DIPLOMASI INDONESIA BELANDA (PERJANJIAN RENVILLE)

PERTIWI RESTI/SI5

            Untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, bangsa Indonesia nemempuh dua cara, yaitu perjuangan diplomasi dan perjuangan fisik (bersenjata). Perundingan Linggarjati dianggap tidak lancar dan berkali-kali mengalami penundaan. Setelah dianggap cukup dan menghasilkan keputusan sebanyak 17 pasal, kedua pihak menafsirkan hal yang berbeda, akibatnya terjadilah Agresi Militer Belanda I tanggal 21 Juli 1947.
Hal ini mendapat perhatian PBB dan dibentuklah Komisi Tiga Negara yang terdiri dari Australia (pilihan Indonesia), Belgia (pilihan Belanda), dan Amerika Serikat (Pilihan Australia dan Belgia). Pada tanggal 27 Oktober 1947,  KTN memulai bekerja dan meminta perundingan di atas kapal angkut milik Amerika Serikat bernama Renville.
Pada tanggal 4 Januari Belanda secara sepihak menyelenggarakan koferensi sepuluh Negara-negara bagian, tiga diantaranya adalah bekas wilayah Republik (Sumatera Timur, Jawa Barat, dan Madura), diputuskan dalam konferensi ini terbentuknya pemerintah sementara yang segera berfungsi. Republik diminta untuk ikut untuk ikut ambil bagian dalam pembentukan itu, tapi sudah tentu Republik menolaknya.
Dibawah tekanan yang berat, pemerintah mengalah. Soekarno, Hatta dan Amir Sjarifoeddin terpaksa dengan susah menimbang-nimbang. Pada satu pihak gerakan maju tentara Belanda hampir bisa dipastikan, dan Dewan Keamanan tidak akan tampil  membantu, serta perang gerilya yang berlangsung lama sampai dari pasukan yang buruk perbekalannya. Pada lain pihak pengakuan terhadap penaklukan tentara Belanda dengan gencatan senjata, dan pespektif referendum dengan jaminan Amerika yang akan memulihkan Republik pada luas wilayahnya yang semula. Pada tanggal 17 dan 19 Januari Kedua belah pihak menandatangani Perjanjian Renville.
Dalam perundingan Renville yang berlangsung dari tanggal 17 Januari 1948, ternyata makin mempersempit wilayah Negara RI. Isi pokok perundingan ini ada 2 permasalahan, yaitu sebagai berikut:
1.      Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda, sampai waktu terbentuknya RIS.
2.      Di berbagai daerah di Jawa, Madura, dan Sumatera diadakan pemungutan suara untuk mengetahui daerah-daerah itu mau masuk RI atau RIS
Kebijakan Pemerintah yang dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin menerima Perjanjian Renville, sangat merugikan pihak Republik, baik di bidang politik, ekonomi maupun militer. Kerugian pihak Republik:
1.      Dalam bidang politik: Pemerintah Republik Indonesia harus mengakui kedaulatan Belanda. Wilayah Republik Indonesia tinggal 2/3 di Jawa dan 1/5 di Sumatera. Batas wilayah Indonesia dengan daerah pendudukan itu terkenal dengan nama "garis van Mook".
2.      Dalam bidang ekonomi: Pemerintah Republik Indonesia menyerahkan kota-kota besar pusat perindustrian dan perdagangan kepada Belanda, sehingga member kesempatan seluas-kuasnya kepada Belanda untuk melakukan blokade ekonomi terhadap Republik.
3.      Dalam bidang militer: Pemerintah Republik Indonesia harus menyerahkan kantong-kantong gerilya yang telah disusun atau kantong-kantong pertahanan kepada musuh. Umumnya kantong gerilya dibentuk di Jawa Barat.
Ini menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir Sjarifoeddin, yang pada akhirnya tanggal 31 Januari 1948 digantikan oleh Kebinet Hatta. Program Kabinet Hatta:
1.      Pelaksanaan Persetujuan Renville dan selanjutnnya perundingan dasar yang telah dicapai.
2.      Mempercepat dibentuknya Negara Indonesia Serikat (NIS).
3.      Melaksanakan rasionalisasi di dalam negeri.
4.      Pembangunan.
