disamping itu, kita bisa melihat bahwa hal ini sangat sesuai dengan konsep Dwifungsi ABRI.[4]
            Dalam pelaksanaannya, Dwifungsi ABRI didasarkan pada beberapa undang-undang yang menjadi landasan legal formal berlakunya konsep tersebut. Pengaturan Dwifungsi ABRI dalam undang-undang sendiri baru dimulai pada era Orde Baru, walaupun sebelumnya beberapa peraturan perundangan telah menyinggung kedudukan ABRI sebagai golongana fungsional seperti umpamanya UU No. 7 tahun 1957 tentang Dewan Nasional, UU No 80 tahun 1958 tentang Dewan Perancang Nasional, dan ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960. Pada era orde baru, undang-undang yang mengatur Dwifungsi ABRI ialah ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966, yang kemudian disusun oleh UU No. 15 tahun 1969 tentang pemilihan umum dan UU No. 16 tahun 1969, ketetapan MPR No. IV/MPR/1978, Undang-Undang nomor 20 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahan keamanan Negara., dan UU no. 2 tahun 1988 tentang prajurit ABRI.

E. Pelaksanaan Dwifungsi ABRI
            Dwifungsi ABRI, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diartikan bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan militer indonesia dan juga fungsinya di bidang politik. Dalam pelaksanaannya pada era Soeharto, fungsi utama ABRI sebagai kekuatan militer indonesia memang tidak dapat dikesampingkan, namun pada era ini, peran ABRI dalam bidang politik terlihat lebih signifikan seiring dengan diangkatnya Presiden Soeharto oleh MPRS pada tahun 1968. Hal ini di pandang wajar karena pada saat itu sektor militer memiliki kekuatan yang paling besar. Sebenarnya, sejak awal militer ikut ambil peran dalam mengurusi urusan sipil telah muncul suatu indikasi dimana kekuatan militer Indonesia dianggap akan memegang peran penting dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Indikasi ini muncul  sesuai dengan teori Hunnington dan Finner yang mengatakan bahwa penyebab paling penting dari intervensi militer dalam bidang politik adalah sistem kebudayaan politiknya, struktur politik, serta institusinya. Oleh karena itulah, tidak heran jika partisipasi politik dari kekuatan militer indonesia sangat kental pada masa itu serta tidak mampunya membatasi kegiatan militer pada bidang non-politis saja.[5]
            Secara umum, intervensi ABRI dalam bidang politik pada masa Orde Baru yang mengatasnamakan Dwifungsi ABRI  ini salah satunya adalah dengan ditempatkannya militer di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi dan kabupaten. Perwira yang aktif, sebanyak seperlima dari jumlahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dimana mereka bertanggung jawab kepada komandan setempat, sedangkan yang di MPR dan DPR tingkat nasional bertanggung jawab langsung kepada panglima ABRI. Selain itu, para ABRI juga menempati posisi formal dan informal dalam pengendalian Golkar serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial diseluruh daerah dari mulai jakarta sampai ke daerah-daerah terpencil, salah satunya dengan gerakan AMD (ABRI masuk desa).
            Keikutsertaan militer dalam bidang politik secara umum bersifat antipartai. Militer percaya bahwa mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan pembangunan. Sedangkan partai politik dipandang memiliki kepentingan-kepentingan golongan tersendiri. Lebih jauh, Harold Crouch dalam bukunya "Militer dan politik di Indonesia" menerangkan bahwa pandangan pihak militer terpecah menjadi dua kelompok, namun keduaya tetap menganut sifat antipartai. Hal ini juga disampaikan oleh A. H. Nasution. Kelompok pertama adalah kelompok berhaluan keras yang ingin mengubah struktur politik dengan sistem dwipartai. Berbeda dengan kelompok tersebut, kelompok kedua adalah kelompok moderat yang cenderung tetap ingin mempertahankan sistem politik saat itu, dan menginginkan perubahan dilaksanakan secara bertahap dan alami.[6]
            Contoh yang nyata dari kelompok militan adalah pada tahun 1967, panglima Divisi Siliwangi HR Dharsono, didukung oleh panglima Kostrad kemal Idris, menyiarkan suatu rencana menjalankan sistem dwipartai di jawa barat. Mereka mengusulkan pembubaran partai-partai yang ada. Namun usulan-usulan pembubaran partai ini ditolak oleh kelompok moderat yang berada di sekeliling Soeharto pada tahun 1967 dan 1968.
            Perbedaan pandangan ini kemudian dimenangkan oleh kelompok moderat. Alasannya adalah bahwa pembubaran partai dapat menciptakan pandangan bahwa Orde Baru bersifat diktatorisme. Soeharto lebih percaya bahwa perubahan harus dilakukan melalui jalan demokrasi, yaitu melalui pemilu. Pandangan demikian kemudian menimbulkan korelasi antara ABRI dan kemunculan beberapa partai politik sepanjang Orde Baru.
            Pertama yaitu Golkar. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Kelahiran Golkar tidak lepas dari peran dan dukungan militer, yang pada saat itu merupakan bentuk reaksi terhadap meningkatnya kampanye PKI. Embrio Golkar awalnya muncul dengan pembentukan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Namun setelah kudeta PKI tahun 1965, Sekber Golkar perlahan-lahan berubah menjadi partai politik. Selain itu, seperti kita tahu bersama juga, Presiden Soeharto kemudian menjatuhkan pilihannya pada Golkar. Jadi peran ABRI bagi Golkar cukup prominen.
            Kedua yaitu partai Persatuan Pembangunan. Sejalan dengan maksud pemerintahan untuk melakukan penyederhanaan partai-partai politik, maka dilaksanakan fusi-fusi partai politik. Hal ini juga dipicu oleh pendapat Letjen Ali Moertopo pada bulan Mei 1971. Beliau berpendapat bahwa strukturisasi tidak harus dilakukan melalui pembubaran partai politik. Ternyata dorongan fusi ini justru disambut baik oleh golongan islam. Oleh karena itu, lahirlah PPP pada tanggal 5 januari 1973 yang ditandatangani oleh NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Ketersediaan partai-partai tersebut tidak lepas dari tekanan pemerintah dan militer.
            Ketiga yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI). PDI juga merupakan partai yang terbentuk pada praktik fusi oleh pemerintah. PDI terfusi atas partai-partai yang cenderung bersifat nasionalis seperti PNI, Murba, IPKI, serta Parkindo dan Partai Katolik (yang menolak dikategorikan dalam kategori material-spritual). Ketiga partai yang terbentuk kemudian mengindikasikan keberhasilan penyederhanaan partai pada Orde Baru (dengan bantun ABRI atau militer), karen sejak saat itu hingga tahun 1998/1999 hanya PPP, PDI dan Golkar yang mengikuti pemilihan umum.
            Keterlibatan ABRI di sektor eksekutif sangat nyata terutama melalui Golkar. Hubungan ABRI dan Golkar disebut sebagai hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Contohnya pada munas l Golkar di surbaya (4-9 September 1973), ABRI mampu menempatkan perwira aktif ke dalam Dewan Pengurus Pusat. Selain itu, hampir di seluruh daerah tingkat l dan daerah tingkat II jabatan ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif. Selain itu, terpilihnya Sudharmono sebagai wakil militer pada pucuk pemimpin Golkar (pada munas III) juga menandakan bahwa Golkar masih dibawah kendali militer.
            Selain dalam sektor eksekutif , ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor legislatif. Meskipun militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam pemilihan umum, mereka tetap memiliki wakil dalam jumlah besar (dalam DPR dan MPR) melalui Fraksi Karya ABRI. Namun keberadaan ABRI dalam DPR dipandang efektif oleh beberapa pihak dalam rangka mengamankan kebijaksanaan eksekutif dan meminimalisir kekuatan kontrol DPR terhadap eksekutif. Efektivitas ini diperoleh dari adanya sinergi antara Fraksi ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan dalam proses kerja DPR, serta adanya perangkat aturan kerja DPR yang dalam batas tertentu membatasi peran satu fraksi secara otonom. Dalam MPR sendiri, ABRI (wakil militer) mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah dalam formulasi kebijakan oleh MPR.[7]

