Kondisi Politik Masa Orde Baru

Widia Kusuma Wardani/S/B

A.    Pembentukan Kabinet Pembangunan Kabinet
            Awal pada masa peralihan kekuasaan (28 Juli 1966) adalah Kabinet AMPERA dengan tugas yang dikenal dengan nama Dwi Darma Kabinet Amper yaitu untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Program Kabinet AMPERA yang disebut Catur Karya Kabinet AMPERA adalah sebagai berikut.

1)   Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan
2)   Melaksanakan pemilihan Umum dalam batas waktu yakni 5 Juli 1968.
3)   Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional.
4)   Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
B. Penyederhanaan dan Pengelompokan Partai Politik
Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanakan jumlah partai tetapi bukan berarti menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan (fusi) sejumlah partai. Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas persamaan program[1]. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial-politik, yaitu:
1)   Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, danPartai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok partai politik Islam).
2)      Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, PartaiMurba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat nasionalis).
3)      Golongan karya (golkar)
C. Pemilihan Umum  Selama masa Orde Baru
Pemilihan umum pada masa orde baru diadakan setiap lima tahun sekali dan telah dilaksanakan sebanyak enamkali. Tujuan pemilu tersebut untuk memilih anggota MPR, DPR, DPRD 1 dan 11. Keanggotaan MPR, yaitu seluruh anggota DPR, utusan daerah dan golongan. Setiap lima tahun sekali MPR mengadakan sidang umum.  MPR berwenang memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden. Presiden dan kabinetnya berkewajiban menjalankan tugasnya sesuai dengan UUD 1945 melaksanakan GBHN, mempertanggungjawabkan tugasnya tersebut pada akhir masa jabatannya. DPR bertugas mengawasi jalannya pemerintahan/tugas presiden. Mekanisme tugas dan kerja lembaga negara lain menyesuikan UUD 1945 dan UU yang mengaturnya.
Pada masa orde baru kehidupan politiknya diatur dalam UU berikut ini.
1.    UU No.1 Tahun 1985 tentang pemilihan umum.
2.    UU No.2 Tahun 1985 tentang susunan dan kedudukan MPR dan DPR.
3.    UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan golongan karya.
4.    UU No.4 Tahun 1985 tentang preferendum.
5.    UU No.5 Tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan (Ormas).
Sistem politik yang adalah otoriter dan tidak demokratis, dimana kekuasaan eksekutif terpusat dan tertutup dibawah kontrol lembaga kepresidenan, dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan ekonomi banyak terjadi KKN. Pemerintahan orde baru pimpinan soekarto berlangsung selama 32 tahun namun kehidupan politik pada waktu itu dinilai gagal[2]. Sistem politik yang berlaku adalah oteriter dan tidak demokratis dimana kekuasaan eksekutif terpesat dan tertutup dibawah kontro lembaga kepresidenan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan ekonomi banyak terjadi KKN. Selanjutnya pemerintahan orde baru juga dinilai gagal karena telah menciptakan pemerintahan yang sentralistik yaitu mekanisme hubungan pusat dan daeraah cenderung menganut sentralisasi kekuasaan sehingga menyebabkan kesenjangandan ketidakadilan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah

