Kebijakan Pemerintahan Inggris di Indonesia 1811–1816

Hari Sulistiawati/ SI 3

Sejak tahun 1811, Indonesia berada dibawah kekuasaan Inggris. Keberhasilan Inggris mengalahkan Prancis di Eropa menyebabkan kekuasaan Belanda atas Indonesia bergeser ke tangan Inggris. Untuk itulah ditandatangani Kapitulasi di Tuntang (dekat Ambarawa, Jawa Tengah) pada 18 oktober 1811, yang isinya yaitu:
1.        Pulau Jawa dan sekitarnya dikuasai Inggris

2.        Semua tentara Belanda menjadi tawanan Inggris
3.        Orang Belanda dapat menjadi pegawai Inggris
Pada waktu Indonesia dijajah Inggris, pusat kekuasaan Inggris di Timur jauh adalah Kalkuta dengan Lord Minto sebagai gubernur jenderalnya. Lalu Gubernur Jenderal Lord Minto  memercayakan kepada Thomas Stamford Raffles sebagai kepala pemerintahan Inggris di Indonesia. Raffles memulai tugasnya pada tanggal 19 Oktober 1811 yang berkedudukan  di Jakarta.
Pendudukan Inggris atas wilayah  Indonesia tidak  berbeda dengan penjajahan bangsa Eropa lainnya. Pada masa pemerintahannya Raffles banyak mengadakan perubahan-perubahan, dan mengambil beberapa kebijakan-kebijakan antara lain sebagai berikut:
1.        Bidang Birokrasi Pemerintahan
Langkah-langkah Raffles pada bidang pemerintahan ini yaitu Pulau Jawa dibagi menjadi 16 keresidenan (sistem keresidenan ini berlangsung sampai tahun 1964). Mengubah sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem pemerintahan kolonial yang bercorak Barat. Bupati-bupati atau penguasa-penguasa pribumi dilepaskan kedudukannya yang mereka peroleh secara turun-temurun.
2.        Bidang Ekonomi dan Keuangan
Petani diberikan kebebasan  untuk menanam tanaman ekspor, sedang pemerintah hanya berkewajiban membuat pasar untuk merangsang petani menanam tanaman ekspor yang paling menguntungkan. Penghapusan pajak hasil bumi (contingenten) dan sistem penyerahan wajib (verplichte leverantie) yang sudah diterapkan sejak zaman VOC. Menetapkan sistem sewa tanah (landrent) yang berdasarkan anggapan pemerintah kolonial. Pemungutan pajak secara perorangan. Mengadakan monopoli garam dan minuman keras.
3.        Bidang Hukum
Sistem peradilan yang diterapkan Raffles lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh Daendels. Karena Daendels berorientasi pada warna kulit (ras), Raffles lebih berorientasi pada besar kecilnya kesalahan. Badan-badan penegak hukum pada masa Raffles sebagai berikut. Court of Justice, terdapat pada setiap residen. Court of Request, terdapat pada setiap divisi Police of Magistrate.
4.        Bidang Sosial
Penghapusan kerja rodi (kerja paksa) Penghapusan perbudakan, tetapi dalam praktiknya ia melanggar undang-undangnya sendiri dengan melakukan kegiatan sejenis perbudakan. Peniadaan pynbank (disakiti), yaitu hukuman yang sangat kejam dengan melawan harimau.
5.        Bidang Ilmu Pengetahuan
Ditulisnya buku berjudul History of Java di London 1817 dan dibagi dua jilid. Ditulisnya buku berjudul History of the East Indian Archipelago, di Eidenburg 1820 dan dibagi tiga jilid.[1]
Pada masa pemerintahannya juga, Raffles bermaksud menerapkan politik  kolonial seperti yang dijalankan oleh Inggris di India. Kebijakan Daendels yang dikenal dengan nama Contingenten diganti dengan sistem sewa tanah (Landrent).
Sistem sewa tanah disebut juga sistem pajak tanah. Rakyat atau para petani harus membayar pajak sebagai uang sewa, karena semua tanah dianggap milik  negara. Berikut ini  pokok-pokok  sistem Landrent.
1.        Membebaskan rakyat dari penyerahan wajib yang bersifat paksaan, dan mengganti dengan kebebasan menanam dan menjual komoditi yang menguntungkan.
2.        Mengubah sistem pemerintahan pribumi dengan sistem pemerintahan Barat. Bupati diangkat menjadi pegawai pemerintah kolonial (Inggris) yang langsung berada di bawah kekuasaan pemerintah pusat.
3.        Hasil pertanian dipungut  langsung oleh pemerintah tanpa perantara bupati.
4.        Rakyat harus menyewa tanah dan membayar pajak kepada pemerintah sebagai pemilik  tanah. [2]
Raffles menerapkan sistem-sistem kerajaan Inggris, bahwa tanah adalah milik raja, sedangkan rakyat sebagai penyewa. Dengan sistem ini, Raffles mengharapkan terjaminnya pendapatan negeri induk karena pemasukan pemerintah tetap dan pasti dalam bentuk pajak yang dibayar sebagai uang sewa. Selain itu, dengan kebebasan ini, diharapkan rakyat Indonesia meningkat taraf hidupnya. Sehingga, mereka bisa membeli barang industri Inggris yang melimpah akibat Revolusi Industri.