F. Dampak dari Implementasi Dwifungsi ABRI
            Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentu memiliki dampak yang akan dirasakan secara luas, tidak terkecuali Dwifungsi ABRI. Dalam hal ini, kita akan mengetahui bahwa Dwifungsi ABRI tidak hanya menimbulkan dampak negatif sebagaimana yang berkembang di masyarakat selama ini, namun juga dampak positif bagi sistem politik di indonesia yang seringkali tidak diekspos pada masyarakat.
            Diantara berbagai dampak negatif yang muncul sebagai konsekuensi pelaksanaan Dwifungsi ABRI, berkurangnya jatah kaum sipil di bidang pemerintahan adalah hal yang paling terlihat. Pada masa orde baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh ABRI. Dominasi yang terjadi pada masa itu dapat dilihat dari:
a)      Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta  besar diisi oleh anggota ABRI yang "dikaryakan"
b)      Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan Golkar sebagai partai politik yang berkuasa pada waktu itu
c)      ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya.
hal ini pada dasarnya  bisa kita pahami sebagai sebuah pelaksanaan pendekatan patrimonialisme yang dilakukan oleh Soeharto dalam menjalankan pemerintahannya. Sebagaimana kita ketahui, pada awal pemerintahannya Soeharto mengalami masa yang cukup sulit. Pemberontakan PKI yang terjadi pada tahun 1965 waktu itu menimbulkan goncangan yang cukup hebat bagi seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan politik di Indonesia mengalami instabilitas yang sangat hebat. Belum lagi inflasi yang cukup tinggi hingga ratusan persen membuat perekonomian indonesia terpuruk sangat dalam. Dalam kaitannya dengan pemberontakan PKI, ABRI yang dipimpin oleh Soeharto waktu itu tampil sebagai pihak yang mampu menumpas kebiadaban PKI. Tentu saja ini adalah sebuah prestasi yang layak untuk diganjar dengan penghargaan dimana Soeharto menempatkan banyak jenderal dalam berbagai posisi pemerintahan. Lebih dari itu, dengan menempatkan jenderal-jendral dalam posisi strategis di pemerintahan. Soeharto sedang berupaya untuk membentuk pola hubungan yang saling menguntungkan dimana dia Ingin menciptakan loyalitas di kalangan elit dalam hal ini ABRI pada dirinya karena dengan posisi strategis tersebut, aspirasi para jendral khususnya di bidang materi bisa tercukupi dengan lebih mudah. Dengan demikian, pemerintahan yang di pimpin oleh Soeharto menjadi lebih stabil. Program-program yang diciptakan untuk memulihkan keadaan negara juga berhasil dilakukan dengan efektif.
            Dominasi dwifungsi ABRI dalam hal tersebut pada akhirnya menimbulkan dampak lebih buruk. Dampak tersebut antara lain adalah:
a.       Kecenderungan ABRI untuk bertindak represif dan tidak demokratis/otoriter. Hal ini dapat terjadi karena kebiasaan masyarakat yang terbiasa taat dan patuh kepada ABRI. Sehingga masyarakat enggan untuk mencari inisiatif dan alternatif karena semua inisiatif dan alternatif harus melalui persetujuan ABRI.
b.      Menjadi alat penguasa, yakni dengan adanya dwifungsi ABRI ini, maka ABRI dengan bebas bergerak untuk menjabat di pemerintahan. Sehingga untuk mencapai tingkat penguasa tidak mustahil untuk dilakukan oleh seorang ABRI, sehingga dengan mudah ABRI mengatur masyarakat.
c.       Tidak berjalannya fungsi kontrol oleh parlemen. Dampak dari kondisi ini adalah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, misalnya dalam bentuk korupsi. Hal tersebut dapat terjadi karena ABRI juga yang bertindak sebagai parlemen sehingga ia tidak ingin repot-repot melakukan kontrol terhadap bawahannya.
            Lebih dai itu, dengan adanya Dwifungsi ABRI, praktek-praktek nepotisme makin tumbuh subur di Indonesia.
            Namun Dwifungsi ABRI juga menunjukkan dampak positif sebagaimana ditunjukkan oleh berkecimpungnya ABRI dalam bidang ekonomi. Keikutsertaan militer dalam ekonomi telah menjadi usaha yang mapan dari pimpinan tentara untuk mencari tambahan bagi alokasi anggaran dan menguatkan kebebasan mereka dari pemerintah melalui pembiayaan yang mereka dapatkan dari usaha yang di sponsori militer dan menyedot dana dari BUMN yang dipimpin oleh kaum militer otomatis kegiatan-kegiatan yang ABRI pada waktu itu memiliki sumber dana yang tidak terbatas dari anggaran pemerintah.
            Lebih dari itu, dampak positif dari adanya dwifungsi ABRI itu sendiri lebih banyak dirasakan oleh kalangan internal ABRI khususnya dalam bidang materi. Dengan adanya dwifungsi ABRI, banyak dari anggota ABRI yang mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan, bahkan mengalahkan masyarakat sipil yang sebenarnya sudah fokus mengenyam pendidikan di bidang pemerintahan. Hal ini mengakibatkan para jendral ABRI memiliki kesejahteraan yang terhitung tinggi karena kiprahnya dalam posisi strategis itu.