Pemilihan Umum  Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977,1982, 1987, 1992, dan1997.
1.      Pemilu 1971
a.       Pejabat negara harus bersikap netral berbeda dengan pemilu 1955 dimana para pejabat negara termasuk perdana menteri yang berasal dari partai peserta pemilu dapat ikut menjadi calon partai secara formal.
b.      Organisasai politik yang dapat ikut pemilu adalah parpol yang pada saat pemilu sudah ada dan diakui mempunyai wakil di DPR/DPRD.
c.       Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776pemilih untuk memilih 460 orang anggota DPR dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.
d.      Diikuti oleh 10 organisasi peserta pemilu yaitu Partai Golongan Karya (236 kursi), Partai Nahdlatul Ulama (58 kursi), Partai Muslimin Indonesia (24 kusi), Partai Nasional Indonesia (20 kursi), Partai Kristen Indonesia (7 kursi), Partai Katolik (3 kursi), Partai Islam Perti (2 kursi), Partai Murba dan Partai IPKI (tak satu kursipun).
2. Pemilu 1977
Sebelum dilaksanakan Pemilu 1977 pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No.3 tahun 1975 yang mengatur mengenai penyederhanaan jumlah partai sehingga ditetapkan bahwa terdapat 2 partai politik (PPP dan PDI) serta Golkar. Hasil dari Pemilu 1977 yang diikuti oleh 3 kontestan menghasilkan 232 kursi untuk Golkar, 99 kursi untuk PPP dan 29 kursi untuk PDI.
3. Pemilu 1982
Pelaksanaan Pemilu ketiga pada tanggal 4 Mei 1982. Hasilnya perolehan suara Golkar secara nasional meningkat. Golkar gagal memperoleh kemenangan di Aceh tetapi di Jakarta dan Kalimantan Selatan Golkar berhasil merebut kemenangan dari PPP. Golkar berhasil memperoleh tambahan 10 kursi sementara PPP dan PDI kehilangan 5 kursi[3].
4. Pemilu 1987
Pemilu tahun 1987 dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Hasil dari Pemilu 1987 adalah:
a.     PPP memperoleh 61 kursi mengalami pengurangan 33 kursi dibanding dengan pemilu 1982 hal ini dikarenakan adanya larangan penggunaan asas Islam (pemerintah mewajibkan hanya ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan diubahnya lambang partai dari kabah menjadi bintang.
b.    Sementara Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.
c.     PDI memperoleh kenaikan 40 kursi karena PDI berhasil membentuk DPP PDI sebagai hasil kongres tahun 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam.
5. Pemilu 1992
Pemilu tahun 1992 diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 1992 menunjukkan perubahan yang cukup mengagetkan. Hasilnya perolehan Golkar menurun dari 299 kursi menjadi 282 kursi, sedangkan PPP memperoleh 62 kursi dan PDI meningkat menjadi 56 kursi.
6. Pemilu 1997
Pemilu ke enam dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya:
1. Golkar memperoleh suara mayoritas perolehan suara mencapai 74,51 % dengan perolehan kursi 325 kursi.
2. PPP mengalami peningkatan perolehan suara sebesar 5,43 % dengan perolehan kursi 27 kursi.
3. PDI mengalami kemerosotan perolehan suara karena hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal ini disebabkan karena adanya konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dan PDI Megawati Soekarno Putri.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia).
Kenyataannya pemilu diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu mendominasi tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di MPR dan DPR. Perimbangan tersebut memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan[4].                       
1)                                             D. Mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera) di Irian Barat pada tanggal 2 Agustus 1969.
             Kebijakan lain yang di ambil pemerintah Orde baru adalah menetapkan peran  ganda  ABRI  yang di kenal dengan Dwifungsi ABRI.ABRI  tidak hanya  berperan dalam bidang pertahanan dan keamanan Negara tetapi juga berperan di bidang politik.Hal terbukti dari banyaknya anggota ABRI yang ternyata memegang jabatan sipil  seperti walikota,bupati dan gubenur bahkan ABRI memiliki jatah di keanggotaan  MPR/DPR.Alasan yang mendasari kebijakan tersebut tertuang dalam pasal  27 ayat (1)UUD 1945. Pasal tersebut mengemukakan bahnwa "segala warga Negara  bersama kedudukankannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak  ada kecualinya.Bukan hanya pada bidang politik  pemerintahan,ternyata kedudkan ABRI dalam masyarakat Indonesia juga merambat di sector ekonomi.Banyak anggota ABRI menjadi kepala skepala BUMN maupun komisaris  di berbagai perusahaan swasta .
E. Upaya-Upaya Pembaruan Politik Luar Negeri
Di samping membina stabilitas politik dalam negeri, pemerintah Orde Baru juga mengadakan perubahan-perubahan dalam politik luar negeri. Berikut ini upaya-upaya pembaruan dalam politik luar negeri.
1. Indonesia Kembali Menjadi Anggota PBB
      Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota PBB. Sebelumnya pada masa Demokrasi Terpimpin Indonesia pernah keluar dari PBB sebab Malaysia diterima menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Keaktifan Indonesia dalam PBB ditunjukkan ketika Menteri Luar Negeri Adam Malik terpilih menjadi ketua Majelis Sidang Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974.
2. Membekukan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina (RRC)
                  Sikap politik Indonesia yang membekukan hubungan diplomatik dengan RRC disebabkan pada masa G 30 S/PKI, RRC membantu PKI dalam melaksanakan kudeta tersebut. RRC dianggap terlalu mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.
3. Normalisasi hubungan dengan Malaysia
                  Pada tanggal 11 Agustus 1966, Indonesia melaksanakan persetujuan normalisasi hubungan dengan Malaysia yang pernah putus sejak tanggal 17 September 1963. Persetujuan normalisasi ini merupakan hasil Persetujuan Bangkok tanggal 29 Mei sampai tanggal 1 Juni 1966. Dalam pertemuan tersebut, delegasi Indonesia dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Adam Malik, sementara Malaysia dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Tun Abdul Razak. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan yang disebut Persetujuan Bangkok (Bangkok Agreement), isinya sebagai berikut.
a. Rakyat Sabah dan Serawak diberi kesempatan untuk menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
b. Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
c. Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
4. Berperan dalam Pembentukan ASEAN
                  Peran aktif Indonesia juga ditunjukkan dengan menjadi salah satu negara pelopor berdirinya ASEAN. Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik bersama menteri luar negeri/perdana menteri Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand menandatangi kesepakatan yang disebut Deklarasi Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967. Deklarasi tersebut menjadi awal berdirinya organisasi ASEAN.

Note
1)      Notosusanto, Nugraha. 2008. Sejarah Nasional Indonesia 6, Jakarta : Balai Pustaka. Halaman 47
2)      Rina, 2008. Dinamika Kehidupan Poltik, Ekonomi, Sosial masa Orde Baru. Halaman 72
3)      M.C Rickleft, 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2400. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. Halaman 66
4)      M.C Rickleft, 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2400. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. Halaman 75

Daftar Pustaka
1.      Notosusanto, Nugraha. 2008. Sejarah Nasional Indonesia 6, Jakarta : Balai Pustaka.
2.      M.C Rickleft, 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2400. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
3.      Rina, 2008. Dinamika Kehidupan Poltik, Ekonomi, Sosial masa Orde Baru
4.      Susi, orde baru, , diakses pada 26 Desember 2014

No comments:

Post a Comment