Dalam peraturannya, pemungutan pajak tanah ditetapkan seperlima, dua perlima, atau sepertiga hasil panen. Pajak tanah dikenakan pada semua hasil tanaman sawah, dan dibayarkan dalam bentuk uang atau barang. Dengan demikian, Raffles berusaha mengubah ekonomi barang menjadi ekonomi uang. Unsur-unsur paksaan diganti dengan unsur-unsur kebebasan (sukarela) dan perjajian (kontrak). Namun, pelaksanaan sistem sewa tanah tidak diberlakukan di seluruh Jawa. Beberapa daerah masih menjalankan "Prianger Stelsel" (kewajiban menanam kopi di Priangan). Sistem sewa tanah yang diterapkan Raffles ini sebenarnya cukup baik. Belanda memperlakukan tanah jajahan sebagai tempat eksploitasi sumber daya alam dan manusia. Maka Raffles menghendaki untu memperlakukannya sebagai tempat memasarkan barang-barang industri Inggris.   
Pemerintahan Raffles ini sebenarnya didasarkan atas prinsip-prinsip liberal yang hendak mewujudkan kebebasan dan kepastian hukum. Prinsip kebebasan mencakup kebebasan menanam dan kebebasan perdagangan. Kesejahteraan hendak dicapainya dengan memberikan kebebasan dan jaminan hukum  kepada rakyat sehingga tidak menjadi korban kesewenang-wenangan para penguasa.
Nah untuk pelaksanaan Sistem Sewa Tanah ini akhirnya mengalami kegagalan ketika dalam pelaksanaannya disebabkan karena:
1.        Kurangnya pegawai yang cakap
2.        Rakyat Indonesia masih terikat pada feodalisme dan belum mengenal ekonomi uang.
3.        Adanya pegawai pemerintah yang melakukan manipulasi uang sewa tanah (pajak)
4.        Singkatnya, masa jabatan Raffles (lima tahun), sehingga ia belum sempat memperbaiki kelemahan dan penyimpangan dalam sistem sewa tanah.[3]
Tindakan yang dilakukan  oleh Raffles berikutnya  adalah membagi wilayah  Jawa menjadi 16 daerah karesidenan. Hal ini mengandung maksud untuk mempermudah pemerintah melakukan pengawasan terhadap daerah-daerah yang dikuasai. Setiap karesidenan dikepalai oleh seorang residen dan dibantu oleh asisten residen.
Di samping itu Thomas Stamford Raffles juga memberi sumbangan positif bagi Indonesia yaitu:
1.        Membentuk susunan baru dalam pengadilan yang didasarkan pengadilan Inggris
2.        Menulis buku yang berjudul History of Java
3.        Menemukan bunga Rafflesia-arnoldii
4.        Merintis adanya Kebun Raya Bogor
Sementara itu, pada tahun 1816, sesuai dengan Konvensi London 1814, Inggris harus menyerahkan kembali jajahannya di Indonesia kepada Belanda. Penyerahan itu berlangsung di Batavia pada tanggal 19 agustus 1816. Sejak itu, berakhirlah kekuasaan Inggris di Indonesia, dan pemerintah Belanda berkuasa kembali. Perubahan politik yang terjadi di Eropa mengakhiri pemerintahan Rafles di Indonesia. Pada tahun 1814, Napoleon Bonaparte akhirnya menyerah kepada Inggris. Belanda lepas dari kendali Prancis. Hubungan antara Belanda dan Inggris sebenarnya akur, dan mereka mengadakan pertemuan di London, Inggris. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan yang tertuang dalam Convention of London 1814. Isinya Belanda memperoleh kembali daerah jajahannya yang dulu direbut Inggris. Status Indonesia dikembalikan  sebagaimana dulu sebelum perang, yaitu di bawah kekuasaan Belanda.
Untuk mengatur keadaan di Indonesia, Belanda mengangkat komisaris jenderal, yang terdiri atas tiga orang, yakni Van Der Capellen, Buyskers, dan diketuai oleh Mr. Elout. Mr. Elout ini adalah seorang liberalis, beraliran konservatif. Namun Van Der Capellan menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda.
Adapun yang melatarbelakangi Raffles harus mengakhiri masa jabatannya di Indonesia, salah satunya adalah kondisi di Eropa. Perang koalisi berakhir dengan kekalahan Prancis. Negara-negara Eropa yang menjadi lawan Prancis mengadakan Kongres Wina mengambil keputusan bahwa sebagai benteng untuk menghadapi Prancis, Belanda harus kuat. Oleh karena itu, dalam Traktat London tahun 1824, ditetapkan bahwa Indonesia harus dikembalikan kepada Belanda. Jadi, pengembalian Indonesia kepada Belanda bukan karena Inggris kalah perang, tetapi karena kedua negara tersebut merupakan sekutu dalam perang di Eropa. [4]

Catatan kaki:
[2] Sudirman Adi, Sejarah Lengkap Indonesia, Diva Press, Jogjakarta, 2014, hal:264-265
[4] Sudirman Adi, Sejarah Lengkap Indonesia, Diva Press, Jogjakarta, 2014, hal: 265

No comments:

Post a Comment