Sebagaimana nasib Pesetujuan Linggarjati yang kemudian dirobek-robek, demikan pula nasib Persetujuan Renville. Setelah melalui perundingan dibawah pengawasan Komisi Tiga Negara (KTN), pelaksanaan Renville menghadapi jalan buntu.
Pemerintah Republik Indonesia mengirim nota kepada KTN mengenai pendirian Republik Indonesia:
1.      Pemerintah Republik Indonesia telah mengalah sedapat-dapatnya untuk mendekati pendirian Belanda.
2.      Petunjuk yang diberikan kepada Menteri Belanda terbatas kepada penjajagan apakah pada dasarnya RI menerima baik syarat-syarat yang diajukan Belanda sehingga tidak merupakan usaha yang sungguh-sungguh untuk mencapai perdamaian lewat perundingan.
3.      Pemerintah Belanda terbukti pada tahun 1948 akan membentuk pemerintahan interim tanpa RI, tanpa berunding dengan RI di bawah pengawasan KTN lebih dahulu.
 KTN juga menerima nota dari Belanda yang isinya:
1.      Dalam perundingan di Kaliurang terbukti RI tidak mempunyai kekuasaan yang nyata terhadap tentaranya, karena itu tidak bisa diharapkan kerja sama yang sungguh-sungguh untuk mencegah pelanggaran gencatan senjata.
2.      Perundingan RI terhadap Wakil Tinggi Mahkota, terutama mengenai kekuasaan terhadap tentara di masa peralihan, bertentangan dengan kedaulatan Belanda sebagaimana yang ditetapkan dalam pokok-pokok asasi persetujuan Renville yang berarti berlangsungnya keadaan tidak dapat dipertahankan, dimana ada dua tentara saling berhadapan di bawah pimpinan yang terpisah.
3.      Penolakan mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan menyebabkan tidak ada harganya RI meneriman naskah persetujuan yang direncanakan oleh KTN dan Ametika Serikat.
4.      Pemeritah Belanda harus bertindak melaksanakan keputusan pembentukan pemerintahan interim yang direncanakan atas dasar persetujuan wakil-wakil daerah federal.
Akhirnya pada tanggal 18 Desember 1948 Dr. Beel, Wakil Tinggi Mahkota Belanda menyatakan pihaknya tidak terikat oleh Pesetujuan Renville dan pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan serangan umum terhadap wilayah Republik Indonesia. Belanda melakukan serbuan langsung dan serentak terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik serta kedudukan Markas Besar TNI. Serangan Belanda bertujuan menguasai kota-kota dan jalan raya. Seluruh kota di Jawa dapat didudukin oleh Belanda. Belanda mengira mengira bahwa dengan jatuhnya Yogyakarta dan ditawannya Kepala Negara Republik Indonesia, berarti Republik dan TNI telah runtuh. Perkiraan itu meleset, sehingga Belanda menanggung konsekuensinya, baik di bidang politik maupun militer.
TNI melancarkan perang rakyat semesta dan pasukan-pasukan hijrah dikirim kembali ke daerah asal, sehingga seluruh wilayah pendudukan Belanda dijadikan medan gerilya. Panglima Besar Jenderal Sudirman sekalipun dalam keadaan sakit keras, aktif pemimpin pelaksanaan gerilya. Walaupun TNI bertempur dengan gigihnya, kota-kota di Jawa Tengah satu per satu jatuh ke tangan Belanda, diantaranya Kota Pekalongan – Wonosobo dan Kota Purworejo.
Atas dasar Perjanjian Renville 30.000 tentara harus meninggalkan basis-basis mereka di Jawa Barat dan Jawa Timur, Dengan demikian hilanglah perlindungan untuk rakyat yang ada di daerah itu. Peristiwa di Sulawesi Selatan dengan demikian berulang, dimana sebanyak 40.000 rakyat, pemuda-pemudi, nenek dan baji dimetraljur, dibom dan dibajoneti oleh serdadu Belanda.
  
DAFTAR PUSTAKA
Poeze, Harry A. 2010. Tan Malaka, gerakan kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid III: Maret 1947 – Agustus 1948. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sudiyo. 2002. Pergerakan Nasional Mencapai & Mempertahankan Kemerdekaan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Depdikbud. 1991. Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Balai Pustaka.

No comments:

Post a Comment