KESIMPULAN

            Dengan adanya Dwifungsi ABRI tidak bisa kita pungkiri kegitan politik masyarakat khususnya yang tidak sejalan dengan apa yang digariskan oleh pemerintah berada di bawah kekangan. Namun demikian, terjadi sebuah stabilitas politik yang mampu menjadi pendorong bagi keberhasilan program-program yang dicanangkan oleh pemerintah. Hal ini bisa kita lihat dengan kiprah fraksi ABRI di DPR-RI yang dengan tegas memposisikan dirinya sebagai partai pendukung pemeintah. Jika ditambah dengan suara Golkar, tentu saja setiap kebijakan pemerintah yang dibahas di DPR-RI dapat berjalan dengan mulus tidak seperi apa yang kita lihat pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kutipan
[1] Budiarjo, Miriam.,Dasar-dasar Ilmu Politik, PT: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,2002.
[2] Jenkins, David, Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim militer Indonesia 1975-1983., komunitas Bambu, Jakarta,2010
[3] Tambunan, A.S.S.,Dwifungsi ABRI, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1993.
[4] Notosusanto, N.,Pejuang dan Prajurit, Sinar Harapan, jakarta, 1984.
[5] Muhaimun, Yahya.,Perkembangan Militer Dalam Politik Di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1982
[6] Yulianto, Arif., Hubungan Sipil dan Militer di Indonesia Pasca Orba: di tengah pusaran Demokrasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

No comments:

Post a Comment